Jajah Deso Milangkori

NAWATARA

Jajah Deso Milangkori adalah kegiatan yang memiliki banyak fungsi. Jajah artinya menjelajah, Deso adalah kawasan, Milang artinya memilah, menyibak, menyeleksi, Kori dari kata Kor dengan imbuhan -i. ‘Kor’ artinya telur Tumo(kutu rambut) yang biasa ikut nangkring di kepala. Jadi, ‘jajah deso milang kori’adalah kegiatan penjelajahan dari satu kawasan ke kawasan berikutnya untuk memunguti “kor kor (telur-telur tumo)” untuk diletakkan pada tempat yang semestinya dan tidak mengganggu keseimbangan. Pilihan kata ‘Kor’ sebagai perumpamaan bukan tanpa alasan, Kor yang merupakan telur kecil dan tersembunyi ini perlu ketelatenan dan ketelitian dalam menyibak dan menelusurinya.Continue reading

Abstrak Jaman

Abstrak Jaman ii

Di dunia ini terdapat dua wangsa besar yakni Wangsa Candra dan Wangsa Surya. Masing-masing bersama mengkontribusi kehidupan dengan cara yang berbeda.

Wuku adalah perhitungan dalam segala sudut pertimbangan. Sudut pertimbangan jasad sebagai tanda, sudut pertimbangan jiwa sebagai khazanah pengetahuan, sudut pertimbangan ruhani sebagai satu-satunya penyambung kepada segala titah

Pasaran adalah ruang berkumpul secara meriah untuk tujuan pertukaran barang kebutuhan, menimba ilmu, dan bersosialisasi antar masyarakat dari 4 penjuru mata angin. Barang yang dibawa untuk ditukarkan disebut dagang (nyuda pepegang/mengurangi bawaan). Pasaran ini sekaligus meningkatkan kualitas pengetahuan teknis, seperti mutu metalurgi, penyepuhan logam, penambangan tanpa merusak, ekstraksi tanaman menjadi makanan dan minuman, membuat kain lebih halus, pengolahan emas, perak, perunggu, tembaga. Ilmu kelautan dan perkapalan, perbintangan dan navigasi, pertahanan keamanan, seni budaya, tata bahasa dan sastra lesan maupun tulisan, dlsb.

Kawi adalah masyarakat yang memiliki ciri penyair, intektual, cerdas, cerdik, bijaksana, pintar, orang suci, hingga arti-arti lain seperti : burung hantu, planet venus, dan matahari.

Sejak hasta janma menguat dan mengakar sebagai jenis identifikasi besar, maka setiap lini hampir dipimpin/dikuasai oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. Perkembangan masyarakat menuju Nabi Nuh, pengetahuan ini sudah semakin menghujam dan mengakar. Sehingga pencapaian-pencapaian pengetahuan dan kebudayaan terbentuk dengan sangat luar biasa maju.

Kemajuan-kemajuannya bukan hanya teknologi yang bersifat jasad seperti pesawat atau bangunan arsitektural. Namun juga teknologi internal seperti berbicara jarak jauh, berpindah secara cepat dari satu tempat ke tempat lain sekejap mata, berkomunikasi dengan binatang tertentu, memodifikasi genetika tanaman, mereka genetika hewan, dan masih banyak lagi.

Kehadiran Nabi Nuh adalah tengara jaman. Masyarakat yang saat sudah merasa sangat sempurna dengan segala pemahaman menjadi tidak menyadari perubahan jaman. Masyarakat pada saat Nabi Nuh turun adalah masyarakat yang sudah sangat menghormati pilihan dan cara hidup orang lain, sehingga tabu untuk memberi nasehat atau peringatan kepada orang lain, meski dianggap salah sekalipun. Sebab masing-masing menyadari bahwa kesalahan adalah hal yang wajar dilakukan oleh seseorang, dan setiap orang pasti akan belajar dari kesalahannya. Namun kesalahan-kesalahan yang dibiarkan tanpa peringatan akan membuat seseorang merasa diijinkan untuk lebih terbuai dalam kesalahan dan tidak hendak menuju perbaikan.

Di sinilah peran yang diemban Nabi Nuh menjadi sangat kompleks. Bukan hanya memperingatkan kaumnya kepada ketauhidan, yang secara kebudayaan menentang arus. Tapi juga peringatan ‘tersembunyi’ yang tidak bisa dibuktikan yakni dimulainya pengurangan usia manusia seiring perkembangan peradaban. Jika di jaman Nabi Nuh, rata-rata setiap orang berumur 900 tahun maka jikapun dia menumpuk kesalahan selama 100 tahun, dia masih berkesempatan menambahnya lagi selama 100 tahun lagi, dan jika masih ingin menambahnya lagi dia bisa gunakan 100 tahun lagi usianya untuk merasakan kebosanan, sehingga di 600 tahun berikutnya dia menjadi seseorang yang punya pengalaman akurat atas kesalahan sehingga lebih teguh memegang kebaikan. Namun, cara itu tidak bisa selamanya digunakan. Ketika nanti usia manusia makin singkat maka yang harus dilatih adalah kewaspadaan, mawas diri, kesabaran, dan keikhlasan. Dan itu harus dimulai jauh-jauh hari. Sehingga ketika saat itu tiba manusia sudah punya bekal untuk menyesuaikan diri.

