WUNGU

Pertemuan rutin majlis gugurgunung pada 26 Oktober 2019. Sekaligus menjadi workshop ketiga (terakhir) dari tiga edisi setelah sebelumnya yakni “Laras” dan “Padhang Pranatan”. Bertempat di Mushola Darussalam, Lemahabang, Kab. Semarang. Tema workshop edisi ketiga ini ialah Wungu. Mas Kasno sebagai moderator pada malam hari ini di kisaran pukul 21.25 kegiatan membuka sianu bareng dengan bacaan basmalah.

 

Bismillahirrohmanirrohim…

Workshop ketiga masih dalam rangka merespon dhawuh Mbah Nun. Alhamdulillah malam ini dihadiri juga oleh Mas Aji dari Jogja, serta Pak As’ad dari Solo dan juga Mas Dian dulur gugurgunung yang lama tidak ikut melingkar sebab bekerja di luar pulau selama beberapa bulan. Semoga malam ini mendapat pertalian silaturahmi yang bisa kita pelajari bersama. Kemudian dilanjutkan dengan doa wasilah oleh Mas Sokhib juga Wirid akhir zaman serta Pangkur Kerinduan dari Mas Ari.

 

Sehubungan dengan tema yang hampir diubah menjadi lir-ilir, meskipun memiliki makna yang hampir sama dengan wungu maka Mas Kasno mengajak dulur-dulur untuk mentawasuli Kanjeng Sunan Kalijaga dilanjut nembang Lir-ilir karya Kanjeng Sunan dengan dipimpin oleh Mas Agus. Kompak serempak, lelaki perempuan berpadu merdu, asik bahagia namun tak lepas dari makna. Demikian suasana ketika tembang lir-ilir mengalun. Kemudian Mas Kasno membaca mukadimmah untuk membantu memantik diskusi malam ini. Mas Agus memberi preambule bahwa tema ini memang sempat dianjurkan untuk diganti judulnya. Sebab dirasa terlalu berat dimana diukur dari kapasitas diri Mas Agus pribadi dan dulur-dulur semua. Maka diganti lir-ilir dimana memang sudah harus nglilir untuk menghadapi jaman. Namun sehari setelah itu Mbah Nun mengeluarkan edaran wirid akhir jaman yang juga di dalamnya mengandung kata Wungu. Maka disepakati tema dikembalikan menjadi Wungu.

 

Memang berdialog langsung dengan Mbah Nun sulit untuk kami lakukan, semoga dengan ketersambungan tema seperti ini menjadi kegembiraan tersendiri bagi kami anak cucu beliau. Mas Agus mencoba mengakurasi ayat Allah dalam QS Al Ikhlas. Merupakan salah satu dari dua surah yang tidak menyebutkan kata dari judul surahnya selain Al Fatihah. Ditadabburi bahwa yang tahu makna sesungguhnya hanya Allah. Salah satu cara untuk memahami maknanya yakni dengan ngambrukke roso wegah (merubuhkan rasa enggan), melawan rasa takut. Salah satu simulasi yang paling sederhana dengan memasuki alas/ hutan dalam kondisi sendiri dan gelap dengan niat tiada modal lain selain Al Ikhlas. Begitu hendak memasuki hutan maka seketika qul huwallohu ahad. Ketika dalam kondisi yang gelap maka mulai terombang-ambing maka alat apa lagi yang akan digunakan selain pertolongan Allah. Yakni memasuki ayat kedua Allohushshomad. Suasana menjadi enak namun pikiran muncul reridu berupa ketakutan. Jika kita tunduk pada reridu maka menuhankan ketakutan. Lalu dilanjutkanlah dengan ayat ke-3 yakni lam yalid wa lam yuulad. Maka berhembuslah angin besar. Memang tiada yang lebih diatas Allah. Wa lam yakul lahuu kufuwan ahad. Hal ini merupakan metodologi atau pengalaman pribadi yang bisa diterapkan pada laku hidup. Temuan ini didapati mas Agus pada saat benar-benar memasuki hutan pada suatu waktu. Tentunya bukan arti dari Al Ikhlas itu sendiri, ini hanya merupakan salah satu alat untuk mencoba memahaminya. Mudah-mudahan dengan metode menabrak hantu-hantu ketakutan yang muncul dari pikiran sendiri, ataupun seolah sunyi tanpa kehidupan, juga seolah terpencil namun justru banyak kejujuran di dalamnya. Pohon satu dengan pohon lain tak saling mencederai, andaikanpun ada ternyata masih tetap dalam rangka menjunjung keseimbangan. Binatang senantiasa beristiqomah sesuai dengan aturan yang Allah tetapkan. Jangkrik beristiqomah dengan keriknya, belalang juga beristiqomah sesuai fitrahnya, juga binatang-binatang lain. Hal yang dijauhi oleh sebagian orang justru menyimpan kandungan keselamatan dan keamanan. Sangat berbeda dengan kondisi yang kita kira aman. Dengan terang benderangnya, dengan ramainya, juga dengan gemerlapnya namun tidak menjamin kondisi bahwa akan terbangun keamanan, keselamatan satu dengan yang lain. Dengan kondisi demikian maka kita harus melek kahanan, mesti kita buka selimut agar tidak senantiasa tertidur.

Malam ini akan coba kita urai selimut-selimut apa saja yang melekat pada diri. Selimut yang bukan memberi kenikmatan namun justru memasung dan memenjarakan. Selimut yang memberi impian bukan dengan kenyataan. Selimut-selimut ini jika tidak disibak maka akan memerosotkan derajat kemanusiaan kita sendiri. Padahal dari tema kita lalu yakni “Laras” didapat bahwa manusia harus menjadi kaum yang sebaik-baiknya kaum, yakni ahsani takwim. Di dalamnya berisi manusia-manusia yang ahsan. Manusia yang memegang teguh amanat dan tanggung jawab, jikalau hal tersebut tak disadari maka akan menjadi kaum asfala safilin. Dari pihak yang memiliki derajat yang tinggi akan direndahkan. Pola yang kita jalankan dari workshop 1,2 dan 3 tidak pernah kita rencanakan. Dari tema gelinding saja bermodalkan niat. Asal tidak merasa kuat, hebat, sangar, namun bermodal jelas yakni ringkih, dhuafa, fakir karena yang kita hadapi adalah Allah sendiri. Maka dengan seperti itu maka kita akan memiliki wadah yang kosong, sehingga Allah akan mengisi dengan hal yang murni dan kita butuhkan dalam kehidupan kita. Semoga dengan ini kita mampu membuka selimut-selimut yang membuat kita “nyaman” selama ini. Nantinya jika kita menyadari bahwa selimut tersebut sesungguhnya ialah penjara barulah kita akan bangkit. Karena pada hakikatnya manusia menginginkan kemerdekaan bukan dipenjarakan. Kalaupun menjadi hamba, hanyalah kepada Allah kita menghamba. Jika Allah tuan rumah dan Nabi penjaga pintu dan kita batur (hamba sahaya) bukan berarti akan tersiksa dengan perbudakan malahan justru diberi kenikmatan. Makanan dan minuman serta hawa dan kahanan yang dirasakan Kanjeng Nabi pun kita juga akan merasakan hal yang sama.

 

PENGENALAN DIRI

Mas Aji memahami bahwa salah satu pintu menuju wungu terletak pada pengenalan diri. Kalau boleh dibilang sedari lahir sampai saat ini, pikiran kita menyerap apa yang kita dengar, lihat dan rasakan, hingga kita mengidentifikasi bahwa serapan tersebut sebagai diri kita. Terkadang kita melihat diri kita ada hal yang kita rasa baik dan sukai, namun tak sedikit pula terdapat hal yang kita rasa buruk dan tidak kita sukai. Dengan menyadari hal ini sedikit demi sedikit akan membuka penjara itu tadi. Semua yang kita pelajari tadi hanya sebagai penghantar saja untuk melihat diri sendiri. Identifikasi terhadap diri yang telah melekat dari lahir sampai mengenal diri kita lalu mesti dikembalikan lagi pada peran dalam kehidupan sehari-hari namun tetap dengan kesadaran untuk menempatkan diri. Masih menurut Mas Aji dengan demikian maka akan dapat membuka selimut yang paling tebal dari diri yakni ‘diri’ itu sendiri. Segala hal yang dipelajari menjadi penghantar menuju pengenalan diri namun juga di sisi lain juga menjadi selimut untuk mengenali diri. Beberapa pintu pantikan dari Mas Aji yang menarik sekali untuk lebih memperdalam diskusi malam ini.

