TAQWIM (تَقْوِيم)

Taqwim, salah satu keyword untuk menengarai Manusia. Sebutan langsung dari Allah sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya. Sering diartikan sebaik-baik ciptaan, sering hanya dipahami ciptaan yang sempurna. Namun Taqwim memerlukan  kualitas tumbuh, perjuangan bangkit, kemampuan berdiri, kegigihan bertahan, kesungguhan melanggengkan kebaikan.

 

Qum, Qiyam, Istiqomah, Mustaqim.

 

Detailnya kurang lebih demikian :

 

Taqwim – Hijriyah (Syuro) – Ahsanu Taqwim

“Taqwim” (تَقْوِيم( adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kalender” atau “penanggalan.” Kata ini digunakan untuk merujuk pada sistem yang digunakan untuk mengatur waktu dan menentukan tanggal-tanggal dalam setahun. Dalam konteks Islam, “Taqwim” sering merujuk pada kalender Hijriyah, yang didasarkan pada siklus bulan.

 

Berikut adalah beberapa poin penting mengenai arti dan penggunaan “Taqwim” :

 

Penanggalan

Taqwim mengacu pada sistem yang digunakan untuk menentukan dan mengatur tanggal, bulan, dan tahun. Ini adalah alat penting untuk berbagai kegiatan, baik dalam konteks keagamaan, sosial, maupun administrasi.

 

Kalender Hijriyah

Dalam konteks Islam, Taqwim sering kali merujuk pada kalender Hijriyah, yang merupakan kalender lunar dengan 12 bulan dalam setahun dan didasarkan pada fase bulan. Kalender ini dimulai pada tahun 622 Masehi, tahun hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah.

 

Fungsi Keagamaan

Kalender Hijriyah digunakan untuk menentukan waktu-waktu ibadah dan perayaan penting dalam Islam, seperti Ramadhan, Haji, Idul Fitri, dan Idul Adha, dan bulan bulan lainnya.  Taqwim menjadi acuan utama bagi umat Muslim untuk melaksanakan kewajiban dan tradisi keagamaan mereka.

 

Pengaturan Waktu

Taqwim juga berfungsi untuk mengatur berbagai aktivitas sehari-hari dan perencanaan masa depan. Dalam banyak budaya, kalender digunakan untuk mengatur acara sosial, musim tanam, dan aktivitas ekonomi.

 

Dengan demikian, Taqwim adalah alat penting dalam kehidupan umat Muslim dan banyak budaya lainnya, menyediakan kerangka waktu yang digunakan untuk berbagai tujuan keagamaan, sosial, dan administratif.

 

Ahsanu Taqwim (أَحْسَنُ تَقْوِيمٍ(

Ahsanu Taqwim adalah frase dalam bahasa Arab yang secara harfiah berarti “bentuk yang paling baik” atau “bentuk yang paling sempurna.” Frase ini berasal dari Surah At-Tin dalam Al-Qur’an, tepatnya ayat 4, yang berbunyi:

 

⁠”لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ”

 

Terjemahannya adalah: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

 

Berikut adalah makna dan konteks dari “Ahsanu Taqwim”:

 

Penciptaan Manusia

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk dan keadaan yang terbaik, baik secara fisik maupun spiritual. Ini mengacu pada kesempurnaan wujud manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya.

 

Potensi Manusia

Frase ini menekankan potensi manusia untuk mencapai puncak kesempurnaan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk moral, etika, dan spiritual. Manusia memiliki kemampuan untuk tumbuh berkembang dan mencapai kualitas terbaik dalam diri mereka.

 

Tanggung Jawab Moral

Sebagai makhluk yang diciptakan dalam “bentuk yang paling baik,” manusia juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mengembangkan kualitas tersebut. Ini termasuk berbuat baik, menjauhi keburukan, dan menjalankan perintah Allah.

 

Kesempurnaan dan Kebaikan

“Ahsanu Taqwim” tidak hanya merujuk pada aspek fisik, tetapi juga mencakup dimensi non-fisik seperti akal, hati, dan roh. Kesempurnaan ini mencerminkan kebaikan yang melekat pada ciptaan manusia.

 

Pemahaman Teologis

Dalam konteks teologi Islam, ayat ini sering digunakan untuk menunjukkan keistimewaan manusia di antara ciptaan Allah yang lain. Ini juga menegaskan bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mengenal dan menyembah Allah dengan cara yang lebih dalam dibandingkan makhluk lainnya.

 

Dengan demikian, “Ahsanu Taqwim” mencerminkan pandangan Islam tentang kesempurnaan dan potensi luar biasa manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, sekaligus menggarisbawahi tanggung jawab manusia untuk menjaga dan meningkatkan kualitas tersebut.

Nusantara Cantik

(Gemah Ripah dan Robbun Ghafur)

Nusantara Cantik. Mari kita menjelajahi Nusantara melalui ke Cantik an sebagai pintu masuknya.

 

Kecantikan yang komplek, setidaknya meliputi kecantikan Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan, Sumberdaya yang lengkap, dan seterusnya.

