SYAR’I, THARIQ, SIROTH

SYARI, THORIQ, SIROTH - 11 Juni 2017

SYAR’I, THARIQ, SIROTH

Dalam Agama Islam, bahwa seluruh alam semesta ini sudah Islam. Artinya telah tunduk dan berserah pada sebuah sistem Maha Tunggal. Manusia yang diberikan akal justru yang perlu memproses diri dengan kesadaran mengabdi untuk menjadi bagian dari semesta yang tunduk dan pasrah. Akal diberikan kepada manusia sebagai karunia istimewa untuk menjadi makhkuk yang memiliki kesadaran dan memiliki hak pilih. Ia bisa tetap ingkar dan bisa juga kembali kepada kesadaran.

Manusia pertama yang diturunkan oleh Tuhan ke Bumi adalah Nabi Adam. Manusia pertama yang juga Nabi ini sangat dimuliakan dalam Agama Islam. Lalu kenapa ummat Islam menghormatinya? Jika Ia orang pertama bukankah itu berarti Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Islam belum dilahirkan? Kenapa tidak kita lupakan atau bahkan kita tuduhkan bahwa Nabi ini masih Kafir karena belum memeluk Agama Islam?

Cara berfikir seperti inilah yang sedang menjamur menjadi sebuah perspektif kebenaran baru. Meskipun bukan kepada Nabi Adam, namun kecenderungan beberapa pihak untuk menegaskan bahwa yang sudah meninggal tidak ada kaitan dengan yang masih hidup. Yang tidak menjalankan syariah sesuai kategori dan ukuran-ukuran yang ia buat disebut bukan penjalan syariat yang kaffah dan masih najis. Orangtua yang mati tidak bisa menerima pahala lagi dari kegiatan yang ada di dunia, dan ia juga tak bisa mendengar do’a siapapun yang mendo’akannya. Pandangan-pandangan penuh heroisme kesucian itu seharusnya cukup memenuhi syarat untuk juga memasukkan Nabi Adam hingga Nabi Isa sebagi pihak yang tak perlu dikenang apalagi dimuliakan.

Demikiankah Islam? Tuhanku tidak sendeso itu. Ia yang Maha menciptakan sistem semua dari Purwa hingga Purna tanpa cela. Ia telah mengatur dan menebarkan bermilyar-milyar petugas-petugas untuk menjaga dan menjalankan operating system Agung buatanNya. Nabi adalah utusan yang mendapat Wahyu, Ia adalah orang terpilih dan juga dipilih oleh Tuhan sebagai utusan untuk menata perikehidupan manusia yang ia mulai. Seorang utusan pastilah tunduk dan pasrah kepada Tuhannya, Nabi Adam adalah Islam dan seluruh sistem setelahnya yang merujuk pada ajaran Nabi Adam sesungguhnya pun adalah Islam. Bahkan Tuhanku menyatakan bahwa ayat-ayatNya akan dijaga olehNya sendiri. Ia akan bertahan dan tetap bisa dibaca hingga kapanpun meski telah melewati sekian abad sekian jaman.

Bacaan itu dihamparkan dengan berbagai rupa, ada yang berupa keaneka-ragaman manusia sebagai aksaranya. Ada yang berupa keaneka-ragaman tumbuhan, binatang, musim, iklim, temperatur, suhu, dan lain sebagainya sebagai tanda bacanya. Ada pula berupa keaneka-ragaman keyakinan, kebenaran, ideologi, faham, aliran, anutan, dan lain sebagainya sebagai tema-tema bacaannya. Semuanya berkisah tentang satu hal yakni tentang Tuhan yang Maha Besar dengan syariah/cara tutur dan bahasanya masing-masing. Masing-masing cara itupun bercabang-cabang arah penulisannya (route/Thoriq), ada yang dari kiri ada pula yang dari kanan, ada yang mulai dari bawah ada yang mulai dari atas. Semuanya bisa terhambat dan kisruh pada sebuah simpangan sebelum sampai titik tuju, ketika masing-masing tulisan ini saling meributkan, mendikte, dan menyalahkan rute yang ditempuh yang lain. Karena rute perjalanan yang berlainan adalah kepustakaan alam untuk menegakkan sebuah jalur (Shiroth) pengabdian yang sama, yakni jalur yang senantiasa menegakkan ­(mustaqim).

