Reminding Ekosofi

 

Kehidupan kita sebagai insan melewati beberapa fase. Ada tujuh fase mayor atau wajib yang telah sering kita jadikan bahan pasinaon. Dalam setiap fase ada beberapa fase minor atau sunnah. Dan pada setiap fase baik mayor maupun minor memiliki beberapa variable yang menarik. Justru bukan karena variable itu sederhana malainkan karena variable-variable itu kompleks.

Fase itu merupakan fase perjalanan hidup di dunia, atau ekosistem dunia. Sementara kita diajarkan bahwa ada beberapa alam yang berbeda-beda yang telah dan atau akan kita lalui. Setiap ekosistem menampilkan ekologi yang berbeda-beda pula. Meski demikian, kita dibantu melalui setiap alam tersebut dengan rumus yang berlaku dalam setiap alam. Yakni ekosofi. Mari kita bebarengan sinau mengingat kembali hal tersebut sebagai alat melewati setiap variable dan setiap fase baik mayor maupun minor.

 

Sinau Bareng Majlis Gugurgunung edisi Mei 2021

Pada Sabtu pekan terakhir di bulan Mei tepatnya 29 Mei 2021. Merupakan Sinau Bareng yang ketiga kalinya diadakan kembali pada malam hari di tahun 2021 oleh Majlis gugurgunung. Meskipun isu pandemi masih ada pasca lebaran 2021, namun proses adaptasi terhadap situasi saat ini telah jauh lebih kondusif. Apalagi memang euforia terhadap sinau bareng begitu membahagiakan karena bertepatan setelah diadakan panen hasil dari kebun Mbodro pakaryan yang berupa semangka dan melon, dan merupakan menu utama dalam suguhan malam itu.

 

 

Bismillahirrohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan sukacita dan memantapkan diri untuk bertempat di komplek makam Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari, Kab. Semarang untuk melaksanakan rutinan Sinau Bareng. Tema workshop malam ini merupakan sebuah topik yang muncul dikala euforia setelah dilaksakannya panen semangka dan melon yang diadakan beberapa hari yang lalu dan setelah mengombyongi berkunjung kerumah mas Sabrang yang berada di Timoho Jogja pada hari rabu kemarin. Saking banyaknya fenomena yang berlangsung selama bulan Mei ini, tak satupun yang tak penting. Maka justru bulan Mei ini tidak mengangkat tema spesifik, kami hanya berangkat dari puisi Mbah Nun yang berjudul “berdekatankah kita” yang diharapkan bisa bersambung kepada seluruh peristiwa tema yang ingin kita bahas.

 

Berdekatankah kita

Sedang rasa begini dekat

Tapi berdekatankah kita

Sedang rasa teramat jauh

Seperti langit dan warna biru

Seperti sepi menyeru

O, kekasih, kau kandung aku

Kukandung engkau

Seperti memendam mimpi

Terendam di kepala

Namun sayup tak terkira

Hanya sunyi mengajari kita

Untuk tak mendua

Alhamdulillah pada malam hari ini dihadiri juga oleh mas Imam sahili, begitu juga dihadiri Mas Ihda beserta Mas Rizal yang datang dari Semarang yang membuat suasana makin hangat dan meriah yang pada satu hari sebelumnya telah tiba dulu di Semarang. Kemudian dilanjutkan dengan Tawasul oleh Pak Tri juga Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan oleh mas Agus.