PADEPOKAN HASTA JANMA

  1. Janma Tani
  2. Janma undagi
  3. Janma ujam dudukan
  4. Janma prajurit
  5. Janma pangniarik
  6. Janma baruna
  7. Janma mitra
  8. Janma pandito/kawi

Pemaparan tentang Hasta Janma : tulisan 01tulisan 02

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU

Struktur kerajaan yang beraneka warna daulat janma memiliki muara ilmu dari ajaran resi. Resi tidak bisa dilepaskan dalam struktur kerajaan yang kemudian disebut sebagai Janma Pandito atau Janma Kawi yang bertugas memberi nasehat ‘langit’.

Kedaulatan manusia disebut sebagai Empu, dan kedaulatan Raseksa disebut Denawa. Stereotip yang terbangun adalah Denawa sebagai bangsa kurang beradap dan Empu sebagai penyelaras dan mengatur dalam tatanan lebih mulia. Pada prakteknya sering terjadi kasus-kasus sebaliknya, meski demikian baik Denawa maupun Empu sepakat terhadap stereotip itu. Denawa menyetujui karena banyak golongan raseksa yang bernaluri memakan daging manusia sebagai penghangat tubuh, sehingga stereotip itu membantunya terasa legal dengan kebiasaannya. Namun secara mental spiritual, manusia janma lebih beruntung posisinya justru karena terinspirasi berbuat baik dengan bercermin pada prilaku para raseksa yang susah sekali beranjak menjadi bermartabat.

Bencana membuat perpindahan besar-besaran para empu ke berbagai penjuru.

-BANJIR BESAR & WARISAN-

Jawa tenggelam dan tampak terpecah menjadi kepulauan kecil-kecil. Para pengungsi yang berpindah jauh di daerah-daerah (kepulauan) terpencil mengabadikan nama Jawa dalam berbagai sebutan[1].

Dua gunung es raksasa di utara dan selatan terpapar hujan badai yang juga berkekuatan raksasa. Dua kutub ini bagai dapur air yang menunggu perintah untuk melelehkan diri. Benarlah, di saat perintah itu datang, lelehannya menciptakan arus air yang besar, ditambah hujan dan badai angin yang dahsyat. Kehadiran arus air menggulung-gulung bagai ombak dalam ukuran tidak wajar, sangat besar dan menakutkan. Langit menghitam dan kilatan-kilatan petir berpijaran dalam kejap-kejap yang menyilaukan. Gemuruh suara ombak, angin, guntur, menggetarkan bagai melepaskan sendi. Kapal Nabi Nuh tampak sangat kecil di tengah lautan gunung air. Hewan-hewan yang terbawa ikut tercekam ngeri. Tasbih, dan Takbir tanpa henti bergaung di dalam dada Nabi Nuh.

Makin lama, hujan badai kian reda. Kilatan-kilatan sesekali masih nampak dibalik mendung hitam. Laut pun mulai tenang. Tapi yang benar-benar tidak pernah disangka adalah, peristiwa itu membuat wajah bumi yang lama terendam air dari lelehan kutub. Kota-kota yang gemilang dengan segala pencapaiannya bukan dibuat untuk mampu menahan ombak setinggi gunung. Manusia-manusianya hampir tak punya tempat berlindung dan menyelamatkan diri. Mungkin ada yang dikecualikan atas nama Kasih Sayang Allah.

Kemudian air mulai surut terserap bumi. Hamparan darat mulai tampak lebih jelas. Kapal Nabi Nuh tertambat di Gunung. Hewan-hewan yang terbawa banyak yang kondisinya tidak sehat, beberapa ada yang sangat lemah. Namun banyak juga yang tetap sehat. Namun Nabi Nuh yang dianggap tidak berpengetahuan oleh umatnya ketika itu, sesungguhnya benar-benar utusan Allah yang diberikan karunia pengetahuan yang sepadan dan bahkan lebih dari pengetahuan umatnya waktu itu. Yang dilakukan Nabi Nuh kemudian salah satunya adalah kembali ke pembiakan atau pembuahan benih-benih yang telah sebelumnya disimpan. Setelah berhasil dibuahkan, binatang-binatang itu dikembalikan ke habitat aslinya meskipun banyak wilayah yang kini telah terendam lautan.

Dalam kondisi habitat yang semakin menyempit, Nabi Nuh melakukan penyesuaian dengan kondisi yang baru ini. Yakni binatang-binatang dibuat jauh lebih kecil dari ukuran aslinya. Sedangkan dalam perkembangan zaman, pasca banjir juga sebuah transisi dimana manusia pun semakin kecil ukuran tubuhnya dan semakin pendek usianya.

Para pengikut Nabi Nuh yang tersisa menggunakan hewan-hewan yang dibawa dari kapal menjadi santapan. Karena kondisi pendaratan pasca banjir besar ini tidak memungkinkan tersedianya pangan. Dari titik pendaratan ini kemudian bermukim sementara, menata diri, membangun kehidupan dan mulailah terjadi penyebaran ke beberapa penjuru Eropa dimulai dari Turki. Ada yang ke Mesir, Persia, India, China, Yunani, Irlandia, dan Amerika. Sekian lagi kembali ke tanah asal usul bersama Nabi Nuh yakni ke Jawadwipa.

