KEPAWANGAN

Majlis gugurgunung kembali menggelar rutinitas bulanan, dimana pada bulan ini diadakan pada tanggal 30 Maret 2019. Tema yang diangkat adalah: “Kepawangan”. Seperti biasa Mas Ari membuka dengan doa wasilah dan Mas Jion memimpin Munajat Maiyah. Mas Kasno sebagai noderator bersama Mas Chafid memberikan prolog untuk memantik diskusi malam ini. Kepawangan mengandung arti bahwa seseorang mempunyai keahlian khusus. Terdapat dua fenomena kepawangan. Yang pertama ditempuh melalui proses berlatih secara intens atau mempelajari perilaku-perilaku. Kedua ujug-ujug (otomatis) mempunyai kemampuan akan sesuatu yang mungkin ditengarai dari kepemilikan jalur kenasaban. Dari bahasa Sansekerta kepawangan juga dikenal sebagai Avatara atau yg lebih familiar dengan sebutan Avatar dengan Manifestasi Ketuhanan. Dalam khasanah kitab Hindu ada tokoh namanya Kalki Autar yg mempunyai bapak Wisnu Bagad dan ibu yg bernama Usama Ani.

Sedikit mereview perjalanan ke Jalawastu bersama Mas Dika disana masih banyak proses kepawangan. Banyak yang masih menekuni proses pawang seperti pawang harimau, hujan dan angin. Masyarakat disana dilarang menyia-nyiakan hewan, tumbuhan apalagi sesama manusia. Salah satu keilmuan yang didalami penduduk Jalawastu, ada yang namanya keilmuan Aji Dwipa, sebuah ilmu yang mempelajari kemampuan komunikasi dengan alam. Mempelajari bagaimana cara memperlakukan hewan dan tumbuhan sebagaimana mestinya. Menciptakan sebuah fenomena lingkungan yang damai tentram dan jauh dari rasa takut. Avatar ilmunya nanti ke vatara (Fathorossamawati wal ardl). Kalki Avatara, Wisnu Bagad diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bisa dibilang Abdullah dan Usama Ani ialah Aminah. Artinya Kalki Avatara dalam khasanah Hindu dapat diartikan sebagai abdi Tuhan.

Mas Jion menceritakan kisah kepawangan ular, dimana semasa kecil Mas Jion senang bermain ular. Dipelajarinya ilmu tentang cara bagaimana agar ular itu tidak menggigit. Di kampungnya ada orang tua yang memberikan sebuah pelajaran melalui tahapan puasa, untuk ular kecil mungkin hanya bekisar 3 hari tapi kalau yang bisanya mematikan bisa mencapai 7 hari. Tujuan sebenarnya bukan untuk menguasai ular, akan tetapi mencoba untuk bisa berkomunikasi dan mempelajari bagaimana tentang karakter ular tersebut sehingga mempunyai kewaspadaan yang tinggi. Kemudian ada Mas Ihda yang menceritakan kisah wali Allah yang punya istri galak. Dikisahkan seorang temannya datang ke rumahnya dan disuruh menunggu sampai sore hari. Ketika sore temannya tadi datang bersama macan dan bahkan membantu membawakan kayu bakar. Beberapa bulan kemudian dateng lagi ke rumahnya dan membawa kayu bakar sendiri. Dan ketika ditanya dimanakah macannya? Dijawab ternyata semenjak istrinya meninggal macannya tidak pernah datang lagi. Mungkin ini konsep pawang dengan mencintai bukan menguasai. Mas Ihda kemudian mempertanyakan memawangi hoax seperti apa?

