SYAR’I, THARIQ, SIROTH
Dalam Agama Islam, bahwa seluruh alam semesta ini sudah Islam. Artinya telah tunduk dan berserah pada sebuah sistem Maha Tunggal. Manusia yang diberikan akal justru yang perlu memproses diri dengan kesadaran mengabdi untuk menjadi bagian dari semesta yang tunduk dan pasrah. Akal diberikan kepada manusia sebagai karunia istimewa untuk menjadi makhkuk yang memiliki kesadaran dan memiliki hak pilih. Ia bisa tetap ingkar dan bisa juga kembali kepada kesadaran.
Manusia pertama yang diturunkan oleh Tuhan ke Bumi adalah Nabi Adam. Manusia pertama yang juga Nabi ini sangat dimuliakan dalam Agama Islam. Lalu kenapa ummat Islam menghormatinya? Jika Ia orang pertama bukankah itu berarti Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Islam belum dilahirkan? Kenapa tidak kita lupakan atau bahkan kita tuduhkan bahwa Nabi ini masih Kafir karena belum memeluk Agama Islam?
Cara berfikir seperti inilah yang sedang menjamur menjadi sebuah perspektif kebenaran baru. Meskipun bukan kepada Nabi Adam, namun kecenderungan beberapa pihak untuk menegaskan bahwa yang sudah meninggal tidak ada kaitan dengan yang masih hidup. Yang tidak menjalankan syariah sesuai kategori dan ukuran-ukuran yang ia buat disebut bukan penjalan syariat yang kaffah dan masih najis. Orangtua yang mati tidak bisa menerima pahala lagi dari kegiatan yang ada di dunia, dan ia juga tak bisa mendengar do’a siapapun yang mendo’akannya. Pandangan-pandangan penuh heroisme kesucian itu seharusnya cukup memenuhi syarat untuk juga memasukkan Nabi Adam hingga Nabi Isa sebagi pihak yang tak perlu dikenang apalagi dimuliakan.
Demikiankah Islam? Tuhanku tidak sendeso itu. Ia yang Maha menciptakan sistem semua dari Purwa hingga Purna tanpa cela. Ia telah mengatur dan menebarkan bermilyar-milyar petugas-petugas untuk menjaga dan menjalankan operating system Agung buatanNya. Nabi adalah utusan yang mendapat Wahyu, Ia adalah orang terpilih dan juga dipilih oleh Tuhan sebagai utusan untuk menata perikehidupan manusia yang ia mulai. Seorang utusan pastilah tunduk dan pasrah kepada Tuhannya, Nabi Adam adalah Islam dan seluruh sistem setelahnya yang merujuk pada ajaran Nabi Adam sesungguhnya pun adalah Islam. Bahkan Tuhanku menyatakan bahwa ayat-ayatNya akan dijaga olehNya sendiri. Ia akan bertahan dan tetap bisa dibaca hingga kapanpun meski telah melewati sekian abad sekian jaman.
Bacaan itu dihamparkan dengan berbagai rupa, ada yang berupa keaneka-ragaman manusia sebagai aksaranya. Ada yang berupa keaneka-ragaman tumbuhan, binatang, musim, iklim, temperatur, suhu, dan lain sebagainya sebagai tanda bacanya. Ada pula berupa keaneka-ragaman keyakinan, kebenaran, ideologi, faham, aliran, anutan, dan lain sebagainya sebagai tema-tema bacaannya. Semuanya berkisah tentang satu hal yakni tentang Tuhan yang Maha Besar dengan syariah/cara tutur dan bahasanya masing-masing. Masing-masing cara itupun bercabang-cabang arah penulisannya (route/Thoriq), ada yang dari kiri ada pula yang dari kanan, ada yang mulai dari bawah ada yang mulai dari atas. Semuanya bisa terhambat dan kisruh pada sebuah simpangan sebelum sampai titik tuju, ketika masing-masing tulisan ini saling meributkan, mendikte, dan menyalahkan rute yang ditempuh yang lain. Karena rute perjalanan yang berlainan adalah kepustakaan alam untuk menegakkan sebuah jalur (Shiroth) pengabdian yang sama, yakni jalur yang senantiasa menegakkan (mustaqim).
Agus Wibowo