PETANI DAN KESEIMBANGAN

Malam makin larut, diskusi terus berlanjut. Untuk memperdalam bahasan, Pak As’ad pun diminta untuk turut. Sebelum memasuki tema, tak lupa salam dari keluarga dan juga dulur-dulur Suluk Surakartan disampaikannya. Wungu menjadi terbuka ketika berbincang dengan Mas Agus. Wungu merupakan sintesa dari warna biru dan merah. Merah merupakan angkoro, biru menep. Wungu adalah sebuah proses puncak dari dualitas yang harus ditarik mundur. Pak As’ad mencoba menarik ke masa lampau. Beliau menceritakan tentang Nabi yang sedang menggembala. Lalu diuji oleh malaikat untuk mengambil susunya, sebab majikannya tidak akan tahu. Namun dijawab oleh Nabi bahwa Allah pasti akan mengetahuinya. Menurut Pak As’ad ini merupakan salah satu prinsip manajemen aset. Masih seputar tiga tipe manusia (manusia pasar, nilai, dan istana) memiliki lambaran dasar yakni harus memiliki manajemen resiko. Ali dikatakan sebagai seorang pewaris Nabi. Seorang pemimpin di China dulu pernah menyampaikan bahwa, umat Islam tidak perlu kemana-mana hanya cukup mempelajari Ali.

China memiliki situs jual beli yang cukup besar pun menggunakan nama alibaba.com. Pada situs berbasis marketplace ini tersedia harga yang sangat murah, bebas biaya pengiriman, pelayanan yang baik dan cepat serta barang yang diterima juga sangat mirip dengan yang dipesan. Pikiran Pak As’ad tersambung kepada; mengapa sebagian besar nabi menggeluti dunia perdagangan. Sebab disanalah seorang diuji apakah yang diperdagangkan atau dikatakan sesuai dengan yang diterima oleh orang lain atau tidak. Jika di China tidak mungkin menggunakan Muhammad.com maka digunakanlah Alibaba.com, maka di maiyah tidak bisa muncul “maiyah.com” sebab maiyah adalah nilai tapi alangkah baiknya jika muncul misalkan “Kasno.com”, atau “aji com” dll. Maksudnya ialah setiap khasanah yang dimiliki oleh masyarakat maiyah bisa diterapkan dalam perilaku keseharian. Maka kita harus bisa memanajemen resiko. Segala yang kita peroleh dari bermaiyah ataupun dari Mbah Nun harus terus diinternalisasi pada kehidupan sehari-hari. Bertahun-tahun bermaiyah mestinya mampu mengakumulasi ketegangan bagi dirinya untuk berbuat sesuatu.

 

Wungu dalam keseharian bagai baterai atau powerbank, yang mendampingkan positif dan negatif. Baterai dengan ketegangan dari positif dan negatif yang cukup maka bermanfaat untuk melakukan sesuatu. Demikian juga seharusnya kita dengan memiliki ketegangan positif dan negatif yang cukup untuk bermanfaat dalam ranah harian. Menyeimbangkan tegangan positif dan negatif dilakukan dengan cara mengenali diri. Bahwa setiap manusia mampu melakukan distruksi yang luar biasa sesuai bidangnya. Begitupun manusia mampu melakukan konstruksi yang luar biasa sesuai bidangnya. Walaa tansa nashiibaka minad dun-yaa. Setiap orang memiliki nasib yang tidak bisa diubah. Meskipun nasibnya adalah seorang karyawan, jadilah karyawan yang baik, maka pasti akan memiliki kelebihan dibanding karyawan yang lainnya. Manusia yang tidak mempergunakan keseimbangan tegangan positif dan negatif dalam dirinya sama halnya dengan powerbank yang tidak pernah digunakan maka akan lebih cepat rusak dibandingkan dengan yang sering digunakan dengan baik.

 

Mbah Nun ibarat seorang yang tebar bibit atau matahari. Maka bukan tugas Mbah Nun untuk menatanya. Ibarat dalam kebun, matahari tidak pilih kasih. Bukan hanya tanaman yang tumbuh tetapi juga akan ada gulma yang turut tumbuh. Tanaman yang belum diketahui manfaatnya turut tumbuh.

Maka disana dibutuhkan petani. Yang menata tanaman satu dengan yang lain, yang memilah dengan menanamnya di tanah, di pot, atau polybag.

Satu pertanyaan yang belum terjawab. “DIMANAKAH PETANINYA??”

Semua tanaman sudah tumbuh namun bisa menjadi berbahaya bila tak ada yang mendistribusikan dengan baik. Satu dengan yang lain bisa saling merusak karena kurang adanya “petani” yang bisa menatanya. Demikian menjadi pe-er bagi kita semua.

 

‘AIN DAN KIFAYAH

Mas Kasno meminta Mas Yoga Lemahabang untuk mem”bangun”kan dulur-dulur dengan pembacaan puisinya. Sebuah puisi berjudul “Pertemuan yang dinanti” karya Mas Sokhib. Penampilan Mas Yoga yang jujur berbuah keindahan dalam puisi  sarat makna. Tak hanya menuliskan puisi. Mas Sokhib juga menyampaikan sebuah pertanyaan. Beberapa waktu lalu Mas Sokhib sempat bertanya pada Mas Agus tentang wungu.

Di dalam wungu terdapat 4 hal yakni :

  1. Cinta
  2. Irodah
  3. Ikhtiar
  4. Tawakal

Di depan tadi diungkapkan selimut yang harus disibak agar menjadi kondisi wungu. Lalu selimut apa sajakah yang dimaksud? Mas Agus langsung merespon pertanyaan yang sangat baik dari Mas Sokhib tersebut.

 

Masih tersambung pada tema dalam workshop sebelumnya yakni Laras atau penyelarasan diri.  Sebaik-baik manusia ialah yang selaras dengan Allah. Jika belum bisa maka selaraslah dengan Malaikat Allah. Jika masih belum bisa maka selaraslah dengan para Nabi dan Rasul. Jika masih belum bisa juga, selaraslah dengan kitab-kitabnya. Jika masih belum bisa juga maka selaraslah dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa akan ada hari akhir. Sebab dengan kepercayaan tentang hari akhir akan membuat seseorang untuk berpikir bahwa jika ada hari akhir maka ada hari awal, dimana jika kondisi hari hari akhir tidak bisa dipastikan hasilnya, paling tidak sejak awal sudah bisa ia pilih secara memastikan niat awalnya. Jika itu juga masih belum bisa selaras, maka selaraslah dengan qodo dan qodar. Bahwa segala keinginan kita tidak selalu tercapai. Setiap manusia hanya ada kandungan probabilitas bukan absoluditas. Sebab kita hanya sebatas bersifat rancangan, yang absolut hanya Allah SWT. Agar kita tetap terjaga keselarasan, maka jangan tergoda rencana. Sebab manusia hanya akan optimal pada area rancangan bukan pada rencana. Manusia bisa merancang namun Rencana hanya milik Allah SWT. Apakah perilaku selaras hanya dimiliki oleh ulama, auliya dll atau pihak yang dianggap suci. Ya. Tapi harus ingat bahwa kita semua diperkenankan terlahir di dunia karena masing-masing kita ini memiliki eksklusifnya. Hanya saja ada yang memoles keekslusifan dirinya sehingga muncul, dan ada yang mendiamkannya sehingga hanya tertimbun. Bagaikan intan yang terpoles maka akan menampilkan keindahan, sedangkan yang terpendam sering merasa bahwa dia bukanlah intan. Ciri intan ialah bening, dalam diri kita apa yang harus bening? ialah akal. Intan bersifat padat, ialah tekad. Maka kita perlu memperluas wawasan, ilmu agar tanah yang menimbun kita semakin terkikis, terkuak. Tanah yang dimaksud ialah kepentingan-kepentingan. Sering tanpa kita sadari justru memberi “makan” kepentingan tersebut tanpa memberi kesempatan intan untuk keluar, mencuat.

 

Mengidentifikasi diri dapat diketahui dari apa yang dilihat oleh orang lain, dan kita dapat mengambil kesimpulan oranglain atas diri kita sebagai identitas baku yang ada di luar diri kita. Apabila demikian menjadi pola, maka tidak akan menghantarkan pada keprigelan mengenali diri kita sendiri. Jika orang lain lebih mengenali diri kita maka kita akan malas mencari diri sendiri. Pandangan orang lain baiknya hanya menjadi tambahan koordinat. Pada wilayah apakah letak kita berdiri? Dimana maqom kita? Kalau kita tak mengerti maqom kita sendiri, bagaimana mau qum (bangun), qiyam (bangkit) hingga bersama-sama qiyamah (menjunjung kebangkitan). Qiyamah disini diartikan sebagai bangkit, tumbuh; bukan rubuh.

 

Koordinat satu dengan yang lain harus saling melengkapi. Koordinat-koordinat ini jika dikaitkan dengan bahasa Pak Toto yang menggunakan QS Al Qasas. Mas Agus memilih koordinat ‘ain dan kifayah. ‘Ain ialah fardhu yang setiap muslim wajib menjalankan.

 

Kifayah juga fardhu namun akan menjadi tidak wajib jikalau sudah dilaksanakan oleh orang lain. Contohnya ialah sholat jenazah. Dalam sholat jenazah juga terdapat salam namun tidak ada rukuk dan sujudnya. Artinya jika ada seorang yang sudah meletakkan maqom-nya, terbaring, maka yang lain harus tetap qiyam (berdiri) untuk menjaga maqom yang baru saja kehilangan salah satu petugasnya tersebut.‘Ain dalam kehidupan ialah mengabdi pada Allah. Bahwasanya tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT.

