SAMBUNG ROHSO

Mendekati bulan Puasa biasanya banyak masyarakat kita melaksanakan tradisi-tradisi yang diturunkan oleh leluhur masing-masing. Salah satunya adalah Nyadran. Dimana tradisi ini biasanya diperingati di bulan Rajab atau Ruwah, atau bahkan keduanya. Rangkaian acara di dalamnya pun memiliki kesamaan di berbagai daerah yang melangsungkan tradisi ini, yakni sedekah bumi, zaroh makam leluhur, berdoa bersama, dan dilanjutkan makan bersama.

Jika dicermati dari asal kata nyadran = ny-sradan, Sradan berasal dari istilah Srada yang artinya adalah suci. Seiring berjalannya waktu, istilah sradan menjadi nyadran. Adapun kata sraddha, dalam bahasa Jawa Kuno memiliki makna sebagai perilaku suci untuk mengenang, mendoakan, ataupun memuliakan roh-roh leluhur yang sudah bersemayam di alam baka.

Apakah ini merupakan hasil elaborasi budaya (atau istilah tepatnya apa) dalam sarana dakwah, namun masih mengakomodir budaya sebelumnya? Kenapa hampir di semua daerah yang melaksanakan tradisi ini sepakat melaksanakannya di bulan rajab dan ruwah?

Marilah duduk melingkar dalam pertemuan rutin Majlis Gugurgunung yang bertempat di Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi’in Bodean RT. 02 / III Klepu Pringapus Kab. Semarang pada malam minggu tanggal 28 April 2018 pukul 20.00-selesai.

Marilah melingkar melepas rindu, marilah melingkar mengupas waktu, marilah melingkar dan bertukar.

Sinau Mulat

Pertemuan rutin majlis gugurgunung pada bulan ini jatuh pada tanggal 31 Maret 2018 bertempat di Balai Desa Klepu Ungaran, Kab. Semarang dengan tema “Sinau Mulat”. Seperti biasa, kegiatan dimulai sekitar pukul 21.00 WIB, dengan do’a pembuka dan wasilah oleh Mas Tyo, dilanjutkan Munajat Maiyah oleh Mas Jion. Sedikit kalimat pembuka dari Mas Agus untuk mengawali diskusi, yakni pada malam ini bebarengan dengan rapat pleno Maiyah di Kadipiro dan juga tepat 40 tahun usia (hijriah) Mas Sabrang. Sedikitdo’a dipanjatkan untuk kebaikan beliau. Amin.

Tenang dan menyegarkan tatkala Munajat Maiyah dibacakan oleh Mas Jion dan diikuti dulur-dulur yang hadir malam itu.

Continue reading

Desa Purwa

Mukaddimah Maiyah Kalijagan edisi 6 April 2018 dengan tema “Desa Purwa”

Mukaddimah Maiyah Kalijagan edisi 6 April 2018

Wacana mengenai manusia tidak akan selesai sampai manusia diselesaikan oleh Allah. Namun yang perlu dipelajari manusia yakni asal-usulnya, sebagai penanda, pemetaan, penataan, perenungan dan sangu untuk berjalan di kesekarangan dan menuju masa depan. Dari asal-usulnya, manusia akan menemukan kesejatian hidupnya pula, yakni Allah sebagai desa wiwitan, Al Awwalu. Ya, dari desa, peradaban manusia mulai terbentuk oleh tatanan sistem yang telah Allah sabdakan dalam satu kata “Kun” di surat Yaasin.

Dari “Kun”nya Allah, bependarlah cahaya kehidupan, terciptanya makhluk-makhluk, tatanan jagad semesta dan segala ubo rampenya, termasuk desa. Khususnya desa, ada yang menarik untuk kita pelajari. Salah satunya mengenai pilar utamanya, yang pertama adalah spiritual. Kedua: pemikiran, jiwa, ideologi dan pranatan. Ketiganya yakni sandang, pangan, juga papan. Mengenai jalinan dan ikatannya, desa tidak bisa dilepaskan dari tiga subyek: Tuhan, Manusia dan Alam. Dari tiga pilar utama dan subyek jalinan tersebut ada tujuh hal yang tidak bisa kita pisahkan juga. Yakni i am, i feel, i think, i love, i speak, i see, dan i understand dalam konsep cahaya yang utuh dan manunggal. Dan desa yang utuh dan manunggal adalah desa di atas desa, desa yang tidak sekedar gemah ripah loh jinawi (baldatun thoyyibatun), lebih dari itu masyarakatnya mendapat pangapura dari Allah (Rabbun ghofur).