Agus Wibowo

PAWANG & DUKUN

PAWANG & DUKUN - 10 Juni 2017

PAWANG & DUKUN

Dengan sangat penuh rasa iba, hari ini tengah terjadi pengulangan besar-besaran penggerusan kualitas akhlak hingga manusia sangat menjadi-jadi. Bukan hanya mengulang peristiwa Nabi Nuh yang akan menuai banjir, namun peristiwa kesalahan umat manusia semua Nabi sekaligus diramut jadi satu dan dirayakan dengan sukacita. Bisa dihitung sendiri kira-kira apa azab apa yang akan diturunkan kepada manusia hari ini untuk menyeimbangkan kembali keadaan alam sesuai fitrah. Namun, Tuhanku memang Maha. Ia yang Maha Memiliki Kasih Sayang dan Maha Adil, jaman ini mendapat dispensasi besar karena memang manusianya memiliki kadar kepekatan hijab 7 lapis. Oleh karenanya sang Nabi, sang Rasul, sang Noto, sang Pawang pada zaman ini dimuliakan oleh Allah dengan julukan Habibullah, Kekasih Allah. Betapa terasa sangat pelan dan lambat untuk menyebarkan cahaya di sekitar benda-benda yang menyerap dan menelan cahaya bukan menerima dan memantulkannya kembali untuk berlanjut menerangi yang lain. Betapa harus dengan kasih sayang berlipat dan kesabaran berlapis-lapis untuk menunggu ruangan menjadi benderang. Zaman ini disebut sebagai zaman yang dihuni oleh manusia dengan hijab 7 lapis ialah ibarat hidup di dalam sebuah batu. Gelap gulita, peteng ndhedhet.

Hidup di zaman dengan hijab hanya satu lapis, ibarat hidup di sebuah taman, melihat luas, indah dan terang benderang. Jaman dengan hijab 2 lapis ibarat hidup dalam samudra, melihat lebih buram namun tetap mengenal keluasan dan kedalaman. Hijab 3 lapis ibarat hidup dalam aliran sungai, masih mampu melihat namun mulai banyak terhambat dan memiliki daya jangkau yang pendek. Hijab 4 lapis ibarat hidup di pertemuan aliran air kepada batu, hanya memandang sekilat, sangat singkat dan penuh benturan. Hijab 5 lapis ibarat hidup di atas batu, mampu melihat keluasan, gelap terang, namun tak kuasa beranjak. Hijab 6 lapis ibarat hidup membatu, pandangan lebih pendek dan makin tidak peduli sehingga pandangan-pandangan sekilat ditegaskan sebagai batu sesembahan kebenaran, perang kebenaran makin menjadi pilihan utama. Hijab 7 lapis ibarat hidup di dalam kegelapan sebuah batu, bukan hanya sangat pendek namun dinuansai kegelapan.
Namun, jaman manakah yang lebih baik? Sesungguhnya setiap jaman sama baiknya dan berpotensi sama buruknya. Jaman per jaman itu adalah ilusi saja, sedangkan hakikinya adalah proses setiap insan mengenali kegelapan dan menyadari pentingnya ia menemukan cahaya. Sesuluh kehidupan yang mampu membuatnya tidak terjebak ilusi kesempitan, kedangkalan, ataupun ilusi keluasan dan kedalaman. Tak terjebak ilusi kepicikan dan kerendahan, ataupun ilusi kepandaian dan ketinggian. Karena ilusi-itu itu hanya akan menjadi tak berguna dan tak tampak ada cahaya yang membuatnya tampak lebih jelas letak dan fungsinya. Semua level-level hijab itu semata adalah complong-complong permainan yang menginginkan konsentrasi keterlibatan akal dan hati agar tak terjebak ataupun tertipu dengan persepsi yang kita pasti-pastikan sendiri.

Suluh kecil hingga Suluh besar

Sesuluh sebagai sistem pranatan masyarakat yang dibangun leluhur kita benar-benar memprioritaskan konsentrasi akal dan hati tersebut. Sehingga sistem kita sangat ruhani dan tidak serampangan. Dahulu, setiap daerah terkecil selalu ada seorang Pawang yang dipilih sebagai pihak yang mampu mangku dan mengarahkan segenap perbedaan menjadi sebuah persepsi yang sama. Perbedaan ibarat kaki-kaki sedangkan tujuan adalah persepsi. Kaki-kaki ini akan digunakan untuk melangkah menuju tujuan dengan saling menjaga irama langkah dan harmoni.