 

Ada yang disebut pekerjaan profesi dan peran. Dalam mengerjakan profesi belum tentu sesuai dengan pos ‘ain kita. Kita harus mengenali pos ‘ain diri terlebih dahulu agar kita tahu bahwa ada sektor yang lebih harus kita prioritaskan sebab mengerti pilahan primer dan sekundernya.

 

SELIMUT DIRI

Sebagai gambarannya adalah orang yang duduk bersila. Simbol ini dipilih sebab men-diri-kan pengabdian tak selalu dilambangkan dengan tegak dan bertumpuan dua kaki. Janin di alam rohim pun berbentuk seperti hijaiyah ‘wau’, bukan posisi ber-diri, namun janin jelas tengah mendirikan pengabdiannya. Ternyata dalam alam rohim kita pernah mengalami fase sen-diri-an dan kita mampu menunaikannya dengan roso bungah. Dalam pada itu kita dilahirkan untuk menjalani kehidupan di dunia seperti halnya dalam alam kasih sayang. Namun justru setelah manusia benar-benar mampu bertumpu pada dua kaki, menjadi jarang yang mau bersusila, bersila (shilah, seakar kata dengan sholat). Shilah ini berarti terhubung pada Allah SWT. Dalam Islam ada syariatnya yakni dalam gerakan-gerakan sholat. Dimana kita berpijak, dan kemana kita menuju harus mustaqim. Namun untuk menuju kesana akan ada hambatan-hambatan, maka kita selalu meminta selalu petunjuk Tuhan yang tersampaikan pada ihdinasshirathal mustaqim. Hambatan tersebut berupa selimut yang membuat diri semakin kabur dalam melihat keadaan. Seolah jalan tidak tampak, maka patutlah kita memohon petunjuk pada Allah SWT. Jika kita tidak menyadari hambatan yang menyelimuti tersebut, kita tidak tahu bahwa jalan sudah berbelok. Kita punya mata dan telinga namun hanya kita gunakan untuk melihat dan mendengar apa yang kita mau saja. Perlu kita ketahui perjalanan pen-diri-an kita apakah berada di jalur yang biru (baik) atau merah (buruk). Kita perlu memindai, bahwa setiap manusia memiliki perannya. Setiap peran dalam manusia memiliki martabat, dimana semakin martabat itu diakomodir oleh manusia-manusia yang lain maka manusia tersebut akan menjadi semakin bermanfaat. Maka haq bahwa untuk memperjelas peran-peran kita tersebut harus bermuara pengabdian kepada Allah SWT.

 

Selimut terbagi menjadi 3 :

  • Raga
  • Jiwa
  • Sukma (ruh)

 

SELIMUT RAGA

Raga sendiri sebenarnya sudah merupakan selimut. Selimut raga ialah menggemari zona nyaman. Jika ini dijadikan ageman (pegangan), maka laksana sampah yang dibiarkan di dalam diri dan membusuk. Zona nyaman seperti kondisi yang tidak terlalu dingin atau terlalu panas. Maka yang diolah sebagai ‘ain ialah rosonya, agar tak selalu berkutat pada hal-hal jasmaniah. Manusia yang terlarut zona nyaman biasanya selalu hiperbola, tidak memiliki produk dan kurang bersyukur. Musuh untuk merubuhkan kemanusiaannya ialah ketakutan. Dengan demikian maka kita masih meletakkan Allah SWT sebagai angan belaka. Serta tidak meyakini janji cintanya. Kita perlu nggaya sebagai manusia ahsani takwim bukan untuk menegakkan diri akan tetapi menghormati bahwa kita diciptakan sebagai makhluk yang mulia.

 

SELIMUT JIWA

Takut salah, takut dianggap aneh, lebih senang berbicara di belakang, malas menambah wawasan, apatis dlsb merupakan bentuk selimut jiwa. Manusia yang berselimut ini minor quality namun secara quantity sangat mayor. Jumlahnya banyak namun belum tergerak untuk menumbuhkan kualitas.

Mbah Nun sebenarnya pernah menyampaikan bahwa benih-benih yang tersebar sebenarnya sudah mulai tumbuh dan menampakkan kuncup bunga nya. Maka perlu disingkirkan gulma-gulmanya dan justru jangan sampai hanya menjadi peradaban gulma. Peradaban sekarang sudah tidak ada yang dominan. Jika dahulu ada negara adi kuasa, namun sekarang nampaknya sudah mulai jarang didengungkan. Justru yang sering didengungkan adalah islam teroris. Padahal sebenarnya tidak ada islam teroris. Yang ada yaitu islam dan teroris. Islam merupakan kedamaian dan teroris sebaliknya yakni benci kedamaian. Untuk menjadi wungu maka harus bisa meramut keduanya. Bukan mempertandingkan keduanya. Bahwasanya ada garis merah dan biru yang harus kita sandingkan untuk menjadi wungu. Seperti di dalam surat At Taubah ayat 111. Kemudian Mas Sokhib diminta untuk melantunkannya.

Pengabdian yang sungguh-sungguh menjadi modal bagi diri kita untuk “berjualan” dan Allah SWT sendiri yang menjadi “pembeli”nya. Segala jiwa dan pemikiran kita jihadkan, untuk kita pertahankan syahadat menjadi alat pengabdian bagi Allah SWT.

 

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

 

Diskusi masih terus berlanjut, hingga lewat tengah malam. Untaian-untaian pertanyaan yang tersimpan atau tersampaikan terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yang tentunya diharap bermanfaat bagi masing-masing sedulur yang hadir; untuk dibawa pulang; untuk dijadikan bekal menyibak sedikit-demi sedikit selimut bagi raga, jiwa dan ruh. Saling berusaha mengenali diri hingga kelak, semoga kita semua menjadi manusia-manusia yang tak lelah mempertahankan konsep Allah atas diri bahwa pribadi dan pendirian kita benar-benar dalam bingkai ahsani takwim. Sebagai sabaik-baik bentuk, menjadi ciptaanNya yang mulia, menjadi manusia yang wungu. Tumbuh; bukan rubuh. Sekian reportase kali ini semoga bermanfaat.

 

___

Andhika Hendryawan

Link video terkait, klik disini

PADHANG PRANATAN

Kegiatan Majlis gugurgunung kali ini mengangkat tema yang berjudul “PADHANG PRANATAN”. Rutinan yang juga masih merupakan rentetan workshop ini menjadi edisi kedua, digelar pada 28 September 2019 bertempat di Musholla Darussalam, Lemahabang Kab.Semarang. Sebagai moderator oleh Mas Kasno dengan pengantarnya yang menjelaskan tentang kronologi awal munculnya tema ini. Ialah adanya fenomena dalam majlis gugurgunung yaitu fenomena tandur, kemudian mencoba ditaddaburi dengan surah Al-Balad. Kemudian tersambung dengan tulisan Mbah Nun juga bertema tentang Balad (negeri). Peradaban Kawi yang ada dalam surah Al-Balad, salah satunya ialah orang-orangnya senang berpantun dan berpuisi.

 

Usai Mas Kasno memberi sedikit kalimat pembuka tentang tema, lalu diteruskan dengan tawassul yang dipimpin oleh Mas Azam dan Sholawat yang dipimpin oleh Mas Ari. Sholawat selesai dilantunkan, langsung dibuka sesi tanya jawab untuk mengembangkan sayap diskusi. Penanya pertama yakni Mas Shohib. Mas Sokhib menanyakan tentang perumpamaan negeri dalam surah Al-Balad adalah negeri Mekkah, sebenarnya apa yang melatarbelakangi itu dan bagaimana gambaran kemakmurannya. Pertanyaan tersebut mendapat respon dari Mas Agus dengan menjelaskan dari keluarga sebagai piranti membangun suasana aman, dalam keluarga tersebut kita membutuhkan asupan “sembako” untuk jasad dan jiwa kita. Adapun sembako untuk jasad antara lain beras, minyak, telur, jagung, gula, minyak tanah, susu, garam, daging dll. Sedangkan untuk jiwa kita membutuhkan wiraga, wirasa, wirama, tetandur, tetulung, tetular, asah, asih dan asuh.

 

Wiraga masa dimana banyak bertingkah laku yang kemudian menjadi wirama yang tingkah laku tersebut berirama dan sudah bertanggung jawab ketika sudah berirama kita akan merasakan irama sehingga masuk dalam irama tersebut (wirasa). Kita juga diajari untuk tetandur (menanam) sebagai simbol untuk melanjutkan hidup karena kita hidup memang dijamin rezekinya oleh Allah swt tapi juga harus berusaha untuk bisa melanjutkan hidup, ketika tetandur ada panen bisa kita membagi sedikit hasil tandur dan tetulung (mengulurkan bantuan) kepada orang sekitar, setelah kita tetulung tersebut maka bisa tetular (berbagi) kepada yang lain untuk melakukan hal yang sama dengan yang kita lakukan.

