Padhang Pranatan

PADHANG PRANATAN

Tema kali ini diangkat dalam rangka merespon banyak hal. Merespon tentang dhawuh Mbah Nun yang setiap simpul diharapkan membuat workshop dalam rentang Agustus – Oktober. Merespon tentang persambungan dan perkembangan tema Majlis gugurgunung yang semenjak mengangkat tema “Masyarakat Lebah Me-madu” pada bulan-bulan berikutnya seolah tidak terputus dan berkesinambungan sebagai seolah bahasan berseri. Setelah pada bulan kemarin MGG mengupas tema “Laras” yang di dalam bahasannya mencoba mengingat kembali amanat utama kita di dalam hidup dan gol utama dalam hidup dengan merunut jauh zaman per zaman, peradaban demi peradaban sejak sebelum era risalah kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga terus di ujung mula peradaban Nabi Adam AS.

 

Tidak hanya itu, runutan itu juga mempertautkannya dengan sejarah sejak sebelum Nabi Adam belum diturunkan ke muka bumi bahkan racikan-racikan peristiwa yang melatarinya. Pada bulan kemarin masyarakat maiyah Ungaran yang tergandeng dalam keluarga Majlis gugurgunung mencoba membuat penegasan bahwa hidup di dunia ini sangat kompleks dan serius, dan kehadiran para utusan itu untuk membuat yang kompleks itu tertata dan membenderangi keadaan. Maka, betapa perlunya menyambungkan diri secara laras posisi diri kita sekarang dengan sejarah panjang dan serius alasan kita diciptakan.

 

Berikutnya, yakni pada bulan ini. Majlis gugurgunung mencoba mengupas makna Negeri. Apakah negeri itu adalah teritori kecil? suatu bangsa yang didiami oleh sedikit keragaman? atau sebuah kawasan nilai yang dipenduduki manusia-manusia yang menjaga nilai? Sebab, apabila sebelumnya paham tentang sejarah penciptaan kita maka selanjutnya perlu memahami tugas dan peran yang perlu dirintis dijalankan dan dibangun dengan semangat menggapai suatu penataan yang berpendar cahaya Rahmat Allah swt. Dengan demikian bulan Sepetember 2019 ini ditemukanlah tema tentang penataan, yakni: PADHANG PRANATAN.

 

Secara Bahasa, Padhang mengandung arti : Terbentang Cerah, Terang, Bersih. Sedangkan Pranatan mengandung arti : sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat; institusi. Pranatan juga mempunyai arti lain, yaitu: Pemikiran, Jiwa, Ideologi. Inti struktur pranatan adalah, menjelitakan alam semesta yang telah cantik, memayu hayuning bawana.

 

Menghubungkan masa silam dengan masa sekarang untuk masa yang akan datang adalah metodologi penyusuran silah yang kami yakini. Amsalnya demikian, bijih suatu tumbuhan menampung dan merekam segala rentetan peristiwa tumbuh kembang yg dialami induknya. Menyimpan seluruh karakter dan identitas dominan dari tumbuhan induknya. Sehingga untuk siklus atau proses kehidupan selanjutnya, bijih yang dijadikan sebagai benih tersebut ketika ditanam akan tumbuh sebagaimana induknya tumbuh. Akar, batang, daun, bunga, buah, wanginya bunga, manisnya buah, dan seterusnya dan seterusnya sampai ke bijih lagi akan mempunyai karakter yang relatif sama. Kecuali ada unsur lain dari luar yang sengaja memutus rantai siklus, misalnya dengan cara mencemari nutrisi asupannya, mencemari media tanamnya, dan lain-lain yang kemudian benih menjadi rusak, sehingga tidak dapat meneruskan karakter Induknya pada siklus kehidupan selanjutnya. Manusia  merupakan komponen penting atas terbentuknya sebuah pranatan. Mari mengembarai diri melalui salah satu pintu ini,

 

“Jangan melakukan apapun diluar jalur kenabian,”. Sebuah dhawuh dari Mbah Nun yang disampaikan pada gelaran sinau bareng di Kudus pada awal bulan September 2019 ini. Sefrekwensi dengan Diagram Pemetaan Dasar Peradaban, yang telah diangkat menjadi materi Workshop sinau bareng gugurgunungan bulan Agustus lalu. Yang didalamnya menggambarkan runtutan peradaban Manusia yang padanya mempunyai dua fenomena jalur pengembaraan yaitu Jalur Ahsani Takwim dan Jalur Asfala Safilin. Jalur-jalur peradaban sejak peradaban Nabi Adam AS sampai dengan Nabi Muhammad SAW, atau sejak Peradaban At Tin – Peradaban Zaitun – Peradaban Sinai – Sampai ke Peradaban Al Balad Al Amiin.

 

Selanjutnya membangun kesadaran untuk kian memahami pranatan yang sejak awal dibangun untuk diterapkan hingga akhir zaman. Perubahan pranatan secara fisik memang pasti terjadi, namun konsep utamanya harus terus dipertahankan, sebagai bagian dari memperjuangkan Sunatullah. Pengetahuan leluhur yang adilihung memberangkatkan peradaban dengan keindahan, kabaikan, dan kebenaran, sebagai konsep Dasar ciptaan Tuhan. Konsep Dasar sebagai unsur spiritual. Sandang, pangan, papan senantiasa diupayakan dan dibangun dengan mengacu pada tatanan paugeran spiritual.

 

Pintu selanjutnya adalah,

Beberapa pertanyaan Mbah Nun yang tertulis dalam seri tulisan RAHMATAN LIL-BILAD. Demikian,

  1. Apakah Rahmatan Lil’alamin dengan sendirinya sama dan sebangun dengan perjuangan nasional keIndonesiaan? Apakah skala dan hak serta kewajiban Nasionalisme Indonesia otomatis adalah skala dan hak dan kewajiban Rahmatan Lil’alamin?
  2. Eksistensi dan perjuangan hidup sebagai warganegara Indonesia apakah merupakan perwujudan langsung dari tugas penciptaan Rahmatan Lil’alamin?
  3. Kalau prinsip dan praktek NKRI sendiri tidak berangkat dari prinsip Rahmatan Lil’alamin, maka bagaimana memaknai posisi Jamaah Maiyah antara Khalifah Allah dengan warganegara Indonesia?
  4. Jamaah Maiyah Sinau Bareng terus apakah Rahmatan Lil’alamin identik dengan Rahmatan Lil Bilad, Lil Balad, Lil Buldan atau Lil Baldah?

 

Kemudian, Pertanyaan ini mengantarkan kami pada tadabur tentang :

 

Ummul Qura, dimana terdapat sosok terpuji yang bergelar Ummi. Pada sebuah padang mulia, saking mulianya pada padang tersebut rumputpun dilarang untuk dicabut, dilarang membunuh, dilarang menganiaya, siapa saja yang berada pada padang mulia tersebut harus dijamin Aman. Juga padang yang menjadi saksi atas perjuangan Kanjeng Nabi yang begitu Terjal. Tentang nila-nilai kemanusiaan yang menganjurkan untuk mengasihi anak yatim dan orang-orang lapar serta fakir-miskin, memerdekaan/membebaskan budak, perjuangan manusia yang susah-payah, saling nasihat menasihati dalam hal kesabaran dan kasih sayang.

