THERAPY ZAMATERA DAN UNTUK MASYARAKAT

Malam itu, tepatnya tanggal 14 Mei 2018 diadakan sebuah kegiatan sosial berupa pengobatan massal di Madrasah Hidayatul Mubtadi’in di dusun Bodean, Ungaran Kab. Semarang. Semenjak ba’da Maghrib, di sebuah sudut ruangan telah diramaikan oleh masyarakat Bodean. Pria, wanita mulai dari dewasa hingga usia lanjut yang menunggu digelarnya acara, bahkan anak-anak yang turut meramaikan dengan bermain-main di pelataran gedung madrasah ini.

Kegiatan ini merupakan persembahan Karangtaruna Dusun Bodean sebagai upaya berbakti kepada lingkungan menjelang Bulan Ramadhan. Persiapan yang sudah cukup matang dari para pemuda Karangtaruna Bodean yang diketuai oleh Mas Rifki ini disambut baik oleh masyarakat dan Zamatera sehingga kegiatan ini dapat berjalan. Terapi ini diadakan secara gratis untuk masyarakat atas kerelaan Master Zaen beserta kedua murid beliau yakni Mas Arif dan Mas Oki. Tidak hanya mereka bertiga yang hadir dari Salatiga utuk ikut menemani kegiatan ini, ialah istri Master Zaen, Bu Zaeni yang juga dengan gembira ikut membersamai acara ini. Zamatera ialah singkatan dari Zaeni Manipulation Therapeutic atau biasa disebut Rumah Terapi Zamatera yang berpusat di Salatiga.

Pencetus Zamatera yakni Master Zaen langsung yang merelakan hadir memberikan terapi tanpa memungut biaya sedikitpun yang biasanya bekisar antara Rp. 500.000,- per orang untuk sekitar 15 menit terapi. Tarif tersebut adalah tarif minimal yang ditetapkan oleh Asosiasi Zamatera Internasional kepada Master Zain. Sedangkan untuk terapi yang dilakukan oleh murid-murid Master Zaen sekali terapi minimal Rp. 250.000,- . Proses yang dilalui Master Zaen sehingga mendapat predikat master sudah dimulai sejak puluhan tahun silam hingga kemudian munculah satu teknik yang dirumuskan sendiri oleh Mas Zaen berdasar pengalaman, pengamatan, dan ilham yang beliau terima. Zamatera berdiri secara resmi pada tahun 2016 dan saat ini sudah dianggotai oleh warga lintas negara. Selain Indonesia, juga praktisi Zamatera yang ada di Qatar, Turki, Malaysia, yang menggunakan teknik temuan Master Zaen ini.

 

Kegiatan ini dimulai sekitar pukul 19.00 WIB, usai dibuka oleh pembawa acara dari remaja dan dilanjutkan dengan sambutan oleh pengurus warga setempat. Kemudian tiba giliran Master Zaen yang sedikit memberikan teori-teori tentang kesehatan tubuh, imunisasi, vaksinasi, dimana menurut beliau hendaknya tidak seketika sakit langsung ke dokter atau langsung membeli obat. Sebab sistem kekebalan tubuh mampu merespon berbagai macam penyakit, selain menghemat biaya juga tidak baik ketika tubuh dikondisikan selalu bergantung dengan obat. Sekitar 30 menit dengan sangat apik beliau mempresentasikan beberapa teori tentang kesehatan yang juga disambut baik oleh masyarakat, dimana ditandai dengan adanya komunikasi dua belah pihak. Tanya jawab dan berdiskusi interaktif menjadi akhir pemaparan Mas Zaen untuk kemudian memasuki sesi berikutnya yakni pemberian terapi.

Pada sesi ini Mas Zaen memberikan waktu kepada dua muridnya yang juga sudah mumpuni untuk menangani beberapa masalah kesehatan ringan sementara Mas Zaen hanya menangani beberapa kasus yang dinilai cukup berat saja. Meskipun diluar ruangan sambil ngobrol santai, beralas tikar beliau bersedia pula untuk menangani beberapa kasus yang ringan seperti kepala tengeng dan migrain.

Antusias masyarakat cukup tinggi, hingga jumlah pasien yang pada awalnya dibatasi sepuluh orang menjadi lebih dari dua puluh orang. Sedikit testimoni diambil videonya untuk dapat dipresentasikan di malam minggu terakhir, juga di gedung yang sama dalam kegiatan pertemuan rutin maiyahan Majlis gugurgunung yang insyaallah nanti juga akan dihadiri oleh Master Zaen.