Asah adalah tugas orang tua mengembangkan potensi anak yang disertai asih dengan memberi kasih sayang yang lebih maka akan terbentuk asuh yang akan terlatih pada suasana pengasuhan. Asah asih asuh akan berpengaruh sampai kita dewasa, bahkan harta berlimpahpun tidak bisa menggantikan nilai dari asah asih dan asuh itu sendiri.

 

 

Balad Al-Amin

 

Peradaban bisa disatukan dengan tawa dan tangis. Tawa dan tangis itu sebagai indikator Allah memberi adegan mempersatukan kita. Tugas seorang manusia ialah saling mengamankan satu sama lain. Untuk tercapainya hal itu membutuhkan piranti berupa iman. Jika seorang manusia tidak ada potensi untuk mengamankan maka itu termasuk benih yang mandul.

 

Balad al amin tidak bisa terlepas dari level keluarga sebagai level terkecil dalam sebuah negeri. Negeri Mekkah (Al-Balad) terdapat Masjidil Haram, air zam zam, Hijr Ismail, dan Makam Ibrahim. Kemudian Mas Agus memberi pertanyaan apakah negeri Mekkah dalam surah Al-Balad hanya ada di negara Mekkah itu sendiri atau bisa di negara selain itu? Jawabanya ialah tidak harus. Dengan alasan beberapa penjabaran sebagai berikut: dalam pembahasan tema “laras” kemarin disebutkan bahwa Hijr Ismail dan makam Ibrahim akan berlanjut di masa nabi Muhammad sebagai kiblat. Nabi Muhammad berasal dari Arab tapi risalahnya tidak untuk negara Arab saja (Rahmatan lil Alamin). Kemanapun engkau berada hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram maksudnya adalah anjuran menghadirkan Masjidil Haram dalam diri untuk hamparan bersujud dan tercegah dari perbuatan ingkar.

 

Air zam-zam mempunyai sejarah bukan sebagai aset kepemilikan melainkan ridho Allah yang dijaga dengan konsep tidak diperjual belikan. Konsep itu yang membuat air zam zam sampai sekarang tidak habis karena jika kemanfaatan yang diutamakan maka Allah akan terus memberi karunia atas penjagaanya. Sebagai simbol jasadiyah dalam surah Al-Balad memang adalah Mekkah tetapi Mekkah bisa dihadirkan di mana saja asal bisa menerapkan Hijr Ismail, Makam Ibrahim,Masjidil Haram,Air zam zam dalam negara tsb. Kemanapun kita melangkah adalah wajah Allah. Mas Agus juga sempat bercerita ada seorang ulama yang melaksanakan haji tapi ia tidak melihat ada malaikat saat ia berhaji,kemudian ia bertanya kemana para malaikat itu? Dijawab oleh sesorang bahwa malaikat itu sedang berada pada orang yang berangkat haji tapi terhenti karena melihat ada seseorang yang memakan bangkai. Setelah ditelusuri ternyata pemakan bangkai tersebut tidak ada yang bisa dimakan selain bangkai itu orang itu kemudian mensodaqohkan harta yang untuk haji tadi kepada orang yang memakan bangkai. Orang tersebut tidak jadi haji tetapi mendapat pahala seperti orang haji karena perbuatannya.

 

Syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji tidak bisa terpisah satu dengan yang lainya karena ketika kita sholat kita juga bersyahadat ketika kita puasa kita juga sholat dan syahadat ketika zakat kita syahadat,sholat puasa dan hajipun kita juga tidak lepas dari syahadat, sholat, puasa dan zakat. Dalam surah Al Fajr, Al Lail, Al Asr, As Syam dan Ad Dhuha, Allah berani bersumpah “demi waktu” dan setiap saat kita harus bersaksi karena Allah selalu ada setiap saat.

 

Sholat merupakan metode menegakkan gelombang dengan kenabian dan keterhubungan untuk menciptakan rasa kemanusiaan (Ahsan). Meskipun kita sholat belum tentu kita menegakkan rasa kemanusiaan jika belum berbuat baik/berbagi kepada anak yatim (surah Al-Ma’un). Kemudian Mas Agus turut mentadabburi surah Al-Balad ayat 2:Dan kau Muhammad bertempat di negeri Mekkah ini. Nabi Muhammad mempunyai spirit terpuji berarti ketika kita terpuji bisa menjadi ahmad dan jika dalam majlis orang-orangnya terpuji maka bisa menjadi majlis Nabi Muhammad. Dan jika kita bersaksi maka Allah dan Nabi Muhammad menyaksikan kita bersaksi dan ada ketika kita bersaksi. Ketika kita berakhlak baik jangan menganggap kita berahlak baik tapi anggaplah itu salah satu keberhasilan Nabi Muhammad untuk membangun manusia berahlak baik dengan mengaplikasikan 4 sifat Allah.

 

Pertanyaan kedua muncul dari Mbak Dewi, yaitu tentang Rahmatan Lil Alamin itu nabi Muhammad, Islamnya atau orangnya? Yang kemudian direspon oleh Mas Agus, tidak ada yang tidak terlibat dalam Rahmatan Lil Alamin entah itu Nabi Muhammad, Islam maupun orangnya karena mereka adalah bagian dari alam. Allah menciptakan sesuatu dengan konsep salam, adapun ciptaan Allah adalah persemayaman ilmuNya dengan kadar titah masing-masing. Untuk menjadi Rahmatan Lil Alamin dengan cara bagaimana mencintai ciptaan Allah agar mau bertauhid. Kita dianjurkan untuk Rahmatan Lil Alamin supaya kita bisa mencintai apa saja ciptaan Allah. Dilanjutkan oleh pertanyaan dari Mas Azam yang bertanya apakah jiwa itu nur yang ditumbuhkan supaya bermanfaat?

Langsung direspon oleh Mas Agus, bahwa karakter cahaya mencerahkan dan yang bisa mencerah ruh adalah alam jiwa,tetapi nur belum ada jika tidak ada ruh. Kiat menumbuhkan nur dengan cara memahami kegelisahan utama dalam diri kita maka bisa menumbuhkan jiwa dan nur.

Mas kasno juga memberikan responnya terhadap surah Al Balad yaitu Al Balad ayat 5 yang terkait dengan fenomena tandur yang dilakukan oleh dulur kita yaitu Mas Angling dan Mas Fajar, kemudian Mas fajar menceritakan sedikit mengenai susah payah tandur di lahan tandus bekas penggilingan batu yang tanahnya sangat padat. Fenomena itu juga berkaitan dengan tema padang tandur yang ada dalam surah Al Balad ayat 5.

 

Posisi kita dibagian negeri yang mana dan apa yang kita lakukan dengan keadaan kita saat ini? Merupakan salah satu pertanyaan dari Mas Ari malam itu. Mas Agus merespon dengan turut menjawab pertanyaan dari Mbah Nun yang tertulis dalam seri tulisan Rahmatan Lil Alamin yaitu :

 

  1. Apakah Rahmatan Lil’alamin dengan sendirinya sama dan sebangun dengan perjuangan nasional keIndonesiaan? Apakah skala dan hak serta kewajiban Nasionalisme Indonesia otomatis adalah skala dan hak dan kewajiban Rahmatan Lil’alamin?

 

Iya dengan catatan apabila pergerakan Indonesia bagian dari Rasulullah dalam Rahmatan Lil Alamin.

 

  1. Eksistensi dan perjuangan hidup sebagai warganegara Indonesia apakah merupakan perwujudan langsung dari tugas penciptaan Rahmatan Lil’alamin?

 

Bisa iya, tergantung eksistensinya dalam rangka menyebangunkan nilai untuk mengamankan satu dengan yang lain, ataukah perjuangan hidup untuk eksistensi diri dan golongan untuk menguasai aset Indonesia.

 

  1. Kalau prinsip dan praktek NKRI sendiri tidak berangkat dari prinsip Rahmatan Lil’alamin, maka bagaimana memaknai posisi Jamaah Maiyah antara Khalifah Allah dengan warganegara Indonesia?

 

Posisi NKRI untuk negeri aman dan damai, tugas manusia melanjutkan konsep utama Bhineka Tunggal Ika dan berusaha melanjutkan silah Al Balad

 

  1. Jamaah Maiyah Sinau Bareng terus apakah Rahmatan Lil’alamin identik dengan Rahmatan Lil Bilad, Lil Balad, Lil Buldan atau Lil Baldah?

 

karena Rahmatan berbicara tentang alam dan ilmu, dan negeri adalah kumpulan alam dan ilmu dan Rahmatan Lil Alamin lebih luas cakupanya. Balad Al Amin berkonsep pada identitas Ahsani Takwim.sehingga identik sebagai sebaik-baik kaum.

 

Demikianlah reportase mengenai Padhang Pranatan semoga sinau bareng kali ini bisa bermanfaat untuk kita yang senantiasa terus berusaha untuk menjadi bagian dalam Balad Al Amin.