 

Respon terhadap kecantikan Nusantara tersebut juga sangat bervariatif :

– Leluhur mewariskan konsep Indah “Memayu Hayuning Bawana”.

– Namun realitasnya sekarang, kian banyak terjadi peristiwa pemuasan nafsu atas kecantikan tersebut dalam bentuk “Rudapaksa”.

 

Pintu masuk selanjutnya adalah Paradise/Paradesa/Desa.

Desa masih sangat relevan atau masih berjarak lebih dekat dengan nuansa cantiknya Nusantara. Desa dengan sekian banyak “Mawa Caranya”, yang akan memberikan kontribusi yang besar menuju pada Negara Mawa Tata.

 

Bagaimanakah desa ideal Nusantara yang relevan dengan masa saat ini ?

 

Desa ideal Nusantara yang relevan dengan masa kini adalah konsep yang mencoba untuk mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan kebutuhan modern. Antara lain :

 

Kepemimpinan yang Berkualitas

 

Desa ideal membutuhkan pemimpin yang berkualitas di setiap tingkatan, dari yang paling kecil hingga cakupan yang lebih luas. Pemimpin harus memiliki visi dan tekad yang terintegrasi untuk membangun masyarakat yang terpimpin namun tetap menghargai kemerdekaan pilihan individu.

 

Inspirasi dari Tuhan

 

Arah dan tujuan transformasi desa harus setara dengan kondisi idealnya di sisi Tuhan. Peradaban Nusantara mengambil konsep-konsep tata kelola kehidupan dan membangun peradaban berdasarkan inspirasi-inspirasi dari Tuhan. Ini memerlukan kajian serius, independen, dan objektif terhadap karakteristik dan keunikan manusia Nusantara.

 

Tiga Pilar Utama Desa

 

1.Spiritual:

Desa dipimpin oleh seseorang yang mumpuni dalam bidang spiritualitas, menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.

 

2.Pemikiran/Jiwa/Ideologi/Pranatan:

Sistem sosial yang dibangun dengan landasan visi “Memayu hayuning bawana” (mempercantik dunia).

 

3.Sandang, Pangan, Papan: Kebutuhan dasar manusia harus terpenuhi dengan baik, mencakup pakaian, makanan, dan tempat tinggal.

 

Hal penting lainnya

Gotong Royong dan Kebersamaan:

Desa ideal memelihara tradisi gotong royong dan kebersamaan, di mana masyarakat saling membantu dan bekerja sama dalam berbagai kegiatan, seperti membangun infrastruktur dan menjaga lingkungan.

 

Pasar Tematik:

Desa ideal mengembangkan pasar tematik yang sesuai dengan potensi desa tersebut. Pasar ini mendekatkan produk dengan lokasi penghasilannya, di mana pembeli datang langsung ke desa untuk membeli produk lokal. Hal ini juga merancang laju produksi yang teratur dan sesuai dengan kalender lokal.

 

Masyarakat Berbasis Keluarga yang Harmonis:

Keluarga adalah unit dasar dalam desa ideal yang membangun mental, edukasi, kemandirian, dan etos kerja. Setiap keluarga memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai martabat dan kebijaksanaan kepada anggota-anggotanya.

 

Pembangunan yang Berkelanjutan:

Desa dibangun dengan konsep pertautan antara langit dan bumi, menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik dan spiritual. Pembangunan desa harus selalu memperhatikan aspek keberlanjutan dan tidak melepaskan diri dari urusan langit .

 

Dengan memperhatikan aspek-aspek di atas, desa ideal Nusantara tidak hanya subur dan kaya secara fisik tetapi juga dihuni oleh masyarakat yang harmonis, sejahtera, dan berbudi pekerti luhur. Desa ini menjadi tempat yang ideal untuk hidup, bekerja, dan berkembang bagi semua anggotanya.

 

Desa yang  Gemah Ripah & Robbun Ghafur.

 

Hari Rayya Puisi

Membedah Puitisnya Laku Puasa Mbah Nun

Hari Rayya di sini tentunya bukan yang dimaksudkan sebagaimana hari raya pada umumnya. Ini adalah salah satu ekspresi bahasa kegembiraan anak cucu Maiyah simpul Gugurgunung dalam rangka memperingati Milad Mbah Nun yang ke 71.

 

Mbah Nun menurut kami adalah pribadi dengan satu tirakat utamanya adalah “puasa”. Esensi nilai puasa bila disampaikan dalam bentuk apapun akan terasa seperti Puisi. Pilihan bahasanya bisa jadi kadang sangat sederhana dan lugas, namun kandungannya senantiasa luas dan mendalam, indah seperti puisi. Output yang bisa anak cucunya serap diantaranya adalah  ketangguhan, konsistensi, kepekaan, kedisiplinan, proporsional, keakurasian, mulat, universal dan seterusnya dan seterusnya.

 

Karya-karya Mbah Nun sangat kompleks dan multi ragam: nasionalis, kritis, berani, konsisten dan relevan, mencerahkan, dst. Yang kesemuanya tetap dalam bingkai kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Bingkai inilah yang kami simpulkan  sebagai puisi. Beliau senantiasa melahirkan ruang kegembiraan, kebersamaan yang erat dan hangat, keharuan, cinta, dan seterusnya. Sebagaimana nuansa hari rayya.

