Jajah Deso Milangkori

NAWATARA

Jajah Deso Milangkori adalah kegiatan yang memiliki banyak fungsi. Jajah artinya menjelajah, Deso adalah kawasan, Milang artinya memilah, menyibak, menyeleksi, Kori dari kata Kor dengan imbuhan -i. ‘Kor’ artinya telur Tumo(kutu rambut) yang biasa ikut nangkring di kepala. Jadi, ‘jajah deso milang kori’adalah kegiatan penjelajahan dari satu kawasan ke kawasan berikutnya untuk memunguti “kor kor (telur-telur tumo)” untuk diletakkan pada tempat yang semestinya dan tidak mengganggu keseimbangan. Pilihan kata ‘Kor’ sebagai perumpamaan bukan tanpa alasan, Kor yang merupakan telur kecil dan tersembunyi ini perlu ketelatenan dan ketelitian dalam menyibak dan menelusurinya. Telur ini bisa diartikan sebagai potensi / bibit-bibit persoalan. Namun, bisa pula bahwa telur ini sesungguhnya adalah bibit-bibit Janma yang memerlukan tempat khusus agar ketika ia menetas tidak menginjak dan menindih martabat oranglain. Dengan demikian, Kegiatan Jajah Deso Milangkori menjadi satu metode penelusuran/ penjelajahan secara turun-temurun dengan etos : “Berangkat dengan manfaat, sesrawungan menambah manfaat, kembali pulang membawa manfaat”

Proses penjelajahan dilakukan oleh 9 orang, yang terdiri dari Hasta Janma ditambah 1 lagi Janma prajurit, sehingga ada 2 (dua) Janma Prajurit dalam setiap rombongan. Janma dipimpin oleh seorang guru atau resi yang mewakili/representasi Janma Kawi. Tiap-tiap kunjungan adalah menyibak apa-apa persoalan di masyarakat, menawarkan solusi, memberikan alternatif kegiatan, memberikan pelatihan, dan menghaturkan pitutur luhur dalam penyampaian.

Kegiatan yang dilakukan selama di daerah adalah penumbuhan potensi kemandirian dan etos produktif agar semakin banyak hal yang bisa diproduksi, semakin sedikit pula kebergantungannya kepada oranglain. Ada pelatihan-pelatihan sekaligus pendampingan, yakni :

Janma Tani : Pelatihan meliputi tata cara pengaturan air baik di area persawahan maupun pengairan atau saluran di tengah area pemukiman, pelatihan pertanian, diskusi tentang pertanian, peternakan. Pelatihan membuat benang, memintal benang, memproduksi kain, menggoreskan batik, hingga pembuatan kain Tenun dengan corak yang khas.

Janma Ujam Dhudukan : membuka pemeriksaaan dan pengobatan gratis, mengenalkan tanaman-tanaman obat yang bisa dibudidayakan di lingkungan. Cara memproses akar-akaran dan daun-daunan menjadi jamu, tapel, atau tombo gatal, parem, boreh luka, hingga sekedar relaksasi tubuh agar enak beristirahat dan memulihkan stamina.

Janma Undhagi : Pembuatan alat-alat fungsional yang diperlukan masyarakat dari yang bersifat kerajinan (seperti anyaman bambu, tembikar) hingga yang dikelola dengan lebih rumit seperti pembuatan cangkul, sabit, pisau, dan sejenisnya yang memerlukan kemampuan teknis yang baik.

Janma Baruna : Memberikan kisah tentang dunia pelayaran, memberikan pemahaman tentang navigasi melalui pengamatan terhadap bintang.

Janma Mitra : Membangkitkan kesenian dan kebudayaan, menguri-uri apa yang sudah ada, dan melahirkan model baru demi mendorong peningkatan budi yang luhur dengan cara yang menyenangkan dan bersama-sama.

Janma Prajurit I : Memberikan pelatihan olah kanuragan, keperwiraan, dan menumbuhkan wirarasa pada masing-masing orang.

Janma Prajurit II : Ketika Janma Prajurit yang satu tengah memberikan pendampingan dan pelatihan, Janma Prajurit yang ke dua mawas diri dan mewaspadai untuk tetap siaga pada gangguan dari luar.

Janma Pangniarik/ Panyarik : memberikan pengenalan tentang alat-alat penulisan dan cara pembuatannya. Adab dan cara memetik daun Tal (Rontal). Teknik penggoresan dan tata cara menulis atau menggambar di atas media. Membeberkan kisah-kisah dongeng dari beberapa serat.

