MENCARI DEWAN SEPUH

Pertemuan rutin Maiyahan di Majlis Gugurgunung pada bulan Juli jatuh pada tanggal 28 Juli 2018. Sebuah acara yang biasa digelar setiap bulan pada malam minggu terakhir.

Namun ada suasana yang nampak berbeda pada malam itu dengan mempergunakan tempat berkumpul yang baru, yakni di kediaman Mas Mundari (Salah seorang penggiat di Simpul Maiyah Gugurgunung) di daerah Ngempon, Ungaran, Kabupaten Semarang.

Selain itu dibahagiai pula dengan kerelaan dari Master Zain dari Zamatera beserta sejumlah hampir 20an orang Trainer Therapis Zamatera, yang bersedia untuk memberikan terapi Zamatera gratis pada semua sedulur yang hadir pada malam itu. Dimana malam itu dibersamai pula oleh beberapa perwakilan sedulur simpul Maiyah se-nusantara. Tercatat ada sedulur Maiyah dari Majlis Masuisani Bali, Damar Kedhaton Gresik, Majlis Alternatif Jepara, Suluk Surakartan Solo, Penggiat Muda Pertanian dan Peternakan Jogja, Kalijagan Demak, Semak Kudus, Gambang Syafaat Semarang dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu, karena disini bukan tentang perayaan nama namun perayaan cinta.

Waktu telah menunjukkan pukul 19.40 WIB. Sesi pertama diisi langsung oleh Zamatera. Gelaran karpet dalam ruangan telah dikosongkan, hanya disisakan barisan bantal dan guling di bagian tengahnya saja. Para therapis yang sudah siap di posisinya masing-masing mempersilahkan kepada sedulur-sedulur untuk berbaring, dengan letak yang berselang-seling. Satu demi satu gerakan terapi diperagakan, bebarengan pula dengan respon yang berbeda ditunjukkan pada setiap orang. Sedikit tegang sampai meringis menahan sakit mewarnai tampilan ekspresi tersebut. Kisaran 5-10 menit waktu terapi untuk tiap orangnya. Masing-masing bergantian untuk merasakan Zamatera. Segar dan sumringah usai diterapi ditambah pula kopi hangat juga wedang serbat yang disediakan, seakan membawa diri untuk bersiap memasuki sesi kedua yakni sesi diskusi.

Therapi Zamatera kepada perwakilan sedulur simpul Maiyah oleh tim Zamatera

Kisaran pukul 21.30 WIB, Mas Kasno selaku pembawa acara malam hari ini mempersilahkan semua yang hadir untuk menempatkan diri dan segera memulai sesi kedua. Dibuka dengan pembacaan Al-Fatihah bersama-sama, kemudian dilanjutkan oleh Mas Tyo dengan do’a Tawasul dan Wirid Gugurgunung, serta Mas Jion membacakan Munajat Maiyah.

Tema Gugurgunung yang diangkat malam hari ini ialah, Mencari Dewan Sepuh. Mas Kasno sebagai tim dapur tema membacakan mukadimmah untuk disimak bersama.

Selain Mas Kasno, Mas Ali Fatkhan malam hari ini juga diminta untuk menjadi moderator. Sedikit preambule dari Mas Kasno, yakni tema ini muncul dengan landasan sedikit mentadabburi apa yang telah disampaikan oleh Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib beberapa waktu lalu. Meskipun jama’ah Majlis Gugurgunung masih terhitung muda-muda namun mencoba memberanikan diri untuk mentadabburi apa yang disampaikan oleh beliau tersebut.

Mas Ali menambahkan dengan turut meminta dari tiap perwakilan simpul untuk memberikan urun rembug yang kemudian bisa dielaborasi dengan penegasan-penegasan baik oleh Mas Agus, Master Zain, juga Mas Rizky selaku koordinator simpul region 3 (Jawa Tengah).

Pertama dari perwakilan Majlis Alternatif, yakni Mas Kaffi yang mengucapkan terima kasih kepada Pak Zain atas pemberian terapinya, dan semoga bermanfaat banyak terhadap istrinya, kelakar Mas Kaffi sambil tertawa, untuk mencairkan suasana. Menanggapi tema, kemudian diteruskan dengan kisahnya ketika di Maiyah Kalijagan. Dimana waktu itu dihadiri oleh Pak As’ad dari simpul Suluk Surakartan yang kebetulan malam itu masih dalam perjalanan menuju ke gugugunung. Beliau mengatakan bahwa selalu mencurigai atas sebuah kondisi atau peristiwa. Dimana membuat mas Kaffi memikirkan jangan-jangan untuk mencari dewan sepuh barangkali harus dicurigai terlebih dahulu dalam setiap peristiwanya. Satu kata kunci pemantik yang bisa diambil disini ialah mulailah curiga namun bukan dalam pemaknaan negatif.

Mas Kaffi, salah seorang perwakilan dari Majlis Alternatif sedang merespon tema dan suasana

Tua dan Mutu Takwa

Mas Aris Syahbana (salah seorang sedulur dari Kudus) kemudian juga diminta untuk urun rembug. Mas Aris mengatakan bahwa beliau merupakan salah satu penggemar Mbah Nun. Ucapan terima kasih juga Mas Aris haturkan pada Pak Zain, dimana diamati olehnya ada 17 gerakan terapi, dan berpendapat bahwa kenikmatan berawal dari ketegangan.

Kemudian beliau mengingat kisah tentang kisah Raden Mas Panji Sosrokartono, yang juga seorang ahli pengobatan. Dalam pada itu, alangkah baik menurutnya untuk nguri-uri impian Mbah Sosrokartono dan digunakan rajah beliau yakni Sang Alif. Sedikit menceritakan kisah, dahulu Mbah Sosrokartono mengajarkan beberapa hal. Pertama ialah menekankan ketuhanan dengan simbol rajah yang paling utama beliau adalah Alif, bahwasanya Allah Maha Esa. Selain ahli pengobatan, Mbah Sosrokartono juga merupakan seorang akademisi atau seorang yang intelektual. Seorang ahli pengobatan namun kuliahnya awal di bidang bahasa, hingga menguasai sekitar 40 bahasa dan baru dilanjutkan kuliah di dunia medis . Walaupun beliau kuliah di luar negeri namun tidak luntur budaya Jawanya, bahkan berani menantang Ratu Himina (Wilhelmina) , dengan ucapan “Kalau sampai Belanda memperkosa kebudayaan anak bangsa Indonesia, selagi matahari masih bersinar, kami akan menentang keras” dikatakan di hadapan Gubernur dan Jenderal namun tidak dibunuh pada saat itu. Beliau tidak takut karena semangat hidup dan matinya adalah milik Allah.

Pertama ketuhanan, yang kedua ialah kemanusiaan. Sebab beliau memperjuangkan hak-hak warga pribumi. Sekilas tentang pengobatan, bahwasanya beliau memiliki Tirtohusodo dengan teko bergambar Alif. Sebuah air putih yang kala itu diceritakan di era 800-an mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Dimana kelebihan tersebut pastinya diperoleh dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Menanggapi tentang tema, ada dua hal yang menarik menurut Mas Aris. Pertama, ialah takwa. Seperti pada orang yang berpuasa, yang mendapatkan takwa. Serta ketakwaan pula yang membuat kita tidak sama di mata Allah. Kedua, ialah maksiat. Dimana yang dapat menguasainya ialah diri pribadi kita. Sebuah ajaran kanjeng Sunan Kalijaga “Tiati ketani dilah purung cumenten nduk purung atiku biercemarangan dhang padhange srengenge jek padhang atiku dhewe”. Menurut Mas Aris, yang dituju ialah pribadi. Kemungkinan Allah akan mengabulkan setiap hajat kita asalkan kita mampu memanajemeni pribadi diri kita. Jika dipersambungkan dengan kata kunci awal, menjadi mencurigai pribadi diri sendiri.

Sesepuh dan Penyembunyian Diri

Kemudian dilanjutkan oleh Mas Madrim yang cukup jauh perjalanan dari Damar Kedhaton Gresik. Mas Madrim datang berdua bersama Mas Yayak dengan menggunakan kereta. Sebuah bentuk kegigihan untuk menyambung paseduluran. Meskipun dalam perjalanannya, ketika baru sampai di daerah Purwodadi harus diturunkan paksa, karena ketahuan merokok di dalam toilet kereta. Sehingga harus menggunakan bus untuk melanjutkan perjalanannya hingga dapat sampai disini. Sedulur yang baru pertama kali melingkar disini, namun betapa kehangatan yang dirasakan membuat posisinya bukan lagi menjadi tamu namun merupakan bagian dari keluarga Gugurgunung itu sendiri.

Menanggapi soal tema, merasa bingung sebab dirinya dianggap bukan salah seorang dewan sepuh. Namun Mas Madrim membagikan tentang sebuah kisah. Ketika dirinya sedang berada di daerah Tuban, siang hari kala itu melihat sebuah petilasan seperti sebuah gapura dari Mbah Madrim. Namun ketika dicari informasi tentang itu selama lebih kurang 7 (tujuh) tahun tidak ada yang mengetahuinya. Sampai kepada Hari Raya kemarin ketika sedang pulang di Tuban, bersama dengan saudaranya menuju ke sebuah lokasi. Hingga tiba di sebuah lokasi yang juga merupakan sebuah petilasan. Terlihat disana seperti bambu yang digulung dengan kain lengkap dengan sesajennya. Disana Mas Madrim sempat membaca Al-Fatihah juga sholawat. Ketika pulang, sesampai di rumah Mas Madrim diberi tahu oleh kerabatnya, bahwa tempat tersebut merupakan tempat yang biasa digunakan beberapa orang untuk pesugihan dan disebut dengan Mbah Candi. Berujung respon kaget juga heran yang menghinggapinya. Dugaan Mas Madrim ialah, petilasan Mbah Madrim disamarkan menjadi Mbah Candi.