 

Mbah Nun, menampilkan kepribadian dengan intonasi yang kadang tegas dan tak jarang lembut dengan susastra yang indah. Kaya akan kandungan nilai, selalu nggedekke ati, menggembirakan, mengharukan, mencerahkan, dst. seperti nuansa hari rayya. Maka Kelahiran/Kehadiran Beliau, kami anggap sebagai “Hari Rayya Puisi”, yang esensi nilainya lahir dari tirakat Puasa.

 

Edisi bulan Mei kali ini keluarga gugurgunung akan membuka tema semi workshop yang mencoba mengurai ‘lembaran-lembaran puisi’ Mbah Nun. Bagi yang ingin hadir diharapkan berkenan membawa karya puisi dan membacakannya. Apabila tidak bisa membawa puisi karya sendiri, bisa membawa satu dari sekian banyak puisi yang pernah ditulis Mbah Nun. Monggo berkumpul di malam minggu terakhir bulan ini (25 Mei 2024), kita bermunajat, bertawashul, sinau bareng. Kita berpuisi bersama dengan suasana rayya.

Awitaning Rah

Tema serupa pernah diangkat pada Oktober 2015. Mencoba direpetisi kembali pada April/Syawal 2024 ini. Alasan utamanya adalah momentum Idul Fitri, dan tersambungnya dengan bahasan tema pada bulan sebelumnya yaitu Maret/Ramadhan 2024 dengan judul Sa Rahas Semi.

Ringkasnya,

Sa Rahas Semi kami istilahkan sebagai Puasa sedangkan Awitaning Rah sebagai Witrah/Fitrah/Fitri/Hari Rayya. Persambungan yang menurut kami “eman” untuk dibiarkan begitu saja.

 

 

Sarahassemi – Awitaning Rah

Sa-Rahas-Semi : menjadi ‘Sarhasmi’ menjadi ‘saresmi’. ‘Sa’ artinya satu, kepentatuan,  ‘Rahas’ artinya: berhubungan intim, pribadi, pergumulan rahasia (kata rahasia juga berangkat dari kata ‘rahas-sya’). ‘Semi’ artinya: tumbuh, mekar, berkembang, bertunas.

Awitaning Rah : “Awal Mula Jagad”. Jagad dalam artian ciptaan Gusti Allah. Sehingga jagad awal ini merujuk pada ciptaan-Nya, pun masih harus diringkas secara mengerucut pada jagad permulaan manusia.

 

Puasa – Idul Fitri

Puasa mempunyai esensi sebaran nilai yang komplek. Isu utamanya adalah pengendalian diri. Kaitanya dengan manusia, puasa adalah aktifitas pengendalian yang melibatkan seluruh komponen diri manusia. baik komponen jasad sampai pada lapisan lapisan diri yang paling dalam dan lembut. Kesemuanya teraktivasi, terseimbangkan, terakurasi terbersihkan, tersucikan, terfitrahkan, sebagaimana manusia dalam kondisi saat Awitaning Rah.

Apakah Sarahassemi dan Awitaning Rah hanya sebuh persambungan peristiwa, atau justru sebagai salah satu prototype rumusan hidup ?

Apakah Sarahassemi – Awitning Rah hanyalah perayaan tahunan, atau perayaan nilai yang bisa kita repetisi menjadi perayaan bulanan, mingguan, harian, bahkan sampai serapat helaan nafas ?

SA-RAHAS-SEMI

Mengandung makna Bersatu dan Mekar Bersama, Bermula dari kata: ‘Sa-Rahas-Semi’ menjadi ‘Sarhasmi’ menjadi ‘saresmi’. ‘Sa’ artinya satu, ‘Rahas’ artinya: berhubungan intim, pribadi, pergumulan rahasia (kata rahasia juga berangkat dari kata ‘rahas-sya’). ‘Semi’ artinya: tumbuh, mekar, berkembang, bertunas. Artinya adalah senggama atau persenggamaan.

Kata-kata ini adalah kesantunan agar memartabatkan perilaku manusia dalam hal berhubungan badan. Meskipun bisa saja disebut ‘kawin’ dan lain sebagainya, namun tindakan biologis manusia oleh para leluhur telah diatur untuk seyogyanya tidak sama dengan tindakan biologis binatang. Manusia disematkan konsep intelejensia sehingga tidak melakukan hubungan seksualitas bukan hanya peristiwa naluriah kebirahian, bukan sekadar fenomena jasadi, namun peristiwa utuh perhubungan kualitas kemakhlukan yang memiliki akal, budi-pekerti, kesantunan, konsep bathiniah dan spritualitas dalam setiap perilaku lahiriahnya.

Apakah yang bisa dikupas dari Sarahasmi? Akankah hanya akan menyangkut pautkan pada fenomena yang setiap binatang telah tahu caranya tanpa perlu mempelajarinya? Ataukah bukan hanya itu saja, sebab ada makna dibaliknya? Apakah yang dimaksud rahasia itu? Apa pula yang tumbuh?