 

Allah SAW berfirman, QS. Al Balad ayat 1

 

 

 

Aku bersumpah dengan Negeri ini

 

Selanjutnya, mari melingkar, bareng bareng mentadaburi QS. Al Balad. Untuk menemukan jawaban-jawaban atau bahkan rumusan-rumusan untuk menuju kembali pada Al Balad Al Aamiin, selaras dengan perkenan Allah SWT. Aamiin

LARAS

Gelaran rutinitas majlis gugurgunung pasca dorman. Pembaharuan niat, langkah menjadi bahasan yang perlu untuk menata segala sesuatunya agar menjadi lebih baik. Hampir serba baru, selain niat baru juga malam tahun baru, karena bertepatan dengan malam pergantian tahun hijriah, malam satu Muharram 1441 H, dan tanggal masehi pada 31 Agustus 2019. Lokasi yang dipilih pun baru, bukan karena baru digunakan gugurgunungan pertama kali, namun memang Musholla ini bangunan baru yang dibangun dari wakaf seorang mulia bernama Mbah Mus, salah seorang warga setempat. Kemudian musholla ini dinamakan: Darussalam, berada di Dusun Gembongan – Lemah abang, Ungaran Kab. Semarang.


Kegiatan dimulai kisaran pukul 21.00 WIB. Langsung saja malam ini memperbarui niat bertepatan pergantian tahun baru Hijriah, Mas Sokhib diminta untuk memimpin doa awal tahun dan akhir tahun ini. Turut didoakan putra Mas Mif yang kebetulan malam itu sedang sakit. Doa tawasul yang indah dan ayem oleh Mas Azam, Munajat Maiyah oleh Mas Tyo yang berpembawaan kalem sehingga suasana makin khidmat. Kemudian doa oleh Mas Ari, dimana satu bagian doa ini merupakan wasiat Mbah Nun yang selalu dibaca sebelum Majlisan. Rangkaian kloso penentraman hati sudah digelar masuklah sesi sinau bareng cangkruk budi doyo maiyah Ungaran ini. Tak perlu menunggu komando mas Kasno segera mengambil peran. Berpijak dari tajuk yang ditulis Mbah Nun, bersama Pak Toto Rahardjo menjadi bahan penulisan untuk mukadimmah yang ditulis oleh Mas Agus, “Selamat bangun kembali dari masa dorman” demikian ungkap Mas Kasno untuk mengawali cangkruk, diskusi sekaligus workshop pada malam hari ini.

Pada momentum Muharram/Haruma, seakan kita dibangunkan oleh Mbah Nun untuk ber-Tajdidun-n-niyaat. Mari bersama-sama mensyukuri momentum ini. Momentum yang satu tahun lalu tepatnya pada Paseban Muharram, telah disepakati, diantaranya adalah, bahwa tiap memasuki bulan Muharram Majlis gugurgunung hendaknya mempunyai tradisi untuk berkumpul atau melakukan Paseban. Menentukan apa-apa saja yang perlu atau tidak perlu untuk dilanjutkan. Atau apa-apa yang perlu atau tidak perlu untuk dilakukan.

“Tajdidu-n-niyaat”, merupakan dhawuh dari Mbah Nun yang merujuk pada Tulisan Pak Kyai Toto tentang “Perjuangan Menemukan Jati Diri”. Hal tersebut kemudian sejenak me-remind beberapa hal dalam tema yang pernah diangkat dalam rutinan Majlis gugurgunung. Diantaranya adalah tema “Tandur Kusuma Jati Wijaya”, momentum yang ditengarai dengan fenomena kegembiraan bersama keluarga gugurgunung nandur kembang Wijaya Kusuma yang dipelopori oleh Mas Yudi Rohmad. Yang kemudian juga mentadaburi istilah (Tandur, Tandzur = merawat, Memperhatikan). Juga istilah kata ( Niat, Nawaitu ), kata yang juga terbentuk dari huruf Alif-Lam-Nun-Wawu-Ya, yaitu huruf yang selalu ada dalam semua surat dalam Al Qur’an, yang apabila dirangkai akan membentuk kata Annawai yang artinya adalah benih.

Mas Kasno juga kemudian teringat dengan apa yang pernah disampaikan oleh Mbah Nun, dan mengajak atau menawarkan pada dulur-dulur semua untuk masuk melalui kalimat yang disampaikan beliau tersebut terkait dengan niat. Kurang lebih demikian, “Setiap niat baik, Tuhan sendiri yang akan bertanggung jawab akan hasilnya” Maka pada malam ini, sebagai respon atas dhawuh tersebut, kita mengangkat Tema “LARAS”. Sebuah metode yang akan kita sinauni bareng, dengan membangun semangat Hafidz (Menjaga). Semoga niat yang kita teguhkan ini, senantiasa seLARAS dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT. Amin…

Mas Agus kemudian diminta untuk memberi preambule untuk memantik diskusi. Ini adalah gugurgunungan pertama usai dorman. Ada yang perlu diperbaharui seperti anjuran Mbah Nun untuk memperbarui niat. Bahwa apa yang menjadi hambatan kemarin, segala sesuatunya sudah selesai. Termasuk beberapa hutang dokumentasi serta reportase. Alhamdulillah Mas Aji yang jauh-jauh dari Prambanan malam ini turut hadir. Kemudian oleh mas Agus, mas Ajik dimintai “oleh-oleh” yang diperoleh ketika kemarin Mocopat Syafaat.

Mas Aji mengungkapkan bahwa di Mocopat Syafaat sama dengan simpul-simpul lain yang memberi respon tentang manusia nilai, manusia pasar dan manusia istana. Yang perlu digaris-bawahi pembagian tersebut bukan pembagian secara hirarki tetapi lebih kepada sifat bahwa semua ada di dalam diri kita. Dalam pada itu sebenarnyalah manusia merupakan manusia nilai. Dimana pasar dan istana menjadi sub, semacam wahana “bermain”nya saja. Semua masih dalam rangkaian sebab akibat. Bukan hanya dengan menguras tenaga untuk mendapat rejeki, tetapi masih ada seribu jalan lainnya. Ketika di Mocopat Syafaat waktu itu diminta masing-masing 3 orang dari tiap jenis manusia untuk naik ke panggung.

Manusia pasar memang lebih pada urusan transaksi. Pedagang atau penjual, koperasi dll.
Manusia nilai waktu itu diwakili oleh seorang Guru dan Guru TPA, dan manusia istana ialah beberapa mahasiswa. Manusia istana dipilih berdasarkan pengaruhnya terhadap lingkup masyarakat yang lebih luas. Baik itu mahasiswa, kepala bagian, kepala asosiasi dll. Semua hal tersebut masih dalam bingkai kewaspadaan. Salah satu dari 4 tajuk bahwa Mbah Nun khawatir kalau ada tekanan hari-hari yang mana sampai merasa lelah, sakit, marah dll. Tajuk ini berangkat dari empati simbah terhadap jamaah maiyah di lingkungan luar yang serba materialisme, transaksi dll yg dialami tiap hari. Sehingga disana membutuhkan kewaspadaan dan membaca diri agar lebih waspada dalam bersikap. Alat tukar kita dengan Allah SWT adalah ketakwaan.

Menurut tadabbur Mas Aji yang jelas ada fase-fase dimana kita memilih dirimu atau selamat dengan nilai, milih berhala atau Allah, anakmu atau Allah lulus terus. Momentum-momentum tersebut jika dinilai dengan transaksi maka sangat kontekstual terhadap kehidupan. Apakah kita memilih nilai atau memilih di luar itu. Sekali lagi bahwa antara manusia nilai, pasar dan istana maka semua adalah manusia nilai. Sedangkan pasar dan istana hanyalah wahana bermain. Keputusan memilih tersebut ketika terpeleset maka justru menjadi goalnya dimana semestinya hanya sebagai sarana atau alat untuk menuju nilai yang lebih besar.