Ketika dipersambungkan dengan tema dewan sepuh ini, kecurigaan yang muncul ialah jangan-jangan leluhur sepuh kita ahli dalam menyembunyikan. Hingga muncul dugaan bahwa dewan sepuh itu memiliki sesuatu yang disembunyikan.

Waskita dan Kemawasan Diri

Untuk berikutnya Mas Ali meminta Mas Andi dari Maiyah Masuisani, Bali memberikan urun rembugnya. Namun sebelum Mas Andi berbagi pendapatnya, sedikit diceritakan oleh Mas Kasno bahwasanya keluarga Gugurgunung selalu menjumpai Fenomena Kerinduan yang berhubungan dengan Mbah Nun. Kerinduan keluarga Gugurgunung dengan Mbah Eko Tunas, dihadiahi dengan rawuhnya beliau di Majlis Gugurgunung edisi April 2018. Ada satu lagi kerinduan yang kami keluarga Gugurgunung menganggapnya sulit, yakni kerinduan terhadap Mbah Umbu. Namun pada malam hari ini, keluarga Gugurgunung dihadiahi atas kerawuhan sedulur Maiyah Masuisani, Bali yang diasuh langsung oleh Mbah Umbu. Hingga diminta untuk menceritakan sedikit kisah tentang Mbah Umbu, sekedar untuk mengobati kerinduan kami dengan beliau.

Mas Andi, pertama mengucap syukur bisa dihadirkan dalam Majlis Gugurgunung disini juga untuk menyambung tali silaturahim dari beberapa simpul Maiyah lain, dimana selama ini hanya dapat diikuti melalui Youtube atau sosmed lainnya. Bernama lengkap Andi Priyo Cahyono, lahir di Magetan dan sudah di menetap di Bali semenjak tahun 1999.

Sedia berbagi kisah, bukan maksud untuk menilai Mbah Umbu. Tak bisa pula secara keseluruhan namun hanya sebatas sudut kacamata yang dilihat oleh Mas Andi bahwa Mbah Umbu adalah orang yang keras juga lembut. Keras pada prinsipnya, namun lembut dalam menyampaikan sesuatu serta bijak dalam menyikapi suasana yang terjadi. Pertemuan di Masuisani baru 5 kali pada tanggal 30 Juli 2018. Pertemuan pertama Mbah Umbu tidak enak badan dan baru datang di pertemuan kedua, tiga, empat dan insya allah lima kali pada pertemuan 30 Juli 2018. Dianggap oleh Mas Andi, Mbah Umbu adalah seorang guru, sesepuh dan panutan. Seolah yang ada di otak, Mbah Umbu ialah orang yang sangat “wah” Namun seiring perjalanan dengan beliau, secara personality beliau adalah orang biasa, dan apa adanya. Menyikapi, menyampaikan, dan menginginkan sesuatu secara apa adanya. Namun itulah kehebatan beliau dalam menjalani keseharian. Jarak 4 – 5 km, setiap hari, selama puluhan tahun ditempuh untuk selalu berjalan tanpa kenal lelah. Menjalankan kehidupan secara natural , namun justru sisi kenaturalan dan kejujuran beliau terhadap hidupnya itu yang membuatnya kuat dan senantiasa mawas diri menghadapi kenyataan. Sesuatu yang di pikiran kita anggap “wah” ternyata justru adalah sebuah kenaturalan itu sendiri. Misalkan Mbah Umbu sedang sakit, disikapinya dengan menikmati rasa sakit tersebut hingga seakan mengalahkan rasa sakitnya.

Namun selain itu, kuatnya beliau juga terdapat dalam tulisan-tulisan beliau seperti dalam menulis puisi. Sering dikatakan juga bahwa Mbah Umbu kagum terhadap Mbah Nun yang dipanggilnya dengan sebutan “M”. Dalam sebuah puisi Mbah Umbu dapat menulis sebuah kalimat yang dapat memiliki banyak makna, hampir kebalikan dari kita yang menulis beberapa kalimat namun belum tentu bisa menjelaskan sesuatu.

Menanggapi soal tema, Mas Andi berpendapat justru bukan berawal dari sebuah kecurigaan sebab akan berbuah panyono, sehingga memiliki konotasi negatif. Sebaiknya melatih diri kita agar waskitha terhadap suatu hal sehingga berbuah kemawasan diri.

Resonansi Maiyah

Kemudian Mas Rizky dari Koordinator Simpul Region 3 juga diminta untuk urun rembug. Dimana malam ini merupakan malam pertama Mas Rizky melingkar juga di Majlis Gugurgunung. Sebuah apresiasi disampaikan atas acara yang cukup meriah ini sehingga kegiatan ini dapat memberikan inspirasi untuk simpul-simpul yang lain sejumlah 58 simpul Nusantara dan 1 simpul di Korea. Kegiatan ini disebut penumbuhan diri penggiat sebab acara ini dikhususkan untuk penggiat dari simpul Maiyah meskipun belum semuanya bisa hadir. Kegiatan serupa oleh Kenduri Cinta pernah dilakukan dalam bentuk workshop penulisan, story telling dan desain visual. Selain simpul Maiyah, Mbah Nun juga menyebut ada resonansi Maiyah, dalam pada itu ialah orang-orang yang memiliki ikatan batin yang kuat terhadap Mbah Nun namun bukan dalam bentuk ikatan formal.

Zamatera ini memiliki kekayaan sosial kapital, dimana tidak harus memiliki banyak upaya tetapi bisa bertemu dengan sebuah produk kemanfaatan yang sangat besar. Resonansi Maiyah ini wajib bagi semua simpul untuk menguri-urinya.

Menanggapi tema tentang dewan sepuh, pernah Mbah Nun menyebutnya namun bukan dewan tetapi adalah diwan dari bahasa arab yang diserap oleh bahasa Indonesia menjadi dipan. Sekarang dipan diartikan menjadi tempat tidur, namun dahulu digunakan sebagai tempat yang lebih tinggi dan digunakan duduk untuk para sesepuh. Hal ini pernah disampaikan Mbah Nun kisaran tahun 2015 di Kadipiro yang kala itu ada seorang putra mahkota dari Kadipaten Purbalingga yang jika diurut mendapatkan gelar Adipati Purbalingga yang ke-8. Namun sejak tahun 1950, sistem ini sudah tidak digunakan dan berakhir di Adipati ke-5, sebab Undang-undang daerah yang digunakan telah berubah menjadi Pilkada yang kita kenal seperti hari ini. Perihal untuk menjadi Adipati atau bukan, tidak untuk diperebutkan namun bagi seseorang yang memiliki trah ke nenek moyang yang dulunya adalah penguasa yang natural terpilih oleh alam baiknya berposisi sebagai dewan sesepuh. Secara operatif dimaknai oleh Mas Rizky seperti Tim Gubernur Untuk Percepatan Undang-undang di Gubernuran. Dewan sesepuh ini bagai advisor, tetapi dalam tataran level yang lebih tinggi seperti filosofi pembangunan. Namun tentu ada skup dewan sepuh yang lebih sempit yang perlu kita curigai dan waskitakan bersama-sama.

Selain sebagai moderator, Mas Ali Fatkhan juga diminta urun rembug oleh Mas Ronny melalui SMS, untuk mewakili Gambang Syafaat. Pertanyaan pertama, mengapa harus dicari dewan sepuh itu? Apakah ada? Atau mungkin sudah ada, namun belum diketemukan?

Jika belum ada, maka seharusnya diadakan. Namun jika belum ketemu, mengapa bisa belum ketemu? Berarti kita harus menyadarinya dengan sebuah kecurigaan dan kewaskitaan tadi.

Mas Ali pribadi tertarik pada kata dewan, berarti banyak dan diartikannya parsial. Bebeda dengan orang sepuh. Jika orang sepuh maka dia ahli dalam suatu hal namun bukan dalam hal yang lain. Ada sebuah nilai yang dimiliki oleh orang sepuh, yakni ketakwaan.

Tahan menghadapi rasa sakit

Kemudian Pak Zain juga diminta untuk mengelaborasi tentang tema dewan sepuh ini. Pertama beliau bersyukur bisa dipertemukan dengan berbagai simpul Maiyah disini serta berterima kasih atas apresiasi yang telah diberikan. Dikatakan “bahwa perwakilan dari Zamatera malam ini bukan sekedar terapisnya, namun adalah trainer terapis nasional. Insya allah juga Zamatera ini akan diajarkan di seluruh pelosok Nusantara melalui Pagar Nusa”.

Menanggapi tentang Maiyah, dimana Pak Zain menganggap dirinya pemuda di Maiyah karena baru 5 kali ikut Maiyahan dan 2 kalinya berada di Gugurgunung, lalu di Simpanglima Semarang, Lapangan Pancasila Salatiga, dan yang ke limanya ialah pada tahun 1990 waktu itu di Masjid Agung Surakarta.

Pak Zain setuju dengan kewaskitaan tadi, sebab biasanya orang-orang sepuh itu menyembunyikan diri. Mengingatkannya pada kisah Mbah Samud, yang setiap hari dianggap sebagai orang gila yang setiap hari berada di Pasar Kendal. Kewaskitaan menurut Pak Zain berbeda dengan kecurigaan, karena justru lebih dekat dengan suudzon padahal kita harus khusnudzon.