 

 

Andhika Hendryawan & Team Reportase

DJD Keluarga Majlis gugurgunung

“Bahwa apa yang akan kita mulai malam ini merupakan upaya penetapan diri untuk menjadi pihak yang senatiasa berlindung dan menjaga amanat dari Allah swt. Mungkin sejak mulai besok ada banyak hal yang terus menerus berusaha memojokkan dan mencoreng-moreng muka martabat amanat kita dengan berbagai macam metode dan dukungan-dukungan kekuatan. Kekuatan jaringan, dana, media, bahkan kekuatan militer. Seolah jika ingin aman justru apabila kita menjadi pihak yang oportunis,menjadi pihak yang hura-hura, generasi eiya-eiya, cengengesan, demen pamer, gemar bersolek dan jika perlu menjadi peserta penyimpangan kodrat. Pilihan itu mungkin bukan hanya akan aman namun juga akan dibela atas nama kemanusiaan. Lain halnya yang sedang berusaha menjaga amanat Tuhan yang berusaha menjalin perilaku yang terus bersambung dalam gelombang kenabian, yang memilih amanat, tabligh, sidiq, fathonah, justru bisa saja akan banyak dicerca dengan berbagai ungkapan yang menghasut, penuh fitnah, dan manipulatif”, demikian prakata malam tadi yang menjadi sedikit ungkapan pembuka sebelum dimulainya pelaksnaaan dhawuh Mbah Nun yang termaktub dalam Tajuk DJD.

Tentunya ini menakutkan apabila dibayangkan. Namun, tampaknya kondisi ini tak ubahnya sebagaimana Firman Allah swt yang akan menguji kepada yang mengaku beriman dengan hantu-hantu yang seolah siap mencengkram dalam suasana ketakutan dan tiada pertolongan. Diberikan ketakutan dari sisi lahir, dari sisi pikir, dan juga dari sisi bathin. Oleh sebab demikian perlu kiranya ketakutan ini segera disambungkan dengan suasana bathin yang dialami oleh Nabi Ismail AS. Apabila hantu-hantu dalam pikiran itu lebih dominan dan sehingga gentar dan lari maka tidak akan ada momentum aqrob, quroba, yakni kedekatan hamba dengan Tuhan secara karib. Nabi Ismail menjadi teladan yang mampu menghadapi fitnah karena keyakinannya yang besar kepada kepada Allah dan rasul-Nya, maka martabat Nabi Ismail AS sama sekali bukan binatang ternak atau domba yang digembalakan, melainkan penggembala dan berkedudukan sebagai manusia yang beriman karena sanggup menghadapi ujian yang seolah siap merenggut jiwanya.

Jamaah Maiyah Ungaran, Majlis gugurgunung sudah sejak 10 Muharram melakukan upaya pemindaian diri dan penetapan langkah mengingat telah memasuki tahun hijriah yang baru. Yang hijrah atau tahun perpindahan yang baru. Pada 22 Muharram 1441 H, ada semacam ‘paksaan’ untuk segera melaksanakan peristiwa berlatih menghadapi ketakutan itu dengan cara yang bisa dibilang cukup aneh dan tidak populer di kalangan umum, yakni memberanikan diri memasuki hutan yang sepi dan sendirian dengan hanya bermodal kepasrahan diri atas segala pengamatan dan perlindungan Allah swt.

Hawa takut masih menyelimuti namun untuk lari rasanya malu hati. Hawa was-was sesekali menghinggapi namun untuk takut rasanya tidak lagi memberi kemanfaatan diri. Suasana tentram dalam sunyi dan gelap, menjadi perumpaan pikiran buruk diri yang selama ini keliru memburuk-sangkai bahwa dalam gelap dan sepi itu adalah ngeri yang patut dijauhi bahkan dihindari. Padahal suasana tentram dan khidmat didapat apabila yang nyata bukan produksi pikiran yang menghasut untuk ngeri dan kalau perlu lari menjauh kembali mendekat bersama keramaian yang disangka lebih memberikan jaminan kemananan danmanfaat. Suasana tentram dan khidmat didapat apabila yang nyata adalah ketidak-berdayaan diri namun juga sekaligus keperwiraan untuk berusaha berjuang mendekatkan diri lahir dan bathin, maka yang nyata kemudian adalah perlindungan, pengawasan, dan segala aspek pertolongan yang dicurahkan Allah dengan besar melalui lahir, pikir, dan bathin pula.

Wirid Akhir Zaman pun pada akhirnya dibacakan pertama kali dengan memilih di tengah hutan. Kali ini bersama-sama, saling menjaga dan mengawasi. Rasa takut itu mungkin berasal dari naluri Dholuman Jahula, yang merasa mampu dan berani menyangga firman Tuhan dengan gagah berani. Padahal semakin merasa gagah justru akan semakin gelisah, semakin merasa berani justru semakin ringkih hati. Tampaknya kepasrahan dan keperwiraan tetap harus bertahan bersamaan. Agar tidak merasa hebat namun juga tidak lantas melarikan diri karena takut secara ironis di tengah suasana menjalani ujian untuk semakin dekat. Wirid Akhir Zaman mengandung do’a berisi kepasrahan dan keperwiraan, Pasrah atas segala kehendak dan karunia kekuatan dari Allah, bahwa hanya Allah saja yang pantas untuk disebut sebagai Tuhan, permohonan Maghfrah dan Kasih Sayang Allah sebagai sebaik-baik Pemberi Rahmat, tentang ketidak-berdayaan apapun dan siapapun tatkala berhadapan dengan firman Allah, hingga pertolongan Allah yang akan mengkaruniakan Kebun yang lebih baik dari kebun-kebun lain yang dipupuk dengan mempersekutukan Allah swt.

Sehingga segala proses hingga dhawuh Sahan melalui Tajuk DJD seolah menjadi penegasan dan penetapan agar semua pihak yang akan merawat kebun baru ini tidak perlu memperpanjang ilusi dengan hantu-hantu peristiwa yang seolah menjadi alasan untuk mundur. Tidak untuk merasa kuat, tidak untuk merasa hebat, tak pula untuk merasa sangar. Semua tidak ada gunanya di hadapan Allah yang memiliki ketentuan. Jika ada penolong maka itu memang benar-benar dari Tuhan bukan dari hantu yang karena ditakuti lantas dianggap sebagai tuhan. Lebur dan pecah dulu diri gunung-gunung diri agar tak menghantui kepasrahan kita kepada Tuhan yang sudah memberikan amanat kebun-kebun Maiyah yang tumbuh dengan keberserahan diri, yang tak mempersekutukan-Nya, yang saling bertalian kasih sayang karena Allah swt. Yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Dimana amanat Tuhan ini disanggupi oleh manusia yang bodoh dan jahul, yang berpotensi berkhianat atas amanat tersebut. Oleh sebab demikian maka amanat Tuhan tak akan mampu disandang oleh seorang manusia pun, kecuali manusia telah mentransformasi dirinya lebur menjadi ayat Allah sendiri, menjadi Firman Allah sendiri. Yakni manusia yang sadar akan potensi dholim dan jahul-nya sehingga sanggup menjadi nol untuk manunggal dalam kehendak Tuhan Yang Maha Suci dan Tiada Ingkar Janji. Dholuman Jahula ‘Dhedhel’, apabila dholuman jahula itu dianggap tidak konstruktif maka harus dhedhel (lepas) agar menjadi konstruktif. Atau jika justru dengan dholuman jahula itu manusia menjadi konstruktif maka tentunya sudah ada formula konversi (converter) agar potensi bahaya yang bisa merubah amanat menjadi produk khianat kelak terhindarkan. Amanatnya adalah menata dan mempercantik, bukan merusak dan mencederai. Wirid Akhir Zaman perlu dihayati dan dirasuk dalam diri, siapa tahu bahwa itulah converter-nya.

DJD, bisa apa saja kepanjangannta dengan pendekatan othak-athik gathuk. Bisa ‘Do’a Jaman Dajjal’ bisa ‘Do’a Jamaah Dunia’, menurut kami sebagai anak-putu Miayah sejak beberapa bulan terakhir sudah diberikan hadiah-hadiah susul menyusul yang sangat indah dan begitu berguna, baik dari Mbah Nun, Marja’ Maiyah, Pak Toto, dan suplemen-suplemen berkelas yang tak cuma lahir namun juga bathin. Betapa teramat sangat kami syukuri. Tadinya tulisan ini berniat merespon tawaran hadiah dengan mengungkapkan atau menterjemahkan kepanjangan DJD. Namun betapa itu menjadi batal dan cukup menjadi tulisan bekti sebagai respon semata. Sebab DJD akan tidak punya kepanjangan apa-apa tanpa dilanjutkan dalam perilaku, sebaliknya maka akan terus ada kepanjangannya yang tiada bertepi jika Jamaah Maiyah senantiasa mempertautkan diri dengan Welas Asih Tuhan dengan saling menopang menjaga amanat dari-Nya.