Janma Kawi : Pada setiap 5 harian, masyarakat berkumpul untuk menyimak petuah-petuah dari Guru berkaitan dengan penguatan mental, ketahanan diri, konsep pengabdian, pengaturan alam, adab-adab memperlakukan binatang, tumbuhan dan alam sekitar, dan lain sebagainya. Kondisi ini juga digunakan oleh masyarakat untuk bertanya dan meminta pendapat maupun petuah dari Sang Guru. Oleh sebab itu kegiatan ini berlangsung cukup lama, bisa hingga 3 kali Lapan (3 X 35 hari) sebagai waktu yang cukup untuk mendampingi, mengamati, memilah, dan memberikan bekal ketahanan wilayah yang mandiri.

Aktifitas selama ini akan sekaligus menampakkan bibit-bibit baru yang menaruh minat, menampakkan bakat pada hal-hal yang dikenalkan kepada masyarakat. Kegiatan Jajah Deso ini akhirnya disebut sebagai Nawapada, ‘Nawa’ artinya sembilan, dan ‘Pada’ artinya langkah atau jalan. Rombongan penjelajah sering disebut sebagai Nawatara (‘Sembilan Bathara’ yang menyantuni dengan ilmu dan kasih sayang. Setiap orang diberikan pilihan dengan 9 jalan yang dibawa oleh 9 ‘bathara’, bebas memilih yang manapun asal dengan kesadaran pribadi dan bertanggung-jawab. Nawapada ini tidak jarang menemukan bibit-bibit baru untuk dibangun sebagai salah satu Janma. Bibit ini akan dibawa ke Padhepokan atas ijin orantua yang bersangkutan untuk ditatar dan ditumbuhkan potensinya. Adalah kebanggaan tersendiri jika ada salah satu dari anggota keluarganya dianggap memenuhi syarat untuk tinggal di padhepokan.

SISTEM PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN

Sistem yang dibangun masyarakat desa Purwa adalah sebagai berikut :

  1. Ilmu adalah karunia, manusia yang ingin mendapat karunia ilmu harus menyiapkan wadah.
  2. Orientasi memperoleh ilmu adalah untuk tujuan berkontribusi kepada sebanyak-banyak orang, sehingga tidak membidik dengan orientasi kepemilikan demi sebanyak-banyak kemanfaatan diri.
  3. Perlu diketahui, bahwa baik untuk orientasi kontribusi maupun kepemilikan, ilmu diperoleh dengan menggunakan mekanisme yang sama, dan sama-sama bisa mendapat karunia.
  4. Oleh sebab itu sistem pendidikan untuk siap menjadi bagian masyarakat besar yang kontributif telah dibangun sejak tingkat keluarga dan ditanamkan sikap solidaritas sejak di usia dini.
  5. Keluarga yang tidak menjalankan ini, otomatis akan mendapat sangsi norma sosial karena dianggap tidak bisa bersama. Ora njowo, mergo ora njarwaake. Jika ini terjadi, maka akan dihimbau dan ditemani oleh Tetua warga dengan asumsi bahwa tidak semua orang mampu menerapkan tata cara ini berkaitan dengan kapasitas dan kesadaran seseorang.
  6. Keluarga adalah benteng yang sangat efektif untuk memagari kepentingan dan pilihan hidup anak kelak terhadap pilihan-pilihan yang bertentangan dengan nilai yang dibangun bersama. Seseorang yang lahir dari keluarga akan merasa tidak bersalah terhadap pilihannya meski dimusuhi banyak orang namun mendapat dukungan daari keluarganya. Namun, akan tiba-tiba kesepian meskipun dicintai banyak orang namun tidak dianggap sebagai bagian keluarga[1].