Beberapa pantikan dari dulur-dulur yang hadir saling terkait satu dengan yang lainnya. Diawali dengan sebuah kisah kepawangan ular dimana sama seperti kisah Nabi Muhammad SAW ketika hijrah dengan Abu Bakar. Di tengah lelahnya perjalanan lalu beristirahat sejenak di dalam sebuah gua. Rasa sayang Abu Bakar terhadap Kanjeng Nabi membuatnya menyediakan pahanya untuk dipergunakan sebagai bantalan. Kemudian terlelaplah Rasulullah dalam pangkuan Abu Bakar. Sementara Rasulullah tertidur, Abu bakar masih berjaga dan dalam kewaspadaannya melihat ular besar yang muncul dari sebuah lubang. Karena tidak ingin membangunkan Rasulullah maka ditutuplah lubang tersebut dengan kaki yang sebelahnya. Kemudian ular besar tersebut menggigit kaki Abu Bakar. Rasa sakit ditahan oleh Abu Bakar bahkan hingga meneteskan air mata. Lalu air matanya menetes hingga membangunkan Rasulullah. Ditanyalah Abu Bakar, kenapa menangis. Barulah Abu Bakar menceritakan bahwa ada ular yang muncul dari sebuah lubang. Rasulullah pun meminta Abu Bakar untuk membuka lubang tersebut dari kakinya. Kemudian ular tersebut berhadapan wajah dengan Rasulullah. Kemudian ular tersebut pergi. Ternyata ada dialog yang terjadi ketika ular tersebut berhadapan wajah dengan Rasulullah. Ular tersebut dulu pernah berdoa pada Allah SWT, “Ya Allah berikan saya kesempatan untuk menatap wajah Rasulullah kekasihMu secara langsung meskipun harus menunggu ratusan tahun”. Kemudian Allah memerintahkan si ular untuk ke gua itu menunggu kehadiran Rasulullah. Tapi ketika Rasulullah tiba, justru ada kaki yang menutup lubang. Maka digigitlah kaki tersebut. Usai pertemuan singkat tersebut, kemudian ular tersebut diminta pergi karena sudah bertemu dengan Rasulullah yang ditunggunya sekian lama. Dan kaki Abu Bakar diobati oleh Rasulullah. Disana Abu bakar menemukan pelajaran, yakni tentang buah kesabaran bahwa ular tersebut, maka trnyata ia bersama Rasulullah singgah ke gua itu bukan karena bersembunyi, tetapi adalah alur yang sudah menjadi kehendak Allah SWT. Betapa istimewanya si Ular yang berkesempatan dikunjungi Kekasih Allah yang sangat dirindukannya. Tentu bukan tanpa perjuangan, ular tersebut menebusnya dengan menunggu ratusan tahun dalam gua. Karakteristik ular ialah bertapa. Menelan makanan ditunggu sekian periode baru dikeluarkan dan dimakan lagi. Ular tersebut digambarkan secara lebih positif. Di kisah tersebut ular digambarkan sebagai kesabaran.

Kemudian yang disampaikan oleh Mas Ihda bahwa Allah menunjukkan tentang ketertundukan. Meskipun endingnya adalah hoaks. Hoaks merupakan kreasi dari makhluk. Seperti kuku panjang lalu dipotong. Padahal kuku terus ditumbuhkan oleh Allah. Namun karena manusia memiliki akal budi. Akal lebih ke arah analisis, dan budi cenderung berada di dalam hati. Di dunia ini ialah sendau gurau lalu mengapa kita serius. Apakah keseriusan ini juga merupakan salah satu bentuk hoaks? Apakah mungkin kita hidup di alam hoaks? Coba kita kerucutkan bahwa kata-kata sudah diplintir sedemikian rupa bahkan sampai terkotak-kotak. Termasuk istilah hoaks.