Kisah serupa bisa pula dibaca di : Nabi NuhBahtera & SatwaBanjir Besar.

-ERA BARU, TIKAR SUDAH DIGELAR-

Smoro berbahagia karena kini kekuatan terasa tampak seimbang bahkan berpotensi lebih kuat. Peristiwa banjir Nuh ibarat perekrutan masal besar-besaran  _seperti halnya Banujan yang tidak menunjukkan mutu kekhalifahan karena tertambat pada keterterikan hal-hal yang menutupi kebenaran_ sebab ruhani mereka tidak mau menguak hijabnya sendiri, dan justru terus-menerus menutupi peringatan yang benar maka mereka menjalani hukuman untuk membantu pihak-pihak positif sebagai katalisator yang bergabung di bawah pengawasan Smoro. Kekuatan gabungan ini menjadi makin ‘sempurna’ karena ditambah kedunguan dan kedangkalan para raseksa rakus. Mereka mudah diprovokasi dan segera melakukan tindakan brutal, bombongan, gegabah, dan merusak. Dalam beberapa hal kemunculan para raseksa efektif sebagai bentuk teror atau penciptaan disharmoni terus menerus atas upaya penyelarasan.

Smoro dan pasukannya tinggal di salah satu titik koordinat bumi yang tidak terduga oleh manusia. Tempat itu bagaikan benua kecil yang tidak mampu dideteksi dengan kemampuan teknologi jaman sekarang, yakni ketika teknologi telah makin condong ke jasad daripada batin.

Benua kecil itu tidak hanya dihuni Smoro dan pasukannya. Akan tetapi juga didiami pihak-pihak yang diselamatkan karena pencapaian pengetahuan keikhlasannya. Disana mereka tidak berseteru sebab wilayah itu wilayah netral yang telah ‘diijinkan’ terlepas dari permainan bumi. Mereka semacam pengawas dan penyelaras. Mengapa kondisi seperti ini bisa terjadi? Ini uraian singkatnya :

Pengetahuan Hasta Jalma membuat hirarki kualitas yang dekat representasinya dengan tahapan-tahapan fitrah ruhani. Jalma – Janma – Datu – Ratu – Resi – Bagawan – Kawi. Rekaman proses ini tercatat dalam permainan Caturangga.

  1. Jalma : pengetahuan dasar naluriah. Yang didengar dan dilihat adalah yang berdasar perangkat indrawi.
  2. Janma : intensifikasi, optimalisasi sesuai jalur abiliti. Yang dilihat dan didengar adalah yang berdasar perangkat indrawi dengan pemahaman penglihatan batin.
  3. Datu : pengetahuan gabungan abiliti hasta Janma dalam seorang. Yang didengar dan dilihat keseimbangan anatara penglihatan indrawi dan batiniah.
  4. Ratu : pengetahuan gabungan paradatu dalam seorang. Penglihatan dan pendengaran adalah pandangan batiniah yang menyesuaikan dengan pandangan umum yang jasadiah
  5. Resi/Pandito : pengetahuan gabungan dari pararatu dalam seorang. Penglihatan batiniah dan melakukan kegiatan yang menjauh dari keputusan-keputusan jasadiah agar terjaga batiniahnya.
  6. Bagawan/Begawan : pengetahuan gabungan dari para resi dalam seorang. Yang didengar dan dilihat adalah seruan dan ekspresi batiniah dan menyembunyikan diri dari jalur aturan bumi yang jasadiah, tapi meranggeh informasi samawi dalam penyelarasan kehidupan bumi.
  7. Kawi : pengetahuan puncak manusia yang kembali menjadi manusia yang tidak mengetahui apapun tapi sekaligus mengetahui banyak hal, bisa melakukan apapun tapi sekaligus hanya boleh melakukan sedikit dalam batasan kemanusiaan. Menyangga kesabaran dan keikhlasan sehingga terlepas dari hukum dunia yang tersekat ruang dan waktu. Yang dilihat dan didengar hanyalah suara dan penglihatan batin sehingga makin nampak jelas ilusi bumi dan kasunyatan hakiki, tapi harus kembali menjadi manusia jasad bahkan tingkat jalma sebagai kodrat titah kehidupan dia turun/dilahirkan. Penyembunyian diri yang juga menahan diri ini ditempuh untuk mengkontribusi kehidupan dengan jalur bathiniah. Seorang Kawi yang terjaga ikhlasnya secara konstruktif menyambung karunia. Ibaratnya seribu orang jalma melakukan ingkar sehingga efeknya seharusnya membuat daun mengering, tanaman banyak hama, musim kering berkepanjangan, bunga-bunga gugur, sehingga membuat kekurangan pangan bisa dicegah dengan pengabdian batin seorang Kawi yang ikhlas.

Wallahu a’lam bishawab  

[1] A sunken land called Rutas was an immense continent far to the east of India and home to a race of sun-worshippers. Rutas was torn asunder by a volcanic upheaval and sent to the ocean depths. Fragments remained as Indonesia and the Pacific islands, and a few survivors reached India, where they allegedly became the elite Brahman caste.