 

Sebagai pantikan untuk mengawali sinau bareng pada malam itu, mas Kasno sebagai moderator membukanya dengan sebuah prakata, bahwa sesungguhnya moment ini adalah bebarengan dengan letupan-letupan kebahagian yang panjang, sesungguhnya sowan ke Jogja tempo hari bukan dalam rangka pamer tentang panen yang diperoleh namun sebagai ungkapan kebahagiaan telah melaksanakan PR yang telah diberikan oleh Mbah Nun. Pada awal pertama merintis pertanian, kalau dapat di dramatisir Mbodro pakaryan telah mengalami fase berdarah-darah, dan melalui mimpi ternyata digambarkan ada serombongan mobil dari Jogja dengan Plat kota nya yaitu AB, waktu itu beberapa penggiat mbodro pakaryan sedang beristirahat di gubug kecilnya, tanpa disadari ternyatata rombongan itu adalah rombongan dari Mbah Nun dan Mas Sabrang, kehadiran beliau disambut hangat oleh para penggiat, siang itu sebenarnya rombongan itu ingin mampir ke rumah mas Agus namun dalam mimpi itu mas Agus belum pulang dari kerja, akhirnya rombongan Mbah Nun beristirahat dahulu di gubug, sambil ngopi dan berbincang-bincang, dalam perbincangan tersebut Mbah Nun memberikan pesan untuk mencari seseorang yang bernama “Prayitno”, begitulah penggambaran mimpi tersebut. Sehingga memunculkan keingin tahuan dari kami untuk mencari tahu siapa sebenarnya “Prayitno” yang berada dalam mimpi, bahkan hingga bertanya pada warga sekitar namun ternyata semua nihil, dan akhirnya kita mencoba untuk mencari tahu perlambangan arti dari “Prayitno” dalam bahasa jawa, dan ternyata disebutkan bahwa makna kata “Prayitno” dalam bahasa Indonesia adalah “Kewaspadaan”, ternyata kita dituntut untuk mewaspadai segala sesuatu dalam segala situasi yang terjadi selama penggarapan lahan tersebut termasuk hama, cuaca kritikan dlsb. Dan tingkat kewaspadaan tertinggi adalah kewaspadaan terhadap diri sendiri, kelengahan, kegegabahan, kesombongan, terlalu terhanyut dalam kebahagiaan hanya karena bisa membuat sebuah bedengan dan jalan air semata. Dan dari rentetan peristiwa tersebut segala sesuatu kegagalan muncul karena kita terlalu menyepelekan, menganggap semua aman-aman saja, serta saat mengalami kegagalan tersebut kita juga dihantui juga rasa putus asa, Sehingga dapat di tarik garis besarnya kita harus mewaspadai kesombongan dan putus asa. Dan datang lagi informasi dari Mbah Nun, bahwasannya bertani dan sebagainya itu sebenarnya sebagai apa?, bahwa akar kata dari amal adalah kerja, di dalam bekerja itulah kita beramal juga, jadi kalau bertani itu merupakan bekerja dengan Allah , dari situlah semangat bertani kita tumbuh kembali dan alhamdullilah hingga mengantarkan kita pada panen. Setelah tepat malam dimana sebelum keberangkatan ke Jogja kita sempat mengobrol soal kyai Muzammil tentang panean yaitu merujuk pada kata panen, dan ternyata satu hari setelah pulang dari Jogja Kyai Muzammil dipanggil untuk menghadap kembali pada sisi-Nya, lagi-lagi kita harus berlatih kembali untuk gugur dari tema tancep kayon kemarin.

 

 