Coba kita bidik bagaimana Allah bikin “hoaks”. Karena semua adalah amtsal. Kita hidup pun sebuah permisalan. Karena di dunia itu hanya sebentar dan kekal ada di akhirat. Segala pembicaraan ini bukan tentang politik praktis. Politik tak praktis cenderung berorientasi menanam bukan sekedar mengunduh saja. Hoaks, ilusi atau permisalan sesungguhnya mengkonfirmasi kerangka penangkapan kita tentang sebuah informasi. Ada 5 (lima) metode menangkap informasi yakni melihat, mendengar, merasakan, mencium meraba. Sehingga kita akan merasakan perluasan. Pedas bukan hanya dari lombok. Merica, jahe pun pedas. Bahkan sandal, ulas Mas Agus sambil tertawa. Pedas lombok tidak mengartikan pedas yang sesungguhnya. Pedes yang sesungguhnya disembunyikan sehingga pemaknaannya linier bukan siklikal. Karena ilmu kita terbatas, maka perlu menggunakan 5 (lima) metode untuk memahami makna yang sesungguhnya. Garam dan asin mana yang lebih dulu diciptakan? Menurut Mas Agus asin lebih dulu diciptakan. Tetapi asin yang sesungguhnya bukan sekedar garam. Bila kita mampu meniru secara bentuk, ilmu hanya ada pada apa yang kita lihat. Kita akan meniru garam bukan pada asinnya tetapi pada bentuknya saja. Sedangkan rasa belum pasti sama asinnya. Kita tidak boleh terjebak pada satu cara, kita perlu pintu-pintu lain. Agar kita tidak termakan hoaks. Fenomena bikinan Allah pun bisa seperti itu. Seperti halnya adanya malam dan siang dibuat agar kita berpikir dengan akal kita, dlsb. Ini berfungsi untuk merangsang bagaimana kita menangkap informasi secara lebih utuh.

Mas Agus kemudian juga merespon dalam bentuk pertanyaan tentang preambule dari Mas Kasno. Dikatakan bahwa pawang ialah orang yang memiliki keahlian khusus. Lalu keahlian umum itu apa? Yang dikatakan ahli itu seperti apa? Kepawangan sebenarnya adalah karunia (fadilah). Pada wilayah kemampuan dan limitasi, yang dimiliki semua orang itu sama. Sebab semua orang mempunyai kemampuan dan limitasi. Karunia diletakkan pada orang yang wadahnya sesuai. Ilmu sebenarnya bukan sekedar untuk memudahkan hidup, tetapi yang penting ialah agar mendapat ridho. Mengenali kesulitan bukan dengan mencari kemudahan. Demikan ada yang bisa menerima ada pula yang tidak, bahkan ada pula justru yang bisa menyerapnya. Kebanyakan tidak sadar pada perilaku khusus yang tiba-tiba dapat serapan ilmu karena tidak sadar bahwa wadahnya telah terbentuk. Seperti halnya auliya yang bisa menaklukan macan tidak dengan serta merta sengaja ingin terbentuk sebagai penakluk macan. Namun mereka terlatih dengan dihadapkan pada situasi yang sulit. Yakni menghadapi istrinya yang galak. Kemudian mereka lulus atau tidak? Kalau lulus maka akan ada wadah yang lebih besar. Wadah ini akan menampung ilmu berupa kasih sayang. Power untuk istrinya yang galak bisa dialihkan untuk macan tersebut. Maka sekarang coba kita temukan kesulitan-kesulitan apa yang kita hadapi, sehingga bisa menjadi materi kepawangan. Orientasi sesungguhnya bukan sekedar keuntungan tetapi menghadapi segala masalah secara lebih proporsional. Dan hal ini bisa ditempuh dengan metode yang kita hadapi paling elementer terlebih dahulu.

Dalam contoh tadi misalkan, seorang auliya yang disandingkan dengan istri yang galak. Jika dalam pembalajaran akademis maka auliya tersebut akan dihadapkan langsung dengan macan. Sehingga akan ada tanding dan diperlukan kekuatan. Oleh karena kebuasan tidak harus disamadengankan macan, maka bisa kebuasan dapat diletakan pada galaknya sang istri. Berarti setingan cara tanding tidak selalu harafiah. Dalam kisah tersebut keberhasilan sang auliya menaklukan macan ialah karena berhasil menaklukan dirinya sendiri. Sehingga tidak diperlukan melawan dengan taring yang sama. Dalam falsafah Jawa inilah “menang tanpo ngasorake”.