Menanggapi sebuah ayat yang terdapat dalam mukadimmah, diman+a ini landasan dari Zamatera yakni tentang ketakwaan. Karena Pak Zain merasa dirinya bukan orang baik, maka ingin memberi kemanfaatan terhadap sesama, dan alhamdulillah Allah menitipkan ilmu Zamatera ini yang berawal dari penghayatan rasa sakit yang luar biasa yakni pada syaraf tulang belakang sekitar tahun 2005. Dalam penghayatan rasa sakit tersebut mengingatkan beliau semasa kecil sering tidur di mushola dan melakukan grebekan dan akhirnya dipraktekannya. Ketika sembuh, ilmu ini dipraktekkannya pada teman-temannya. Juga dipraktekkannya untuk anak-anak SMA yang sakit saat menstruasi. Dari 70 responden, ketika dipantau kembali usai diterapi 67 orang mengatakan tidak sakit lagi tiap bulan selama 6 bulan. Dulu teknik ini dikatakan mirip dengan Yumeiho dari Jepang.

Ketika diundang ke Jepang, Pak Zain dijadikan sebagai Presiden Yumeiho Asia Tenggara. Namun Pak Zain juga harus membayar semacam royalty kepada Yumeiho. Ketika pulang ke Indonesia dan bertemu dengan Mbah Nun, direspon oleh Mbah Nun bahwa “Indobesia sudah dijajah Belanda 350 tahun, dijajah Jepang 3,5 tahun dengan begitu beratnya, mengapa saat ini masih harus melanjutkannya lagi?” Sambil ditunjuk-tunjuk di muka, sambil Mbah Nun meneruskan, bahwa “Disini lebih tua dari Jepang, bahkan tehnik yang Pak Zain temukan merupakan temuannya sendiri mengapa mau menjadi antek Jepang?” Akhirnya usai dipikir masak-masak, akhirnya Pak Zain memutuskan 100% mengundurkan diri dari Yumeiho, demi rasa Nasionalisme. Bahkan pernah ditawarkan kepada Pak Zain, untuk menjadi terapis di timnas Qatar dengan upah bersih 50 juta perbulan. Namun teringat pesan dari Gurunya “kowe golek duit opo golek berkah uripe?, harus salah satu, tidak bisa dua-duanya uang banyak yang berkah”.

Mengistirahatkan sejenak, sedikit hiburan yakni sebuah guyonan intelektual atau stand up comedy dari Mas Aan Kudus. Dimana berangkat dari tanpa materi, namun meminta waktu untuk menyerap apa-apa saja yang telah disampaikan untuk menjadi sebuah guyonan.

Kemudian ada Mas Galih dari Petani Muda Jogja, merupakan sebuah gerakan yang baru dirintis atas dasar keprihatinan terhadap anak muda sekarang yang kurang menarik karena tidak profitable, intelek dll. Meskipun bukan berasal dari basic petani tetapi dari musik dan entertaintmen, namun sempat berguru di Tangerang yakni tempat Pak Ibnu. Menanggapi soal tema malam ini, dimana dalam mengenal suatu objek atau keadaan harus mengetahui esensinya dimana sekarang jarang diperhatikan oleh sebagian orang. Seperti dalam bertani, jaman sekarang dan dahulu sudah berbeda karena jaman sekarang hanya berorientasi pada profit dan kurang mengenali tanaman. Padahal dengan mengenal, kita bisa memahami korelasi antara sebuah objek terhadap objek yang lain.

Hidup Berdaur agar senantiasa ingat asal-usul

Kemudian tiba Mas Agus untuk mengelaborasi tema malam hari ini. Terima kasih diucapkan atas kerawuhan Mas Zain beserta rekan-rekan therapis, juga pada Mas Mundari beserta keluarga atas tempat yang telah disediakan, juga kepada dulur-dulur Maiyah se-antero Nusantara sehingga dapat menegaskan kembali kasih-sayang dalam bebrayan antar diri kita. Dimana kasih sayang yang ingin kita bangun merupakan kasih sayang yang ingin Allah cipratkan kepada semesta kita dalam menapaki langkah kehidupan.

Kesempatan yang membahagiakan malam ini ialah, lebih membuat kita waskitha dalam mencurigai, mengenal apakah kita hanya sekedar pintasan, ataukah hanya buih kecil namun akan menjadi ombak ketika bersambung dengan buih-buih yang lain sehingga ombak itu memberikan gelombang yang menyapa dan menyambungkan tanah dan air.

Kita disini memiliki ranah potensi ketakwaannya masing-masing. Dimana kadar ketakwaan seseorang tidak dapat diukur. Seperti halnya menimbang kepedasan lombok atau manisnya gula.  Meskipun kita semua sepakat bahwa poin dari lombok adalah pedasnya dan gula adalah pada manisnya.

Sudah saatnya kita kembali pada sebuah konsep menjalankan kehidupan dengan menggunakan metode petunjuk langit melalui jalan yang sudah diresmikan oleh Allah baik itu Malaikat, Nabi, Rasul, Kitab suci dlsb. Dimana setiap manusia, dalam dadanya sudah ditanam Al Qur’an (Petunjuk) melalui malaikat Jibril (Al Baqarah : 97). Sesungguhnya inilah letak dimana kita dapat memberikan sambungan pada kita meskipun kita ini berbeda. Karena memang ketidaksamaan itu untuk menunjukkan keagungan Allah, bahwa dengan perbedaan namun kita percaya bahwa kita mampu menemukan titik temunya. Cita-cita yang sama yakni bersatu pada ranah yang intim. Inilah metode Allah untuk menyampaikan keindahan. Air dan minyak tidak bisa bersatu, namun kesadaran fungsi masing-masing yang dimilikinya terdapat fungsi yang sama yakni kemanfaatan terhadap kehidupan kita. Inilah cara Allah menunjukkan keagungannya bahwa masing-masing pihak memiliki kesepuhan, bobot serta level ketakwaannya sendiri-sendiri. Jika kita berhenti pada level ketakwaan yang kita bayangkan atau imajinasikan saja akan berbahaya sebab kita tidak mampu menggapai sesuatu yang lebih besar.

Kita disini sama-sama dalam rangka dipertemukan oleh Allah, jangan menyangka bahwa kita hanya bertemu dan ber-Maiyahan saja disini. Namun kita disini sama-sama mengakurasi nikmatnya persaudaraan tanpa ada perasaan saling mengintai satu dengan lainnya. Waskita dan curiga dianggap Mas Agus sama, hanya bahasa penyampaiannya yang berbeda. Seperti panggilan lur dan cuk. Kita berbeda namun tetap menjunjung tinggi ranah persaudaraan. Dimana ranah persaudaraan itu sekarang sedang menjadi telur di ujung tanduk. Telur di dalam Maiyah ini semoga telur yang siap menetas, bukan pecah. Mbah Nun sejak sekian kurun waktu lalu senantiasa mengisi tulisan dengan label daur, bahkan sudah dibukukan.

Kita dalam Maiyah, apa yang ingin kita persambungkan? Berulang kali dalam daur seolah ingin mengatakan bahwa hidup sekarang ini memerlukan belajar yang sungguh-sungguh, kalau ingin membuat paseduluran yang seperti sekarang ini membutuhkan biaya yang besar, dan waktu yang lama. Maka bagaimana hal ini tidak habis dan tenggelam hanya karena kita tidak memiliki figur secara jasadiah. Kita harus mampu menyerap nilai dan spirit dalam diri kita untuk menjadi resonansi Maiyah yang “Kawi” (kawitan, murni, awal, sepuh, tua). Mengapa? Sebab kita mencoba melengkapi sebuah fenomena pohon yang tidak akan terhormat dan bernilai hanya karena bisa berbunga dan berbuah. Tetapi pohon tersebut juga memiliki daun, tangkai, batang yang bernilai. Tetapi pokoknya adalah bagian akar. Dengan persaudaraan kita saat ini seakan sedang panen buah, bagaimanapun dalam simpul yang lain tidak dalam keadaan terancam dan bukan pula menjadi pihak yang harus berbasa basi. Jika ini adalah akibat, maka kita harus mencari penyebabnya. Agar terus menemukan akibat-akibat yang berikutnya. Baiknya kita meneruskan biji-biji tersebut agar semakin banyak bermunculan akibat-akibat tersebut.

Termasuk salah satu kegiatan petani muda Jogja merupakan salah satu bentuk bahwa telur itu memiliki kemungkinan untuk menetas. Pergerakan ini bersambung dengan kegiatan dari sedulur Jepara dengan program Kampus Sawahnya. Bersambung juga pergerakan tersebut di bidang teknologi dengan pergerakan Pak As’ad. Berlanjut juga dengan Pak Ibnu, dimana masih ada ketersambungan dengan Pak Zam. Maka dari itu nampak bahwa kita diberi ilusi perbedaan namun sesungguhnya kita hanya diberi kesempatan untuk menemukan persambungan serta persamaan. Baiknya kita bertukar kontak dan informasi, bukan untuk menemukan dewan sepuh itu namun untuk melanjutkan proses mencari dewan sepuh tersebut bersama-sama. Fungsi dewan sepuh salah satunya ialah ketika anak-anaknya gegeran, congkrah, dll dimana dewan sepuh dapat menempatkan posisi di tengah tanpa memiliki pretensi atau keinginan untuk memiliki salah satu dari apa yang diperebutkan tersebut. Ini yang tidak ada saat ini, dimana kerap kita sangka ada pihak yang menjadi penengah namun justru akan merebut sesuatu yang sedang diperebutkan.