Seorang Pawang kampung sering kali pula disebut sebagai ‘DHUKUN’ yakni bermakna ; _Ingkang Madhu lan Mirukun, Yang memadukan dan merukunkan. ‘DHUSUN’ yang bermakna ; Ingkang memadhu lan sinusun, Yang memadukan dan ter/menyusun. ‘DHUKUH’ yang bermakna ; Ingkang memadhu lan hangarengkuh, yang memadukan dan merengkuh. Semua istilah-istilah tersebut memuliakan kedudukan seorang berjiwa Pawang. Sebab ia bukan seseorang yang dipilih dengan lotre namun dengan dasar kebijakan dan kualitas sepuh yang dimilikinya. Sehingga perilakunya menundukkan hati banyak orang. Seorang Pawang terpilih sebagai akibat dari kebeningan hatinya yang seakan memiliki kelebihan dalam hal membaca dan menyampaikan. Lebih memiliki kemampuan bahasa sehingga lebih memiliki dasar pula untuk menyampaikan. Bahasa ini adalah bahasanya musim, bahasanya siang malam, bahasanya gejala alam dlsb. Seorang Pawang kampung atau Dukun sering tidak hanya mengurusi persoalan administratif tapi juga mengurusi kebijakan kapan masa tanam, benih apa yang ditebar, hingga mengobati orang sakit terutamanya sakit akibat dari gangguan tak kasat mata, seperti sawan, kesurupan, dlsb. Sedangkan untuk hal-hal kasat mata masyarakat telah mengenal dan menggunakan daun dan akar-akaran untuk pengobatan.

Kelak ‘dhukun’ diambil alih permaknaannya hanya sebagai manusia dengan kemampuan supra dan dekat dengan perklenikan. Orang makin tidak mengenal dan tidak mengkonfirmasi fungsi suluh dalam kehidupannya. Si dukun jaman sekarang pun tak lagi punya wilayah penataan, sangat berbeda dengan konsep awalnya. Konsep dukun yang memadukan dan merukunkan, bagaikan seekor Kunang-kunang yang mampu mengumpulkan dan diikuti bersama-sama Kunang yang lain untuk hidup benderang dan terbang menemukan keluarga Kunang-kunang berikutnya atau telah menjadi bagian dari keluarga Kunang yang lebih besar yang membawahi rombongan-rombongan Kunang. Itulah mengapa leluhur menggunakan sistem penataan model kerajaan atau keratuan, karena sistem ini sesungguhnya diintegrasikan dengan sistem langit agar tetap terjaga akhlak dan hidup tertuntun oleh pemangku kebijakan yang terpilih secara natural akibat dari kualitas ruhani seseorang tersebut. Dari Dukun hingga Ratu harus memiliki kemampuan Pawang, yang memadukan, merukunkan dan menundukkan hati banyak orang dengan pengasuhan dan kasih sayang.

Agus Wibowo

TUNAI PERADABAN, TUNA PERADABAN DAN KEPAWANGAN

TUNAI PERADABAN, TUNA PERADABAN DAN KEPAWANGAN

Tunai peradaban, Tuna Peradaban dan Kepawangan

Setelah usai banjir besar, Sang Nabi kemudian mengatur beberapa hal mendasar untuk menggelar kembali geliat peradaban. Ia masih termangu-mangu dengan segala kejadian yang luar biasa dahsyat itu. Terlebih lagi bahwa pada kenyataannya, ummat manusia yang mengikutinya dalam keimanan tidaklah banyak. Sedangkan jauh lebih banyak lagi yang mati dalam keadaan kufar. Nabi sangat sedih dengan kenyataan ini. Betapa seakan-akan ada peristiwa perekrutan besar-besaran umat manusia untuk menjadi pasukan kufar. Sedangkan hanya sedikit sekali yang mau menerima keselamatan dan karunia pertolongan Tuhan. Dalam kesedihannya yang mendalam sang Nabi segera tersadar untuk tak boleh larut dalam penyesalan apalagi meratapinya.