Sebenarnya banyak kejadian atau fenomena tentang kepemimpinan. Pada jaman kekhalifahan Umar bin Khatab, hewan-hewan yang galak tahu diri. Suatu ketika ada penggembala kambing yang selama bertahun-tahun tak pernah diganggu oleh binatang liar dan buas. Pada suatu hari ia mengerjakan aktifitas seperti biasa namun hari itu berbeda, ada sekawanan serigala yang memangsa salah satu kambingnya, dengan sponten ia berkata “Wah ini tidak biasa… apakah Khalifah Umar telah meninggal?”, dan benarlah sang penggembala itu bahwa pada hari itu Sayyidina Umar telah wafat. Dan ternyata kondisi kepemimpinan seseorang memiliki pengaruh keteraturan yang mungkin saat ini belum pernah terbayangkan oleh para pemimpin dunia. Kisah ini sesungguhnya bisa menjadi inspirasi bagi para calon pemimpin. Apakah kita setia kepawangan itu ada di dalam atau hanya di luar diri kita?

Sayid Abdullah bersama Siti Aminah melahirkan Ahmad. Peristiwa itu memang sudah silami namun apakah peristiwa itu tidak bisa lagi terjadi secara jiwa? Bukankah peristiwa Nabi Adam as hingga Nabi Isa as jaman sekarang pun masih terus direkonstruksi oleh tiap-tiap manusia? Dengan kita semua merunduk pada asma-asma Allah SWT maka inilah metode Abdullah (metode yang kita gunakan untuk menghadap Allah SWT). Setelah kita merunduk maka juga memakai metode Aminah, bersikap aman terhadap semua makhluk. Sehingga segala produk-produk kita jadilah produk yang Ahmad. Satu Ahmad bertemu dan saling mengenal dengan Ahmad-Ahmad lainnya maka akan menjadi gumpalan ummat Muhammad SAW. Inilah kepawangan. Dimana manusia memiliki jiwa tunduk terhadap kasih sayang. Dan sadar bahwa kasih sayang utama hanyalah milik Allah SWT.

Andaikan manusia sekarang tidak dirangkai dengan sistem kamanungsan (kemanusiaan) maka orang-orang akan mengeluarkan kalimat-kalimat retorika tentang pentingnya rasa kemanusiaan dan kemenyatuan yang sulit untuk mencari contohnya. Bagusnya sudah ada contohnya dan bertahun-tahun sudah dicontohkan oleh Islam. Meskipun kamanungsan muncul tidak memandang agama manusia tersebut tapi pada fitrohnya. Seperti pada bayi baru lahir yang masih dekat dengan fitrohnya. Jika fitroh matching dengan kahanan (kondisi/keadaan) maka ketertundukan menjadi lebih mudah. Kepawangan di jaman umat Rasulullah bertujuan untuk menyempurnakan akhlak. Minimal menyempurnakan akhlak diri sendiri. Jika jiwa Rahmatan lil alamin klop dengan fitroh, maka akan bertemu dengan Al Fatir. Insya Allah dengan akhlak tersebut bisa menggiring orang lain tanpa harus dengan jalan menunjuk-nunjuk. Sebab orang lain punya akal, analisis, nalar serta observasi. Mengapa kita tidak mempercayai proses pembelajaran pada diri kita itu juga ada pada diri orang lain? Pantas dicoba untuk memawangi apa yang menjadi nafsu utama kita. Dimana kebuasan-kebuasan kita, itulah yg harus dipawangi.