Tentang emergence yang kerap diungkapkan Mas Sabrang, juga dalam Al Qur’an dalam kisah An Naml, An Nahl agar kita dapat mempelajarinya. Tidak apa-apa kita kecil sebagai semut ataupun lebah. Asal kita tahu carfa berdaulat. Bukan sebuah tuntutan untuk kita agar menjadi besar, gagah dan bergading seperti gajah, daripada menjadi gajah menoreh kisah nestapa dalam surat Al Fiil.

Dalam An Nahl, meskipun berukuran sangat kecil namun dianjurkan untuk membuat rumah di gunung-gunung, pohon, dan bangunan yang dibangun manusia. Dianggap Mas Agus bahwa ini merupakan kesempatan kita untuk menjadi An Naml atau An Nahl. Lebah yang memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya sendiri. Makhluk yang berukuran kecil namun sesungguhnya kuat.

Dapat kita mulai dengan melakukan hal yang paling sederhana terlebih dahulu, seperti mengkonsumsi tanaman yang kita tanam sendiri. Meskipun salah satu simpul Maiyah yang menanam namun simpul Maiyah yang lain ikut mengkonsumsi masih bisa dihitung sebagai tanaman sendiri. Banyak hal yang hilang karena tidak terakomodir dan kalah oleh salah satu sistem besar. Seperti pembuat tikar pandan, dll.

Banyak bakal tanaman yang mati karena bijinya kita tindas atau injak-injak. Maka dianjurkan bagi kita untuk memiliki hati petani. Hati yang senang tandur, ngerumat, ngeramut hingga lahan yang tandus menjadi ijo royo-royo. Bisa pula diterjemahkan bukan dalam tanaman saja, tetapi kebaikan dalam bentuk apapun termasuk berhati petani seperti halnya Zamatera ini.

Kemudian Pak As’ad dari Suluk Surakartan, yang baru saja tiba sebab salah membaca lokasi yakni Bergas yang dibacanya menjadi Bergota yang berada di Semarang, sehingga harus memutar balik. Menanggapi soal tema, yang memiliki ketersambungan terhadap tema dari Suluk Surakartan kemarin yang diambil dari tulisan tetes dari Mbah Nun. Dari berbagai lapisan masyarakat yang kita kenal memang terjadi krisis paseduluran.

Mungkin akan lebih mudah dengan analogi tiang listrik pusat dengan tegangan tinggi tidak akan efektif dan efisien jika langsung disalurkan ke rumah-rumah. Seperti halnya tidak bisa begitu saja bagi kita untuk menyerap informasi langsung dari pusat. Masyarakat secara personal atau komunal digambarkan dalam sedulur papat limo pancer. Begitu pula di era kenabian kita kenal empat sahabat dengan pancernya ialah kanjeng nabi.

Dengan simbol piramida, dengan unsur Nur Muhammad. Dalam tetes Mbah Nun ditulis dalam “Berdiri di pojokan” seolah-olah menyingkir dari permasalahan yang ada untuk mengamati. Mungkin juga dapat berarti agar menjaga keempat unsur ini agar tidak ada yang dominan. Permasalahan dalam perkumpulan apapun karena keempat unsur ini yang tidak dominan. Belum ada kesadaran bahwa kita harus mengelola keempat unsur tidak lebih tinggi dari yang di tengah. Jika secara komunal, maka yang bisa disebut sebagai dewan sepuh dimana biasanya adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya yang tidak terikat sesuatu yang tidak penting.

Tentang emergence digambarkan oleh Mas sabrang sebagai sebuah intelektualitas yang tidak menempel pada makhluk. Digambarkan dengan semut ataupun rayap yang sangat cerdas dalam mengelola organisasinya. Menggambarkan politik di Indonesia, jika dalam suasana menanam, kita akan mengalami musim yang anomali. Yang tidak mengenal kapan kemarau dan penhujannya. Maka diperlukan dewan sepuh sebagai penyeimbang, katalisator, juga penghubung. Banyak sekali di lingkungan Maiyah yang memiliki kecerdasan intelektual, spiritual namun selain itu juga memerlukan pancernya.

Diskusi terus berlanjut hingga waktu menunjukkan pukul 01.30 WIB. Mas Jion diminta untuk menembangkan “Pangkur kerinduan”, dilanjutkan dengan “Dhuh Gusti” bersama-sama dengan sedulur-sedulur yang hadir. Dilanjutkan “Shohibu Baiti” bersama-sama yang dipimpin oleh Mas Tyo. Sebagai penutup, makanan khas Gunung yang selalu menjadi tradisi Gugurgunung ialah menu nasi jagung sambil mengobrol ringan dalam bentuk lingkaran-lingkaran yang lebih kecil.

Semoga diri kita dapat mengelaborasi masing-masing bahwa apa yang kita dapatkan disini akan kita bawa pulang dan kita jadikan alat penggembira di dalam memasuki ranah kehidupan berikutnya entah keluarga, lingkungan, masyarakat sekitar kita masing-masing.

Kita bangun secara sungguh-sungguh, kalau itu bisa tergapai insya Allah akan ada pilar-pilar yang tetap mempertahankan daur. Baik soal ketahanan pangan, pertahanan keamanan, sains dan teknologi, serta literasi. Pelan-pelan kita kerjakan untuk generasi anak cucu kita. Untuk diberikan pula pada anak turunnya lagi seperti halnya An Naml dan An Nahl.

Sekian reportase kali ini, semoga bermanfaat.

 

Andhika H

Jumbuh Pantun

Kampus Sawah (15 juli 2018)

Pada edisi sewindu perjalanan Kampus Sawah kali ini mengusung tema KARANGRANDU LUMBUNG PADI JEPARA. Sebuah tema yang berfungsi menguatkan doa agar Kampus Sawah senantiasa diberi kemudahan untuk mengkontribusi ketahanan pangan nasional lewat Karangrandu sebagai lumbung padinya masyarakat Jepara dan sekitarnya. Hal ini bukan hal baru sebenarnya, menurut Pak Maskuri selaku perangkat desa yang kebetulan hadir dalam Jumbuh Pantun kali ini ikut menyampaikan bahwa dulu tiap kali panen ratusan orang dari luar desa di wilayah Kabupaten Jepara datang untuk (istilahnya dulu mbayong) menikmati hasil panen padi desa Karangrandu.

Acara yang diketuai Mbak Siti Aisyah tersebut berlangsung meriah dan menggembirakan. Anak-anak kecil bisa leluasa bermain cublak-cublak suweng bersama Mbak Aliya Dewi. Bpk Maskuri, Pak Hambali, Pak Mahyan, Ibu Faizah turut serta mengajari bagaimana panen menggunakan ani-ani. Perlu diketahui ani-ani adalah alat potong tradisional yang cara potongnya dengan memotong padi per untai. Beda dengan alat potong modern yang langsung memotong untuk sekian rumpun padi. Hal ini lah yang memantik Mbak Naris (istri Pak Hadi Ngusman, sesepuh Majlis Alernatif) untuk turut mengingatkan betapa banyak bulir-bulir cinta terhimpun kepada Sang Junjungan apabila tiap kali memotong padi juga terising senandung atau membaca sholawat Nabi.

Satu lagi sajian khas masyarakat Karangrandu yang juga menjadi sajian khas Jumbuh Pantun. Dibungkus daun jati, diisi nasi dan tempong (ikan asin), sedikit sayuran yang tanpa kandungan kimia, diracik dengan kegembiraan pengolahnya, terbungkuslah kenikmatan lahir bathin yang terkumpul dalam bungkus demi bungkus SEGO BENTEL, nasi bungkus sederhana namun pesona kenikmatannya istimewa.

Kehadiran tokoh masyarakat, tokoh tani, temen-temen muda yang berasal dari berbagai desa yang turut mengapresiasi acara tersebut dengan doa dan harapan agar acara seperti ini terus dilakukan sebagai kado untuk generasi. Harapan yang sama juga disampaikan oleh Simbah Muhammad Ainun Nadjib (Mbah Nun) ketika beliau dikabarkan perihal acara Jumbuh Pantun ini. Mbah Nun menyampaikan bahwa Jumbuh Pantun adalah rintisan yang dalam jangka panjang dunia akan tahu untuk kembali ke PERADABAN TANI, karena kalau terlalu teknologis dan mengutamakan industri : ora midak lemah, ora nyuroso bumi, dadi ora manggraito langit (tidak menginjak tanah, tak bersanubari bumi, dan tak menurani langit). Maiyah duwe penemu bab HATI PETANI dan NAFSU PEDAGANG.

Yang Mbah Nun wasiatkan tersebut semoga makin menguatkan tekad bahwa yang kini tengah dibroyo teman-teman Karangrandu merupakan langkah futuristik untuk memurnikan HATI PETANI kembali semangat tandur, merawat, mencurahkan kasih-sayang, sebagai kekayaan jangka panjang dan sikap hidup yang tidak hanya sekedar berlaku di area sawah saja. Namun kemana hati dibawa disitu pula jiwa petani hadir. Pun sekaligus menjadi tetenger atau tanda bahwa jangan sampai HATI PETANI ini lantas berubah wajah menjadi NAFSU PEDAGANG yang disorientasi pada keinginan berupa keuntungan materi dan kekayaan berjangka pendek, jauh lebih pendek dari keseluruhan usia hidup kita di dunia yang pendek.

 

Anak-anak jaman gadget tetap harus mengenal Sawah sejak dini

 

Gubuk Kampus Sawah yang sederhana namun sering menjadi muara cinta dari kerinduan untuk senantiasa bersama.