Desa sebagaimana konsep baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur dalam buku “Desa Purwa” disebutnya sebagai Paradesa. Secara linguistik, kata “paradesa” kemudian diadopsi menjadi kata “paradise”(di negara Inggris dan sekitarnya) dan “firdaus”(di negara Arab dan sekitarnya). Jika memang begitu, maka tak mengherankan kalau nuansa yang kita imajinasikan mengenai surga (paradise/firdaus) tidak jauh berbeda dengan nuansa paradesa. Banyak tanaman hidup didukung tanah yang subur, kondisi sandang, pangan dan papan yang makmur, serta masyarakat yang taat pada Sang Ada, Hyang Widi, Arrohman, Allah, Tuhan semesta raya.

Namun apakah hal itu masih bisa kita temukan di tengah penjajahan elit global, konspirasi global atas kapitalisme kerakusan fir’aun raja naga, namrud paman sam? Penggusuran desa demi kemaslahatan perut konglomerat unta, naga dan koboi? Sehingga penduduk paradesa agaknya kelimpungan dan lupa bahwa muasalnya adalah desa, paradesa, firdaus, paradise dan mereka harusnya nanti kembali ke sana. Ada pula masyarakat desa yang rela menyesatkan diri di belantara jalanan kota. Maka selebihnya mengenai desa mari kita diskusikan lebih mendalam, tenang dan mesra sebagaimana nuansa surga yang mengalir sungainya dan tumbuhnya banyak pepohonan dan hidup tentram bersama binatang. Mari pulang kepada keabadian desa sebagaimana tema Kalijagan April 2018, “Desa Purwa” adalah sebuah judul buku yang ditulis mas Agus Wibowo dan diterbitkan Maiyah Gugur Gunung Ungaran.

[Redaksi Kalijagan]

*Sumber: https://www.kalijagan.com/2018/04/02/desa-purwa/

Sinau Mulat

Sinau Mulat – Rutinan Majlis GugurGunung Tanggal Maret 2018

MajlisGugurgunung:: Segala hal yang telah diciptakan akan kita temukan bahwa semuanya saling berpasangan. Keadaan terbagi menjadi dua bagian yakni kakawin dan reridu. Kakawin digambarkan sebagai keadaan yang indah, baik itu dipandang, didengar, dicecap dan dirasakan. Sedangkan reridu ialah sebuah keadaan yang tidak tenang, gelap, ruwet dlsb. Oleh sebab itu setiap 8 tahun disebut sebagai windu (kakawin dan reridu). Yang perlu kita maknai ialah, tiap delapan tahun kita tengok kembali ke belakang dan evaluasi langkah dalam laku yang sudah dijalankan. Apa yang lebih banyak didalamnya? Hal baik kah? Hal buruk? Kakawin? Atau reridu? Seperti bertolak belakang, Kemudian “akan kita temukan bahwa semuanya berpasangan”

Fungsi dari mengamati dan meengevaluasi langkah hidup ini agar tetap menegakkan niat menjalani hidup hanya untuk kembali kepada nol atau kekosongan. Agar memahami kekosongan sebaiknya mengerti pada letak, untuk memahami letak sebaiknya mengerti untuk evaluasi, untuk bisa evaluasi sebaiknya bersyukur telah diberi hidup, untuk bisa menjalankan kehidupan harus mengerti peran, untuk mengerti peran harus berbuat, untuk bisa berbuat harus beranjak, untuk beranjak harus ada niat. Dan sebaik-baiknya niat adalah ALIF.

Marilah duduk melingkar dalam pertemuan rutin Majlis gugurgunung yang bertempat di Balai Desa Klepu, Ungaran Kab. Semarang pada Malam Minggu tanggal 31 Maret 2018 pukul 20.00 WIB. Mari bertukar pikiran, saling mengevaluasi diri untuk menetapkan langkah ke depan.

Malikinnas Ilahinnas

Pertemuan rutin Majlis Gugurgunung edisi bulan Februari jatuh pada tanggal 24 Februari 2018 bertempat di Balai Desa Klepu, Ungaran, Kab. Semarang. Dengan tema yang diusung ialah “Malikinnas Ilahinnas”.

Moderator pada malam hari ini adalah Mas Norman dan Mas Dian. Usai dibuka oleh moderator, dilanjutkan dengan pembacaan do’a Wasilah oleh Mas Ari dan do’a Munajat Maiyah oleh Mas Jion.

Mas Kasno sebagai perwakilan untuk menyampaikan beberapa kalimat seputar tema  sebagai pengantar diskusi. Berawal dari Bapak Maiyah, Muhammad Ainun Nadjib yang menyampaikan bahwa kata yang tepat untuk berpasangan dengan “menjadi….” tidak lain adalah “…manusia”. Sehingga entah itu presiden, polisi, pejabat dll semua itu adalah jalan untuk menjadi seorang manusia. Gugurgunung disini berperan sebagai “Musholla” yakni tempat kita berjama’ah dengan “Masjid Agung”nya adalah Maiyah dengan harapan silah-nya sampai menuju Baitullah Masjidil Haram.