Kegiatan terapi terus berlanjut hingga pukul 23.00 WIB. Keringat mulai bercucuran di muka murid Master Zaen yang nampaknya mulai kelelahan. Hingga pasien terakhir yakni seorang wanita yang mengalami masalah gangguan haid, nyeri perut serta kaki yang panjang sebelah mungkin sekitar 1-2cm. Untuk kali ini Master Zein sendiri yang turun tangan. Beberapa penonton juga turut melihat aksi beliau, hingga memang nampak efek pada kaki yang tadinya nampak panjang sebelah menjadi sama panjang. Selain Mas Zaen memberikan terapi di lokasi, juga memfollow up beberapa pasien yang sekiranya perlu diikuti perkembangannya supaya terapi lebih berjalan maksimal.

Dirasa cukup, pasien pun telah selesai ditangani semua, lalu diakhiri dengan foto bersama. Master Zaen harus segera berpamitan pulang untuk beristirahat sebab esok pagi beliau harus terbang memenuhi undangan di Kuala Lumpur, Malaysia. Meskipun dengan jadwal yang sangat padat namun masih menyediakan waktunya pada malam itu. Alangkah indahnya jalinan yang tersulam malam itu. Semua pihak saling bersinergi dengan serasi dan indah. Sekian reportase kali ini, semoga bermanfaat.

 

 

AH-MGG

 

Sambung Rohso – Salam salim sulam

Pertemuan rutin Majlis gugurgunung edisi April dihelat pada tanggal 28 April 2018. Bertemakan Sambung Rohso “salam salim sulam” dan alhamdulillah dirawuhi oleh Mbah Eko Tunas.

Kegiatan dimulai pada pukul 21.00 WIB, bertempat di Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi’in, Bodean, Klepu, Pringapus Kabupaten Semarang. Sebuah tempat yang baru bagi Majlis Gugurgunung dikarenakan tempat yang biasanya sedang tidak dapat dipergunakan sebab bersamaan dengan kegiatan lain yang telah memesan tempat terlebih dahulu.

Lantunan Munajat Maiyah yang dipimpin oleh Mas Jion

Diawali dengan Do’a Wasilah yang dipimpin oleh Mas Ari, dilanjutkan Munajat Maiyah oleh Mas Jion. Selaku moderator yakni Mas Dian memimpin jalannya diskusi. Perwakilan dari Tim Tema yakni Mas Kasno memaparkan awalnya muncul tema ini ialah berawal dari diskusi tentang nyadran, sebuah kegiatan yang banyak digelar di berbagai daerah namun banyak pula yang belum mengetahui maknanya. Nyadran ialah sebuah kegiatan yang sering diadakan pada bulan-bulan Rajab dan atau bulan Ruwah. Pembahasan berikutnya banyak terdapat dalam mukadimmah.

Perwakilan dari Tim Tema yakni Mas Kasno memaparkan tentang Tema Majlis Gugurgunung malam ini; Sambung Rohso

Kemudian Pak Zamroni yang akrab disapa Pak Zam, kali ini juga oleh Mas Dian diminta untuk membagi kisahnya tentang kehidupannya yang pernah menjadi pemimpin sebuah perusahaan yang cukup mapan dan akhirnya ditinggalkannya secara perlahan justru menekuni dalam bidang pertanian. Beliau terjun langsung dalam setiap proses bercocok tanam mulai dari langkah-langkah awal. Hal ini diawali Pak Zam karena ingin menyapa alam dengan mengakomodir bagian ke-aku-an beliau. Alam sekarang sudah diperkosa untuk dieksploitasi, sedangkan menurut Pak Zam jika ada manusia menyakiti alam sama halnya dengan menyakiti dirinya sendiri. Bukan hanya mempelajari alam namun juga belajar kepada alam. Seolah-olah banyak manusia yang tidak mengakomodir tumbuhan, hewan, tanah, batu, pasir dll juga bagian dari semesta yang harus dijaga. Maka jangan disalahkan apabila ketidakramahan manusia dibalas pula dengan ketidakramahan alam, dimana manusia tidak lagi menjalankan proses Rahmatan Lil Alamin. Dalam kegiatan bertani, Pak Zam tiap hari disempatkan untuk uluk salam terhadap apapun yang terjangkau di sekitarnya, dimana hal ini juga diperkenalkannya pada putra-putri beliau. Menanggapi tema tentang Nyadran, mungkin bisa menjadi salah satu cara untuk dekat dengan alam. Seperti halnya sekarang menekuni tani, bermaksud untuk mencukupi kebutuhan bukan sekedar ego diri sendiri. Asalkan ada sambung rasa di dalamnya maka dengan sendirinya muncul kenyamanan asalkan dalam setiap kegiatan senantiasa melibatkan Allah.