 

Seiring mentari pagi nan hangat, acara pun dimulai

 

Doa dan sambutan untuk menandai ungkapan rasa syukur atas karunia panen.

 

Generasi muda Karangrandu dengan riang belajar panen menggunakan ani-ani

Pak Maskuri memeragakan penggunaan ani-ani

 

Cara memegang ani-ani berdasar arahan Pak Maskuri

 

Ani-ani di tangan pak Maskuri

 

Mbak Aliya mengajak bermain anak-anak dengan permainan Cublak-cublak Suweng

 

Kegembiraan turun-temurun

 

Praktek panen menggunakan ani-ani

 

Pengarahan penggunaan ani-ani juga dilakukan Ibu Faizah

 

Generasi muda yang BANGGA MENJADI PETANI

 

Sego Bentel menu khas Jumbuh Pantun

 

Maka nikmat mana lagi yang engkau dustakan?

 

Aroma daun jati Sego Bentel menambah citarasa sejati

 

Kenikmatan suapan Jumbuh Pantun

 

Keindahan bersama, kegembiraan, kenikmatan, dan kebahagiaan memang universal, ia ada dalam dada manusia yang rindu cahaya entah tua maupun muda

MENCARI DEWAN SEPUH

Mencari…….

Kesadaran yang perlu dibangun untuk “mencari”,  salah satunya adalah kesadaran bahwa ada sesuatu yang “hilang” dan semangat yang dibutuhkan dalam sebuah pencarian, adalah semangat untuk menemukan kembali apa yang telah hilang.

Mari kita data, apa apa saja yg mulai hilang dari diri kita, dan lingkungan sekitar kita, baik pada lingkup kecil sampai luas. Mari juga kita teliti, apa apa saja penyebab dari sekian banyak kehilangan tersebut. Upaya mencari di tengah tengah fenomena upaya upaya penghancuran/pengrusakan adalah sesuatu yang berat dan sulit, namun harus terus ditempuh, sebelum segala sesuatunya benar benar hilang.

Dewan Sepuh ….

Berangkat dari meneliti sesuatu yang hilang kemudian beranjak pada fenomena kerusakan dan kehancuran. Maka kini coba kita berangkatkan dengan satu bekal ayat yang meski tidak secara eksplisit berbicara tentang dewan sepuh namun mudah-mudahan bisa menuntun kita memahami tentang apa itu relevansi Dewan Sepuh, bagaimana memilihnya, dst ….

Berikut ayatnya :

  1. 38:28 (Surah Shad)

” Patutkah Kami menganggap orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang orang yang berbuat kerusakan di muka bumi ? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan orang orang yang berbuat maksiat?

Mari kita tadaburi ayat tersebut dengan pancatan pertanyaan berikut :

Taqwa dan Maksiat, mana yang lebih tua ? Bila kita teliti dari proses penciptaan, Taqwa tercipta lebih dahulu, berarti Taqwa lebih tua. Meskipun sesungguhnya kita tak mampu mengukur tingkat ketaqwaan seseorang, namun kita tetap berada dalam sebuah anjuran untuk memproduksi kemanfaatan sesuai daya jangkau dan nalar yang bisa kita pahami, dimana kemanfaatan tersebut diniatkan untuk menyambung kemesraan kepada Tuhan. Supaya sebagai ciptaan Tuhan, kita sedang mengakui dan membuktikan bahwa Tuhan tak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia.

Bila dikaitkan sama pengertian pada bahasan bulan sebelumnya, salah satu cara nggayuh Taqwa yaitu dengan cara puasa. Nah, puasa yang baik itu yang bagaimana?

Intinya tidak menyia nyiakan. Maka kemudian akan timbul pertanyaan :

  • Bagaimana cara berpuasa waktu ? adalah dengan tidak menyia-nyiakan waktu
  • Bagaimana berpuasa terhadap makan ? adalah dengan tidak menyia-nyiakan makan
  • Bagaimana berpuasa bicara ? adalah tidak menyia-nyiakan bicara
  • dan seterusnya..

Jadi puasa adalah tentang efisiensi, tentang kemanfaatan, tentang kendali. Jika penyia-nyiaan adalah serta-merta merupakan perilaku sia-sia, maka sia-sia adalah batal atau batil. Pada kondisi batal, meskipun seseorang masih bisa meniru gerakan sholat dan berada di tengah jamaah namun sesungguhnya sedang menjalankan perilaku jasad saja dikarenakan tidak memenuhi syarat rukun sesuci.

Sebuah fenomena (saripati)

Dari rabaan dan irisan-irisan di atas, maka sebagai saripati awal tentang Dewan Sepuh adalah sekumpulan orang yang mengedepankan manfaat. Manusia/tokoh yang disebut sepuh adalah manusia yang Taqwa, yang tindak-tanduknya senantiasa mengakurasi kemanfaatan, efektif dan efisien, baik terhadap diri sendiri maupun kepada yang lainnya. Tidak sia-sia, tidak batal apalagi batil.

Orang beradu pendapat tentang batal dan tidak batal, lalu berlanjut menjadi perdebatan atas perlunya wudhu lagi atau tidak, Mbah Nun pernah menyampaikan, kurang lebih :

Wudhu kui solusi, ketika kita sedang bingung batal opo ora, perlu wudhu opo ora, hla mbok yo wudhu wae, wong wudhu kui apik …. Kui solusi, dudu malah diperdebatkan” Wudhu itu solusi, ketika kita sedang bingung batal atau tidak, perlu wudhu atau tidak, hla mbok ya wudhu lagi, kan wudhu itu bagus … itu solusi, bukan malah diperdebatkan.

Manusia/tokoh yang disebut sepuh bukan ditilik semata dari tolak ukur ia lahir lebih dahulu atau belakangan, melainkan karena pada seberapa benderang laku lampahnya untuk tetap ingat dan waspada pada awal/pada pulang. Apabila ada purnama, seterang apapun purnama ia akan sirna kecemerlangannya dengan mendung tebal atau gerhana. Purnama ibarat iman, dan amal saleh, benderang dan dirindukan. Sedangkan mendung tebal ataupun gerhana adalah perilaku yang menghendaki mengedepankan kegelapan dan membelakangkan cahaya. Dewan Sepuh adalah orang-orang yang senantiasa meneruskan tradisi pepadhang dengan menguji, mengajari (patatar), dengan nasehat dan kebijakan, mengingatkan secara telaten (patitir), dan dengan memberi contoh perilaku (patutur). Tentu saja tatar, titir, dan tutur tentang bentuk ketaqwaan kepada Tuhan.

Majlis gugurgunung bulan ini mengajak memikirkan dan menyadari atas suatu aset yang sesungguhnya mulai terbenam, siap tenggelam dan hilang. Salah satunya adalah fenomena masyarakat yang semakin enggan mengakomodir yang sepuh, juga enggan menjadi sepuh, namun tetap berharap dunia mengingat, mengenal, mengikuti dan kelak mengenangnya. Rata-rata menempuhnya dengan jalur sosial maya. Mari terus kita dadar diri guna memenuhi kebutuhan keseimbangan tua-muda dalam peradaban. Silakan hadir di MGG bulan Juli untuk menambah catatan kecil pada mukadimah ini menjadi catatan yang lebih lengkap lagi, sebagai referensi pencarian kita bersama untuk menemukan kembali “Dewan Sepuh” yang bisa jadi tidak harus berada di luar sana.

DITUNTUN REMBULAN

Oleh : Ihda Ahmad Soduwuh

Masih ingat saat HTI ramai-ramai dirundung warga senegeri? Mbah Nun atau yang oleh Mas Agus dipanggil Sahan, waktu itu merangkul pelarian politik itu. Puncaknya adalah seorang dutanya yang mualaf-provokatif mendatangi forum maiyahan dan terharu pada fenomena sosial ini. Setelah reportasenya viral, maiyah ikut kena jatah lemparan celaan sebab dicap berpihak pada pengusung gagasan khilafah ini.

Kala itu secara spontan kuajak kopdar seorang kawan aktifis senior organisasi tersebut di Majlis Gugurgunung. Kebetulan rumahnya berdekatan dengan lokasi. Kawan karib semenjak pakai seragam putih abu-abu ini antusias saja sebab lama kami tak bersua. Anomali kemesraan karena di grup-grup Whats App kami saling gasak soal ide. Di dunia nyata atau japri tetap ada keakraban dan kesadaran bahwa yang diperjuangkan sama juga.

Pertama kali datang ke Majlis Gugurgunung yang berlokasi di rumah seorang jamaah itu kami merasa sangat disambut hangat. Kebetulan jarak saya ke lokasi yang agak jauh, diperjalankan agak telat. Si pejuang khilafah sudah sampai dan ngopi duluan meski baru di teras. Buletin maiyah ia pegang sembari menunggu saya. Di dalam rumah rentetan acara pembuka maiyah sudah dimulai.

Mungkin karena lingkarannya di angka puluhan orang, suasana kekeluargaan begitu terasa di Simpul Maiyah Ungaran ini. Satu sama lain penggiat maupun jamaah saling menyambut dengan tangan terbuka dan senyuman ramah. Bahkan ada kesempatan mikrofon bergilir di mana tiap yang hadir berhak menyampaikan apa saja. Mulai dari curhatan, pertanyaan, sampai gugatan, boleh dilayangkan ke tengah forum. Sebuah wujud demokrasi tanpa babibu, selama ada kemauan, silakan ajukan.