 

Keluarga Majlis gugurgunung, 21 Oktober 2019

Padhang Pranatan

PADHANG PRANATAN

Tema kali ini diangkat dalam rangka merespon banyak hal. Merespon tentang dhawuh Mbah Nun yang setiap simpul diharapkan membuat workshop dalam rentang Agustus – Oktober. Merespon tentang persambungan dan perkembangan tema Majlis gugurgunung yang semenjak mengangkat tema “Masyarakat Lebah Me-madu” pada bulan-bulan berikutnya seolah tidak terputus dan berkesinambungan sebagai seolah bahasan berseri. Setelah pada bulan kemarin MGG mengupas tema “Laras” yang di dalam bahasannya mencoba mengingat kembali amanat utama kita di dalam hidup dan gol utama dalam hidup dengan merunut jauh zaman per zaman, peradaban demi peradaban sejak sebelum era risalah kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga terus di ujung mula peradaban Nabi Adam AS.

 

Tidak hanya itu, runutan itu juga mempertautkannya dengan sejarah sejak sebelum Nabi Adam belum diturunkan ke muka bumi bahkan racikan-racikan peristiwa yang melatarinya. Pada bulan kemarin masyarakat maiyah Ungaran yang tergandeng dalam keluarga Majlis gugurgunung mencoba membuat penegasan bahwa hidup di dunia ini sangat kompleks dan serius, dan kehadiran para utusan itu untuk membuat yang kompleks itu tertata dan membenderangi keadaan. Maka, betapa perlunya menyambungkan diri secara laras posisi diri kita sekarang dengan sejarah panjang dan serius alasan kita diciptakan.

 

Berikutnya, yakni pada bulan ini. Majlis gugurgunung mencoba mengupas makna Negeri. Apakah negeri itu adalah teritori kecil? suatu bangsa yang didiami oleh sedikit keragaman? atau sebuah kawasan nilai yang dipenduduki manusia-manusia yang menjaga nilai? Sebab, apabila sebelumnya paham tentang sejarah penciptaan kita maka selanjutnya perlu memahami tugas dan peran yang perlu dirintis dijalankan dan dibangun dengan semangat menggapai suatu penataan yang berpendar cahaya Rahmat Allah swt. Dengan demikian bulan Sepetember 2019 ini ditemukanlah tema tentang penataan, yakni: PADHANG PRANATAN.

 

Secara Bahasa, Padhang mengandung arti : Terbentang Cerah, Terang, Bersih. Sedangkan Pranatan mengandung arti : sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat; institusi. Pranatan juga mempunyai arti lain, yaitu: Pemikiran, Jiwa, Ideologi. Inti struktur pranatan adalah, menjelitakan alam semesta yang telah cantik, memayu hayuning bawana.

 

Menghubungkan masa silam dengan masa sekarang untuk masa yang akan datang adalah metodologi penyusuran silah yang kami yakini. Amsalnya demikian, bijih suatu tumbuhan menampung dan merekam segala rentetan peristiwa tumbuh kembang yg dialami induknya. Menyimpan seluruh karakter dan identitas dominan dari tumbuhan induknya. Sehingga untuk siklus atau proses kehidupan selanjutnya, bijih yang dijadikan sebagai benih tersebut ketika ditanam akan tumbuh sebagaimana induknya tumbuh. Akar, batang, daun, bunga, buah, wanginya bunga, manisnya buah, dan seterusnya dan seterusnya sampai ke bijih lagi akan mempunyai karakter yang relatif sama. Kecuali ada unsur lain dari luar yang sengaja memutus rantai siklus, misalnya dengan cara mencemari nutrisi asupannya, mencemari media tanamnya, dan lain-lain yang kemudian benih menjadi rusak, sehingga tidak dapat meneruskan karakter Induknya pada siklus kehidupan selanjutnya. Manusia  merupakan komponen penting atas terbentuknya sebuah pranatan. Mari mengembarai diri melalui salah satu pintu ini,

 

“Jangan melakukan apapun diluar jalur kenabian,”. Sebuah dhawuh dari Mbah Nun yang disampaikan pada gelaran sinau bareng di Kudus pada awal bulan September 2019 ini. Sefrekwensi dengan Diagram Pemetaan Dasar Peradaban, yang telah diangkat menjadi materi Workshop sinau bareng gugurgunungan bulan Agustus lalu. Yang didalamnya menggambarkan runtutan peradaban Manusia yang padanya mempunyai dua fenomena jalur pengembaraan yaitu Jalur Ahsani Takwim dan Jalur Asfala Safilin. Jalur-jalur peradaban sejak peradaban Nabi Adam AS sampai dengan Nabi Muhammad SAW, atau sejak Peradaban At Tin – Peradaban Zaitun – Peradaban Sinai – Sampai ke Peradaban Al Balad Al Amiin.

 

Selanjutnya membangun kesadaran untuk kian memahami pranatan yang sejak awal dibangun untuk diterapkan hingga akhir zaman. Perubahan pranatan secara fisik memang pasti terjadi, namun konsep utamanya harus terus dipertahankan, sebagai bagian dari memperjuangkan Sunatullah. Pengetahuan leluhur yang adilihung memberangkatkan peradaban dengan keindahan, kabaikan, dan kebenaran, sebagai konsep Dasar ciptaan Tuhan. Konsep Dasar sebagai unsur spiritual. Sandang, pangan, papan senantiasa diupayakan dan dibangun dengan mengacu pada tatanan paugeran spiritual.

 

Pintu selanjutnya adalah,

Beberapa pertanyaan Mbah Nun yang tertulis dalam seri tulisan RAHMATAN LIL-BILAD. Demikian,

  1. Apakah Rahmatan Lil’alamin dengan sendirinya sama dan sebangun dengan perjuangan nasional keIndonesiaan? Apakah skala dan hak serta kewajiban Nasionalisme Indonesia otomatis adalah skala dan hak dan kewajiban Rahmatan Lil’alamin?
  2. Eksistensi dan perjuangan hidup sebagai warganegara Indonesia apakah merupakan perwujudan langsung dari tugas penciptaan Rahmatan Lil’alamin?
  3. Kalau prinsip dan praktek NKRI sendiri tidak berangkat dari prinsip Rahmatan Lil’alamin, maka bagaimana memaknai posisi Jamaah Maiyah antara Khalifah Allah dengan warganegara Indonesia?
  4. Jamaah Maiyah Sinau Bareng terus apakah Rahmatan Lil’alamin identik dengan Rahmatan Lil Bilad, Lil Balad, Lil Buldan atau Lil Baldah?

 

Kemudian, Pertanyaan ini mengantarkan kami pada tadabur tentang :

 

Ummul Qura, dimana terdapat sosok terpuji yang bergelar Ummi. Pada sebuah padang mulia, saking mulianya pada padang tersebut rumputpun dilarang untuk dicabut, dilarang membunuh, dilarang menganiaya, siapa saja yang berada pada padang mulia tersebut harus dijamin Aman. Juga padang yang menjadi saksi atas perjuangan Kanjeng Nabi yang begitu Terjal. Tentang nila-nilai kemanusiaan yang menganjurkan untuk mengasihi anak yatim dan orang-orang lapar serta fakir-miskin, memerdekaan/membebaskan budak, perjuangan manusia yang susah-payah, saling nasihat menasihati dalam hal kesabaran dan kasih sayang.

 

Allah SAW berfirman, QS. Al Balad ayat 1

 

 

 

Aku bersumpah dengan Negeri ini

 

Selanjutnya, mari melingkar, bareng bareng mentadaburi QS. Al Balad. Untuk menemukan jawaban-jawaban atau bahkan rumusan-rumusan untuk menuju kembali pada Al Balad Al Aamiin, selaras dengan perkenan Allah SWT. Aamiin

LARAS

Gelaran rutinitas majlis gugurgunung pasca dorman. Pembaharuan niat, langkah menjadi bahasan yang perlu untuk menata segala sesuatunya agar menjadi lebih baik. Hampir serba baru, selain niat baru juga malam tahun baru, karena bertepatan dengan malam pergantian tahun hijriah, malam satu Muharram 1441 H, dan tanggal masehi pada 31 Agustus 2019. Lokasi yang dipilih pun baru, bukan karena baru digunakan gugurgunungan pertama kali, namun memang Musholla ini bangunan baru yang dibangun dari wakaf seorang mulia bernama Mbah Mus, salah seorang warga setempat. Kemudian musholla ini dinamakan: Darussalam, berada di Dusun Gembongan – Lemah abang, Ungaran Kab. Semarang.