Mas Agus menambahkan bahwa untuk memegang nilai pasti akan berhadapan dengan arus. Apakah arus tersebut akan membuat kita kalah? Jika alat tukar dengan Allah  SWT adalah takwa. Dimana dalam Al Qur’an Nabi Ibrahim sudah distempel sebagai imamnya umat manusia. Pastilah itu bukan sekedar mitos, legenda, dongeng dll. Itu adalah kenyataan yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim. Tidak bisa kita hanya mengatakan “kan dia itu nabi..”. Kita harus bersyukur bahwa Nabi Ibrahim mencontohkan bahwa dirinya adalah seorang manusia pilih tanding. Yang memang dikabarkan dalam Al Qur’an bahwa ia adalah seorang pembawa berita (nubuah, nabi) dan kita memang tidak akan sanggup menjangkaunya. Dalam beberapa ungkapan Mas Aji di depan, diharap bisa menjadi bahan pertanyaan agar diskusi nanti bisa berkembang.

Membidik point dari Pak Totok tentang Al Qasas  bahwa kita harus menentukan peran kita di dunia. Kebetulan memang jauh sebelum ada tajuk tersebut sudah dibuat tema diskusi malam hari ini yakni Laras. Maka tema ini tetap dipertahankan. Kita ibarat gamelan yang memiliki tone nya sendiri-sendiri. Gamelan ini memiliki keunikan yang perlu distem supaya mapan suaranya. Gamelan memiliki dua ciri ketika bahannya bagus tidak pernah dilaras maka nada akan meninggi. Kalau bahan kurang bagus tidak pernah dilaras atau distem maka nada merendah. Ini perlambang yang sangat indah untuk melihat diri sendiri. Ketika kita manusia tidak bagus, lalu terhasut nilai dalam kehidupan maka merendah mudah patah dll. Kalau bahan kita bagus maka kita meninggi yakni sombong demikian efek jika tidak pernah dilaras. Berikutnya, bagaimana kita menyelaraskan kehidupan kita secara nilai terhadap Al Qur’an. Gamelan akan selesai menjadi tidak perlu dilaras ketika usianya 25 tahun. Sudah mapan, mateng dan tidak perlu dilaras lagi.

Ketika disambungkan dengan hafidz yakni merupakan fenomena memelihara. Laras sangat dekat dengan hafidz. Bahwasanya tidak perlu menyelarasakan dalam seluruh Al Qur’an. Minimal mampu menyelaraskan dengan ayat apa yang bisa kita ambil dan selaraskan untuk kehidupan kita masing-masing. Laras bukan sekedar diingat tetapi juga dilakukan terus menerus. Andaikan usia aqil baligh ialah 15 tahun. Jika dihitung 25 tahun setelahnya maka akan menjadi usia 40 tahun. Itulah usia dimana Rasulullah mendapat wahyu dan diangkat menjadi nabi. Mengapa aqil baligh diletakkan 15 tahun? Menurut Mas Agus bahwa kita diberi bonus hidup manusia sebanyak dua windu awal untuk tidak dihitung. Baik untuk recalling, reminding dan lain-lain yakni sampai pada usia 15 tahun.

Setelah melewati usia 2 windu akan menjadi dihitung, dan harus menjadi laras. Kita sudah memiliki tone tetapi belum final dan harus berproses melaras dengan Al Qur’an. Tidak harus dengan seperangkat gamelan atau 30 juz. Sebab 30 juz merupakan pengembangan dari induk alquran yakni Al Fatihah. Bahkan minimal selaras dengan Bismillah. Minimal pengucapan dalam setiap laku. Pertama hingga bertemu Ba, lalu nanti pada partikel yg lebih kecil bertemu titiknya. Seperti pada tahap belajar salam. Tidak perlu  mengucap salam kepada satu-satu. Asalkan kita tidak mengancam harta, darah, orang lain berarti kita sudah salam. Seperti halnya laras. Ini tadi pembahasan secara mayor. Berikutnya kita nanti akan pada tahap personal.

Jeda sejenak untuk menikmati untaian kata oleh keluarga gugurgunung berupa karya-karya puisi yang apik. Penampilan sebuah puisi oleh Mas Angling, sebuah puisi karyanya sendiri berjudul ‘Sambal’. Puisi sederhana dengan racikan kata nan istimewa. Senantiasa mendapat apresiasi, meskipun oleh Mas Agus sedikit memberi input tentang cara pembacaan. Puisi berikutnya dari Mas Fajar yang juga membawakan puisi karyanya sendiri berjudul “Temanku yang dewasa”. Mas Sokhib tidak ketinggalan untuk memberi suguhan puisi yang indah dan romantis gubahannya sendiri tentang seorang istri, puisi berjudul “Bidadari”. Tak seperti biasa, untaian kata yang terangkai dalam puisi-puisi ini seolah menggugah kegembiraan berkata-kata dengan laras dan bermakna. Bahkan Mbak Dewi yang sudah lama tidak tampil, malam itu membawakan juga sebuah puisi karya mas Angling yang bertema tentang ibu. Puisi demi puisi tersajikan dengan apik dan menambah syahdu suasana.

Berlanjut lagi ke diskusi. Mas Sokhib merespon tentang tema dengan sebuah pertanyaan, tentang manusia nilai bahwa kita sebenarnya adalah manusia nilai. Sejak dulu TK hingga bekerja selalu terdengar kata nilai. Apapun yg dilakukan selalu berfokus seputar nilai termasuk kegiatan bermasyarakat. Maksudnya nilai seperti apa? Mas Anjar tak ketinggalan untuk mengembangkan sayap diskusi dengan sebuah pertanyaan tentang pencarian jatidiri apakah terkait dengan janma? Bagaimana jika menjalani tidak sesuai titah apakah akan tidak sesuai pula dengan jatidiri.

Mas Agus, merespon tentang manusia nilai maka memerlukan beberapa piranti. Nilai adalah value atau bobot bukan sekedar angka. Dimana jika kita tarik lagi dalam etimologi bahwa bobot juga tersambung dengan bibit. Benih inti disebut culture. Nilai juga dikonfirmasi pada bobot bukan sekedar angka-angka. Apakah kemudian kita mampu meletakkannya pada letak abdi dan khalifah. Apakah kita membangun kesemestaan dalam kehidupan kita sendiri dalam bobot kehidupan. Apakah Allah SWT ridho atau tidak terletak di sana. Bahwa sekarang terjadi fenomena penilaian, di maiyah kerap didengar bahwa sesama murid tidak boleh mengisi rapor murid lainnya. Indikator-indikator pencapaian yang lebih pada bobot ialah sejauh mana kita bermanfaat bagi orang lain. Bagaimana kita membangun proses dengan grafik yang menaik bukan malah menurun.

Letak value disini ialah kita menjalankan sebuah perilaku sesuai dengan kehendak Tuhan kepada kita bukan dari atasan, guru dll. Kita tetap bisa menjalankan kehendak guru atau atasan ketika tidak melenceng dari koridor yang diletakkan Tuhan. Sebab kita memiliki keterbatasan untuk menyerap informasi dari Tuhan secara langsung.

Mbah Nun ingin mempertahankan sebuah kesemestaan tanpa pretensi atau tanpa motif. Manusia pasar tidak selalu buruk sebab ada anjuran untuk berniaga. Maka tata aturan di islam sangat jelas. Seperti tentang aturan dilarang mengurangi timbangan. Bahkan masa muda rasul pun berniaga tetapi tetap dengan memegang teguh nilai. Baik pasar dan istana (pemimpin) hanyalah sebuah instrumen. Hewan-hewan pun ada yang menjadi pemimpin dengan persyaratan yang cukup banyak pula. Apakah kita sebagai manusia juga melakukan penyeleksian yang sama. Misal ada policy tertentu yang sebenarnya kita enggan. Banyak ketidaksepakatan tetapi kita tidak mempunyai kekuasaan untuk membantah. Sebab kita memilih manusia istana yang tidak sesuai.