PATRAP ILMU

Pilar Ilmu disangga oleh delapan jenis manusia yang masing-masing penyangga pun memiliki tingkatan. Pada konsentrasi alur tata pemerintahan Karatuan adalah sebagai berikut :

Jalma – Janma – Datu – Ratu – Resi – Begawan – Kawi

Jalma :  pengetahuan dasar naluriah. Yang didengar dan dilihat adalah yang berdasar perangkat indrawi. Janma : intensifikasi, optimalisasi sesuai jalur abiliti. Yang dilihat dan didengar adalah yang berdasar perangkat indrawi dengan pemahaman penglihatan batin. Datu : pengetahuan gabungan abiliti hasta Janma dalam seorang. Yang didengar dan dilihat keseimbangan anatara penglihatan indrawi dan batiniah. Ratu : pengetahuan gabungan paradatu dalam seorang. Penglihatan dan pendengaran adalah pandangan batiniah yang menyesuaikan dengan pandangan umum yang jasadiah. Resi/Pandito :pengetahuan gabungan dari pararatu dalam seorang. Penglihatan batiniah dan melakukan kegiatan yang menjauh dari keputusan-keputusan jasadiah agar terjaga batiniahnya.  Bagawan/Maharesi : pengetahuan gabungan dari para resi dalam seorang. Yang didengar dan dilihat adalah seruan dan ekspresi batiniah dan menyembunyikan diri dari jalur aturan bumi yang jasadiah, tapi menggapai informasi samawi dalam penyelarasan kehidupan bumi. Kawi :pengetahuan puncak manusia yang kembali menjadi manusia yang tidak mengetahui apapun tapi sekaligus mengetahui banyak hal, bisa melakukan apapun tapi sekaligus hanya boleh melakukan sedikit dalam batasan kemanusiaan. Menyangga kesabaran dan keikhlasan sehingga terlepas dari hukum dunia yang tersekat ruang dan waktu. Yang dilihat dan didengar hanyalah suara dan penglihatan batin sehingga makin nampak jelas ilusi bumi dan kasunyatan hakiki, tapi harus kembali menjadi manusia jasad bahkan tingkat jalma sebagai kodrat titah kehidupan dia turun/dilahirkan. Penyembunyian diri yang juga menahan diri ini ditempuh untuk mengkontribusi kehidupan dengan jalur bathiniah. Seorang Kawi yang terjaga ikhlasnya secara konstruktif menyambung karunia. Ibaratnya seribu orang jalma melakukan ingkar sehingga efeknya seharusnya membuat daun mengering, tanaman banyak hama, musim kering berkepanjangan, bunga-bunga gugur, sehingga membuat kekurangan pangan bisa dicegah dengan pengabdian batin seorang Kawi yang ikhlas.

Selaian pada alur tata pemerintahan, ada pula pada alur tata keruhanian adalah sebagai berikut :

Jalma – Janma – Guru – Wikan – Resi – Begawan/Maharesi – Kawi

Tingkatan mula adalah Jalma, ia adalah masyarakat yang belum punya spesifikasi atau manusia dengan usia kanak-kanak. Dari anak-anak meningkat ke tingkatan paling umum adalah Janma, setelah seseorang memiliki pengetahuan lebih ia menjadi Guru. Guru berguru kepada Ratu. Ratu berguru kepada Resi. Resi berguru kepada Begawan/Maharesi. Begawan berguru kepada Kawi

Pada tingkatan di atas, yang berada di tengah adalah ratu. Ratu / Ratwan adalah ranah yang dimiliki secara naluriah oleh setiap manusia. Adalah pemimpin atas hidupnya sendiri yang bisa menjadi adil dan menambah kemakmuran, maupun bisa menjadi serakah dan menambah persoalan. Ini terjadi tidak hanya kepada satu atau dua orang, melainkan berpotensi terjadi pada diri setiap orang. Oleh sebab itu, pengetahuan masyarakat tentang Ratu terus disadarkan. Bahwa syarat menjadi Ratu bukan pada tahta atau singgasana, melainkan pada proses yang dirintis sejak dari Jalma hingga Guru.

Ciri-ciri seorang Janma adalah ketika ia sudah memiliki kecenderungan terhadap sesuatu yang paling disukai dan bisa diabdikan kepada kehidupan. Penyematan Janma diberikan kepada Jalma oleh seorang Guru. Penyematan Guru diberikan kepada Janma oleh seorang Resi. Penyematan Resi diberikan kepada Guru oleh seorang Wikan atau Wiku. Sematan Wiku diberikan kepada Resi oleh seorang Begawan atau Maharesi. Penyematan Begawan diangkat oleh masyarakat yang menyaksikan seseorang tersebut ditakdimi oleh semua kalangan, baik pemerintahan maupun kalangan ruhaniawan. Begawan akan terus mencari gurunya yang tersembunyi dan ‘tertimbun’ hingar bingar, guru itulah yang disebut sebagai seorang Kawi.