Lalu berlanjut pada Mas Agus, bahwa semua yang terjadi antara awal bulan Mei kita dihadapkan pada semua serangkaian peristiwa, panen bertepatan dengan, mulai dari bulan purnama, super moon, juga bertepatan dengan ulang tahun Mbah Nun, dan pula bertepatan dengan berpulangnya Kyai Muzammil, dan pula termasuk fenomena turunnya wahyu keprabon, dan pula turunnya wahyu keprabon bukanlah sesuatu lantas serta merta membahagiakan, bahwasannya disitulah dimulai untuk bagaimana untuk menyegerakan diri, akankah mengikuti Nabi Muhammad SAW. Ataukan menjadi seseorang yang ingkar, mau kufur atau sukur, mau tumbuh atau rubuh, nah disini kita mencoba untuk memahami bagaimana kita mencoba menumbuhkan dan bisa menjadi penyambung jiwa kita walaupun kita telah kembali, seperti menanam kita sudah dipanggil maka buah dari pohon itu masih bisa muncul menggantikan jiwa kita, daun-daun yang menuju langit dan buahnya itulah surga, surga dalam bahasa Arab bisa Furdaus, Jannah, tetapi kita menitik beratkan pada Jannah, kosakata yang tersemat bagi masyarakat Maiyah sebagai Jannatul Maiyah, kebun kebun Maiyah, itu semua karena kita hanya baru bisa melaksakan dari segi materialnya, yaitu bertani, berkebun, maka ketika sudah memulainya maka disitulah kita mengenal Jannah Dunia, Apa-apa yang kita temui di surga semua berkaitan dengan yang kita lakukan atau tanam di dunia ini. Bahwa semua yang kita tanam akan bekerja untuk kita, kelak itu akan mendapat imbalan, ketika amal dalam bentuk uang, itu menurut Mbah Nun merupakan cara transaksional, kita akan mengharap imbalan juga dalam bentuk material. Atas kepergian Kyai Muzammil maka kita maknailah itu perwujudan dari panen Maiyah, meskipun sebenarnya dalam konteks kemanusiaan kita tidak dalam seperti itu, namun ketika kita meyakini bahwa suatu kepergian itu adalah perwujudan kesempatan yang dikasih oleh Allah, maka kita benar kalau apa yang sudah di amalkan oleh Kyai muzammil itu di dunia sudah waktunya disitulah Maiyah memanennya, maka berbuahlah itu, masyarakat maiyah sedang mengalami panen yang besar karena sehubungan berpulangnya mulai dari bunda Chammana, Syech Kamba, Mbah Umbu dan disusul Kyai Muzammil.

Lalu berlanjut lah duskusi, bahwasannya pada malam itu tidak ada tema, maka dibuka pada teman-teman untuk mengungkapkan impresinya pada malam itu, dan dimulai dari Mas Imam Sahili, beliau mengungkapkan suka duka dalam menanam dahulu ketika sudah mulai berbuah kecil dan membuat hati bahagia, ternyata selang beberapa hari sudah dipetik oleh putrinya dan begitupun saat

 

 

tetangga menanam sudah berbuah juga sudah dipetik lagi, dan itu cukup membuat gemes di dalam hati walaupun pada awal sudah berdecak suka atas berbuahnya pohon yang di tanam tersebut namun disitulah kewaspadaan terhadap kesabaran diri untuk di pahami, tetapi walaupun begitu buah yang lain tetap bisa matang sampai besar. Dan yang selanjutnya dalam keluarga beliau, ternyata dalam hal menanam sudah ada perhitungan yang matang kapan waktu menanam, seberapa lama perawatan itu dilakukan dan kapan waktu yang tepat untuk memanennya dan semua sudah tepetakan melalui jenis- jenis pohon yang akan ditanam. Dari situ dapat diambil garis besar bahwasannya jika kita mewaspadai kesabaran maka akan berbuah juga, padahal sebenarnya dalam sebuah pola tanam bila salah satu dipetik buahnya otomatis suplai makanan pada buah yang belum terpetik akan juga mengalami peningkatan karena salah satu dari lainnya sudah dipetik dan akan mengalami pemusatan suplai makanan pada satu titik buah yang masih utuh.

 

 