Sebenarnya tidak masalah apakah menjadi manusia pasar dan istana. Asalkan masih menjadi manusia nilai. Nilai terbesar ialah kemanusiaan. Jika itu tergadaikan dengan angka maka kemanusiaan akan menjadi rendah. Bukan sekedar angka tetapi pengabdian pada Tuhan. Tidak masalah manusia nilai memasar dan mengistana. Oleh karenanya di Jawa tidak menggunakan kata “aku”, yang dipakai ialah “ingsun”. Ing sajroning pisungsunan dalam sebuah tatanan dimana dalam susunan, Allah menjadi ratunya. Manusia pemimpin pun teta tunduk kepada Allah sebagai Raja atau Ratu yang utama, Malikinnas.

Merespon pertanyaan Mas Anjar. Bahwasannya janma prajurit tidak harus menjadi tentara. Andaipun dia sebagai petani tetapi turut berperan mengamankan maka juga ia seorang janma prajurit. Hasta janma adalah profesi kita dihadapan Tuhan. Gajinya berupa efek sosial. Janma tani mendapat bayaran berupa masyarakat yang ayem tentrem, janma ujam dudukan bayarannya masyarakat yang sehat bagas waras, prajurit gajinya berupa masyarakat yang hidup dalam rasa aman dan seterusnya. Setiap pihak menjadi orkestra yang sudah terintegrasi. Kondisi saat ini petugas-petugas Allah sudah sangat sedikit. Sekarang masih hidup dalam kerukunan, kenyamanan tetapi merupakan sisa gaji dari leluhur. Jika kita tidak pula melakukan hal yang sama hingga menjadi ahli dalam bidangnya masing-masing maka tunggulah kehancurannya. Sebelum hancur maka kita harus segera menemukan peran kita untuk menjadi ahla dimana masing-masing memiliki keahlian untuk saling menopang satu sama lain.

Kemudian ada Mas Santoso, seorang manusia pasar yang juga seorang manusia nilai. Ia adalah seorang peternak yang lama tak ikut merapat, dan rindu melingkar di majlisan kali ini. Berbagi kisah dan pengalamannya seputar beternak. Niat bekerja untuk menggugurkan kewajiban dalam berkeluarga. “Obaho sakmampumu, nyambut gawe sak isomu”, demikian sedikit yang menjadi ungkapannya. Ia memulai peternakan karena menurut Mas Santoso merasa hanya bisa melakukan hal itu.  Memulai dari telur ayam kampung lalu ditetaskannya sendiri namun tingkat resiko tidak berbanding lurus dengan keuntungan. Sekarang merambah menuju telur entog, daging entog hingga kalkun.

Waktu sudah lewat tengah malam, kisaran 00.15 WIB Mas Yoga menampilkan perform dua lagu. Sedikit membantu untuk mencairkan suasana dalam diskusi pembahasan yang cukup mendalam. Waktu menunjukkan pukul 00.40 WIB Mas Agus meminta kepada semua yang hadir untuk masuk ke ruangan dalam musholla agar gumpalan energi yang hadir pun menjadi lebih besar. Kemudian Mas Sokhib diminta untuk membaca surah At-Tin. Dan semua diminta untuk mengirim Al Fatihah untuk beberapa Nabi yang akan nanti dipelajari kisah-kisahnya dan korelasinya dengan diri kita semua dalam workshop yang diagramnya sudah diunggah di website dan akun sosmed gugurgunung. Workshop Laras ini merupakan tahap 1 (satu) yang akan diadakan hingga Oktober ke depan dengan waktu yang dibersamakan pada saat reguler Sinau bareng setiap malam Minggu terakhir.

Sekian reportase edisi Agustus 2019 dengan tema Laras. Semoga bermanfaat.

 

Andhika Hendryawan
Yoga
Angling tri
Cahya

Mengarifi Jebakan

MENGARIFI JEBAKAN

Majlis Gugurgunung | “Mengarifi Jebakan” | Sabtu, 25 Mei 2019 jam 21.00WIB | Aula Madrasah Dinniyah Baburrohman, Jl. Watu lembu, RT. 05 RW. 05 Lemah abang, Bergas, Ungaran, Kab. Semarang. | #MGGMei

KEPAWANGAN

Majlis gugurgunung kembali menggelar rutinitas bulanan, dimana pada bulan ini diadakan pada tanggal 30 Maret 2019. Tema yang diangkat adalah: “Kepawangan”. Seperti biasa Mas Ari membuka dengan doa wasilah dan Mas Jion memimpin Munajat Maiyah. Mas Kasno sebagai noderator bersama Mas Chafid memberikan prolog untuk memantik diskusi malam ini. Kepawangan mengandung arti bahwa seseorang mempunyai keahlian khusus. Terdapat dua fenomena kepawangan. Yang pertama ditempuh melalui proses berlatih secara intens atau mempelajari perilaku-perilaku. Kedua ujug-ujug (otomatis) mempunyai kemampuan akan sesuatu yang mungkin ditengarai dari kepemilikan jalur kenasaban. Dari bahasa Sansekerta kepawangan juga dikenal sebagai Avatara atau yg lebih familiar dengan sebutan Avatar dengan Manifestasi Ketuhanan. Dalam khasanah kitab Hindu ada tokoh namanya Kalki Autar yg mempunyai bapak Wisnu Bagad dan ibu yg bernama Usama Ani.

Sedikit mereview perjalanan ke Jalawastu bersama Mas Dika disana masih banyak proses kepawangan. Banyak yang masih menekuni proses pawang seperti pawang harimau, hujan dan angin. Masyarakat disana dilarang menyia-nyiakan hewan, tumbuhan apalagi sesama manusia. Salah satu keilmuan yang didalami penduduk Jalawastu, ada yang namanya keilmuan Aji Dwipa, sebuah ilmu yang mempelajari kemampuan komunikasi dengan alam. Mempelajari bagaimana cara memperlakukan hewan dan tumbuhan sebagaimana mestinya. Menciptakan sebuah fenomena lingkungan yang damai tentram dan jauh dari rasa takut. Avatar ilmunya nanti ke vatara (Fathorossamawati wal ardl). Kalki Avatara, Wisnu Bagad diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bisa dibilang Abdullah dan Usama Ani ialah Aminah. Artinya Kalki Avatara dalam khasanah Hindu dapat diartikan sebagai abdi Tuhan.

Mas Jion menceritakan kisah kepawangan ular, dimana semasa kecil Mas Jion senang bermain ular. Dipelajarinya ilmu tentang cara bagaimana agar ular itu tidak menggigit. Di kampungnya ada orang tua yang memberikan sebuah pelajaran melalui tahapan puasa, untuk ular kecil mungkin hanya bekisar 3 hari tapi kalau yang bisanya mematikan bisa mencapai 7 hari. Tujuan sebenarnya bukan untuk menguasai ular, akan tetapi mencoba untuk bisa berkomunikasi dan mempelajari bagaimana tentang karakter ular tersebut sehingga mempunyai kewaspadaan yang tinggi. Kemudian ada Mas Ihda yang menceritakan kisah wali Allah yang punya istri galak. Dikisahkan seorang temannya datang ke rumahnya dan disuruh menunggu sampai sore hari. Ketika sore temannya tadi datang bersama macan dan bahkan membantu membawakan kayu bakar. Beberapa bulan kemudian dateng lagi ke rumahnya dan membawa kayu bakar sendiri. Dan ketika ditanya dimanakah macannya? Dijawab ternyata semenjak istrinya meninggal macannya tidak pernah datang lagi. Mungkin ini konsep pawang dengan mencintai bukan menguasai. Mas Ihda kemudian mempertanyakan memawangi hoax seperti apa?