Kegiatan dimulai kisaran pukul 21.00 WIB. Langsung saja malam ini memperbarui niat bertepatan pergantian tahun baru Hijriah, Mas Sokhib diminta untuk memimpin doa awal tahun dan akhir tahun ini. Turut didoakan putra Mas Mif yang kebetulan malam itu sedang sakit. Doa tawasul yang indah dan ayem oleh Mas Azam, Munajat Maiyah oleh Mas Tyo yang berpembawaan kalem sehingga suasana makin khidmat. Kemudian doa oleh Mas Ari, dimana satu bagian doa ini merupakan wasiat Mbah Nun yang selalu dibaca sebelum Majlisan. Rangkaian kloso penentraman hati sudah digelar masuklah sesi sinau bareng cangkruk budi doyo maiyah Ungaran ini. Tak perlu menunggu komando mas Kasno segera mengambil peran. Berpijak dari tajuk yang ditulis Mbah Nun, bersama Pak Toto Rahardjo menjadi bahan penulisan untuk mukadimmah yang ditulis oleh Mas Agus, “Selamat bangun kembali dari masa dorman” demikian ungkap Mas Kasno untuk mengawali cangkruk, diskusi sekaligus workshop pada malam hari ini.

Pada momentum Muharram/Haruma, seakan kita dibangunkan oleh Mbah Nun untuk ber-Tajdidun-n-niyaat. Mari bersama-sama mensyukuri momentum ini. Momentum yang satu tahun lalu tepatnya pada Paseban Muharram, telah disepakati, diantaranya adalah, bahwa tiap memasuki bulan Muharram Majlis gugurgunung hendaknya mempunyai tradisi untuk berkumpul atau melakukan Paseban. Menentukan apa-apa saja yang perlu atau tidak perlu untuk dilanjutkan. Atau apa-apa yang perlu atau tidak perlu untuk dilakukan.

“Tajdidu-n-niyaat”, merupakan dhawuh dari Mbah Nun yang merujuk pada Tulisan Pak Kyai Toto tentang “Perjuangan Menemukan Jati Diri”. Hal tersebut kemudian sejenak me-remind beberapa hal dalam tema yang pernah diangkat dalam rutinan Majlis gugurgunung. Diantaranya adalah tema “Tandur Kusuma Jati Wijaya”, momentum yang ditengarai dengan fenomena kegembiraan bersama keluarga gugurgunung nandur kembang Wijaya Kusuma yang dipelopori oleh Mas Yudi Rohmad. Yang kemudian juga mentadaburi istilah (Tandur, Tandzur = merawat, Memperhatikan). Juga istilah kata ( Niat, Nawaitu ), kata yang juga terbentuk dari huruf Alif-Lam-Nun-Wawu-Ya, yaitu huruf yang selalu ada dalam semua surat dalam Al Qur’an, yang apabila dirangkai akan membentuk kata Annawai yang artinya adalah benih.

Mas Kasno juga kemudian teringat dengan apa yang pernah disampaikan oleh Mbah Nun, dan mengajak atau menawarkan pada dulur-dulur semua untuk masuk melalui kalimat yang disampaikan beliau tersebut terkait dengan niat. Kurang lebih demikian, “Setiap niat baik, Tuhan sendiri yang akan bertanggung jawab akan hasilnya” Maka pada malam ini, sebagai respon atas dhawuh tersebut, kita mengangkat Tema “LARAS”. Sebuah metode yang akan kita sinauni bareng, dengan membangun semangat Hafidz (Menjaga). Semoga niat yang kita teguhkan ini, senantiasa seLARAS dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT. Amin…

Mas Agus kemudian diminta untuk memberi preambule untuk memantik diskusi. Ini adalah gugurgunungan pertama usai dorman. Ada yang perlu diperbaharui seperti anjuran Mbah Nun untuk memperbarui niat. Bahwa apa yang menjadi hambatan kemarin, segala sesuatunya sudah selesai. Termasuk beberapa hutang dokumentasi serta reportase. Alhamdulillah Mas Aji yang jauh-jauh dari Prambanan malam ini turut hadir. Kemudian oleh mas Agus, mas Ajik dimintai “oleh-oleh” yang diperoleh ketika kemarin Mocopat Syafaat.

Mas Aji mengungkapkan bahwa di Mocopat Syafaat sama dengan simpul-simpul lain yang memberi respon tentang manusia nilai, manusia pasar dan manusia istana. Yang perlu digaris-bawahi pembagian tersebut bukan pembagian secara hirarki tetapi lebih kepada sifat bahwa semua ada di dalam diri kita. Dalam pada itu sebenarnyalah manusia merupakan manusia nilai. Dimana pasar dan istana menjadi sub, semacam wahana “bermain”nya saja. Semua masih dalam rangkaian sebab akibat. Bukan hanya dengan menguras tenaga untuk mendapat rejeki, tetapi masih ada seribu jalan lainnya. Ketika di Mocopat Syafaat waktu itu diminta masing-masing 3 orang dari tiap jenis manusia untuk naik ke panggung.

Manusia pasar memang lebih pada urusan transaksi. Pedagang atau penjual, koperasi dll.
Manusia nilai waktu itu diwakili oleh seorang Guru dan Guru TPA, dan manusia istana ialah beberapa mahasiswa. Manusia istana dipilih berdasarkan pengaruhnya terhadap lingkup masyarakat yang lebih luas. Baik itu mahasiswa, kepala bagian, kepala asosiasi dll. Semua hal tersebut masih dalam bingkai kewaspadaan. Salah satu dari 4 tajuk bahwa Mbah Nun khawatir kalau ada tekanan hari-hari yang mana sampai merasa lelah, sakit, marah dll. Tajuk ini berangkat dari empati simbah terhadap jamaah maiyah di lingkungan luar yang serba materialisme, transaksi dll yg dialami tiap hari. Sehingga disana membutuhkan kewaspadaan dan membaca diri agar lebih waspada dalam bersikap. Alat tukar kita dengan Allah SWT adalah ketakwaan.

Menurut tadabbur Mas Aji yang jelas ada fase-fase dimana kita memilih dirimu atau selamat dengan nilai, milih berhala atau Allah, anakmu atau Allah lulus terus. Momentum-momentum tersebut jika dinilai dengan transaksi maka sangat kontekstual terhadap kehidupan. Apakah kita memilih nilai atau memilih di luar itu. Sekali lagi bahwa antara manusia nilai, pasar dan istana maka semua adalah manusia nilai. Sedangkan pasar dan istana hanyalah wahana bermain. Keputusan memilih tersebut ketika terpeleset maka justru menjadi goalnya dimana semestinya hanya sebagai sarana atau alat untuk menuju nilai yang lebih besar.

Mas Agus menambahkan bahwa untuk memegang nilai pasti akan berhadapan dengan arus. Apakah arus tersebut akan membuat kita kalah? Jika alat tukar dengan Allah  SWT adalah takwa. Dimana dalam Al Qur’an Nabi Ibrahim sudah distempel sebagai imamnya umat manusia. Pastilah itu bukan sekedar mitos, legenda, dongeng dll. Itu adalah kenyataan yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim. Tidak bisa kita hanya mengatakan “kan dia itu nabi..”. Kita harus bersyukur bahwa Nabi Ibrahim mencontohkan bahwa dirinya adalah seorang manusia pilih tanding. Yang memang dikabarkan dalam Al Qur’an bahwa ia adalah seorang pembawa berita (nubuah, nabi) dan kita memang tidak akan sanggup menjangkaunya. Dalam beberapa ungkapan Mas Aji di depan, diharap bisa menjadi bahan pertanyaan agar diskusi nanti bisa berkembang.

Membidik point dari Pak Totok tentang Al Qasas  bahwa kita harus menentukan peran kita di dunia. Kebetulan memang jauh sebelum ada tajuk tersebut sudah dibuat tema diskusi malam hari ini yakni Laras. Maka tema ini tetap dipertahankan. Kita ibarat gamelan yang memiliki tone nya sendiri-sendiri. Gamelan ini memiliki keunikan yang perlu distem supaya mapan suaranya. Gamelan memiliki dua ciri ketika bahannya bagus tidak pernah dilaras maka nada akan meninggi. Kalau bahan kurang bagus tidak pernah dilaras atau distem maka nada merendah. Ini perlambang yang sangat indah untuk melihat diri sendiri. Ketika kita manusia tidak bagus, lalu terhasut nilai dalam kehidupan maka merendah mudah patah dll. Kalau bahan kita bagus maka kita meninggi yakni sombong demikian efek jika tidak pernah dilaras. Berikutnya, bagaimana kita menyelaraskan kehidupan kita secara nilai terhadap Al Qur’an. Gamelan akan selesai menjadi tidak perlu dilaras ketika usianya 25 tahun. Sudah mapan, mateng dan tidak perlu dilaras lagi.

Ketika disambungkan dengan hafidz yakni merupakan fenomena memelihara. Laras sangat dekat dengan hafidz. Bahwasanya tidak perlu menyelarasakan dalam seluruh Al Qur’an. Minimal mampu menyelaraskan dengan ayat apa yang bisa kita ambil dan selaraskan untuk kehidupan kita masing-masing. Laras bukan sekedar diingat tetapi juga dilakukan terus menerus. Andaikan usia aqil baligh ialah 15 tahun. Jika dihitung 25 tahun setelahnya maka akan menjadi usia 40 tahun. Itulah usia dimana Rasulullah mendapat wahyu dan diangkat menjadi nabi. Mengapa aqil baligh diletakkan 15 tahun? Menurut Mas Agus bahwa kita diberi bonus hidup manusia sebanyak dua windu awal untuk tidak dihitung. Baik untuk recalling, reminding dan lain-lain yakni sampai pada usia 15 tahun.