Lalu berlanjut pada Mas Nardi selaku imam tandur di kebun Mbodro Pakaryan, dan ternyata pemilihan beliau sebagai imam tandur terkonfirmasi oleh statement mas Sabrang, bahwasannya jika kita berada di lingkaran kecil perkumpulan maka pilihlah seseorang yang bermanfaat untuk kebersamaan yang mampu mennggiring perkumpulan kecil itu pada kemajuan yang lebih baik, dan pula ternyata dedikasi Mas Nardi terhadap kebun Mbodro pakaryan amat tinggi karena beliau mau meluangkan bukan hanya waktu dan tenaganya namun semuanya dengan penuh di bidang sung dan sih demi kemajuan kebun mbodro pakaryan hingga menuju panen walau dengan rintangan yang bertubi-tubi. Dalam impresinya beliau mengungkapkan bahwasannya keberadaan beliau di sini belum pantas kalau di dapuk sebagai imam tandur, karena dari awal beliau bahagia  bisa hadir dan membersamai dan merasa terdorong untuk melaksanakan PR atas kebun maiyah dari situ maka membutuhkan referensi tanam dan itu bersumber dari medsos, sebenarnya semua metode dari medsos terkadang membuat bingung karena dari sumber satu dan lain terkadang terdapat perbedaaan, yang satu harus dari sisi yang lain dan harus miring dan yang lain bisa berbeda pula dalam praktik menyemprotnya tapi tujuannya sama, sehingga jika kita ingin menganut sebaiknya pilih salah satu saja karena tujuan dari arah penyemprotannya sama, tentukan pilihan satu saja namun harus tekunilah dan dipahami, dan sambil sedikit humor belia mengungkapkan jika diangkat sebagai imam tandur ya di syukur-in “syukurin” saja sambil tersenyum dan dari situ mengundang gelak tawa teman-teman  pada malam hari itu. Pesan mas Nardi, kita Semua initinya sama-sama belajar disini dan pula mendapatkan jawaban dari Mbah Nun bahwasannya kita semua kan seperti pohon, dalam pohon terdapat akar, batang, daun hingga buah, jika ingin menjadi tumbuhan yang berkualitas maka dimulailah dari akarnya dahulu mau merujuk kemanakah akar itu terhadap tanahnya, sehingga akar harus menuju pada tanah yang nutrisinya seimbang, kalau sudah menemukan nutrisi yang tepat barulah menuju ke daun, tempat dimana nutrisi diolah dan dihasilkannyalah buah yang berkualitas, sama hal nya juga kehidupan ini jika kita mengambil nilai kehidupan yang berkualitas maka dalam otak kita akan kita olah dan kita jalani maka hasilnya hasilnya akan berbuah kepada surga, meskipun kita belum tahu bagaimana surga itu seperti apa, tapi tetaplah kita meyakininya dan terus berpegang teguh terhadap keyakinan tersebut.

 

 

Lalu berlanjut pada Mas Ihda, beliau merespon terhadap pemilihan imam, dan baru mengetahui kalau imam yang baik itu mampu benar-benar  memberi contoh yang baik bukan hanya deri segi perkataan namun juga perbuatan yang benar-benar direalisasikan sehingga membuat makmumnya juga terdorong untuk melakukan hal tersebut, ya pemimpin yang sebenarnya mampu melayani makmumnya, konsep imam besar bukan hanya dari segi cowoknya yang banget namun juga benar-benar menjiwai dengan apa yang dilakukannya demi kemajuan pada kebaikan. Terus Mas Ihda juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap pengalaman bertaninya sudah susah menanam namun tanpa sepengetahuannya ternyata buah yang diharapkan sudah kedahuluan oleh tetangga sambil tersenyum geli mengungkapkannya. Lalu Mas Ihda mengungkapkan dalam pengalaman berkebunnya, bahwa kata orang jaman dahulu kalau bisa menanam dari bibit hingga tumbuh besar maka dikatakan termasuk pemilik “tangan adem“ kalau istilah Jawanya. Sebuah tanda bahwa pekarangan diberkahi adalah yang tadinya gersang menjadi hijau subur, kemudian naik lagi ke peringkat selanjutnya dikatakan berhasil jika dihadiri kumpulan kupu-kupu yang beterbangan di lahan tersebut dan hingga level selanjutnya yaitu munculnya ekosistem capung, dan fenomena tersebut dialami Mas Ihda ketika mencoba menanami tumbuhan disekitar perumahan yang baru ditinggali dan perumahan tersebut amat panas dan jarang ditumbuhi pohon maka berinisiatiflah untuk menanam dan diketemukan dengan fenomena tersebut, dan melalui rujukan perumpamaan surga itu hijau, maka menamlah maka disitulah surgamu. Berlanjut dari situ mas Ihda baru-baru ini menemui konsep bersedekah oksigen, oksigen akan bertambah jika keberadaan tumbuhan banyak, maka mulailah menanam untuk memulai bersedekah oksigen pada sesama.