 

 

Widyakartika

Brahmana Raditya memperkenalkan diri kepada masyarakat yang tinggal di sebuah negeri yang sangat subur namun dihuni keganasan dan kebuasan. Jaman ini memasuki milenium ketiga usia bumi. Yakni ketika Bumi mulai muncul sebuah ajaran yang mengoptimalisasi atau intensifikasi ilmu batin. Awal-awal ilmu Batin digunakan untuk tujuan yang mengharapkan superioritas, namun dalam perkembangannya olah batin ini digunakan untuk menembus khazanah langit yang berguna untuk meningkatkan kualitas manusia. Maka sejak pada milenium kelima Bumi, keadaan masyarakat Bumi telah mulai terlihat form arah peradabannya. Continue reading

CATURANGGA

Catur

Di sini akan membahas permainan yang sudah sangat terkenal di dunia. Di Indonesia disebut “Catur”, ada juga yang menyebutnya “Sekak” . Dalam bahasa Inggris dinamai “Chess”.

Catur diciptakan pada era kawi yang sudah sangat lama menjadi permainan dan metode menebarkan nilai. Catur lengkapnya bernama ‘Caturangga’ artinya badan empat atau 4 badan. Penamaan itu punya dasar nilai filsafat yang sangat indah. Caturangga lantas dibawa ke Jambudwipa sebagai negara bagian Kawi dan misspell menjadi ‘Caturanj’ kemudian menyebar ke Persia menjadi ‘Satranj’ berlanjut penyebarannya ke Arab yang lebih terkesan pada kekhasan istilah SAKA MATI, yang di Persia berubah menjadi SHAH MAT, di Arab menjadi ‘Shah’. Penyebaran terus ke paradaban Andalusia dan menebar ke Eropa menjadi ‘Chess’. Setelah itu bisa dilihat perkembangan berikutnya.

THE CHESS PIECES ARE THE BLOCK ALPHABET WHICH SHAPES THOUGHTS; AND THESE THOUGHTS, ALTHOUGH MAKING A VISUAL DESIGN ON THE CHESSBOARD, EXPRESS THEIR BEAUTY ABSTRACTLY, LIKE A POEM. [MARCEL DUCHAMP, ADDRESS TO NEW YORK STATE CHESS ASSOCIATION, AUG. 30, 1952]

CHESS : 13c., from O.Fr. esches “chessmen,” plural of eschec “game of chess, chessboard; checkmate” from the key move of the game. Modern French still distinguishes échec “check, blow, rebuff, defeat,” from pl. échecs “chess.” The original word for “chess” is Skt. chaturanga “four members of an army” — elephants, horses, chariots, foot soldiers. This is preserved in Sp. ajedrez, from Arabic (al) shat-ranj, from Pers. chatrang, from the Skt. word.

CHECK : early 14c., “A call in chess noting one’s move has placed his opponent’s king in immediate peril,” from O.Fr. eschequier “a check at chess” (also “chess board, chess set”), from eschec, from V.L. *scaccus, from Arabic shah, from Pers. shah “king,” the principal piece in a chess game When the king is in check a player’s choices are limited. Meaning widened from chess to general sense of “adverse event” (c.1300), “sudden stoppage” (early 14c.), and by c.1700 to “a token used to check against loss or theft” (surviving in hat check) and “a check against forgery or alteration,” which gave the modern financial use of “bank check, money draft” (first recorded 1798 and often spelled cheque), probably influenced by exchequeur. Meaning “pattern of squares” (c.1400) is short for checker. Checking account is attested from 1923, Amer.Eng.

Peradaban Kawi Jawa menciptakan permainan ini sebenarnya adalah upaya pengajaran filsafat yang tidak hanya termodulasi dalam kurikulum tertulis namun pada alat peraga yang mutakhir. Para Resi dan Pujangga Jawa ingin menitipkan konsep sedulur papat kalimo pancer dalam permainan catur.

BARISAN CATUR

Barisan Catur

Catur terdiri dari 2 sap barisan, barisan awal adalah Pawana[1] atau pion sedangkan pada barisan belakang adalah buah-buah Catur yang memiliki spesialisasi kekuatan masing-masing. Pion sejak semula sudah berada di barisan kedua dari kotak terdekat dengan pemain, maka dia hanya akan menginjak 6 kotak lagi untuk berada pada tujuan akhir dari perjalanan Bidak. Bisa dikatakan tokoh utama dalam permainan Catur adalah budak yang didukung dengan kekuatan komponen yang saling bersinergi di belakangnya. Budak ini bukan bawahan yang dipahami secara normatif sekarang. Budak adalah perilaku bertanggung jawab, bekerja keras, rela berkorban, berani melangkah ke arah lebih baik, dan luhur budi pekerti. Sikap Budak yang rela berada di depan sebagai pagar betis sekaligus pasukan inti adalah sikap suci dan yang mensucikan.

BUAH CATUR

PION

PAWANA / Pujada / Bidak / Prajurit / Pawn / Pion.