Forum ini terdengar sampai telinga saya karena direkomendasikan beberapa pihak. Saya dapat dari Gus Aniq yang mengampu RKSS dan Om Budi Maryono yang narasumber tetap di SulukSastra. Keduanya yang juga pembicara di Gambang Syafaat seringkali menyatakan padaku bahwa kalau ingin belajar tentang Jawa dan tradisi, datang dan timbalah di Majlis Gugurgunung. Ditujukan sebagai laboratorium keJawa-an, sudah sangat terasa saat duduk di tengah lingkaran ini.

Uniknya, setelah setahun absen datang, kali ini Gusti Allah memperjalankan rutin hadir di tengah maiyahan ini. Melalui seorang kawan yang dipertemukan maiyah, seringkali ingatkan acara ini di hari H. A-ndil-Allah, selalu malam purnama atau mendekati bulat sempurna. Dua kali datang pertama dihadirkan di outdoor, pelataran sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Di seberang masjid besar itulah saya menikmati kesyahduan alam. Tadabbur alam yang sudah sangat lama saya tinggalkan seiring masa berkeluarga tiba.

Kapan lagi bisa duduk menyesap atmosfer berbintang, bulan, angin pegunungan, mistis, tanpa perlu merasa asing? Apalagi kopi yang selalu panas tinggal ambil tanpa sungkan. Sungguh lengkap Majlis Gugurgunung ini. Betul-betul Njawani, tanpa sekat, egaliter, menguliti konsep warisan leluhur dengan rendah hati dan hati-hati. Saling timpal pendapat usai pemaparan tema menandakan kehangatan persaudaraan berwasilah maiyah. Bahkan gasak-gasakan antar penggiat dan jamaah sesekali mencuat, membuat suasana terus saja cair dan hangat menyelingi kepadatan bahasan.

Mas Kasno bahkan pernah berkata bahwa kehadiranku yang kurasa diperjalankan ini sebagai jawaban atas doa-doa di awal memulai Majlis Gugurgunung. Sebuah ajakan untuk kehadiran sedulur-sedulur yang butuhkan. Ini terasa sekali saat momen mengundang Master Zaen Sang Ahli Terapi Tulang Punggung. Tak dinyana kemunculanku sangat pas, hanya karena ingin memandang rembulan lantas dapat temukan solusi yang selama ini mustahil kudapat. Alhamdulillah manjur, bisa bermaiyah dalam jangka lama tanpa harus bergantung pada sandaran. Sebuah sunnah Kanjeng Nabi yang akhirnya bisa kutempuh tanpa kesakitan.

Suatu saat Om Eko Tunas, kawan lama Mbah Nun, hadir di Gugurgunung bawakan monolog beliau. Di momen itu kebetulan ada sedulur-sedulur datang dari desa sekitar dan Simpul Maiyah Salatiga. Setelah acara resmi selesai, mikrofon dimatikan, nasi jagung berikut lauk-pauk dibagikan. Inilah keunikan lain dari simpul maiyah ini. Selalu ada tanda syukur sederhana khas pegunungan. Menu yang kujumpai hanya di satu tempat ini.

Pas menyantap makan itulah perbincangan basa-basi hadir di antara jamaah. Saya dan kawan langsung akrab dengan lingkaran kecil yang terbentuk. Di situlah kami cari persamaan antar jamaah. Rupanya ada kemiripan dalam kejadian-kejadian pertanda kehadiran Tuhan. Sesepele bisa bernegosiasi soal turunnya hujan. Kawan-kawan ini sudah buktikan bahwa Gusti Allah memang bisa disapa meski ibadah bolong-bolong.

Kini sudah kubulatkan tekad untuk rutin hadir ke simpul ini. Menimba ilmu Jawa secara mendalam sebagai niat awalan. Semoga senantiasa diperjalankan Tuhan. Berbekal paseduluran memperkaya pengetahuan dan mengasah pengalaman.

 

DOLANAN ING NJABA

Pertemuan rutin Majlis gugurgunung pada bulan Juni jatuh pada tanggal 30 Juni 2018, bertempat di Balai Desa Klepu, Ungaran, Kab. Semarang. Bertemakan “Dolanan ing njaba” diskusi dimulai sekitar pukul 20.30 WIB, dengan masih suasana padhang bulan (terang bulan) memancar di langit yang gelap.

Untuk mengawali acara, dimulailah pembacaan doa tawasul oleh Mas Ari, dan dilanjutkan Munajat Maiyah dipimpin oleh Mas Jion.

Moderator malam ini ialah Mas Dian, menanggapi sedikit tentang tema, dalam dolanan jadilah orang yang paham arti dolanan. Dalam sepakbola dicontohkannya, bahwa itu sesungguhnya hanyalah permainan namun dijadikan sebagai kompetisi. Kiper liverpool yang membuat blunder pada saat final liga champion pasti akan dikenang sebagai pemain yang buruk penyebab kekalahan hingga generasi anak turun, dimana sebenarnya itu hanyalah bermain.

Kemudian oleh Mas Dian, Mas Kasno selaku tim tema diminta untuk memberikan preambule terkait tema, serta pembacaan mukadimah. Namun, sebelum itu Mas Kasno meminta pada sedulur-sedulur untuk menghadiahkan Al Fatihah untuk pencipta tembang dolanan “Padhang Bulan” yakni R.C. Hardjasoebrata.

Sedikit cerita dari pengalaman Mas Kasno tentang lagu ini, yakni lagu ini pernah dibawakannya dalam lomba sewaktu SMP kelas 3 dan mendapat juara ketiga. Kebetulan juga malam ini dihadiri oleh teman Mas Kasno sewaktu SMP yakni Mas Hendra. Seorang kawan yang hampir tidak pernah mengobrol sewaktu SMP dulu justru dipertemukan di cangkrukan malam hari ini.

Kemudian, sesi perkenalan untuk beberapa sedulur yang baru pertama kali melingkar yakni Mas Hendra dan Mas Edi. Hadir juga malam ini, Mas Hermanto, yang sudah cukup lama tidak ikut melingkar. Alhamdulillah, kabar gembira juga dibawakan oleh Mas Hermanto bahwa istrinya mengandung 7 bulan.

 

Bermain keluar kotak (out of box)

Kemudian, Mas Ari juga diminta menanggapi tentang tema, bahwa “dolanan” diartikan seperti piala dunia sekarang, dimana perlu persiapan bertahun-tahun untuk melakukan pertandingan yang hanya 2 kali 45 menit itu. Dan kata yang kedua adalah “neng njobo” diartikannya seperti out of box, jadi dalam hal-hal tertentu kita berani keluar dari kotak untuk melakukan sebuah permainan di mana arahnya adalah untuk mentadaburi misalnya seperti yang diungkapkan oleh Mas Kasno. Dalam mentadaburi ini, tafsir-tafsir yang lama bukan berarti kita tinggalkan tapi sedikit memulai mencoba untuk mengetahui tafsir yang baru tentang Al Qur’an. Begitu juga dengan perilaku kita sehari-hari terhadap jiwa semisal Mas Ari secara pribadi terus terang kalau di lingkungan kampung itu lebih tertutup karena memang sudah menjadi satu anggapan negatif di masyarakat dimana Mas Ari dianggap sesat karena sering membakar menyan dirumahnya dan dibiarkannya tanpa meluruskan apapun. Dolanan ini seharusnya difungsikan untuk mencari teman.

 

Permainan Suka dan Duka

Berikutnya Pak Hasan yang berkeseharian sebagai guru turut menanggapi tema, lagu yang sudah dinyanyikan bersama-sama tadi dicoba dipetakan dengan keterbatasan yang ada pada diri kita. Pak Hasan mempertanyakan tentang latar belakang apa pengarang lagu itu sampai memunculkan sebuah ide lagu dolanan seperti itu. Pada suasana kebatinan yang seperti apa? dan apa maksud yang diharapkan dari pengarang dengan adanya lagu itu? Sebab itu menjadi bekal sebuah pemetaan kita. Karena Pak Hasan yakin seorang pengarang atau penggagas itu memunculkan sebuah ide tersebut atas dasar suatu maksud dan tujuan tertentu. Harus kita ketahui sisi suasana kebatinan munculnya lagu yang perlu kita gali dan dalami. Kemudian setelah kita dalami latar belakangnya baru kita lihat realita setelah lagu tersebut ada, sebab efek lagu bagi anak-anak tentang pemahaman lagu untuk anak-anak di suasana riang, suasana ceria dan kemudian diikat dengan sebuah tali yang disebut dolanan bareng-bareng.

Pertanyaan dalam benak Pak Hasan, mengapa lagu itu dikaitkan dengan Padang Bulan jadi seolah-olah pengarang lagu itu punya maksud dolan neng njobo tapi dikaitkannya dengan malam justru tidak ada dikaitakannya dengan siang sebagai waktu bermain seperti sekarang pada umumnya. Pada anak-anak versi dulu dengan sekarang sudah jauh beda kalau zaman dulu, nenek moyang kita suka melek pada malam hari. Namun generasi sekarang jarang ada yang seneng melek. Kemudian, Bagaimana jadinya antara dolanan Neng Wayah awan dengan dolanan ing Wayah bengi, itu apakah sama?

Lanjut Pak Hasan, Allah berfirman “wa-annahu huwa adhaka wa-abkaa” bahwa Allah menciptakan manusia dengan paket yang indah yakni dengan senyum juga dengan sedih, mungkin Tuhan pun juga tidak ingin hambanya itu stres atau depresi.

 

Pengembaraan Diri

Dilanjutkan oleh Mas Dian, bahwa Islam masuk kesini pun kebanyakan juga dengan metode dolanan. Wayang, gamelan, serta permainan-permainan tradisional yang dianggap sederhana dan remeh namun justru menjadi siasat yang paling ampuh.