 

Jadi kita mencoba menghadirkan sebuah ekosistem yang sudah diberikan oleh Allah yang pernah hilang karena sikap yang tak beradab, terus memunculkan ekosistem itu lagi dengan cara menanam, walaupun dengan hanya ukuran polybag, terus apa jadinya kalau keberadaan ekosistem lebah hilang, maka bahaya sekali terhadap dunia ini, karena dengan hilangnya ekosistem lebah maka akan memperburuk keadaan tanam dan berefek pada kegagalan panen tentu saja akan timbul masalah pangan, karena menurut pengamatan lebah menjadi duta utama penyerbukan dari 70% tumbuhan pangan dan sandang. Hilangnya ekosistem lebah bisa terjadi salah satunya oleh penggunaan pestisida, organ sensor pada lebah akan terganggu oleh pestisida tersebut sehingga ia kehilangan arah untuk kembali ke sarangnya. Punahnya lebah akan berdampak sangat serius sebab niscaya timbulah wabah kelaparan, terjadinya peningkatan kriminalitas dari yang sekedar ngutil sampai peperangan antar negara. Saling membunuh karena kelaparan yang terjadi dan itu bisa menjadi triger terjadinya kehancuran total, maka selain menanam akan alangkah baiknya selalu belajar tentang keseimbangan ekosistem, salah satunya mengatur juga pemakaian dosis pestisida.

 

Lalu berlanjut pada mas Rizal, beliau mengungkapkan belum pernah melakukan apa yang berhubungan dengan menanam, namun dulu suatu ketika saat PKL di suatu desa tepatnya di desa Sukolilo menemui suatu kesan pada petani disana, pertama ladang petani habis dimakan oleh tikus, hampir semua ladang rusak karena serangan tikus, namun para petani masih bersyukur walaupun tinggal sedikit yang bisa dipanen, karena perumpamaan sudah lumrah kalau tikus memakan, toh juga tikus tidak bisa menanam dan masih menyisakan juga untuk kita nikmati panennya, kita sebagai manusia masih bisa diberi kesempatan lagi untuk menanam kembali, lalu yang kedua saat mengalami gagal panen karena banjir, ladang dan sawah dipenuhi air sehingga membuat kondisi gagal panen, namun banjir itu meluas hingga di jalan raya, dan mengakibatkan sopir truk berhenti di tengah jalan raya tersebut karena mesin dari truk dan mobil hingga terendam air, para petani walau mengalami gagal panen karena banjir, mereka malah berinisiatif memasak bersama dan membagikan nasi bungkus pada sopir truk yang terjebak banjir tersebut, para petani begitu masih bersyukur, masih bejo hanya ladang yang terendam banjir, masih kasihan para sopir truk itu sudah truknya mogok tidak bisa kemana-mana dan juga lapar. Maka dari situlah sebenarnya kegigihan seorang petani dapat kita petik dan pahami sebagai pembelajaran untuk selalu “Lilo” dan ikhlas. Dan yang ketiga, bahkan petani disana enggan menggunakan urea, karena itu dapat mengganggu keadaan tanah, ya walau pemakaian urea dapat mengantisipasi tumbuhnya rumput, tapi sebenarnya dapat mempengaruhi tanaman juga, dan bahkan para petani lebih memilih mencabuti rumput tersebut ketimbang penggunaan urea.