Nabi kemudian mengkoordinasi kembali pada pengikutnya untuk mulai bekerja sesuai pembidangan yang dikuasai masing-masing. Pembidangan yang tersisa ini harus ditumbuh suburkan agar mampu tetap menjalankan pola kehidupan yang matang. Usai sudah era kesenangan, penghamburan usia, dan kesia-siaan akibat tidak berkesesuaian antara biaya dengan hasil. Peradaban lama sudah ditenggelamkan dan kini mulai kembali menyiapkan peradaban baru yang akan dimunculkanNya kembali. Putra-putra Nabi yang beriman diberikan tugas untuk membangun peradaban-peradaban baru di penjuru bumi. Nabi dengan beberapa pengikutnya masih harus ‘membawa’ kembali aneka satwa kembali untuk kemudian tinggal dan memulai kembali peradaban di daerah asalnya.

Mulailah urusan sandang-pangan-papan dibangun kembali. pertanian tergarap, kebutuhan pangan terpenuhi, pembangunan infrastruktur, sistem tata sosial dan tata aturan disusun kembali, hukum ditegakkan, keadilan dijunjung, kebijaksanaan dijadikan patokan akhak sebagai prioritas utama untuk terus disempurnakan dalam segala bidang. Penyeimbangan alam dengan habitatnya dikembalikan sebagaimana semula. Bibit manikam yang sudah dikembangkan dalam proses mutakhir ilmu genetika yang dikasai Nabi Nuh menjanin dan menjadi bayi-bayi binatang baru yang tetap dirawat dalam kondisi iklim yang berkesesuaian dengan iklim asal binatang tersebut. Persoalan binatang ini bukan perkara gampang. Dan jangan disangka ini tidak penting. Para binatanglah yang kelak akan membantu mempercepat pemulihan tanah, turunnya karunia dari langit berupa rizky yang diberkahi, hingga ayat-ayat kehidupan yang dibawa secara tetap oleh para binatang ini dari awal diciptakan hingga kelak hari akhir. Binatang yang berasal dari daerah dingin kembali ke daerah dingin, yang dari daerah panas kembali ke daerah panas. Juga binatang yang berangkat dari daerah hangat dikembalikan pula ke asalnya. Pengembalian ini dilakukan Nabi secara bertahap, tahapan terakkhir mengembalikan kawanan binatang dari daerah hangat sekaligus menjadi tanda bahwa Nabi pulang kembali ke kampung halaman. Kembali ke daerah yang beriklim hangat, banyak ditumbuhi pepohonan dan dihuni aneka macam satwa. Banyak satwa yang ikut serta dari sini berupa wujud hewan bukan berupa manikam sebab satwa dari sini merupakan satwa setempat. Ada beberapa di antaranya bisa hidup di daerah persinggahan baru tempat Bahtera tertambatkan bahkan beranak-pinak di sana. Namun banyak pula yang tidak mudah menyesuaikan diri sehingga tidak bisa berlama-lama di persinggahan sehingga tampak layu dan kurang bergairah meskipun sudah disediakan tata ruang yang sangat merepresentasi kondisi asli.

Sekian abad peradaban berlangsung paska Banjir besar. Keadaan pulih dengan lestari dan tertata. Meski banyak ‘kepustakaan’ ditelan ombak namun bukan berarti hilang. Setahap demi setahap mulai muncul kembali ilmu-ilmu yang tenggelam itu yang diemban gairah peradaban dengan penuh jiwa pengabdian. Terlaksanalah peradaban baru yang hebat namun penuh rasa tunduk, sebab pada awal-awal peradaban itu masing-masing manusia telah mampu menjadi pawang bagi dirinya sendiri setelah sama-sama tergores peristiwa traumatis yang sangat nyata sebagai bukti Maha Perkasanya Tuhan.

Nabi Nuh meninggal dan begitu pula para pengikutnya yang sejaman. Pelan-pelan peradaban diganti oleh generasi berikutnya. Makin baik pembangunannya namun makin menurun kualitas kesadarannya. Manusia mengalami degradasi dalam hal memawangi dirinya atau menjadi pawang atas dirinya. Dengan demikian kelak peradaban manusia diisi lagi dengan peristiwa keingkaran dan sehingga kembali terhempas. Inilah rumus utama peradaban, ketika sebuah peradaban menyangka pembangunan dan perbaikan adalah hal-hal yang tampak mata saja sedangkan proses pemupukan dan peyempurnaaan akhlak diabaikan ; pasti akan terhempas, tertimbun, oleh peristiwa alamiah. Tuhan menciptakan bumi ini sudah sangat indah dan sempurna, membuatnya makin indah dan makin sempurna sesungguhnya mustahil bagi manusia yang melampaui batas, yakni yang merasa lebih pandai sehingga mampu menyempurnakan ciptaan Tuhan yang sudah sempurna. Akhlak manusia lah yang dibuat tidak sempurna agar manusia menyempurnakannya, maka justru menyempurnakan akhlak inilah tugas utama manusia sebagai cara memuliakan kesempurnaan ciptaanNya. Dengan akhlak yang baik maka akan ditetesiNya ilmu dan akal yang diridhloiNya guna mendapatkan ilham bagaiamana cara menata dan mengatur kehidupan. Seseorang haruslah menjadi pawang atas dirinya, menjaga kebeningan hati, terus berusaha menyempurnakan akhlak. Ia akan dipertemukan dengan sesama pawang dan akan mendapati manusia yang lebih pawang lagi.