Setelah melewati usia 2 windu akan menjadi dihitung, dan harus menjadi laras. Kita sudah memiliki tone tetapi belum final dan harus berproses melaras dengan Al Qur’an. Tidak harus dengan seperangkat gamelan atau 30 juz. Sebab 30 juz merupakan pengembangan dari induk alquran yakni Al Fatihah. Bahkan minimal selaras dengan Bismillah. Minimal pengucapan dalam setiap laku. Pertama hingga bertemu Ba, lalu nanti pada partikel yg lebih kecil bertemu titiknya. Seperti pada tahap belajar salam. Tidak perlu  mengucap salam kepada satu-satu. Asalkan kita tidak mengancam harta, darah, orang lain berarti kita sudah salam. Seperti halnya laras. Ini tadi pembahasan secara mayor. Berikutnya kita nanti akan pada tahap personal.

Jeda sejenak untuk menikmati untaian kata oleh keluarga gugurgunung berupa karya-karya puisi yang apik. Penampilan sebuah puisi oleh Mas Angling, sebuah puisi karyanya sendiri berjudul ‘Sambal’. Puisi sederhana dengan racikan kata nan istimewa. Senantiasa mendapat apresiasi, meskipun oleh Mas Agus sedikit memberi input tentang cara pembacaan. Puisi berikutnya dari Mas Fajar yang juga membawakan puisi karyanya sendiri berjudul “Temanku yang dewasa”. Mas Sokhib tidak ketinggalan untuk memberi suguhan puisi yang indah dan romantis gubahannya sendiri tentang seorang istri, puisi berjudul “Bidadari”. Tak seperti biasa, untaian kata yang terangkai dalam puisi-puisi ini seolah menggugah kegembiraan berkata-kata dengan laras dan bermakna. Bahkan Mbak Dewi yang sudah lama tidak tampil, malam itu membawakan juga sebuah puisi karya mas Angling yang bertema tentang ibu. Puisi demi puisi tersajikan dengan apik dan menambah syahdu suasana.

Berlanjut lagi ke diskusi. Mas Sokhib merespon tentang tema dengan sebuah pertanyaan, tentang manusia nilai bahwa kita sebenarnya adalah manusia nilai. Sejak dulu TK hingga bekerja selalu terdengar kata nilai. Apapun yg dilakukan selalu berfokus seputar nilai termasuk kegiatan bermasyarakat. Maksudnya nilai seperti apa? Mas Anjar tak ketinggalan untuk mengembangkan sayap diskusi dengan sebuah pertanyaan tentang pencarian jatidiri apakah terkait dengan janma? Bagaimana jika menjalani tidak sesuai titah apakah akan tidak sesuai pula dengan jatidiri.

Mas Agus, merespon tentang manusia nilai maka memerlukan beberapa piranti. Nilai adalah value atau bobot bukan sekedar angka. Dimana jika kita tarik lagi dalam etimologi bahwa bobot juga tersambung dengan bibit. Benih inti disebut culture. Nilai juga dikonfirmasi pada bobot bukan sekedar angka-angka. Apakah kemudian kita mampu meletakkannya pada letak abdi dan khalifah. Apakah kita membangun kesemestaan dalam kehidupan kita sendiri dalam bobot kehidupan. Apakah Allah SWT ridho atau tidak terletak di sana. Bahwa sekarang terjadi fenomena penilaian, di maiyah kerap didengar bahwa sesama murid tidak boleh mengisi rapor murid lainnya. Indikator-indikator pencapaian yang lebih pada bobot ialah sejauh mana kita bermanfaat bagi orang lain. Bagaimana kita membangun proses dengan grafik yang menaik bukan malah menurun.

Letak value disini ialah kita menjalankan sebuah perilaku sesuai dengan kehendak Tuhan kepada kita bukan dari atasan, guru dll. Kita tetap bisa menjalankan kehendak guru atau atasan ketika tidak melenceng dari koridor yang diletakkan Tuhan. Sebab kita memiliki keterbatasan untuk menyerap informasi dari Tuhan secara langsung.

Mbah Nun ingin mempertahankan sebuah kesemestaan tanpa pretensi atau tanpa motif. Manusia pasar tidak selalu buruk sebab ada anjuran untuk berniaga. Maka tata aturan di islam sangat jelas. Seperti tentang aturan dilarang mengurangi timbangan. Bahkan masa muda rasul pun berniaga tetapi tetap dengan memegang teguh nilai. Baik pasar dan istana (pemimpin) hanyalah sebuah instrumen. Hewan-hewan pun ada yang menjadi pemimpin dengan persyaratan yang cukup banyak pula. Apakah kita sebagai manusia juga melakukan penyeleksian yang sama. Misal ada policy tertentu yang sebenarnya kita enggan. Banyak ketidaksepakatan tetapi kita tidak mempunyai kekuasaan untuk membantah. Sebab kita memilih manusia istana yang tidak sesuai.

Sebenarnya tidak masalah apakah menjadi manusia pasar dan istana. Asalkan masih menjadi manusia nilai. Nilai terbesar ialah kemanusiaan. Jika itu tergadaikan dengan angka maka kemanusiaan akan menjadi rendah. Bukan sekedar angka tetapi pengabdian pada Tuhan. Tidak masalah manusia nilai memasar dan mengistana. Oleh karenanya di Jawa tidak menggunakan kata “aku”, yang dipakai ialah “ingsun”. Ing sajroning pisungsunan dalam sebuah tatanan dimana dalam susunan, Allah menjadi ratunya. Manusia pemimpin pun teta tunduk kepada Allah sebagai Raja atau Ratu yang utama, Malikinnas.

Merespon pertanyaan Mas Anjar. Bahwasannya janma prajurit tidak harus menjadi tentara. Andaipun dia sebagai petani tetapi turut berperan mengamankan maka juga ia seorang janma prajurit. Hasta janma adalah profesi kita dihadapan Tuhan. Gajinya berupa efek sosial. Janma tani mendapat bayaran berupa masyarakat yang ayem tentrem, janma ujam dudukan bayarannya masyarakat yang sehat bagas waras, prajurit gajinya berupa masyarakat yang hidup dalam rasa aman dan seterusnya. Setiap pihak menjadi orkestra yang sudah terintegrasi. Kondisi saat ini petugas-petugas Allah sudah sangat sedikit. Sekarang masih hidup dalam kerukunan, kenyamanan tetapi merupakan sisa gaji dari leluhur. Jika kita tidak pula melakukan hal yang sama hingga menjadi ahli dalam bidangnya masing-masing maka tunggulah kehancurannya. Sebelum hancur maka kita harus segera menemukan peran kita untuk menjadi ahla dimana masing-masing memiliki keahlian untuk saling menopang satu sama lain.

Kemudian ada Mas Santoso, seorang manusia pasar yang juga seorang manusia nilai. Ia adalah seorang peternak yang lama tak ikut merapat, dan rindu melingkar di majlisan kali ini. Berbagi kisah dan pengalamannya seputar beternak. Niat bekerja untuk menggugurkan kewajiban dalam berkeluarga. “Obaho sakmampumu, nyambut gawe sak isomu”, demikian sedikit yang menjadi ungkapannya. Ia memulai peternakan karena menurut Mas Santoso merasa hanya bisa melakukan hal itu.  Memulai dari telur ayam kampung lalu ditetaskannya sendiri namun tingkat resiko tidak berbanding lurus dengan keuntungan. Sekarang merambah menuju telur entog, daging entog hingga kalkun.

Waktu sudah lewat tengah malam, kisaran 00.15 WIB Mas Yoga menampilkan perform dua lagu. Sedikit membantu untuk mencairkan suasana dalam diskusi pembahasan yang cukup mendalam. Waktu menunjukkan pukul 00.40 WIB Mas Agus meminta kepada semua yang hadir untuk masuk ke ruangan dalam musholla agar gumpalan energi yang hadir pun menjadi lebih besar. Kemudian Mas Sokhib diminta untuk membaca surah At-Tin. Dan semua diminta untuk mengirim Al Fatihah untuk beberapa Nabi yang akan nanti dipelajari kisah-kisahnya dan korelasinya dengan diri kita semua dalam workshop yang diagramnya sudah diunggah di website dan akun sosmed gugurgunung. Workshop Laras ini merupakan tahap 1 (satu) yang akan diadakan hingga Oktober ke depan dengan waktu yang dibersamakan pada saat reguler Sinau bareng setiap malam Minggu terakhir.

Sekian reportase edisi Agustus 2019 dengan tema Laras. Semoga bermanfaat.

 

Andhika Hendryawan
Yoga
Angling tri
Cahya