 

 

Lalu berlanjut pada Fidhoh, tentang tananam yang didominasi dan diperlambangkan warna hijau, sebenarnya di dalam dunia medis pemakaian warna tersebut selalu ditemui pada jas operasi yang dikenakan oleh tim medis kenapa tidak menggunakana warna yang lain padahal ada banyak warna lain yang lebih cerah, itu dikarenakan warna hijau dapat memberi ketenangan pada sang pasien, panjang gelombang dari warna hijau lah yang dapat menembusnya kedalam reseptor ketenangan yang berada di saraf. Maka apa jadinya bilamana di dunia ini jika budaya menanam semakin punah maka tumbuhan yang sebagai agen pemilik warna hijau akan punah dan berefek kemana-kemaa termasuk kesehatan mental setiap manusia, dan niscayalah terjadi perselisihan antara manusia. Ternyata hijau dan biru mampu menangkal zat-zat yang tidak baik bagi tubuh manusia.

 

 

Tak ketinggalan Mas Koko membeberkan pula pengalamannya, saat dulu sewaktu di jalan tol, bahwa rumput yang berada di tepi jalan tol harus memiliki tinggi kurang lebih 3 cm dan tidak boleh dimatikan dengan roundup, karena itu termasuk keindahan bagi pengguna jalan tol nya tersebut, dan juga melalui perawatan yang intensif secara teratur, dan memang kelihatan apik dipandang terutama pada tol Daerah Jawa Tengah, sangat menenangkan bila dipandang dan tidak membuat capek mata dengan adanya warna hijau. Dan bila untuk kedepannya lahan mbodro berencana untuk melakukan hal tersebut dengan cara mengagendakan pencabutan rumput tanpa menggunakan roundup sehingga disitulah kita akan menerima tiket ke kholifahan sebagai manusia, namun bila tidak memungkinkan maka kita akan mencoba menentukan aspek lainnya agar tetap berkesesuaian dengan aspek ke kholifahan tersebut.

 

 

Dan yang terakhir pada Pak Tri, sewaktu bertemu nya beliau dengan sanak saudara terjadi perbincangan mengenai perihal pekerjaan dan keputusan beliau untuk hengkang dari pekerjaannya yang dahulu, dan menekuni usaha dagang serta bertani ini, beliau mendapat pesan bila dalam bidang bertani harus secara penuh mengupayakan tawakal terhadap hal tersebut, serta beliau mengaku bahwa dilakukannya kegitan tandur ini secara bersama-sama, mendengar hal tersebut maka hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana harus memanjemen kebersamaan agar tidak terjadi kesimpang-siuran dikemudian hari yang dapat menimbulkan perpecahan dalam kebersamaan tersebut maka harus tawakal secara penuh. Karena pernah dicontohkan mencari orang untuk memanen dan paginya telah di habiskan oleh serangan hama, jadi dinamika yang kita alami selama di mbodro kadang naik turun ada suka duka nya, kadang saat kita meremehkan semangka ternyata malah berbuah banyak, jadi semua tidak pasti dengan kita rencanakan walaupun secara matang sekalipun, kita harus selalu mewaspadai terhadap segala sesuatunya agar meminimalisir kemungkinan terburuk, walaupun memang semua keputusan berada di tangan Allah.

 

 

Diskusi masih terus berlanjut hingga tengah malam, untaian pertanyaan tersimpan dan tersampaikan terus dirangkai terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yamg tentunya bermanfaat untuk sedulur yang hadir pada malam itu. Pada intinya kita untuk kedepannya dalam menyikapi dan direncanakan dalam penggarapan kebun mbodro harus lebih intens dan selalu menambah kewaspadaan terhadap segala sesuatu yang mungkin akan berbeda dengan apa yang diharapkan, serta menambah tawakal  dalam menjalaninya. Untuk pasca panen ini kita dituntut untuk puasa dahulu sesuai dengan himbauan Imam tandur kita Mas Nardi, serta itu disambut dengan hangat dan senyum kebahagiaan. Keluarga gugurgunung memungkasi acara dan dilanjutkan dengan makan bersama. Sebelum masing-masing pulang. Acara ditutup dengan Doa penutup yang dibantu memimpin Doa oleh penggiat makam Mbah Eyang Benowo, tak lupa sebelum pulang kita membersihkan dahulu tempat yang digunakan, dan akhirnya kita bersalaman untuk pulang ke rumah masing-masing. Alhamdulillah.