Beberapa pantikan dari dulur-dulur yang hadir saling terkait satu dengan yang lainnya. Diawali dengan sebuah kisah kepawangan ular dimana sama seperti kisah Nabi Muhammad SAW ketika hijrah dengan Abu Bakar. Di tengah lelahnya perjalanan lalu beristirahat sejenak di dalam sebuah gua. Rasa sayang Abu Bakar terhadap Kanjeng Nabi membuatnya menyediakan pahanya untuk dipergunakan sebagai bantalan. Kemudian terlelaplah Rasulullah dalam pangkuan Abu Bakar. Sementara Rasulullah tertidur, Abu bakar masih berjaga dan dalam kewaspadaannya melihat ular besar yang muncul dari sebuah lubang. Karena tidak ingin membangunkan Rasulullah maka ditutuplah lubang tersebut dengan kaki yang sebelahnya. Kemudian ular besar tersebut menggigit kaki Abu Bakar. Rasa sakit ditahan oleh Abu Bakar bahkan hingga meneteskan air mata. Lalu air matanya menetes hingga membangunkan Rasulullah. Ditanyalah Abu Bakar, kenapa menangis. Barulah Abu Bakar menceritakan bahwa ada ular yang muncul dari sebuah lubang. Rasulullah pun meminta Abu Bakar untuk membuka lubang tersebut dari kakinya. Kemudian ular tersebut berhadapan wajah dengan Rasulullah. Kemudian ular tersebut pergi. Ternyata ada dialog yang terjadi ketika ular tersebut berhadapan wajah dengan Rasulullah. Ular tersebut dulu pernah berdoa pada Allah SWT, “Ya Allah berikan saya kesempatan untuk menatap wajah Rasulullah kekasihMu secara langsung meskipun harus menunggu ratusan tahun”. Kemudian Allah memerintahkan si ular untuk ke gua itu menunggu kehadiran Rasulullah. Tapi ketika Rasulullah tiba, justru ada kaki yang menutup lubang. Maka digigitlah kaki tersebut. Usai pertemuan singkat tersebut, kemudian ular tersebut diminta pergi karena sudah bertemu dengan Rasulullah yang ditunggunya sekian lama. Dan kaki Abu Bakar diobati oleh Rasulullah. Disana Abu bakar menemukan pelajaran, yakni tentang buah kesabaran bahwa ular tersebut, maka trnyata ia bersama Rasulullah singgah ke gua itu bukan karena bersembunyi, tetapi adalah alur yang sudah menjadi kehendak Allah SWT. Betapa istimewanya si Ular yang berkesempatan dikunjungi Kekasih Allah yang sangat dirindukannya. Tentu bukan tanpa perjuangan, ular tersebut menebusnya dengan menunggu ratusan tahun dalam gua. Karakteristik ular ialah bertapa. Menelan makanan ditunggu sekian periode baru dikeluarkan dan dimakan lagi. Ular tersebut digambarkan secara lebih positif. Di kisah tersebut ular digambarkan sebagai kesabaran.

Kemudian yang disampaikan oleh Mas Ihda bahwa Allah menunjukkan tentang ketertundukan. Meskipun endingnya adalah hoaks. Hoaks merupakan kreasi dari makhluk. Seperti kuku panjang lalu dipotong. Padahal kuku terus ditumbuhkan oleh Allah. Namun karena manusia memiliki akal budi. Akal lebih ke arah analisis, dan budi cenderung berada di dalam hati. Di dunia ini ialah sendau gurau lalu mengapa kita serius. Apakah keseriusan ini juga merupakan salah satu bentuk hoaks? Apakah mungkin kita hidup di alam hoaks? Coba kita kerucutkan bahwa kata-kata sudah diplintir sedemikian rupa bahkan sampai terkotak-kotak. Termasuk istilah hoaks.

Coba kita bidik bagaimana Allah bikin “hoaks”. Karena semua adalah amtsal. Kita hidup pun sebuah permisalan. Karena di dunia itu hanya sebentar dan kekal ada di akhirat. Segala pembicaraan ini bukan tentang politik praktis. Politik tak praktis cenderung berorientasi menanam bukan sekedar mengunduh saja. Hoaks, ilusi atau permisalan sesungguhnya mengkonfirmasi kerangka penangkapan kita tentang sebuah informasi. Ada 5 (lima) metode menangkap informasi yakni melihat, mendengar, merasakan, mencium meraba. Sehingga kita akan merasakan perluasan. Pedas bukan hanya dari lombok. Merica, jahe pun pedas. Bahkan sandal, ulas Mas Agus sambil tertawa. Pedas lombok tidak mengartikan pedas yang sesungguhnya. Pedes yang sesungguhnya disembunyikan sehingga pemaknaannya linier bukan siklikal. Karena ilmu kita terbatas, maka perlu menggunakan 5 (lima) metode untuk memahami makna yang sesungguhnya. Garam dan asin mana yang lebih dulu diciptakan? Menurut Mas Agus asin lebih dulu diciptakan. Tetapi asin yang sesungguhnya bukan sekedar garam. Bila kita mampu meniru secara bentuk, ilmu hanya ada pada apa yang kita lihat. Kita akan meniru garam bukan pada asinnya tetapi pada bentuknya saja. Sedangkan rasa belum pasti sama asinnya. Kita tidak boleh terjebak pada satu cara, kita perlu pintu-pintu lain. Agar kita tidak termakan hoaks. Fenomena bikinan Allah pun bisa seperti itu. Seperti halnya adanya malam dan siang dibuat agar kita berpikir dengan akal kita, dlsb. Ini berfungsi untuk merangsang bagaimana kita menangkap informasi secara lebih utuh.

Mas Agus kemudian juga merespon dalam bentuk pertanyaan tentang preambule dari Mas Kasno. Dikatakan bahwa pawang ialah orang yang memiliki keahlian khusus. Lalu keahlian umum itu apa? Yang dikatakan ahli itu seperti apa? Kepawangan sebenarnya adalah karunia (fadilah). Pada wilayah kemampuan dan limitasi, yang dimiliki semua orang itu sama. Sebab semua orang mempunyai kemampuan dan limitasi. Karunia diletakkan pada orang yang wadahnya sesuai. Ilmu sebenarnya bukan sekedar untuk memudahkan hidup, tetapi yang penting ialah agar mendapat ridho. Mengenali kesulitan bukan dengan mencari kemudahan. Demikan ada yang bisa menerima ada pula yang tidak, bahkan ada pula justru yang bisa menyerapnya. Kebanyakan tidak sadar pada perilaku khusus yang tiba-tiba dapat serapan ilmu karena tidak sadar bahwa wadahnya telah terbentuk. Seperti halnya auliya yang bisa menaklukan macan tidak dengan serta merta sengaja ingin terbentuk sebagai penakluk macan. Namun mereka terlatih dengan dihadapkan pada situasi yang sulit. Yakni menghadapi istrinya yang galak. Kemudian mereka lulus atau tidak? Kalau lulus maka akan ada wadah yang lebih besar. Wadah ini akan menampung ilmu berupa kasih sayang. Power untuk istrinya yang galak bisa dialihkan untuk macan tersebut. Maka sekarang coba kita temukan kesulitan-kesulitan apa yang kita hadapi, sehingga bisa menjadi materi kepawangan. Orientasi sesungguhnya bukan sekedar keuntungan tetapi menghadapi segala masalah secara lebih proporsional. Dan hal ini bisa ditempuh dengan metode yang kita hadapi paling elementer terlebih dahulu.

Dalam contoh tadi misalkan, seorang auliya yang disandingkan dengan istri yang galak. Jika dalam pembalajaran akademis maka auliya tersebut akan dihadapkan langsung dengan macan. Sehingga akan ada tanding dan diperlukan kekuatan. Oleh karena kebuasan tidak harus disamadengankan macan, maka bisa kebuasan dapat diletakan pada galaknya sang istri. Berarti setingan cara tanding tidak selalu harafiah. Dalam kisah tersebut keberhasilan sang auliya menaklukan macan ialah karena berhasil menaklukan dirinya sendiri. Sehingga tidak diperlukan melawan dengan taring yang sama. Dalam falsafah Jawa inilah “menang tanpo ngasorake”.

