TUNAI PERADABAN, TUNA PERADABAN DAN KEPAWANGAN

TUNAI PERADABAN, TUNA PERADABAN DAN KEPAWANGAN

Tunai peradaban, Tuna Peradaban dan Kepawangan

Setelah usai banjir besar, Sang Nabi kemudian mengatur beberapa hal mendasar untuk menggelar kembali geliat peradaban. Ia masih termangu-mangu dengan segala kejadian yang luar biasa dahsyat itu. Terlebih lagi bahwa pada kenyataannya, ummat manusia yang mengikutinya dalam keimanan tidaklah banyak. Sedangkan jauh lebih banyak lagi yang mati dalam keadaan kufar. Nabi sangat sedih dengan kenyataan ini. Betapa seakan-akan ada peristiwa perekrutan besar-besaran umat manusia untuk menjadi pasukan kufar. Sedangkan hanya sedikit sekali yang mau menerima keselamatan dan karunia pertolongan Tuhan. Dalam kesedihannya yang mendalam sang Nabi segera tersadar untuk tak boleh larut dalam penyesalan apalagi meratapinya.

Nabi kemudian mengkoordinasi kembali pada pengikutnya untuk mulai bekerja sesuai pembidangan yang dikuasai masing-masing. Pembidangan yang tersisa ini harus ditumbuh suburkan agar mampu tetap menjalankan pola kehidupan yang matang. Usai sudah era kesenangan, penghamburan usia, dan kesia-siaan akibat tidak berkesesuaian antara biaya dengan hasil. Peradaban lama sudah ditenggelamkan dan kini mulai kembali menyiapkan peradaban baru yang akan dimunculkanNya kembali. Putra-putra Nabi yang beriman diberikan tugas untuk membangun peradaban-peradaban baru di penjuru bumi. Nabi dengan beberapa pengikutnya masih harus ‘membawa’ kembali aneka satwa kembali untuk kemudian tinggal dan memulai kembali peradaban di daerah asalnya.

Mulailah urusan sandang-pangan-papan dibangun kembali. pertanian tergarap, kebutuhan pangan terpenuhi, pembangunan infrastruktur, sistem tata sosial dan tata aturan disusun kembali, hukum ditegakkan, keadilan dijunjung, kebijaksanaan dijadikan patokan akhak sebagai prioritas utama untuk terus disempurnakan dalam segala bidang. Penyeimbangan alam dengan habitatnya dikembalikan sebagaimana semula. Bibit manikam yang sudah dikembangkan dalam proses mutakhir ilmu genetika yang dikasai Nabi Nuh menjanin dan menjadi bayi-bayi binatang baru yang tetap dirawat dalam kondisi iklim yang berkesesuaian dengan iklim asal binatang tersebut. Persoalan binatang ini bukan perkara gampang. Dan jangan disangka ini tidak penting. Para binatanglah yang kelak akan membantu mempercepat pemulihan tanah, turunnya karunia dari langit berupa rizky yang diberkahi, hingga ayat-ayat kehidupan yang dibawa secara tetap oleh para binatang ini dari awal diciptakan hingga kelak hari akhir. Binatang yang berasal dari daerah dingin kembali ke daerah dingin, yang dari daerah panas kembali ke daerah panas. Juga binatang yang berangkat dari daerah hangat dikembalikan pula ke asalnya. Pengembalian ini dilakukan Nabi secara bertahap, tahapan terakkhir mengembalikan kawanan binatang dari daerah hangat sekaligus menjadi tanda bahwa Nabi pulang kembali ke kampung halaman. Kembali ke daerah yang beriklim hangat, banyak ditumbuhi pepohonan dan dihuni aneka macam satwa. Banyak satwa yang ikut serta dari sini berupa wujud hewan bukan berupa manikam sebab satwa dari sini merupakan satwa setempat. Ada beberapa di antaranya bisa hidup di daerah persinggahan baru tempat Bahtera tertambatkan bahkan beranak-pinak di sana. Namun banyak pula yang tidak mudah menyesuaikan diri sehingga tidak bisa berlama-lama di persinggahan sehingga tampak layu dan kurang bergairah meskipun sudah disediakan tata ruang yang sangat merepresentasi kondisi asli.