 

 

 

Juru Panyarik gugurgunung
Fidhoh Rahmat Akmal

 

 

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Pada bulan Maret ini kulawarga Gugurgunung mencoba merekonstruksi lagi beberapa komponen penting bangunan “rumah”nya. Dari beberapa personil yang masih aktif, menopang kembali peran-peran penting atau mengaktifkan kembali peran-peran yang sempat kurang optimal. Salah satu referensi pola yang teranyam adalah Sya’ban atau Ruwah. Yakni bulan penting yang sejak 2018 disepakati sebagai momentum “Tunas”.

 

Pawon kini kembali menyala, memasak bahan-bahan oleh tangan-tangan terampil berdasar potensi masing-masing, dengan dasar ilmu Candra (panyandra). Ringkasnya yaitu, setiap personal kulawarga Gugurgunung menjalankan perannya masing-masing sebagai upaya memberikan konstribusi “cahaya rembulannya”. untuk terkumpul sebagai himpunan cahaya yang “Purnama”.

 

Dasar pijakan lainnya adalah sikap utama kulawarga gugurgunung yakni, “menggugurkan diri”. Sebisa mungkin menghindari umuk dan sombong. Tak minat pada pameran kesaktian, kepandaian, kekayaan, kepopuleran, dslb. Terus teguh tak peduli dan kagum pada hal-hal tersebut, yang seringkali hanya untuk meningkatkan mutu kesombongan seseorang secara laten. Memilih sikap lebih tegas kepada potensi-potensi meremehkan, baik ke dalam maupun ke luar.

 

 

قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

 

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim).

 

Mengutip hadist di atas, tentulah kita sudah tidak asing dengan salah satu bentuk ungkapan nafsu, yakni sifat sombong. Tak seorang pun yang membaca ini termasuk yang sedang menulis ingin menjadi pihak yang masuk dalam golongan orang-orang sombong. Namun dalam kenyataan hidup, apa yang tidak kita maui terkadang bebas hinggap dalam diri seperti ketombe atau jamur kulit.

 

Sadar atau tidak sadar kita semua pasti pernah atau bahkan sedang melakukan perilaku sombong tersebut. Apakah kesombongan hanya sebatas bangga atas apa yang dia punya dengan meremehkan hal lain di luar dirinya dengan jumawa? atau barangkali ada varian lainnya? Bagaimana pula setitik kesombongan mampu menghambat seorang hamba memasuki surga? Mengapa setitik ini menjadi begitu serius? Bagaimana pula cara mengelola sifat sombong tersebut? atau bahkan barangkali ada jimat  tolak balak (menolak efek destruksi) yang timbul akibat kesombongan.

 

Monggo silakan melingkar bertikar bersama kami jika berkenan bergabung dalam kebersahajaan silaturahmi. Kami menyambut baik setiap kebaikan dan tak punya cukup kecakapan untuk menyambut kebaikan secara sempurna, baik dari sisi tempat, suguhan hiburan, dan hal lain. Namun, kami tetap berusaha menyambut secara patut. Katuran pinarak, melingkar, meluruhkan diri dalam rindu, saling membahagiakan satu dengan yang lain untuk sinau bareng di malam menjelang Nisfu Sya’ban yang penuh makna.

 

Bismillah, terpinta dengan tengadah. Gusti Allah dan Kanjeng Nabi membersamai kita Aamiin.

 

 

 

-Tim Pawon Sinau Bareng MGG-

MADU LUMEBER TUMETES

Sabtu terakhir bulan ini jatuh pada 27 Februari 2021. Pasca hujan deras pada malam yang sesungguhnya Purnama, esoknya semesta benar benar cerah parasnya.