Sebenarnya banyak kejadian atau fenomena tentang kepemimpinan. Pada jaman kekhalifahan Umar bin Khatab, hewan-hewan yang galak tahu diri. Suatu ketika ada penggembala kambing yang selama bertahun-tahun tak pernah diganggu oleh binatang liar dan buas. Pada suatu hari ia mengerjakan aktifitas seperti biasa namun hari itu berbeda, ada sekawanan serigala yang memangsa salah satu kambingnya, dengan sponten ia berkata “Wah ini tidak biasa… apakah Khalifah Umar telah meninggal?”, dan benarlah sang penggembala itu bahwa pada hari itu Sayyidina Umar telah wafat. Dan ternyata kondisi kepemimpinan seseorang memiliki pengaruh keteraturan yang mungkin saat ini belum pernah terbayangkan oleh para pemimpin dunia. Kisah ini sesungguhnya bisa menjadi inspirasi bagi para calon pemimpin. Apakah kita setia kepawangan itu ada di dalam atau hanya di luar diri kita?

Sayid Abdullah bersama Siti Aminah melahirkan Ahmad. Peristiwa itu memang sudah silami namun apakah peristiwa itu tidak bisa lagi terjadi secara jiwa? Bukankah peristiwa Nabi Adam as hingga Nabi Isa as jaman sekarang pun masih terus direkonstruksi oleh tiap-tiap manusia? Dengan kita semua merunduk pada asma-asma Allah SWT maka inilah metode Abdullah (metode yang kita gunakan untuk menghadap Allah SWT). Setelah kita merunduk maka juga memakai metode Aminah, bersikap aman terhadap semua makhluk. Sehingga segala produk-produk kita jadilah produk yang Ahmad. Satu Ahmad bertemu dan saling mengenal dengan Ahmad-Ahmad lainnya maka akan menjadi gumpalan ummat Muhammad SAW. Inilah kepawangan. Dimana manusia memiliki jiwa tunduk terhadap kasih sayang. Dan sadar bahwa kasih sayang utama hanyalah milik Allah SWT.

Andaikan manusia sekarang tidak dirangkai dengan sistem kamanungsan (kemanusiaan) maka orang-orang akan mengeluarkan kalimat-kalimat retorika tentang pentingnya rasa kemanusiaan dan kemenyatuan yang sulit untuk mencari contohnya. Bagusnya sudah ada contohnya dan bertahun-tahun sudah dicontohkan oleh Islam. Meskipun kamanungsan muncul tidak memandang agama manusia tersebut tapi pada fitrohnya. Seperti pada bayi baru lahir yang masih dekat dengan fitrohnya. Jika fitroh matching dengan kahanan (kondisi/keadaan) maka ketertundukan menjadi lebih mudah. Kepawangan di jaman umat Rasulullah bertujuan untuk menyempurnakan akhlak. Minimal menyempurnakan akhlak diri sendiri. Jika jiwa Rahmatan lil alamin klop dengan fitroh, maka akan bertemu dengan Al Fatir. Insya Allah dengan akhlak tersebut bisa menggiring orang lain tanpa harus dengan jalan menunjuk-nunjuk. Sebab orang lain punya akal, analisis, nalar serta observasi. Mengapa kita tidak mempercayai proses pembelajaran pada diri kita itu juga ada pada diri orang lain? Pantas dicoba untuk memawangi apa yang menjadi nafsu utama kita. Dimana kebuasan-kebuasan kita, itulah yg harus dipawangi.

Mas Kasno kemudian memperkenalkan Mas Yunan sebagai ketua klaster Paradesa Ken Sengkud (Simpul-simpul Maiyah Jepara, Demak, Salatiga, Kendal, Semarang, Ungaran dan Kudus). Mas Yunan merespon Tema Kepawangan, pada ulasan kisah Umar bin Khatab dengan hewan-hewan. Menyambung dengan diskusi beberapa hari ini Gus Aniq membuka kitab baru. Secara garis besar dalam kitab tersebut ada Segitiga Tritunggal Semesta. Allah, Manusia dan Alam. Tertulis disana tentang hubungan-hubungan ini bagaimana dalam perputarannya agar semua menjadi harmoni. Terkait dengan manusia dan hewan. Dulu mereka bisa saling berkomunikasi dan juga diduga saling memahami bahasa masing-masing. Tapi pada suatu peristiwa hewan itu mengejek manusia. Kemudian Allah mengingatkannya dengan cara bahasanya menjadi tidak dimengerti lagi oleh turunan Nabi Adam as. Begitupun sebaliknya. Terdapat contoh lain yakni pada anjing jelek yang dihina oleh Nabi Nuh as. Kemudian Nabi Nuh as dibuat menyesal dan menangis terus. Hingga Nabi Nuh diganti namanya yang semula adalah Abdul Ghofar. Hewan dan manusia akan diperingatkan oleh Allah jika saling mengejek. Kalau di Jawa, sesuatu yang terhormat juga akan berlaku pada benda dan hewan. Misalkan Kiai Slamet. Sehingga hubungan harmoni manusia tidak hanya pada saat sesrawungan saja. Dahulu hewan menempel di ruang yang paling intim dan bahkan bisa menjadi nama panggilan. Dan itu bukan malah menjadi hal yang memalukan. Jika dulu nama manusia banyak menggunakan nama hewan. Sekarang justru banyak memakai nama mobil dll? Apakah ini adalah sebuah kemunduran peradaban?

Direspon langsung oleh Mas Agus. Bahwa penyematan itu bukan hanya terjadi hewan. Bukan hanya Lembu, Mahesa dll. Tapi di Jawa ada juga nama guntur, bayu, tirta dll. Inilah bukti kecintaan mereka terhadap alam. Dalam Maiyah ada yang namanya Segitiga Cinta. Kita (hamba), Allah, Rasulullah. Dalam kitab yang diceritakan oleh Mas Yunan, sudut Muhammad SAW (Rasulullah) diganti dengan alam. Diterjemahkan secara lebih luwes bahwa salah satu dari kita bisa bersaksi kehadiran Muhammad karena kita berilmu. Maka akan sangat prigel membaca alam. Antara keprigelan dalam membaca otomatis sedang mengenali dan menjalankan dengan apa yg dilakukan oleh Rasulullah sendiri. Dan apa yg kita baca mengenai fenomena hewan, tumbuhan dll. Itulah cara kita berjumpa dengan kehadiran Muhammad sebagai utusan Allah yang paling terpuji. Sebab sebelum segala sesuatu diciptakan, kekasih yang paling terpuji bagi Allah telah diciptakan.

Sebenarnya setelah jaman Nabi Adam as masih bisa komunikasi dengan hewan, tumbuhan (alam). Seperti kisah Nabi Sulaiman as. Bisa berkomunikasi dengan hewan, jin dll. Selanjutnya coba kita terapkan pada sikap individual bukan komunal. Kita mengalami umur kekhalifahan, sadar atau tidak kita bisa menjinakkan binatang. Anak kecil bermain kobra. Kondisi fitroh (masih memegang) paugerane Adam. Akal semakin naik meskipun masih anak-anak tetapi sudah punya bahasa dan mampu mengenal yang lain. Menjelekkkan dapat pula salah-satunya dengan membuaskan. Oleh karena sifat baik dan buruk bukan di hewan tetapi di manusianya. Sifat baik itu bisa sama sekali tidak dimiliki oleh manusia. Sehingga jika kita berbuat baik, sabar, kasih sayang, bijaksana dll kita sebenarnya tidak bisa memproduksinya. Alllah meletakkannya pada manusia. Semakin kita mampu mengkoleksinya maka akan menjadi lebih mampu untuk mengidentifikasi bahwa baik dan buruk bukan ada di luar diri.Ada tercantum di Al Qur’an. Bahwa kita sama-sama membaca untuk mendapatkan sistem pembeda. Bukan hanya menjelekkan dan membaikkan yang lain. Kita akan merasa bisa memawangi. Tidak langsung menunjuk jika belum mengenali. Babi, anjing tidak haram jika tidak dimakan, kesemuanya pasti ada maksud yang menjadi kemanfaatan untuk manusia. Secara umum, najis diartikan pantang didekati dan dicintai. Kebocoran psikologi ini tidak hanya di kehidupan sehari-hari. Allah menciptakannya agar manusia tahu sifat-sifat buruk manusia sehingga dapat menjadi lebih proporsional.