Perjalanan setapak demi setapak yang harus sering berhadapan dengan banyak macam rintangan. Ini adalah representasi perjalanan suci manusia dalam menapaki pada demi pada. Pada adalah adalah langkah, atau tingkat. Tingkat spiritual ini mencapai puncaknya pada pada ke tujuh.

Pujada atau Pawana adalah buah Catur yang jumlahnya paling Banyak yakni delapan buah. Delapan Putih dan Delapan Hitam. Jumlah keseluruhan Pawana berarti enambelas. Jumlah 16 merupakan kelipatan 4. Bilangan empat menjadi penting di sini sebab ini permainan Catur (empat) atau Caturangga (Empat Badan). Namun kita tahan dulu sementara tentang bilangan empat ini. Sebelumnya ada baiknya untuk mengetahui nama asal buah Catur yang satu ini. Di Persia buah Catur yang ini dinamai Pujada, yang berarti orang-orang yang mengkhidmati langkah. Kemungkinan Pujada berasal dari kata Puja-da : Puja, adalah bentuk penghormatan dan “da” adalah gelar untuk pelaku hidup tertentu, misal; Dapunta : Da-pu-nta adalah orang yang berprofesi di dapur atau Mpu. Di tradisi Jawa kawi buah Catur ini dinamai Pawana. Pawana berarti Angin, atau dalam makna lain ialah ; yang mensucikan/ suci/ keramat/ kekudusan/ kekuatan membersihkan. Julukan ini terasa begitu berlebihan jika mengingat bahwa Pawana dalam kenyataannya hanyalah Budak-budak kecil dan tak berarti.

Namun adakah “tokoh” lain dalam permainan Catur yang mampu berfungsi seperti Pawana? Yakni bukan hanya budak atau prajurit yang diletakkan pada barisan depan, bukan hanya setiap langkahnya bisa dijegal siapapun, bukan cuma siap berkorban, bukan sekedar siap dikorbankan, namun juga dari buah Catur inilah satu-satunya yang mampu mereproduksi pasukan jika telah mencapai langkah puncak. Ketika seorang pemain Catur masih memiliki formasi yang lengkap maka Pawana hanya sebagai pemain figuran yang tidak dihitung, dianggap tidak penting dan bahkan tidak ada. Namun setelah satu demi satu anggota pasukan andalan dapat ditumbangkan oleh lawan, maka Pawana menjadi terasa sangat besar fungsi dan keberadaannya. Inilah mengapa Pawana disebut demikian, dia hanya sekedar angin yang ketika berada di sekeliling orang tak menghiraukan, tidak menghitung dan melihatnya. Namun ketika berbuahnya bunga karenanya, namun ketika tersejukkan hawa panas oleh semilirnya, semua orang bahagia. Inilah sifat dasar Pawana, senantiasa memberikan pelayanan tanpa pamrih dan rela tidak mendapat tempat terhormat di mata kasat. Demikian juga seorang Pawana yang mensucikan, suci, keramat, telah hilang “saka”-“saka” di dalam dirinya. Tidak ada yang berdiri di dalamnya melainkan hanya yang Maha Esa, Maha Tegak, Maha Tunggal.

BETENGPala / Dwarapala / Benteng / Rook/

Pala adalah penjaga, dua penjaga sering disebut Dwarapala. Pala tidak sekedar berfungsi sebagai pertahanan serangan, dia bukan sekedar bangunan yang diciptakan untuk mendapatkan gempuran demi gempuran tanpa mampu melakukan gerakan balasan. Keras dalam karakter Pala adalah keteguhannya memegang prinsip. dia sendiri memiliki kemampuan untuk menyingkirkan ancaman.

Dalam permainan Catur, penjaga ini kemudian juga disebut sebagai Benteng atau Rook. Hampir sama fungsinya bahwa benteng pada dasarnya bersifat melindungi dan pertahanan diri. Perbedaanya terletak pada karakter statis dan dinamisnya. Berbicara Pala seakan memberikan nuansa kemakhlukan sehingga terasa lebih dinamis, sedangkan Benteng bernuansa kebendaan yang bersifat diam atau statis.

Terlepas dari dua paham tersebut, paling tidak langkah Pala tidak mendapatkan modifikasi. Langkahnya lurus ke depan, ke belakang, dan tidak bisa berjalan diagonal. Kotak hitam dan putih bisa diterabas sekaligus. Sebagai penjaga memang harus berpendirian tegas tidak berkompromi secara kebudayaan, hanya berkompromi kepada tanggung-jawab terhadap ancaman yang mengganggu kenyamanan wilayahnya. Nama Rook sendiri kemungkinan berasal dari Bahasa Hindi “ रुख “ (rukh) yang artinya pendirian.

KUDAKhroda / Koda / Kuda / Khursa / Horse / Knight

Kuda adalah lambang beringas, kemarahan, kelincahan, dan bersifat mendobrak. Demikian juga yang terjadi pada langkah kuda dia melangkah empat kotak dan tidak lurus. Langkahnya mendobrak dan tentunya dobrakan dibutuhkan keberanian, kelincahan, bahkan keberingasan. Pilihan untuk mengawali sebuah dobrakan memang bermacam jenisnya. Ada yang bertumpu pada hawa nafsu yang sekedar ingin merusak tatanan atau bertumpu pada kesadaran bahwa jika tidak berani membuat dobrakan maka langkahnya menjadi normative dan tidak ada kreatifitas.