Kedua struktur di atas masih ditambah satu struktur lagi. Yakni struktur AmongJati. Among jati ini susah dijelaskan dan dipahami untuk masyarakat kita saat ini. Among Jati ini dihuni oleh para leluhur di wilayah alam Pitara. Struktur ini tidak tampak dan tidak semua orang mengenali. Sebab tidak ada bangunan fisik dan aktifitas yang bisa ditangkap oleh panca indra. Namun sistem ini terus berjalan dan beraktifitas bahkan hingga saat ini.

AMONG RAGA (penjagaan jasad / materi) – AMONG RAHSA (pendampingan rasa) – AMONG KARSA (pendampingan keinginan) – AMONG CIPTA(pendampingan cipta) – AMONG DAYA (penjagaan dalam hal daya) – AMONG WIDYA (penjagaan ilmu pengetahuan) – AMONG WIJAYA (Penjagaan kejayaan). Pamomongan ini berposisi sebagai penaga ‘sumber air’ ilmu yang ketika mengalir ke tengah peradaban akan menjadi lebih bermanfaat namun sekaligus makin keruh. Orang bisa tetap membutuhkan menghargai dan menghormati air untuk minum, mandi dan membersihkan diri, namun sekaligus bisa membuang sampah dan mencemari air. Demikian pula ilmu, orang bisa memanfaatkan dan mereguknya namun juga tanpa bersalah mencemarinya pula. Hal inilah yang perlu disiapkan penjagaannya agar peradaban tidak terlalu jauh terlena pergi dan tersesat. Struktur Amongjati bekerja secara tersembunyi dengan beberapa metode tanpa merusak keinginan dan pilihan peradaban (meski konyol atau tolol sekalipun) agar tetap punya kesadaran kembali. Amongjati semacam penjaga Sunatullah ilmu agar tetap bening dan mengalirkan manfaat lahir bathin. Meskipun ini berkecenderungan metafisik, namun kawasan alam tersebut masih bisa diakses oleh para Kawi. Bisa dikunjungi para Begawan. Bisa diraba para Resi, untuk berkonsultasi beberapa persoalan. Hasil konsultasi lantas dibawa kembali untuk diinformasikan kepada khalayak. Wallahua’lam

PADEPOKAN HASTA JANMA

Padepokan adalah tempat resmi sebagai berlangsungnya sistem pendidikan. Tidak setiap Desa/ Kelurahan memiliki Padepokan, tapi untuk tiap Kademangan harus memiliki 1 padepokan. Sebab untuk membuat Padepokan membutuhkan syarat yang serius. 2 syarat utama adalah ; Syarat Area, dan Syarat para pengajar. Padepokan ini akan menginsifikasi bakat sesuai dengan minatnya sendiri-sendiri. Semua cara dilakukan dengan menyatu kepada alam, lebih banyak dilakukan di luar ruangan dan mengamati secara langsung hal-hal yang mengandung kesan. Pada kegiatan di dalam ruangan lebih banyak untuk mengurai serat-serat dan pupuh-pupuh yang sering berlangsung pada malam hari.

PAKERTI KELUARGA

Pegangan Keluarga sebagai pekerti bersama adalah : Budi pekerti luhur, andhap asor. Yakni berbudi pekerti luhur dan rendah hati. Ada 6 hal sebagai dasar yakni Sad Budi Pakarti dan Tri Darma Sih yang dipegang dengan sungguh-sungguh oleh masing-masing keluarga.

SAD BUDI SIH : TETULUNG, TETANDUR, TETULAR, WIRAGA, WIRAMA, WIRASA

  1. Tetulung : Menolong ; Etos utama adalah menolong bukan ditolong
  2. Tetandur : Menanam ; memproduksi bukan membeli
  3. Tetular : Berbagi ; membagi dan menularkan manfaat bukan merampas dan memanfaatkan
  4. Wiraga : ajining rogo, ajining diri, ajining laku. Datan adigang adigung adiguno
  5. Wirama : Mengkomposisi dan mengharmonisasi, bukan merusak dan memecah-belah
  6. Wirasa : sadumuk bathuk sanyari bumi, rawe-rawe rantas malang-malang putung. Semboyan ini diletakkan untuk memberi penekanan sikap keras harus dilandasi rasa dan kelembutan bukan menuruti kehendak atau luapan kemarahan diri. Ini harus berkaitan dengan harga diri, martabat, kedaulatan, integritas secara luas dan mendalam.