Tuhan menciptakan bumi ini sudah sangat baik dan seimbang sehingga manusia tidak perlu menyangka mampu membuatnya lebih baik dan lebih seimbang. Alam telah dibuat tetap, sedangkan manusia yang berubah. Jika ingin membuat alam tetap baik adalah menetapkan diri sebagai manusia yang baik sesuai dengan bagaimana konsep Tuhan kepada manusia.

Untuk menyadari ini manusia perlu mengalami berkali-kali tumbang dan berkali-kali bangkit. Berkali-kali menyempurnakan kesombongan dan berkali-kali berkepayahan. Berkali-kali lupa dan kembali ingat. Demikian pula setelah Zaman Nabi Nuh, setelahnya ada utusan bernama Nabi Hud yang mengingatkan kaumnya untuk bersyukur setelah dianugrahi kenikmatan, kesuburan, kebahagiaan, dan tak pernah dihinggapi sakit hingga berabad-abad. Maka peradaban ini pun terhempas angin sebab mereka bukan hanya tidak mau namun menolak dan menentang himbauan sang utusan. Kemudian mulai bangkit lagi dan mulai mengalami penurunan kembali hingga ke Zaman Nabi Ibrahim yang masih keturunannya Nabi Nuh pula. Sezaman dengan Nabi Ibrahim adalah Nabi Luth, juga dua putranya yakni Nabi Ismail dan nabi Ishaq. Peradaban Nabi Nuh telah tunai sebagai pengemban peradaban Kedua. Peradaban Nabi Ibrahim adalah tengara memasuki peradaban Ketiga.

Agus Wibowo

BANJIR BESAR

BANJIR BESAR

BANJIR BESAR

Langit mendung makin pekat, gemuruh langit, guntur, berdebum-debum dari segala sisi secara bergantian dan rancak bagaikan sedang menggelar orkestra raksasa. Dalam kondisi yang seperti ini pun ternyata masih banyak yang tidak tergetar dalam rasa takut. Suara petir dan letusan gunung sudah terlanjur menjadi bagian kesenangan yang bisa dibuat sehingga kondisi ini meskipun cukup menggetarkan namun masih memiliki sisi menyenangkan dan memukau. Continue reading

KHALIK-AKHLAK-MAKHLUK

KHALIK-AKHLAK-MAKHLUK - 07 Juni 2017

KHALIK-AKHLAK-MAKHLUK

Akhlak itu ekspresi pengabdian. Makhluk yang mengekspresikan. Dan, yang menciptakan semuanya (makhluk maupun ekspresi) ialah Tuhan. Ekspresi satu makhluk dengan yang lain bisa sangat berbeda. Bahkan bisa bertolak belakang. Namun begitulah keragaman agar masing-masing mengenal dan menyaksikan ‘rasa tiada hingga’ yang diciptakan dan dimiliki oleh Sang Khalik. Ada cara pandang sederhana dalam memindai dimanakah letak posisi kita adalah sebagai berikut ;

Dengan dominasi jasadi = kita menomorsatukan kesadaran sebagai makhlukKesadaran Jasadi, meletakkan Tuhan sebagai ‘Ia

Dengan dominasi jiwa = kita menomorsatukan kesadaran akhlak. Kesadaran Jiwa, meletakkan Tuhan sebagai ‘Engkau

Dengan didominasi sukma = kita akan menomorsatukan Sang KhalikKesadaran Sukma, meletakkan Tuhan sebagai ‘Aku

Contoh sederhana untuk memahami kalimat ini adalah : pertama rubahlah kata ‘Tuhan’ sebagai ‘penderitaan oranglain’.