Kemudian Mas Hendra juga diminta untuk merespon terkait tema. Dimana dolanan ini biasanya dilakukan oleh anak-anak yang didalamnya tanpa batasan-batasan suku, agama, warna kulit dll namun bertujuan untuk bersenang-senang. Sehingga dolanan ning njobo ini, menghindarkan diri dari pengkotak-kotakan yang kini kerap terjadi, dikatakan juga untuk pencarian jatidiri sebab anak-anak keluar dari zona nyamannya dia di rumah untuk bebas berekspresi serta mengajarkan pula tentang pengembaraan. Ditekankan pada malam hari sebab dalam kegelapan itu kita jangan takut dan khawatir. Dalam masyarakat Jawa meyakini beberapa malam yang dianggap spesial meskipun setiap malam itu baik. Dalam lagu ini diajarkan pula bahwa malam ialah waktu yang baik untuk bermain, karena dianggap dapat bersinergi dengan alam, rembulan dll yang mestinya lebih luas daripada sekotak handphone yang kini digunakan pada era digital.

Mas Jion pun malam hari ini diminta turut merespon tentang tema, dimana malam hari ini meskipun tidak dalam jumlah yang besar namun terasa dalam kebahagiaan yang berlimpah karena kita semua disini mau berkumpul untuk keluar dari rumah. Itu pun juga disebut sebagai dolan, dan pulang membawa sesuatu dalam rangka membawa diri diluar rumah.

 

Waspada

Tema dolanan ing njaba, mengingatkan Mas Jion pada sebuah kidung Asmarandana, “ojo turu sore kaki”. Ada kesamaan didalamnya yakni suasana malam hari, dan dengan bersabar dan tawakal semoga mendapat limpahan berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Kemudian tiba Mas Agus yang merespon tema. Mas Agus merasa sangat senang bahwa tema malam hari ini menjadi kaya akan sudut pandang, serta masing-masing pendapat yang saling berkaitan satu sama lain dan sulam menyulam. Berangkat dengan gelas kosong sehingga lebih mudah terisi pada malam hari ini.

 

Bermain di alam Dhahir

Dolanan ing njaba, dalam bahasa krama yakni “dolanan wonten njawi” yang setelah dibahasa Indoensiakan bisa berarti “Dolanan di Jawa”. Mengapa Jawa? Sebab sejak jaman dahulu kita sudah menjadi bangsa yang dikenal bahkan sampai Yunani. Oleh Yunani kita disebut sebagai Zabaje, Saba, Zabadio, Taopo, dll. Namun pihak luar dengan gigih mendoktrin generasi muda Jawa untuk meyakini bahwa kita adalah bangsa yang muda, atau diistilahkan lahir wingi sore dan tidak berkaitan dalam perguliran peradaban hingga saat ini.

Sebelum dolanan ning njaba (bermain di luar) berarti kita pernah dolanan ning njero (bermain di dalam). Dimana? Yakni ketika di alam rahim atau kandungan. Namun saat bermain di dalam itu pasti beres sebab belum ada jarak dengan kondisi kedirian kita sebagai manusia. Di sana kita masih yakin bahwa kita adalah abdi gusti Allah. Sehingga tidak mungkin sampai membikin ormas, parpol di dalam perut ibu. Bermain di dalam ini bertujuan untuk mengenali asma, serta sifat-sifat Allah yang menjadi bekal ketika besok dilahirkan.

Uniknya, ketika bermain di dalam ini kita seperti sedang merekonstruksi kehidupan nabi Adam di alam firdaus, lalu di goda dengan keasikan-keasikan dunia, digoda dengan hawane ndyuno (hawa dunia). Hawa ini juga bisa diartikan sebagai hembusan keindahan di luar. Ketika ibu sudah merasa tidak nyaman dengan kandungannya yang makin besar, bayi seakan ingin keluar seolah tidak jadi. Peristiwa tersebut sebagai simbol terjadi keragu-raguan di dalamnya. Apakah ingin terus di alam rahim atau ingin segera lahir. Kejadian itu seakan-akan mengulang peristiwa ketika Nabi Adam AS merasa ragu-ragu ketika dibujuk oleh Siti Hawa.

Adegan berikutnya ialah lahir, dhahir, metu, mijil, keluar. Mana yang lebih baik keluar atau tetap di alam rahim? Karena kodrat kita keluar dari alam rahim maka dikatakan Mas Agus yang terbaik adalah keluar ke alam dhahir. Konsep bermain, ada dalam firman Allah yakni kehidupan di dunia itu hanya sendau gurau belaka. Meskipun ketika ditagih hutang serius juga, kelakar Mas Agus sambil tertawa.

Bermain di dunia berarti harus ada konsekuensi keduniaan, selain kiper yang diceritakan oleh Mas Dian, hal serupa pernah terjadi dulu di piala dunia Brazil yang bernama Barbosa yang disalahkan ketika Brazil kalah dalam final. Mengapa tidak ada piala akhirat? Padahal lebih asik jika ada, sebab piala akhirat tidak perlu ada istilah-istilah top scorer, underdog, prestige dll yang menghambat kita untuk mendapatkan kegembiraan dalam dolanan. Dimana seolah pengkotak-kotakan itu sedang intens menjalari sisi kehidupan.

Misalkan dunia ardla ini adalah sebuah rumah besar. Di dalamnya terdapat pelajar yang harus menemukan cara untuk bebrayan yang paling asik dan indah sebatas yang bisa dicapai oleh tiap-tiap siswanya. Ada yang menggunakan metode untuk mencapai kebahagiaan harus dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, ada yang menggunakan metode aturan atau syariat, ada yang menggunakan metode kesenian, ada yang menggunakan metode kebudayaan, tetapi kebanyakan masing-masing pelajar ini belum benar-benar siap untuk bermain di luar. Sehingga ketika keluar maka langsung pasang kuda-kuda untuk memastikan bahwa lawannya berada dalam barisan yang sama atau tidak. Kawan atau lawan. Sehingga para pelajar itu tidak segera bermain melainkan saling menaruh curiga. Tiba-tiba seorang ibu yang mengawasi anak-anak bermain berkata dari beranda rumah. Ia berkata kepada anak-anak tentang : “anggapan yang menurutnya benar harus digenggam di dalam diri dan harus ditunjukkan dengan cara yang paling baik dan utama dengan tiap-tiap cara yang dibawa masing-masing cara untuk bebrayan dolanan bersama. Tidak ada gunanya memiliki ilmu pengetahuan tapi tidak memiliki pengetahuan untuk mekanisme kerjasama. Tidak ada gunanya memahami syariah tapi tidak mengerti tata cara untuk bersambung dan bertaut. Tidak ada gunanya mengerti seni tapi tidak mengetahui indahnya jalinan dan aneka warna yang terhampar. Tidak berguna pula mengerti kebudayaan tapi tidak menunjukkan budaya yang paling mendasar dalam kehidupan yakni sikap budi luhur dan andhap asor. Ketika semua merasa baik dan benar, jangan adu kebenaran tapi ujilah kebenaranmu dengan menunjukkan kebaikan. Yakni dengan cara tidak menyakiti, mencederai yang lainnya. Bermainlah dengan menunjukkan kebaikan pada hal apa yang kamu yakini. Cara menunjukkannya juga bukan dengan omongan tapi dengan berlomba dalam perilaku utama bukan berkompetisi dan adu mulut”. Jika kita kembalikan pada kehidupan kita sehari-hari, maka sangat senang ketika mengatakan diri kita yang paling benar dan indah, tapi belum karuan baik dalam hal bebrayan.

Sejenak kita kembalikan pada awal mula berdirinya Majlis Gugurgunung. Ketika Al Qur’an diturunkan di muka bumi, tidak ada satupun yang berani untuk menerimanya termasuk gunung-gunung, langit dll, dan hanya manusia yang berani. Ada lagi kalimat yang mengatakan bahwa sesungguhnya manusia itu gelap dan bodoh. Gelap dan bodoh ini adalah landasan utama kita ber-gugurgunung, istilah yang sudah jarang digunakan disini yakni jama’ah assiltu (anus). Maka diam-diam jika kita rela menjadi dubur maka kita pun sanggup untuk menjadi muka, tangan, kaki dll. Kembali pada gelap dan bodoh itu, patut dicurigai bahwa jangan-jangan firman Allah turun kepada kita ketika kita merasa diri kita ini gelap dan bodoh.

 

Tembang Dolanan Padhang Mbulan

Dalam hal lagu dolanan di atas, gelap dan bodoh itu terepresentasi cukup indah, berikut diuraikan oleh Mas Agus.

“Yo prokonco dolanan ing njaba”, ayo teman-teman kita bermain yang pantas (njobo/njowo). Jawa disini bukan sebagai kata benda namun sebagai kata sifat atau karakter sehingga orang yang tidak bersuku Jawa pun, jika mampu menunjukkan sikap diri dalam sifat-sifat kebaikan maka sering disebut njowo, njawani. Bermain yang pantas sebab memahami tata cara yang utama.