APILApil / Gajah / Bishop / Uskup / Pi l/ Elephant / Peluncur

Dalam menemukan kebenaran sejati, manusia bisa menempuhnya dengan jalan diagonal putih namun juga sekaligus jalan diagonal hitam. Ini memasuki wilayah hakekat yang tidak sederhana. Bahwa memilih jalan putih pasti kesepakatannya adalah pre konsepsi dan parameter kebudayaan. Misal Agamawan yang dalam struktur social masyarakat berjalan pada garis yang putih, dalam sudut lain ada seorang pemabuk yang dianggap berada pada jalur hitam. Namun Hitam dan Putih pada wilayah kebaikan dan kesabaran merupakan hal utuh yang tidak bisa ditawar dan dikaburkan hanya dengan warna.

Berjalan pada hal yang putih bisa menjadi jalan hitam baginya karena mampu memproduksi sikap lupa diri, bangga hati, dan cenderung merasa lebih bermanfaat bagi orang lain. Sedangkan yang melalui jalan hitam bisa justru menemukan cahaya karena bergelut dengan cacian, hinaan, dan sikap perendahan lainnya. Jika segala hinaan dan cacian itu dilebur dalam kesabarannya maka sangat mungkin cahaya kebaikan terletak pada dirinya daripada agamawan.  Jadi hitam dan putih adalah lambang kepribadian kita yang terkadang sangat suci dan terkadang sangat durhaka. Namun begitu juga ketika menghadapi sebuah persoalan di kancah pergaula kemanusiaan, wilayah putih adalah wilayah yang diletakkan sangat rahasia di dalam diri kita, sedangkan untuk manusia pakaian hitam maupun putih bisa menodai wilayah rahasia itu jika tidak ingat tugas utama yakni menjaga Saka dan memperjalankan pengabdian.

Dalam Kitab Ramayana ada satu menyebut demikian “milu māti kěděkan apil” artinya iku mati tertindih Gajah. Apil dalam bahasa Jawa Kawi adalah Gajah selain juga Hasti, Liman, dll. Apil kemudian digunakan oleh Bangsa Persia menjadi “Pil” dan Bangsa Arab “Fiil”.

STERSter / Perdana Menteri

Ratu bertugas memindai gerakan musuh, dia bergerak sangat fleksibel. Di antara buah Catur lain, Ratu-lah yang paling leluasa dalam langkah-langkahnya. Namun yang harus diingat dari Ratu ialah bahwa sepadan dengan kekuatannya maka sebesar itu juga kelemahannya. Jika Ratu salah bergerak dan terlalu lupa diri dalam melanglah tanpa mempertimbangkan posisi dan strategi seluruh pasukannya maka kejadian fatal akan dituai. Dengan hilangnya kekuatan Ratu maka sama dengan lemahnya pertahanan dan daya serang seluruh pasukan.

Dalam diri manusia,Ratu adalah kehendak yang jika tidak berhati-hati menggunakannya akan menjadi petaka bagi dirinya dan seluruh pasukannya. Maka kehendak harus memiliki satu hal yang hrus dijaga, yakni memastikan perjalanan penghambaan mencapai pada yang tertinggi, juga senantiasa menjaga keamanan Saka yang menjadi simbol tersambungnya Kebeningan dan Kekeruhan. Kekeruhan adalah dunia dan kebeningan adalah tempat asal sebelum dunia dan sesudah dunia. Jika tanpa kekeruhan maka Pujada atau para pejalan kaki tak teruji mampu menapaki setahap demi setahap tingkat pensucian dirinya.

SAKA / CAGAK / SEKAK

SAKASaka / Syekh / Shah / Raja / King / Malik?

Saka artinya tiang, seperti dalam buah Catur. Dalam rumah tradisional Jawa Saka adalah bangunan utama yang berfungsi sebagai penahan atap, bagian ini merupakan bagian terpenting maka disebut Saka Guru[2].

Raja atau King dalam permainan Catur dulunya disebut Saka karena dialah penyangga bangunan dan indikasi kekuatan dalam barisan, jika Saka salah menenmpatkan posisinya maka seluruh pasukan dan barisan pertahanannya dinyatakan runtuh. Saka atau Tiang berbentuk lurus tegak seperti huruf Alif dalam Hijaiyah. Fungsi Saka adalah mencitrakan dirinya dengan Sifat Tauhid Allah. Saka daam permainan Catur hamper tidak memiliki peran tapi sekaligus posisinya paling menentukan, kekuatan Saka justru karena dia sangat tidak berkekuatan bahkan oleh kekuatan Pion. Dalam perkembangan selanjutnya Saka diartikan menjadi Raja karena dia dianggap sebagai buah Catur yang paling berkuasa. Namun bisa ditilik kembali bahwa kapasitas Saka yang hanya berjalan selangkah-selangkah lebih banyak membahayakan bukan hanya untuk dirinya sendiri namun otomatis bagi seluruh jajaran pasukannya.