Ketika engkau sedang memerankan sebagai makhluk jangan merasa menjadi Khalik. Ketika engkau mengedepankan Akhlak jangan putus dari Sang Khalik, ketika engkau mengabdi kepada sang Khalik sadarlah bahwa engkau adalah makhluk.

  1. Kesadaran Jasadi, meletakkan Tuhan sebagai ‘Ia’ = meletakkan derita oranglain sebagai ‘Ia’

Ketika ada seseorang yang membutuhkan bantuan tenaga, kita tidak bisa menukarnya dengan do’a atau ide. Kita menomorsatukan tenaga/jasad dilandasi jiwa kemanusiaan yang baik dan ruhani yang baik pula.

Pada posisi jasad tanpa kesadaran akhlak maka pada posisi ini kita melihat oranglain (ia) sebagai pihak luar (outsiders). Penderitan orang lain sebagai derita oranglain.

  1. Kesadaran Jiwa, meletakkan Tuhan sebagai ‘Engkau’

Ketika seseorang sedang menginginkan pendapat, masukan, atau hanya sekedar ingin didengar, akhlak kita menjadi nomer satu, ruhani kita menjadi landasannya dan jasad berada pada deretan ketiga, sebab jasad cenderung tidak banyak melakukan aktifitas.

Pada posisi kesadaran akhlak tanpa kesadaran ruhani, pada posisi ini kita melihat oranglain bagaikan sesama (kita). Ketika memberi sesuatu agar bermanfaat bagi oranglain dan orang lain tertolong oleh sesuatu yang kita lakukan, Akhlak (kepribadian, sikap, pertolongan & kemanfaatan) menjadi nomer satu. Penderitaan orang lain menjadi derita sesama manusia.

  1. Kesadaran Sukma, meletakkan Tuhan sebagai ‘Aku’

Ketika seorang ibu yang sedang jauh namun tengah merindukan/membutuhkan kehadiran anaknya, yang pertama dilakukan adalah yang berkarakter ruhani, kita sadar sebagai makhluk yang serba dalam keterbatasan secara jiwa maupun raga. Maka yang bisa kita lakukan tidak dengan jasad tak pula dengan jiwa. Yang tampil paling depan adalah Sukma yang bisa meringkas ruang dan menggulung waktu, yakni mendoakan dan lantas pada kombinasi jiwa dan raga untuk berupaya mendekat menjawab secara akurat kerinduan.

Pada posisi kesadaran ruhani tanpa akhlak dan jasad, upaya berhenti pada doa pengharapan tanpa implementasi sikap jiwa dan raga. Kesadaran Sukma membuat penderitaan oranglain sebagai penderitaanku.

Ketika kita melakukan kebaikan kepada oranglain sebab kita merasakan penderitaan orang tersebut seakan sebagai penderitaan diri sendiri maka keseluruhan kita luruh. Tuhan menjadi pihak utama dalam peristiwa ini. Kita bagian yang diperankan, tidak lebih kaya karena telah memberi, tidak lebih baik karena telah menolong, tidak pantas mendapat pujian tak pula bangga dengan perilaku. Semua terjadi atas perkenan Tuhan yang ingin memberikan karunia ilmu kepada kita untuk ikut merasakan indahnya melayani oranglain. Ketika kita menjadi lebih baik setelah suatu peristiwa, justru sebagai bukti bahwa sebelumnya kita lebih buruk. Dengan kita merasa lebih kaya setelah memberi, sesungguhnya tanda bahwa sebelumnya kita miskin. Menolong membuat kita lebih baik, sehingga kehadiran oranglain yang memerankan kita sebagai penolong justru perlu disyukuri. Yang kita tolong itu bisa jadi justru sedang diperankan Tuhan untuk menolong nasib kita yang minim pengalaman menolong. Mengalami sesuatu untuk menambah pengalaman, sebagi guru yang mengajarkan diri untuk selalu berangkat untuk menjadi lebih baik. Memberi membuat kita lebih kaya, maka keberadaan oranglain yang rela menerima pemberian bisa jadi sesungguhnya guru yang diperankan nestapa oleh Tuhan kepada kita untuk mengenalkan pada hakekat kekayaan.

Mengutip sebuah hadist Qudsi :

hadist-qudsi1 (untuk judul khalik-akhlak-makhluk)

Agus Wibowo