Mas Kasno kemudian memperkenalkan Mas Yunan sebagai ketua klaster Paradesa Ken Sengkud (Simpul-simpul Maiyah Jepara, Demak, Salatiga, Kendal, Semarang, Ungaran dan Kudus). Mas Yunan merespon Tema Kepawangan, pada ulasan kisah Umar bin Khatab dengan hewan-hewan. Menyambung dengan diskusi beberapa hari ini Gus Aniq membuka kitab baru. Secara garis besar dalam kitab tersebut ada Segitiga Tritunggal Semesta. Allah, Manusia dan Alam. Tertulis disana tentang hubungan-hubungan ini bagaimana dalam perputarannya agar semua menjadi harmoni. Terkait dengan manusia dan hewan. Dulu mereka bisa saling berkomunikasi dan juga diduga saling memahami bahasa masing-masing. Tapi pada suatu peristiwa hewan itu mengejek manusia. Kemudian Allah mengingatkannya dengan cara bahasanya menjadi tidak dimengerti lagi oleh turunan Nabi Adam as. Begitupun sebaliknya. Terdapat contoh lain yakni pada anjing jelek yang dihina oleh Nabi Nuh as. Kemudian Nabi Nuh as dibuat menyesal dan menangis terus. Hingga Nabi Nuh diganti namanya yang semula adalah Abdul Ghofar. Hewan dan manusia akan diperingatkan oleh Allah jika saling mengejek. Kalau di Jawa, sesuatu yang terhormat juga akan berlaku pada benda dan hewan. Misalkan Kiai Slamet. Sehingga hubungan harmoni manusia tidak hanya pada saat sesrawungan saja. Dahulu hewan menempel di ruang yang paling intim dan bahkan bisa menjadi nama panggilan. Dan itu bukan malah menjadi hal yang memalukan. Jika dulu nama manusia banyak menggunakan nama hewan. Sekarang justru banyak memakai nama mobil dll? Apakah ini adalah sebuah kemunduran peradaban?

Direspon langsung oleh Mas Agus. Bahwa penyematan itu bukan hanya terjadi hewan. Bukan hanya Lembu, Mahesa dll. Tapi di Jawa ada juga nama guntur, bayu, tirta dll. Inilah bukti kecintaan mereka terhadap alam. Dalam Maiyah ada yang namanya Segitiga Cinta. Kita (hamba), Allah, Rasulullah. Dalam kitab yang diceritakan oleh Mas Yunan, sudut Muhammad SAW (Rasulullah) diganti dengan alam. Diterjemahkan secara lebih luwes bahwa salah satu dari kita bisa bersaksi kehadiran Muhammad karena kita berilmu. Maka akan sangat prigel membaca alam. Antara keprigelan dalam membaca otomatis sedang mengenali dan menjalankan dengan apa yg dilakukan oleh Rasulullah sendiri. Dan apa yg kita baca mengenai fenomena hewan, tumbuhan dll. Itulah cara kita berjumpa dengan kehadiran Muhammad sebagai utusan Allah yang paling terpuji. Sebab sebelum segala sesuatu diciptakan, kekasih yang paling terpuji bagi Allah telah diciptakan.