Mas Aji kemudian juga diminta untuk merespon. Mas Aji menceritakan bahwa dulu di Mocopat Syafaat ada pemain Jazz dan ketika ditanya, kenapa bisa indah seperti itu? Hanya dijawab, saya memainkan apa yang saya dengar. Dulu penulis juga pernah ada. Saya hanya menulis apa yang dibisikkan. Keduanya adalah maestro dalam bidangnya. Dan mereka hanya menyampaikan apa yang Allah titipkan. Menanggapi Tritunggal Semesta, bahwa alam tidak memiliki opsi untuk tidak taat. Sedangkan manusia mempunyai opsi untuk ingkar. Ada proses intensifikasi dalam belajar dari beginner intermediate dan expert. Ada sesuatu yang awalnya di luar diri. Ada proses penghantar untuk sampai pada tahap maestro. Nanti akan ada pilihan memuja kemampuan diri atau diberikan untuk orang lain. Ada porsi ingkar, tetapi lebih memilih taat ketika sudah menjadi maestro. Bukan malah menjadi Fir’aun yang memberhalakan diri. Kesadaran komunikasi sampai pada Semesta juga berlaku pada ranah tersebut. Kepawangan disini juga ada luar dan dalam.

Mas Agus menambahkan, kepawangan adalah potensi untuk semua orang. Agar peradaban kita beranjak pada peradaban Rahmatan lil alamin. Peradaban yang sama-sama tunduk (rukuk dan sujud). Katakanlah nasi bisa menjadi hidangan adalah suatu keberhasilan. Karena ada nasi-nasi lain yang masih menjadi gabah. Tetapi gabah juga punya kemungkinan untuk menjadi nasi jika mau untuk berproses. Gabah, anggaplah manusia pada umumnya. Maka perlu dijemur, diselep atau ditumbuk, hingga ditanak agar dirinya bisa terhidang atau tersaji. Tersaji dengan tidak lagi tersembunyi pada kemasan-kemasan kecil tapi sudah menyatu dengan isi-isi yang lainnya. Kita punya kegembiraan terhadap Majlis tiba-tiba menyangka bahwa telah menjadi satu-satunya Majlis nasi. Itu sebenarnya masih imajiner. Inilah satu gabah (kemasan). Sementara yang dibutuhkan ialah sajian-sajian kemanfaatan. Ini adalah tolok ukur Rahmatan lil alamin.

Diskusi ditutup jam 00.18 WIB. Dengan kesadaran yang kita coba bangun salah satunya ialah kesadaran tentang batasan waktu. Sebagian pulang, meskipun banyak pula yang masih melanjutkan berdiskusi ataupun tidur di kediaman Mas Agus dan Mas Patmo sampai pagi menjelang. Sekian reportase kali ini semoga bermanfaat.

 

Andhika H

SULIT TAPI SOLID

Rutinitas kegiatan Majlis gugurgunung yang digelar pada 23 Februari 2019, bertempat di Art Cafe, Pringapus, Ungaran, Kab. Semarang. Dengan tema “Sulit Tapi Solid”.Kisaran pukul 20.45 WIB pembacaan doa wasilah oleh Mas Ari dilanjutkan Munajat Maiyah oleh Mas Tyo.Moderator malam ini ialah Mas Kasno, mengawalinya dengan perkenalan beberapa wajah baru khususnya beberapa jama’ah perempuan yang duduk berkumpul di sudut ruang. Notabene Majlis gugurgunung memang cukup jarang disambangi oleh jama’ah perempuan.Mas Kasno kemudian menceritakan kisah 3 (tiga) tahun yang lalu di tempat ini juga yakni Art Cafe. Dimana itulah pertama kalinya Mas Kasno merapat di Majlis gugurgunung.Dengan tema saat itu ialah ‘Maiyah Combat’, dan diskusi dimulai hanya bertiga. Mas Agus, Mas Tyo dan Mas Kasno. Masih jelas teringat bagi Mas Kasno dimana malam itu Mas Agus menceritakan tentang kisah Wiro. ‘Sulit’ menurut Mas Kasno bukan berarti tidak bisa, bahkan justru akan menemukan pintu kemudahan. Sesuai dengan salah satu ayat dari Al Insyiroh, dimana juga tertulis dalam desain poster malam ini.

Mas Agus menambahkan bahwa kegiatan ini memang sederhana namun dibanding 3 tahun yang lalu, masih jauh lebih mewah. Maiyah Combat menjadi tema bulan Februari 3 tahun yang lalu. Combat dapat diartikan tarung/tanding namun masih dengan memegang nilai Maiyah. Menghadapi fenomena kehidupan, salah satunya ada fenomena tanding. Tanding yang dimaksud bukan ditujukan pada person tetapi pada sekian rentang kesepakatan atau tidak sepakat. Semakin banyaknya ketidaksepakatan sejalan pula dengan semakin banyaknya pengalaman tanding. Begitu pun sebaliknya.

Nilai Maiyah yang ditawarkan Mbah Nun pada anak cucunya yakni memposisikan diri pada banyak hal yang belum bisa disepakati. Tetapi tidak perlu bertanding secara person meainkan secara nilai. Kesulitan mestinya bukan untuk dihindari. Sebab rumusan Sulit itu sebenarnya sederhana yakni ketika tidak sepakat pada sesuatu hal.

Sebuah akibat pasti ada sebab. Disebabkan karena ketidakwaspadaan atau memang pemberian Tuhan. Terdapat dua respon yang dapat muncul, yakni Bebal dan Kebal. Dampaknya memang sama-sama tahan terhadap sebuah akibat namun memiliki perbedaan dalam prosesnya. Bebal nampak tahan terhadap kondisi, namun Bebal ini muncul disebabkan karena akal/pikirannya tidak digunakan secara baik. Sedangkan Kebal ada proses sistem imun ditandai fenomena panas-dingin. Kondisi panas dingin yang harafiah pun menurut mas Agus merupakan tanda bahwa manusia akan menghadapi ujian yang lebih maka perlu diberikan daya tahan lebih. Dan proses peningkatan daya tahan tersebut ditengarai dengan fenomena panas-dingin atau demam. Maka orang Jawa sering bilang jika ada anak yang panas: “mundhak akale”, tampaknya akal yang lebih berkualitas yang membuat seseorang menjadi lebih kebal.

Mas Agus melanjutkan, bahwa manusia dilahirkan lebih dahulu dibandingkan dengan politik. Era saat ini, lumrah terjadi sekarang memilih A, kemudian berganti B. Solusi yang kerap kali diperlukan justru tidak ada. Manusia memang memerlukan politik tapi bukan pula dengan menggeser sisi kemanusiaan. Malam ini kita coba membidik hal yang solid itu seperti apa.Disini setiap orang membawa sisi yang tidak disepakati. Kita tidak bisa kemudian memaksa hal yang tidak disepakati itu terhapuskan. Pemahaman bersama akan lebih mantab ketika dapat lebih menjaga setiap hal yang berada pada ranah yang sama. Adanya sekumpulan perbedaan namun akan membangun sebuah keindahan, seperti keindahan taman.