Sekian abad peradaban berlangsung paska Banjir besar. Keadaan pulih dengan lestari dan tertata. Meski banyak ‘kepustakaan’ ditelan ombak namun bukan berarti hilang. Setahap demi setahap mulai muncul kembali ilmu-ilmu yang tenggelam itu yang diemban gairah peradaban dengan penuh jiwa pengabdian. Terlaksanalah peradaban baru yang hebat namun penuh rasa tunduk, sebab pada awal-awal peradaban itu masing-masing manusia telah mampu menjadi pawang bagi dirinya sendiri setelah sama-sama tergores peristiwa traumatis yang sangat nyata sebagai bukti Maha Perkasanya Tuhan.

Nabi Nuh meninggal dan begitu pula para pengikutnya yang sejaman. Pelan-pelan peradaban diganti oleh generasi berikutnya. Makin baik pembangunannya namun makin menurun kualitas kesadarannya. Manusia mengalami degradasi dalam hal memawangi dirinya atau menjadi pawang atas dirinya. Dengan demikian kelak peradaban manusia diisi lagi dengan peristiwa keingkaran dan sehingga kembali terhempas. Inilah rumus utama peradaban, ketika sebuah peradaban menyangka pembangunan dan perbaikan adalah hal-hal yang tampak mata saja sedangkan proses pemupukan dan peyempurnaaan akhlak diabaikan ; pasti akan terhempas, tertimbun, oleh peristiwa alamiah. Tuhan menciptakan bumi ini sudah sangat indah dan sempurna, membuatnya makin indah dan makin sempurna sesungguhnya mustahil bagi manusia yang melampaui batas, yakni yang merasa lebih pandai sehingga mampu menyempurnakan ciptaan Tuhan yang sudah sempurna. Akhlak manusia lah yang dibuat tidak sempurna agar manusia menyempurnakannya, maka justru menyempurnakan akhlak inilah tugas utama manusia sebagai cara memuliakan kesempurnaan ciptaanNya. Dengan akhlak yang baik maka akan ditetesiNya ilmu dan akal yang diridhloiNya guna mendapatkan ilham bagaiamana cara menata dan mengatur kehidupan. Seseorang haruslah menjadi pawang atas dirinya, menjaga kebeningan hati, terus berusaha menyempurnakan akhlak. Ia akan dipertemukan dengan sesama pawang dan akan mendapati manusia yang lebih pawang lagi.

Tuhan menciptakan bumi ini sudah sangat baik dan seimbang sehingga manusia tidak perlu menyangka mampu membuatnya lebih baik dan lebih seimbang. Alam telah dibuat tetap, sedangkan manusia yang berubah. Jika ingin membuat alam tetap baik adalah menetapkan diri sebagai manusia yang baik sesuai dengan bagaimana konsep Tuhan kepada manusia.

Untuk menyadari ini manusia perlu mengalami berkali-kali tumbang dan berkali-kali bangkit. Berkali-kali menyempurnakan kesombongan dan berkali-kali berkepayahan. Berkali-kali lupa dan kembali ingat. Demikian pula setelah Zaman Nabi Nuh, setelahnya ada utusan bernama Nabi Hud yang mengingatkan kaumnya untuk bersyukur setelah dianugrahi kenikmatan, kesuburan, kebahagiaan, dan tak pernah dihinggapi sakit hingga berabad-abad. Maka peradaban ini pun terhempas angin sebab mereka bukan hanya tidak mau namun menolak dan menentang himbauan sang utusan. Kemudian mulai bangkit lagi dan mulai mengalami penurunan kembali hingga ke Zaman Nabi Ibrahim yang masih keturunannya Nabi Nuh pula. Sezaman dengan Nabi Ibrahim adalah Nabi Luth, juga dua putranya yakni Nabi Ismail dan nabi Ishaq. Peradaban Nabi Nuh telah tunai sebagai pengemban peradaban Kedua. Peradaban Nabi Ibrahim adalah tengara memasuki peradaban Ketiga.

Agus Wibowo

Facebooktwittertumblr
Posted in Kembang Gunung.