Sebenarnya setelah jaman Nabi Adam as masih bisa komunikasi dengan hewan, tumbuhan (alam). Seperti kisah Nabi Sulaiman as. Bisa berkomunikasi dengan hewan, jin dll. Selanjutnya coba kita terapkan pada sikap individual bukan komunal. Kita mengalami umur kekhalifahan, sadar atau tidak kita bisa menjinakkan binatang. Anak kecil bermain kobra. Kondisi fitroh (masih memegang) paugerane Adam. Akal semakin naik meskipun masih anak-anak tetapi sudah punya bahasa dan mampu mengenal yang lain. Menjelekkkan dapat pula salah-satunya dengan membuaskan. Oleh karena sifat baik dan buruk bukan di hewan tetapi di manusianya. Sifat baik itu bisa sama sekali tidak dimiliki oleh manusia. Sehingga jika kita berbuat baik, sabar, kasih sayang, bijaksana dll kita sebenarnya tidak bisa memproduksinya. Alllah meletakkannya pada manusia. Semakin kita mampu mengkoleksinya maka akan menjadi lebih mampu untuk mengidentifikasi bahwa baik dan buruk bukan ada di luar diri.Ada tercantum di Al Qur’an. Bahwa kita sama-sama membaca untuk mendapatkan sistem pembeda. Bukan hanya menjelekkan dan membaikkan yang lain. Kita akan merasa bisa memawangi. Tidak langsung menunjuk jika belum mengenali. Babi, anjing tidak haram jika tidak dimakan, kesemuanya pasti ada maksud yang menjadi kemanfaatan untuk manusia. Secara umum, najis diartikan pantang didekati dan dicintai. Kebocoran psikologi ini tidak hanya di kehidupan sehari-hari. Allah menciptakannya agar manusia tahu sifat-sifat buruk manusia sehingga dapat menjadi lebih proporsional.

Mas Aji kemudian juga diminta untuk merespon. Mas Aji menceritakan bahwa dulu di Mocopat Syafaat ada pemain Jazz dan ketika ditanya, kenapa bisa indah seperti itu? Hanya dijawab, saya memainkan apa yang saya dengar. Dulu penulis juga pernah ada. Saya hanya menulis apa yang dibisikkan. Keduanya adalah maestro dalam bidangnya. Dan mereka hanya menyampaikan apa yang Allah titipkan. Menanggapi Tritunggal Semesta, bahwa alam tidak memiliki opsi untuk tidak taat. Sedangkan manusia mempunyai opsi untuk ingkar. Ada proses intensifikasi dalam belajar dari beginner intermediate dan expert. Ada sesuatu yang awalnya di luar diri. Ada proses penghantar untuk sampai pada tahap maestro. Nanti akan ada pilihan memuja kemampuan diri atau diberikan untuk orang lain. Ada porsi ingkar, tetapi lebih memilih taat ketika sudah menjadi maestro. Bukan malah menjadi Fir’aun yang memberhalakan diri. Kesadaran komunikasi sampai pada Semesta juga berlaku pada ranah tersebut. Kepawangan disini juga ada luar dan dalam.

Mas Agus menambahkan, kepawangan adalah potensi untuk semua orang. Agar peradaban kita beranjak pada peradaban Rahmatan lil alamin. Peradaban yang sama-sama tunduk (rukuk dan sujud). Katakanlah nasi bisa menjadi hidangan adalah suatu keberhasilan. Karena ada nasi-nasi lain yang masih menjadi gabah. Tetapi gabah juga punya kemungkinan untuk menjadi nasi jika mau untuk berproses. Gabah, anggaplah manusia pada umumnya. Maka perlu dijemur, diselep atau ditumbuk, hingga ditanak agar dirinya bisa terhidang atau tersaji. Tersaji dengan tidak lagi tersembunyi pada kemasan-kemasan kecil tapi sudah menyatu dengan isi-isi yang lainnya. Kita punya kegembiraan terhadap Majlis tiba-tiba menyangka bahwa telah menjadi satu-satunya Majlis nasi. Itu sebenarnya masih imajiner. Inilah satu gabah (kemasan). Sementara yang dibutuhkan ialah sajian-sajian kemanfaatan. Ini adalah tolok ukur Rahmatan lil alamin.

Diskusi ditutup jam 00.18 WIB. Dengan kesadaran yang kita coba bangun salah satunya ialah kesadaran tentang batasan waktu. Sebagian pulang, meskipun banyak pula yang masih melanjutkan berdiskusi ataupun tidur di kediaman Mas Agus dan Mas Patmo sampai pagi menjelang. Sekian reportase kali ini semoga bermanfaat.

 

Andhika H

Facebooktwitteryoutubetumblrinstagram
Posted in reportase.