Kemudian Mas Tyo juga memberi respon tentang surat Al Insyiroh dikatakan bahwa kesulitan dan kemudahan itu datang bersamaan. Dan juga dilihat dari unsur kata, sesudah dan bersamaan itu terdapat perbedaan. Maka yang biasanya terjadi ialah sukar mencerna ketika mengalami sesuatu, diartikan sebagai kesulitan ataukah justru kemudahan yang datang.

Mas Uci juga merespon tentang kesulitan. Bahwa sulit itu adalah part of. Kaya yang umum diartikan sebagai kemudahan pun juga sebenarnya adalah sebuah kesulitan. Menikah pun juga diartikannya Monumen penderitaan bersama. Dengan cinta maka makan sepiring berdua jadi indah dan derita seakan menjadi ongkos. Pun seperti tembakau yang dibakar, maka tiada derita tiada pula kenikmatan. Luka dan derita menurutnya ialah sebuah penawar. Bahkan patut kita cari, jangan-jangan senyum kita pun sebenarnya juga sebuah kesulitan.Selama ini kita terjebak dimensi standaritas. Naik mobil kerap disebut sebagai solid sedangkan jalan kaki disebut sebagai kesulitan. Kata “Setelah” merupakan bahasa proses. Setelahnya adalah sintesis yang menjadi dasar tesisnya.

Kemudian Mas Ari turut urun rembug dengan sebuah pertanyaan. Jika dikatakan bersamaan. Entah sulit ataupun mudah ini datangnya darimana?

Langsung dijawab oleh Mas Uci bahwa tidak ada kata datang dalam Al Insyiroh. Sebab manusia sudah menggendong kemudahan dan kesulitan sejak awal mula. Seperti dalam pewayangan digambarkan sebagai Gunungan. Dimana jika gambar muka yang menggambarkan gemah ripah loh jinawi digerakkan maka batara kala dibelakangnya pun turut bergerak.

Mas Agus menambahkan tentang Direct Facility, apa yang mudah tanpa sulit ialah bernafas. Sebab merupakan fasilitas yang langsung Allah berikan pada makhluk. Sedangkan sesuatu yang dikelola manusia pasti mengandung unsur kesulitan.Pengelolaan fasilitas Allah dilakukan agar justru tidak menjadi wilayah yang kita cemari. Pencemaran terjadi karena kita meremehkannya. Seakan kita punya hak untuk kesulitan dan kemudahan. Sungai yang sudah diberi bersih justru dikotori. Tanah yang subur justru diberi pupuk kimia.Disini kita perlu membidik kasus. Agar orientasi dan presisi tidak keliru. Sehingga kita mafhum pada ayat tersebut.Ketika masih di alam kandungan atau alam rohim. Disanalah kasih sayang yang masih intim. Dan secara jasadiah yang diamanati adalah wanita. Alam rohim dalam bentuk hijaiyah seperti huruf Wau. Yang diartikan bagai simbol ketertundukan atau patrap silo. Sebab digambarkan seperti ada kepala, tulang punggung dan tulang ekor. Maka untuk tetap berada dalam posisi fitroh, jangan sampai kehilangan makna Wau dalam kehidupan. Sebab dengan hijab yang ada pada diri kita membuat rangsangan untuk ngAlif. Alif senantiasa menuntun nafsu yang terbangun.

Maka ada nafsu yang membumbung atau Amarah. Marah ialah salah satu bentuk kita terpimpin pada sesuatu yang membumbung. Manusia Jawa ada kalimat bombong, sedangkan dalam bahasa Indonesia ada bumbung atau membumbung. Membumbung bersifat seperti api. Api yang terlalu besar akan kurang memberi manfaat dalam kehidupan.Kemudian ada api yang lebih kecil tapi mudah mobat-mabit (tidak tenang) yakni Lauwamah. Sedangkan api yg lebih tenang yakni Mutmainah. Api yang biasa digunakan untuk memasak. Sebab mutmainnah akan mengkonfirmasi waktu untuk lebih bersifat sobar/sabar hingga yang didapati kemungkinan ialah kesulitan yang tidak ngAlif dan bertujuan mendidik agar lebih baik Wau nya.

Nun dan Ro

Pada tengahnya dapat kita isi Alif ataupun Wau. Nantinya akan menjadi Nar atau Nur. Nur seperti cahaya mentari ataupun lampu yang memang sering terabaikan dan terjadi secara repetitif. Jika Amarah dan Lauwamah dapat dikelola dalam kondisi yang tenang. Maka jalan yang kita titi insya allahmardhiyah, diridhoi. Demikianlah perlunya mengakomodir Wau dalam hidup.Di dalam rohman maka akan menemukan rohim dan di dalam rohim akan menemukan bekal menghadapi rohman. Hal tersebut tidak sulit dipahami namun sulit dijalankan.

Masih tentang sulit dan mudah, kira-kira sebanyak apakah hal yang dahulu sulit namun sekarang mudah. Serta sebanyak apa hal yang dulu mudah namun sekarang justru sulit.

Lingga Yoni

Lingga dan Yoni, dari segi fungsi saling melengkapi. Lumpang seperti fungsi pada perempuan yang berfungsi mewadahi, misalkan cabai, bawang dll. Yoni berfungsi sebagai alat pengolahnya dan kedua-duanya berkolaborasi. Sementara di dunia laki-laki dan perempuan itu hanyalah ilusi. Dalam surat 33 ayat 33 dikatakan bahwa Allah akan membersihkan sebersihnya asalkan tidak menggunakan cara berhiasnya orang jahiliyah. Perumpamaan tersebut dibangun agar kita lebih bertakwa. Ilusi jangan dianggap sebagai sebuah kepastian. Maka ayat-ayat alquran diduga tidak ada yang feminim dan maskulin, sebab diberikan untuk manusia. Bukan kepada lelaki ataupun perempuan.

Kita dituntut untuk menjadi masyarakat real. Bukan hanya saat sinau bareng, tetapi kadang ada beberapa hambatan normal. Ada stereotip yang kerapkali berbeda. Yang disuguhkan bukan mendoktrin pawon, tetapi suguhkanlah produk dalam bentuk sandang, pangan, papan dll. Tahun ini memang adalah tahun yang sulit, tetapi bagaimana bisa menjadi solid dengan kesulitan tersebut.

Di tengah diskusi sempat pula membahas salah satu produk dari Mas Angling. Dengan menggunakan limbah kaca dari kakaknya diubahnya menjadi karya seni dengan menjadi sebuah lukisan yang meningkatkan harga jual dibanding limbah kaca. Sudah ada beberapa pesanan yang masuk, meskipun belum ditetapkannya harga standar penjualan.Dilanjutkan oleh Mas Kasno yang mempresentasikan tentang tikar berbahan debog pisang kering, eceng gondok kering dan jerami. Tabel-tabel penjadwalan progres tercantum lengkap dimana tabel-tabel tersebut dapat diadopsi pula oleh beberapa kegiatan perekonomian sedulur-sedulur lainnya.

Mas Kasno menutup kegiatan kisaran pukul 01.03 pagi. Dengan sedikit cuplikan kalimat penutup seperti berikut. Kesulitan combat dalam berfighting melekat dari awal. Dari tahapan ke tahapan senantiasa membersamai lahirnya kita. Realitas-realitas yang kita alami di dunia adalah kesulitan untuk menemukan kemudahan. Ditutup dengan makan bersama, namun beberapa diskusi ringan masih berjalan hingga menjelang shubuh. Sekian reportase kali ini, semoga bermanfaat.

 

Andhika H