Mas Agus memberikan paparan lebih luas lagi tentang tema pada malam hari ini

Kemudian Mas Agus memberikan paparan lebih luas lagi tentang tema pada malam hari ini. Dimana sudah merupakan tradisi dari Majlis Gugurgunung untuk membaca keadaan menjadi tema bahasan, yang juga melatih kita untuk mempertajam cara pembacaan keadaan dari masing-masing pribadi. Namun harus siap juga terhadap resiko dengan bacaan yang sedikit menggelitik, dan harus ditanggapi bukan untuk di”paido”, di”eyeli” dsb. Pembelajaran inspeksi diri merupakan salah satunya agar tidak menjadi represif terhadap situasi. Cara pepiling dari Allah bisa dengan cara-cara yang indah, lembut, kasar, menyakitkan dll. Dengan begitu banyaknya variant untuk pepiling sehingga justru malah membuat kita menjadi lupa.

Dari sekian tahapan pembuatan tema pada malam hari ini mengalami masa inkubasi dimana memerlukan waktu yang lebih lama. Makanya kita harus senantiasa mengingat setiap keadaan sebagai bentuk persembahan kepada Allah. Mungkin memang perguliran itu berat oleh karena itu dilengkapi dengan beberapa kisah seperti yang dibagikan oleh beberapa sedulur Gugurgunung.

Raja, diartikan sebagai malik. Akan tetapi se-Raja apapun seorang manusia tetap mengabdi kepada Rajanya Manusia atau Malikinnas. Ketika sedang berhadapan langsung dengan Allah, tidak dilihat status sebagai seorang raja atau bukan. Bahkan tidak masalah menjadi orang “ngeroto” atau orang yang tidak menonjol sebab sama posisinya dengan raja dimata Allah.

Pembelajaran yang sedikit akan baik ketika mencoba dimaknai dengan sungguh-sungguh sebab Allah sangat mengetahui tentang kapasitas. Oleh karena itu, menurut Mas Agus sedikit keliru ketika kita meminta sesuatu dalam jumlah yang banyak kepada Allah. Sebab ketika kita meminta sesuatu yang banyak dari Allah justru sebenarnya Allah bisa memberi yang jauh lebih banyak dari yang bisa kita bayangkan. Dalam pada itu juga ketika sudah biasa terhadap hal-hal besar maka juga bisa melupakan hal-hal kecil yang sesungguhnya menjadi unsur susunan dalam sesuatu yang besar tadi.

Contoh sederhana, seseorang mendapat gaji yang kecil lalu membandingkan dengan orang lain yang gajinya lebih besar. Ketika mendapat gaji yang besar maka yang dilihat adalah orang lain yang lebih besar lagi begitu seterusnya ketika tidak mampu memaknai sesuatu hal yang dianggap kecil atau sederhana. Ketika mampu memaknai hal kecil maka kemungkinan Allah akan menghadapkan kita pada sesuatu yang lebih besar, tetapi selain mengetahui fenomena kemanusiaan yang besar juga harus mampu mengetahui sesuatu yang maha besar.

Akhirnya jarak itu membuat kita menjadi lebih dekat dengan Allah. Besar kecilnya manusia yang menbedakan ialah kualitas taqwanya. Oleh karena itu kita dianjurkan untuk bertaqwa, tawakal, dll hanya untuk mengetahui ternyata Allahu Akbar.

Di dalam fenomena sholat, adzan, penyebutan Allahu Akbar senantiasa di repetisi terus menerus. Anjuran untuk kita hingga saat ini ialah takbir, berarti memang diri kita sangat mudah terperangkap untuk merasa besar. Ketika kita merasa besar maka akan sulit untuk mengakui yang maha besar. Baik di dalam diri maupun diluar (yang terlihat, terdengar maupun tercium) akan mengandung unsur jebakan karena dengan yang kita lihat, apakah dengan demikian menjadikan kita mampu menggunakannya untuk mengakui bahwa Allah maha besar dan semakin memiliki kesadaran bahwa kita ini mengabdi.