Dalam ungkapan masyarakat Jawa dikenal istilah Saka Guru, artinya Tiang yang paling inti yang bukan sekedar menjadi ornament dalam bangunan namun juga penyangga utama atap sebuah bangunan. Di sini ditemukan korelasi dengan “Memayu Hayuning Bawana”. Tugas Saka bukan sekedar menunjukkan kekuatan dan kegagahannya dengan berdiri tegak di tengah bangunan. Namun justru kepada sejauh mana kekuatan dan kegagahannya ditimpai sejumlah tata rangkai atap sebuah bangunan.

Ibarat Saka adalah Kepala atau pimpinan sebuah Bangsa, maka kegagahannya bukan pada menterengnya dia dengan berbagai macam citra tapi bagaimana mampu memayungu segala struktur dan elemen masyarakatnya sehingga tetap eyup dan edhum (teduh dan ternaungi). Sebab Saka yang tidak merasa bertanggung-jawab terhadap beban atapnya maka dia hanya sebagai tiang yang hanya sekedar ingin mendirikan “alif” untuk dirinya sendiri. Dengan demikian maka dia adalah Saka yang Mati. Kembali ke permainan Catur, ketika Saka sudah tidak berdaya maka sebutan untuknya adalah “Saka Mati”. Penyebutan ini makin lama makin berubah seiring dengan perkembangan permainan Catur di berbagai Bangsa. Di Arab menjadi “Shah Mat” dan di Eropa menjadi “Checkmate”.

Namun di dalam permainan Catur simbolisasi itu tidak dalam rangka tatanan dalam sistem kebudayaan manusia seperti Kerajaan ataupun Negara. Simbolisasi dalam Catur adalah visualisasi citra dalam diri sendiri dan dialektikanya dalam jagad gedhe. Meskipun nantinya bisa disambungkan dengan sangat masuk akal dalam sistem kemanusiaan di dunia.

Jika diteliti lebih mendalam maka konsep “empat”  yang diisyaratkan dalam Catur itu akan mempertemukan kedalaman hati orang Jawa dan uniknya gaung bersambut dengan kejernihan dalam Islam. Kemudian apakah Saka di dalam diri kita? Apa itu pion? Kuda? Ratu? Gajah? Dimanakah letak mereka dalam diri kita? Mungkinkan berbagai karakter-karakter itu berada langsung dan bersamaan dalam diri manusia? Nanti dalam bab khusus akan kita urai bersama.

HITAM PUTIH

HITAM PUTIH

Seperti halnya konsep dasar Blangkon. Hitam dan Putih atau gelap terang  dalam papan Catur dibuat berjumlah sama antara hitam dan putihnya, maksudnya adalah keseimbangan. Tidak hanya tentang keseimbangan, jumlah delapan kali delapan merupakan enampuluh empat. Matriksnya adalah angak 6 dan 4. Dalam Bahasa Jawa Kawi 6 adalah Yam, sedangkan 4 adalah Catur. Tidak sampai di situ karena inilah sebenarnya esensi dari Catur. Dalam ajaran leluhur yang kini telah berada pada alam pitara, Yam disimbolkan dengan bentuk lingkaran berwarna putih. Dalam tingkatan Cakra[3]maka enam adalah bentuk mata ke-tiga yang berada di antara dua alis agak ke atas.

Para Cendekia jaman dahulu memainkan Catur di keramaian lalu-lalang manusia. Sang Cendekia ini kemudian menawarkan diri kepada orang-orang yang lewat untuk bisa mengalahkannya, sementara dia siap melawan hanya dengan beberapa langkah, dan ketika sang cendekia ini melakukan langkah yang melebihi dari kesepakatan yang dijanjikan maka penantangnya dinyatakan menang. Bagi yang menang Sang Cendekia akan memberikan hadiah berupa sekapur sirih sebagai tanda penghormatan. Jika Sang Cendekia yang menang pada permainan ke sekian dia menutup untuk membuka lagi permainan esok hari sambil mengatakan :

“kini papan catur telah ditutup, permainan baru saja selesai, hitam dan putih sudah tidak ada, mereka sudah melebur menyatu dalam satu kotak, permainan sesungguhnya baru dibuka, dan silahkan kisanak semua memainkan langkah-langkah yang baik dan menjaga agar Saka tidak mati serta menyelesaikan pawanan pada langkah terakhir jika mampu, jikapun tidak mampu gerak menuju ke sana sudah merupakan tanda bahwa kisanak sangat bersungguh-sungguh menjalani laku”.

Dalam pengembangan lain, Yam adalah penyingkatan dari kata Yama. Yama adalah Dewa yang mengetuai para pitara, pitara adalah bahasa untuk menyebut kehidupan alam Ruh. YYama juga berarti pengekangan diri atau pengendalian diri, perpanjangannya adalah Yamabrata. Maka di dalam jumlah yang 64 itu diinformasikan tentang satu entitas yang “bekerja” di dalam wilayah Ruh, para Yama ini berjumlah empat. Siapakah mereka? Dan apa tugas-tugasnya? Sebelum ke sana ada satu lagi hal perlu diketahui bahwa ketika Yam dan Catur dijumlahkan maka hasilnya adalah 10 atau Dasa, Dasa juga memiliki makna budak, hamba, atau abdi. Sehingga jika hendak diterjemahkan bebas angka sepuluh adalah penggambaran sederhana tentang Ada dan ketiadaan.