“Padhang bulan, padhange kaya rina”, Syarat utamanya harus ada malam. Gelap, yang segala hal menjadi tampak pendek, sempit, dan dangkal. Dalam malam juga ada rembulan yang bisa juga disebut condro. Siang ada matahari, suryo. Maka ada istilah pasuryan dan panyondro. Pasuryan terletak di muka sebagai karakter eksternal, sedangkan panyondro terletak di dalam hati, sebagai karakter internal. Berarti cara bermain yang njowo itu ialah, bermain yang menggunakan hati. Maka berhati-hati pula dalam bermain, bergembira bersama dalam bermain. Padhange kaya rina, (terangnya bagai siang) ialah ketika menggunakan hati yang baik maka gelap akan tersibak. Hati yang baik tanpa penyakit seolah adalah manusia paripurna, pergaulan dan cara bergaulnya penuh cahaya. Manusia yang sudah purna berkumpul. Disana tidak akan melihat kesalahan orang lain saja namun juga membaca kesalahan orang lain untuk melihat kesalahan diri sendiri. Apa yang terlihat diluar itu sebenarnya adalah pasuryan diri kita sendiri. Manusia purna ini diibaratkan dalam purna-ma (purnanya manusia). Purnama hanya sebulan sekali, namun konsep ini bisa kita pakai dengan meletakkan malam sebagai konsep pemahaman yang lebih luas. Malam, menyebabkan jarak pandang pendek, serta daya kita memetakan sesuatu menjadi tidak luas, bisa jadi hal ini dikarenakan kita tidak menpercayai adanya rembulan dalam hati masing-masing yang bisa menjadi cara menyaksikan keluasan dan kedalaman secara benderang bagaikan ketika siang. Jadi ketika Allah memerintahkan untuk mengingat(dzikir) berarti kita tahu rule of game nya adalah bahwa kita ini pelupa. Apa yang kita pahami dalam alam rahim seperti apa pun kita sudah lupa, bahkan berkedip dalam sehari pun kita lupa jumlahnya. Maka dianjurkan pada kita untuk memahami asal-usul atau sangkan paran. Jangan sampai sangkan paraning dumadi ini terselimuti oleh kegelapan.

“Rembulane sing ngawe-awe”, dapat kita sambungkan pada utusan Allah yakni nabi dan rasul. Kita kenal istilah wahyu, ndaru dll semua itu adalah cahaya. Wahyu berasal dari kata WAHananing (Kendaraan atau sarana) HYU (hayu atau indah). Kendaraan untuk memperindah yakni dengan cahaya. Maka nabi dan rasul pun dibersamai dengan wahyu atau cahaya. Nabi besar kita Muhammad Rasulullahu ‘Alaihi wassalam mendapat julukan shobi’in yang jangan-jangan bertautan dari kata shoba, yang secar pengucapan mirip dengan Saba (nama lain peradaban Jawa lama). Mengapa disebut demikian? karena, Nabi dianggap meninggalkan ajaran lama yang populer di jazirah Arab dan sekitarnya untuk menuju ajaran baru dengan sarana pewahyuan. Dengan kehadiran Nabi Muhammad, Allah sedang mengirimkan cahya terang benderan bagi ummat yang gulita dan sang cahaya tersebut dengan penuh kelembutan mengundang (ngawe-awe) untuk bersama berkerumun dalam cahaya.

“Ngelingake ojo podho turu sore”, bahwa sang utusan dengan penuh kasih sayang senantiasa mengingatkan kita untuk tidak terhanyut kegelapan, tertipu kesempitan, terjebak kedangkalan, sehingga mudah putus asa bagai orang yang belum waktunya tidur namun sudah tidur terlalu dini. Utusan ini harus ditarik sejak awal mula peradaban hingga penghujung peradaban.

Nabi pertama yang diakui oleh hampir semua manusia ialah Nabi Adam, masa dimana belum ada Jawa, China, Arab dll. Namun apakah sama Islam yang dibawa oleh Nabi Adam dengan Islam yang sekarang? Untuk sampai disana, maka harus memperluas jarak pandang kita. Agar kita tidak terjebak dalam pemikiran kekinian jaman now, tapi coba merefleksi kejadian pada masa Nabi Adam. Pada jaman tersebut “PR” nya masih sedikit, yakni hanya tentang keakuan. Semisal kisah tentang Qabil dan Habil membawa peristiwa tentang kepemilikan, kedirian, keakuan. Sekarang sangat sulit untuk tidak merasa memiliki, terutama tentang hidup. Namun Nabi Ismail telah memberi pelajaran pula untuk menyerahkan hidup hanya untuk Allah. Mudah mengatakan Nabi Ibrahim adalah penyabar, bertawakal namun pasti sangat berat jika kita bayangkan bahwa peristiwa perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismalil dijalani oleh seorang bapak kepada anak yang sangat disayanginya. Sementara Nabi Ibrahim adalah seorang yang cerdas, pemikir yang logis, researcher, bukan orang yang terjangkit halusinasi. Peristiwa cinta dan kepemilikan mengalami pendewasaan, dan bentuk cinta yang solid ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam peristiwa yang diabadikan sebagai hari Idhul Adha.

Peristiwa demi peristiwa Kerasulan adalah khazanah yang memperluas area kesadaran dan pemahaman kita. Ini laksana luasan cahaya yang membuat kita lebuh mudah mendapatkan petunjuk dan pandangan hidup. Maka sangat pantas jika kita harus bersuka cita dan bergembira atas karunia nan luas ini demi menghadapi kondisi yang gelap gulita ini. Jaman sekarang hijab sudah 7 lapis, maka penting untuk mengenali pencahayaan untuk menyibak kegelapan tersebut.

Di jaman setelah Nabi Muhammad, tidak bisa kita mengklaim pribadi-pribadi Muslimin, Mukminin, Mukhlisin, Muttaqin, dlsb hanya ada pada era setelah karasulan rasulullah Muhammad. Namun hal ini sudah ada sejak jaman sebelum Nabi Muhammad bahkan sejak era ummat Nabi Adam. Allah memberikan ilmu, kepada siapapun yang sanggup membeningkan dirinya. Sebab semua ilmu Allah adalah ilmu yang bening.

Baiknya kita coba luaskan pemahaman dolanan ning njaba ini agar menyibakkan kegelapan, serta cahaya yang kita dapatkan mampu kita implementasikan dalam kehidupan bebrayan. Sehingga dalam bersendau gurau kita tidak saling menyakiti satu sama lain.

 

Bergerak dan dinamika universal

Mas Mundari yang alhamdulillah dapat melingkar malam ini juga turut menambahkan bahwa pada malam bulan purnama setiap manusia haruslah bergerak atau mengeluarkan keringat seperti yang digambarkan dalam poster yakni anak-anak bermain diluar rumah dibawah purnama. Seperti halnya setiap bulan purnama, hewan-hewan menjadi lebih aktif bahkan lebih galak. Entah itu hewan peliharaan ataupun hewan liar.

Kemudian dilanjutkan Mas Rizal, yang menceritakan tentang sedulur sikep yang juga menjadi skripsinya. Satu hal yang menjadi tujuan sedulur sikep ialah “mbenekke ati mbecikke ucap” (memperbaiki hati, memperbaiki ucapan). Disana keselarasan alam sangat dibangun, pernah suatu ketika ada yang di wilayahnya merusak alam. Balasan dari alam ialah banjir, hingga mengalami gagal panen 7 (tujuh) kali. Namun mereka tidak marah, atau kecewa namun justru bersyukur karena hanya sawah yang terimbas, bukan ke manusianya yang karam. Sebab bagi masyarakat Sikep ada lagi yang lebih menderita daripada mereka yakni supir-supir truk yang terjebak banjir. Satu langkah untuk meminta maaf kepada alam ditempuh dengan membagikan makanan berupa nasi sekitar 700 (tujuh ratus) bungkus kepada supir-supir truk yang kelaparan sebab terjebak banjir. Mereka menganggap agama mereka adalah agama Adam, satu sama lain sedulur tidak boleh saling menyakiti.

Juga ada Mas Ihda yang diperjalankan lagi kesini dan menemukan arti dalam kehidupan alam rahim, sebab alhamdulillah istrinya juga sedang hamil. Berasal dari surga, melalui alam rahim kita dikeluarkan ke dunia. Bahkan pernah mendengar sebuah kalimat bahwa kita 99% pasti ke surga karena kita berasal dari sana, 1%nya tinggal mau atau tidak saja.

Kembali Mas Agus menambahkan tentang bergerak pada malam purnama. Hal ini berarti tentang motorik, namun selain itu juga psikisnya disentuh. Selain pergerakan fisikal namun juga tentang pergerakan perasaan. Seperti metode permainan di malam bulan pernama, anak-anak yang memiliki memori indah dalam kebersamaan dengan bermain bersama diharapkan akan merasa rindu untuk merasakan kebersamaan terus menerus, jika kerinduan ini dilatih sejak kecil maka akan terbawa terus sampai dewasa.

Syukur alhamdulillah dari Mas Agus atas kehamilan istri dari beberapa sedulur disini, Mas Hermanto, Mas Ihda, Mas Kasno, Mas Hajir, juga Mas Yud. Mas Agus membayangkan bahwa bayi-bayi yang baru lahir sesungguhnya membawa rembulannya masing-masing, namun tak jarang kita justru menjadi awan mendung yang menghalangi cahaya mereka. Kita memaksa anak untuk jadi pohon bayam padahal seharusnya menjadi pohon jati begitupun sebaliknya.

Diskusi dijeda dengan menu khas gunung yakni nasi jagung yang dinikmati bersama-sama sebagai kebiasaan dari Majlis Gugurgunung. Diskusi ditutup sekitar pukul 01.30 WIB. Masing-masing kembali dengan membawa apa yang didapatkannya, dengan harapan meningkatkan kadar cahaya rembulan yang ada di dalam hati masing-masing untuk diaplikasikan sebagai kemanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat, sesuai dengan peran dan dolanannya masing-masing. Sekian reportase kali ini semoga bermanfaat.

 

Dhika Hendryawan