Menanggapi bahwa Gugurgunung ini adalah Musholla, dimana Musholla itu ialah tempat untuk sholat maupun sholawat. Oleh karena itu disini selalu ada sholawatannya, begitupun juga di simpul-simpul yang lain. Berarti bisa kita anggap pula bahwa masing-masing simpul adalah Musholla-musholla. Sempat disinggung pula Maiyah sebagai Masjid Agungnya, padahal yang masih berjalan ialah Maiyah berperan untuk tidak menonjol/ngroto meskipun seiring berjalannya waktu menjadi semakin roto/rata tersebar hampir di setiap kota, ini berarti fenomena-fenomena mushola semakin banyak, orang yang sholat semakin banyak, orang bersholawat makin banyak. Dan semoga senantiasa kita mendapat hidayah agar diperkenankan untuk menjadi makmum di Masjidil Haram, sebuah tempat yang sangat menganjurkan usaha aktif dari kita untuk mencegah dari perbuatan fasik, mungkar. Yang menjadi dipersyaratkan untuk umroh dan berhaji ialah untuk semua orang yang masih hidup, maka ketika kita mampu menjaga setiap langkah kita dari perbuatan fasik dan mungkar maka semakin mendekatkan langkah kita kepada Masjidil Haram untuk senantiasa memenuhi panggilannya.

Sebuah fenomena lagi yakni dari perjalanan Mas Jion yang harus bergesekan di jalan ketika akan berangkat tadi. Ketika fenomena tersebut dihadapi sebagai fenomena kemanusiaan saja maka pasti yang dikedepankan ialah posisi untung dan ruginya. Akan tetapi ketika itu diletakkan sebagai hadiahnya Allah, meskipun bukan sesuatu yang kita anggap manis bahkan justru pahit, sepet dsb, Insya Allah hal tersebut juga merupakan salah satu langkah untuk memproklamirkan diri untuk memenuhi panggilannya. Aku mendekatimu dengan kasih sayang meskipun engkau mendekatiku dengan fenomena yang mencengangkan dan sebagai bentuk yang tampak kurang mengenakkan. Ku terima semua ini ya..Allah karena tidak ada hal buruk dari engkau, tidak ada yang bathil. Hal ini merupakan fenomena yang harus kita serap bersama-sama untuk semua yang ada disini. Tidak ada satupun manusia yang ingin dirinya mengalami peristiwa yang tidak enak. Namun apakah ada seorang yang tidak menemui ketidak-enakan di dalam hidupnya baik itu sekecil apapun bentuknya.

Semakin berkembangnya maiyah, semakin memberikan informasi kepada kita bahwa hidayah ini juga dapat kita jadikan sebagai hudan atau petunjuk dalam fenomena uluhiyah (intim, rahasia, hanya kita yang mampu meenbaca) dan rububiyah (perilaku, perkataan yang masih bisa kita sampaikan kepada orang lain). Andaikan proses mencerna Allahu Akbar tidak hanya dalam lima waktu sehari, kalau bisa setiap membuka mata, kalau tidak bisa minimal lebih dari 5 waktu.

Seperti halnya syahadat, bukan hanya kita membacanya namun juga dalam perilaku kita harus bersyahadat. Semakin luas cakrawala kesaksian kita terhadap Allah, maka kita akan dibuat menjadi “kaya”. Segala kondisi apapun entah enak ataupun tidak mengenakkan, entah itu sempit ataupun lapang, baik itu berat ataupun ringan dsb.

Coba kita diibaratkan sebagai seorang Chef, kita memasak, mengelola menjadi hidangan yang asyik dengan kesadaran utama bahwa tempe yang sudah dihadapan kita akan gagal menjadi tempe jika kita memiliki angan-angan memakan daging. Hal tersebut tidak ringan bahkan justru berat tetapi Insya Allah akan menjadi asyik dan indah.

Makan bersama sambil melakukan obrolan ringan. Beralaskan selembar kertas minyak, menikmati tiap suapan.

Kemudian memasuki sesi perkenalan karena ada beberapa yang hadir baru pertama kalinya. Salah satunya ialah mas Ghoyab. Usai perkenalan memasuki pergantian hari, oleh karena itu diberi jeda dengan makan bersama terlebih dahulu. Nasi putih, nasi jagung, ikan asin, sambal, kerupuk, dan pisang semua sudah tertata apik ditengah-tengah lingkaran diskusi. Makan bersama sambil melakukan obrolan ringan. Beralaskan selembar kertas minyak, menikmati tiap suapan. Waktu yang terus berjalan, menjadi pengiring dalam hangatnya persaudaraan. Tidak terasa waktu sudah lebih dari tengah malam. Sambil diskusi ringan, masih melanjutkan diskusi yakni pembuatan draft poin-poin usulan piagam maiyah.

Sekitar pukul 02.00 pagi, selesai sudah kegiatan rutinan Majlis Gugurgunung. Ditutup dengan do’a, salam, dan akhirnya semua berpamitan untuk melanjutkan kehidupan di tengah masyarakat, berbekal tetesan ilmu yang didapat. Sekian reportase, semoga bermanfaat.

 

Andhika Hendriyawan