Beberapa yang hadir malam ini merupakan kehadiran pertama untuk melingkar di Majlis Gugurgunung bahkan satu dua baru mengenal Maiyah, diminta berkenalan juga menanggapi tentang tema. Seperti Mas Yoga seorang mahasiswa dari Undip yang menggemari teater serta kepo terhadap Maiyah karena baru mengenalinya, ada pula Mas Angling yang merupakan pemuda Karang Taruna setempat, juga Mas Bram seorang pejabat di Dinas Kebudayaan yang juga salah seorang kawan Mbah Eko Tunas, juga Mas Ihda yang dulu sempat tidak simpatik bahkan meng”haramkan”nya terhadap kegiatan seperti Nyadran namun, sekarang berkata sudah “tobat” bahkan ingin mempelajari kegiatan-kegiatan yang hampir ditinggalkan, bahkan memperkenalkannya pula pada anak beliau. Lanjut Mas Ihda, bahwa sekarang banyak pihak dari luar ingin melakukan pemisahan terhadap tradisi, namun hal tersebut tidak mudah karena rasa merupakan urusan dari dalam hati.

Kemudian, Mas Kasno sedikit menanggapi tentang rasa, bahwa rasa merupakan bentuk persentuhan dari indrawi berdasar pengalaman tentang kegeramannya menanam bunga sebagai kegiatan di rumah. Dimana menurut Mas Kasno hal ini cukup lucu pada awalnya yang notabene bertubuh gagah, besar, berambut gondrong namun menggemari bunga. Namun ada hal yang dipelajarinya yakni, biji atau benih terkadang bisa mengalami masa dormant atau tertidur dimana jika ingin ditanam maka harus seperti dikejutkan.

Dalam proses menanam, benih biasanya diletakkan di tempat dahulu di tempat yang gelap dimana berfungsi untuk menumbuhkan dan menguatkan akar serta di dalam prosesnya yang berkondisikan gelap maka ketika sudah tumbuh nanti akan terjadi kerinduan terhadap cahaya.

satu dua nomor oleh Mas Wakijo dengan membawakan Sholawat dan lagunya sendiri yang berjudul “Mencari Kehadiran”

Memasuki sesi kedua, satu dua nomor dahulu oleh Mas Wakijo dengan membawakan Sholawat dan lagunya sendiri yang berjudul “Mencari Kehadiran” yang bisa dilihat juga videonya pada akun youtube.nya. Lantunan suara yang enak tuk dinikmati, tembang sarat makna, juga petikan-petikan gitar nan elok mampu membawa sedulur-sedulur yang hadir dalam suasana hangat dibawah sinar rembulan yang cerah serta berhembuskan angin malam yang cukup dingin. Sebuah suasana yang pasti dirindukan juga ditambah kopi hitam dan wedang uwuh yang siap dinikmati.

Waktu terus bergulir, hingga menunjukkan pukul 22.40. Mas Agus mempersilahkan kepada Mbah Eko Tunas untuk menampilkan monolognya yang menceritakan kisah tentang seorang koruptor dan burung beonya yang terus mengatainya dengan sebutan “maling, begal, rampok”. Pengalaman Mbah Eko Tunas tercermin dalam penampilan monolognya. Dibawakan dengan sangat apik, dengan gaya khas beliau, bermakna dalam namun dikemas dalam sebuah panggung hiburan. Sorak-sorai tepuk tangan sedulur-sedulur yang hadir dirasa masih kurang dalam mengapresiasi budayawan yang juga sahabat dari Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib yang juga sempat memberikan sebuah pesan pribadi via WA kepada Mas Agus untuk disampaikan kepada Majlis Gugurgunung yakni; “Literasi akademis, kurikulum, ilmu opo wae sing diwakili kata, koma, dan titik — Ora iso nyonggah menungso lan kamanungsan. Mulo ilmu njaluk ewang kesenian, sastra, teater, lan sakpiturute. Mulo AlQur’an dibahasakan sangat sastrawi, kisah kisah sejarah dituturkan sangat teatrikal oleh Allah”. ( Literasi akademis, kurikulum, ilmu apa saja yang diwakili kata, koma, dan titik – Tak sanggup menggapai manusia serta kemanusiaan. Maka ilmu meminta dukungan kesenian, sastra, teater, dan lain-lainnya. Maka Al-Qur’an dibahasakan sangat sastrawi, kisah-kisah sejarah dituturkan sangat teatrikal oleh Allah).