TRI DARMA SIH : ASAH, ASIH, ASUH

  1. Asah : Mengasah kepribadian dan kemampuan agar makin landhep menjalani kehidupan. Tidak dibiarkan menjadi manja dan cengeng justru harus mengenal kesulitan, perjuangan, tanggungjawab, dan kehandalan dalam menghadapi persoalan.
  2. Asih : Mengasihi, melindungi, menjaga, memberi dukungan, menguatkan mental.
  3. Asuh : Membimbing, menuntun, mengenalkan batas (paugeran)

SANGSI ADAT

Sangsi Adat ini diberikan pada beberapa poin berikut :

  1. Memanfaatkan kepercayaan mendapat sangsi kehilangan kepercayaan
  2. Memanfaatkan kekuasaan mendapat sangsi kehilangan kekuasaan. Ini bukan untuk rakyat jelata namun lebih kepada tingkat Lurah, Demang, Adipati hingga Ratu. Yang menghilangkan kekuasan Lurah adalah Kabuyutan atau Bayan. Baik Kabuyutan ataupun Bayan adalah sosok yang tidak mendapat jabatan struktural namun mendapat legitimasi sebagai pemangku jabatan fungsional. Karena pengaruhnya di tengah masyarakat yang benar-benar mumpuni. Kabuyutan lebih bersikap arif sedangkan Bayan lebih bersikap aktif. Bayan dipilih secara natural dan dituakan oleh masyarakat karena kehandalan dan kesantikan yang dimilikinya. Ia sering pula disebut Bahu / Task force Desa : mbah Bayan, Juru Bayan, Kabayan, Jero Kubayan. Mengurusi di wilayah Bebayan / Potensi bahaya. Oleh sebab itu Bayan pula yang menjadi pihak yang menunjuk beberapa orang untuk melakukan penjagaan kampung. Ia menunjuk Jagawana, Jagatirta, Jagabaya. Posisi Bayan yang kuat ini tidak akan dipandang sebelah mata oleh Lurah sekalipun. Untuk tingkat Ratu yang mampu menghapus kekuasannya adalah posisi para Resi, Begawan, hingga Kawi.
  3. Menghilangkan nyawa orang maka menebus nyawa
  4. Menebang berarti harus menanam
  5. Memetik harus menangkarkan
  6. Berburu juga harus melindungi kehidupan
  7. Memisah harus menyatukan

Selain 7 hal di atas yang sangat diakrabi masyarakat, masih banyak undang-undang yang tertulis dalam kitab atau serat paugeran desa. Segala sistem ini akan berlaku dengan baik jika dijalankan dengan landasan rela dan pasrah. Semua memerankan diri sebagai bagian dari mekanisme semesta alam. Yang membedakan hanya peran dan fungsi sosial, namun semua sama dalam hal pengabdian. Yakni pengabdian kepada Tuhan yang telah mengatur segala sesuatu dengan seimbang, indah dan berkesinambungan. Agar apa yang diciptakan itu tetap demikian maka harus mengatur keadaan bumi dengan tata cara berketuhanan. Kesadaran vertikal adalah hal inti dari ruhani peradaban leluhur. Kesadaran vertikal adalah memahami dengan sadar bahwa manusia adalah bagian kecil bersama semesta alam yang masing-masing bekerja, mengabdi, berfungsi sebagaimana mestinya. Tata Surya hingga raga, jiwa, suksma dalam diri kita dengan cakranya (perputaran orbitnya), adalah salah satu tanda bahwa mereka bekerja secara teratur dan tetap tanpa diperintah manusia.

Letak pertimbagan utama dikenakannya sangsi adalah urusan akhlak. Penyalahgunaan kepercayaan merupakan hal paling berat sangsinya. Bukan sangsi keras, justru sangsi lembut yang imbasnya sangat keras sebab berkaitan dengan ketidak-percayaan publik terhadap yang bersangkutan. Hukuman ini tidak berlangsung lama ketika yang bersangkutan sudah dengan sikap rendah hati mengakui kesalahan dan menyatakan permintaan maaf dengan siap menerima sangsi sebagai bukti ketulusan permintaan maafnya.

18 JULI 2017

TIM GUGURGUNUNG

  1. [1] Anak yang tidak memiliki keluarga akibat musibah atau hal yang lain, ia akan ditampung oleh keluarga yang lain untuk dibesarkan dan diberikan kasih-sayang sebagai anggota keluarga.
Facebooktwittertumblr
Posted in Kembang Gunung, Pranatan.