 

Gunung Ungaran tampak gagah diantara bentangan langit biru dan barisan awan-awan putih seperti arak arakan para Pitara.

 

Gelaran acara rutinan pada Februari yang bertepatan dengan wulan Rajab ini telah menyiapkan 3 rancangan konsep acara :

  1. Edisi khusus Rajab berupa pembacaan Tawasul, lengkap dengan Dzikir, Munajat, Sholawat, serta pembacaan hizib.

: sebagai respon atas semakin maraknya sebaran fitnah, hujatan, adu domba, dan sejenisnya, oleh beberapa akun sosial media, yang secara serampangan menyertakan nama Mbah Nun.

 

  1. Menyiapkan tema “Madu Tumetes Lumeber”, sebagai bahan diskusi atau sinau bareng.

 

  1. Menggarap kebun bersama.

 

Sampai hari H belum terpilih konsep rancangan mana yang akan kami gelar. Menjelang jam pelaksanaan, beberapa jamaah mengabarkan datang menyusul. Acara tetap dimulai tepat waktu dengan peserta sangat terbatas. Sehingga pilihan pertama yang kami ambil adalah memulai acara dengan pilihan rancangan nomer 1. Sekitar satu jam lebih acara terselesaikan dengan sangat khusuk. di Gubug Mbodro Pakaryan, di bentangan kebun atau sawah yang beberapa petak siyap dipanen, dan beberapa petakan lain siyap ditanami, dan di samping semaian bibit yang siap ditanam. Seolah kesemuanya itu menjadi satu kesatuan yang berjamaah. Ternyata kehadiran-kehadiran yang tak terbatas lagi-lagi menemani keterbatasan kami.

Satu dua dan seterusnya kemudian mulai berdatangan dan langsung melingkar. Kondisi yang pas sekali untuk menggelar rancangan acara yang nomer 2.

Masing masing mulai ngelinthing kretek, menyulutnya, lalu mencecap kopi. Mukadimah segera dibacakan untuk disimak bareng bareng. Pas satu batang kretek. Lalu disambung dengan batang kretek berikutnya untuk merespon tema tersebut. Mas Agus mengawali dengan beberapa ulasan dan sekaligus pantikan. Baru setengah batang kretek ke dua, diskusi baru pada bahasan mempelajari hitungan besaran zakat dari hasil panen kami, namun harus terhenti (atau mungkin justru tersambung) oleh adegan seorang Mbah penjual gedhek atau kepang dari anyaman Pring Apus yg dijajakan dengan cara dipikul dan berjalan kaki, melintas di kebun kami, lalu mampir menawarkan dagangannya tersebut. Kami persilahkan pinarak, ngunjuk kopi, dan ternyata masih kiyeng udut kretek. Ngobrol alakadarnya, kami serempak menyimak. Mbah, berusia 90 tahun, berdomisili di Salatiga, seorang pedagang gedhek anyaman pring apus yang menjajakan hasil karyanya sendiri, dengan cara dipikul dan berjalan kaki.

Bara tepat di hampir pangkal kretek kami, kemudian kami cecek tegesan kami masing masing. Sekaligus negesi tema pada rutinan kali ini. Kehadiran Mbah tersebut meneteskan “Madu” yang menyehatkan pada kami yang muda muda ini untuk segera kami lumeberkan.

 

Kami segera melepas sarung, dan pakaian lainnya untuk segera berganti pakaian kerja, bersepatu boot, bercaping, dan mengambil cangkul, sabit, pelubang mulsa, alat kocor, dan lain lainnya. Semua obah pada perannya masing masing.

Acara dipungkasi pada jam 17:00, sembari mengemasi hasil panen dua tandhan pisang, bebereapa unting kacang panjang, dan pare. Sebagian kami konsumsi sendiri, sisanya kami bawa ke pasar sebagai rintisan latihan dagang.

Nyuwun tambahing pangestu. 🙏🙏🙏

 

Kasno