Penggambaran sederhana berupa kotak-kotak berwarna hitam dan putih dalam permukaan papan Catur juga memaparkan perjalanan 7 tingkat, nantinya ini akan berkait juga dengan konsep Islam yang juga memiliki perhatian khusus dengan angka 7. Mengapa jumlah tingkat hanya 7 sementara dalam papan Catur ada delapan baris? Sesungguhnya permainan Catur adalah permainan perjalanan jiwa manusia yang terepresentasikan dalam buah bidak Catur, jumlah mereka delapan di barisan warna Putih dan delapan buah di barisan warna hitam.

Ketika Papan Catur ditangkupkan maka akan bertemu masing-masing warna hitam putih berpasangan. Seperti mengisyaratkan bahwa ini hanya permainan, tidak ada kemenangan hitam ataupun kemenangan Putih, semuanya kosong, nisbi, dan yang ada hanya Yang Maha Ada. Permaian sebenarnya baru saja dimulai dengan melihat sejauh mana strategi segala kekuatan menghantarkan Pawana kepada tingkat tertinggi. Sudah seberapa bereskah pilah-pilah fungsi dalam diri, apakah sudah didominasi Pawana/Pujada yang mengkhidmati langkah demi langkah guna menuju kesucian? Ataukah justru lebih banyak Ratu di dalam diri kita? Bahkan atu justru lebih banyak Saka kita tegakkan tanpa sengaja sehingga berkali-kali harus kena “Skakmat” atau Saka mati.

SAKA MATI

SHEIK :

“head of an Arab family,” also “head of a Muslim religious order,” 1570s, from Arabic shaykh “chief,” lit. “old man,” from base of SHAKHA “to grow old.” Popularized by “The Sheik,” novel in Arabian setting by E.M. Hull (1919), and movie version “The Sheikh,” 1921, starring Rudolph Valentino, which gave it a 1920s sense of “strong, romantic lover.”

CHECKMATE :

mid-14c., from O.Fr. eschec mat, from Arabic shah mat “the king died” which according to Barnhart is a misinterpretation of Persian mat “be astonished” as mata “to die,” mat “he is dead.” Hence Persian shah mat, the ultimate source of the word, would be literally “the king is left helpless, the king is stumped.” As a verb, from late 14c. Related: Checkmated.

CHECK :

late 14c., in chess; All the other senses seem to have developed from this one: “To arrest, stop,” late 14c.; “to hold in restraint” (1620s); “to hold up or control” (an assertion, a person, etc.) by comparison with some authority or record, 1690s (as a player in chess limits his opponent’s ability to move when he places his opponent’s king in check). Hence, to check off (1839); to check up (1889); to check in or out (in a hotel, of a library book, etc.).

Saka berbentuk tegak, ini semacam wewaler bahwa karena posisi Saka yang tegak maka posisinya menjadi sangat riskan, dia bisa menjadi cerminan dari Yang Maha Tegak, ataupun bisa menjadi “pembanding” dari Yang Maha Tegak. Jika menjadi pembanding sesungguhnya Saka tidak akan pernah kuat menyangga dan pasti akan tumbang. Saka akan menjadi Saka Guru jika dia berformasi empat secara proporsional dan sebanding.

 

[1] Pawana berarti Angin, atau dalam makna lain ialah ; yang mensucikan/ suci/ keramat/ kekudusan/ kekuatan membersihkan.

[2] Saka guru, merupakan struktur utama pada bangunan rumah adat Jawa yang lebih dikenal dengan Rumah Joglo. Saka guru adalah sebutan untuk tiang atau pilar yang berjumlah 4 buah. Tiang ini terbuat dari jenis kayu dengan besaran yang berbeda-beda menurut pada beban yang menumpang di atasnya. Saka guru berfungsi menahan beban di atasnya yaitu balok tumpang sari dan brunjung, molo, usuk, reng, dan genteng. Saka guru berfungsi sebagai konstruksi pusat dari bangunan Joglo karena letaknya di tengah bangunan tersebut

[3] Chakra Six: Light, Archetypal identity, oriented to self-reflection. This chakra is known as the brow chakra or third eye center. It is related to the act of seeing, both physically and intuitively. As such it opens our psychic faculties and our understanding of archetypal levels. When healthy it allows us to see clearly, in effect, letting us "see the big picture."

  Meaning: Austerity.   Location: Between Eyebrows.   Beyond Element: Beyond.   Attributes: Transcending Senses, Experiencing God-In-Self or Atman.   Desire: Becoming Non-Acquisitive, a neutral observer.   Activity: Mercy, Honesty and Forgiveness.   Symbol: White Circle, 2 Luminous Petals in which all the Elements are combined.   Mantra: Repetition of the powerful Bijan Mantra-Om. Elevates the speaker form everyday reality, through concentration, to the meditative state. Each Petal has a Sanskrit letter (Ham and Ksham).   Deities: Each Chakra has a Manifestation of the Shiva and Shakti Deities. Ardhanarlshvara - Half-Male, Half-Female, Shiva-Shakti, No longer Separate. Hakini Shakti - Imparts Awareness of Non-Duality.