Monolog oleh Mbah Eko Tunas yang menceritakan kisah tentang seorang koruptor dan burung beonya yang terus mengatainya dengan sebutan “maling, begal, rampok”

Kemudian tiba Mas Agus yang memberikan informasi tentang Nyadran yakni merupakan sebuah nilai yang berkualitas pohon kayu jati, maka yang akan memanen ialah anak turunnya. Maka tugas kita sebagai anak turun ialah meng”uri-uri”nya. Ketika kita mampu meluaskan waktu maka juga berarti tubuh kita menjadi lebih besar. Contohnya, ketika masih kanak-kanak maka setiap hal yang didapatkan pasti adalah yang terbaik dan nomor satu entah itu barang, perhatian maupun kesempatan karena sangkaan kita hal-hal baik tersebut adalah milik kita. Ketika waktu terus berjalan, tubuh semakin membesar maka akan mampu dipergunakan untuk menampung orang lain sehingga menyangka bahwa kebahagiaan itu bukan hanya untuk dirinya. Ketika seseorang mampu menggapai seluruh kejadian dalam tiap alam semesta ialah sebuah rangkaian yang ada pula dalam diri manusia, maka berarti memiliki keluasan dan kebijaksanaan yang baik. Di dalam bermaiyah diharapkan diri kita bukan berposisi menjadi anak-anak yang menyangka kebaikan itu hanya untuk diri kita dan yang buruk ialah hal di luar diri kita. Mungkin saja seseorang yang mengkonversi keburukan dalam dirinya menjadi sebuah kebaikan merupakan fenomena yang sangat luar biasa.

Mas Agus memberikan informasi tentang Nyadran yakni merupakan sebuah nilai yang berkualitas pohon kayu jati, maka yang akan memanen ialah anak turunnya.

Maka anjuran untuk berjamaah ialah untuk mampu mengenali tubuh yang lebih besar, sehingga apabila hati dan pikirannya belum kumpul menjadi satu maka belum bisa disebut sebagai satu tubuh. Di dalam Agama sendiri, berjamaah maka derajatnya dilipatkan menjadi berkali lipat. Disana bukan hanya jumlah yang digandengnya saja namun juga fenomena sambung rohso di dalamnya. Di Jawa ada istilah nepaake sarira, nepaake roso kemudian menjadi tepo sliro. Dengan mampu tepo sliro maka akan mampu merasakan fenomena-fenomena diluar diri kita seakan ada dalam diri.  Sholat yang sudah diperintahkan Allah membuat kita mampu bercermin terhadap api yang ada di dalam diri kita, dimana api dalam diri kita itu bersifat tegak. Api tersebut ingin menampakkan wajah sehingga mampu dilihat orang tentang keberadaannya, inni wajahtu… namun dilanjutkan lagi kalimat berikutnya wajhiya lilladzi fathorosamawati wal ardl, Sadar dengan wajahnya namun juga harus sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan wajah Allah yang menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada diantara keduanya.

Setelah seseorang bercermin terhadap wajahnya, lalu menghadap wajah Allah maka yang ada hanyalah kesaksian akan keagunganNya. Dengan demikian ia merundukkan kepalanya, menyesuaikan dengan hatinya serta kesadaran dan mulai bercermin kepada angin. Angin, terus bekerja, bergerak dan membantu kehidupan tanpa harus menampakkan dirinya. Inilah salah satu keagungan yang ditampakkan Allah pada sebuah ciptaannya yang disebut angin. Itulah rukuk yang menyatakan “Ya Allah maha agungnya engkau”. Keagungan itu harus dinaikkan lagi sebagai sebuah puji-pujian, agar tercermin keluar dari diri kita, I’tidal. Kemudian dari berdiri kemudian turun kebawah dengan bersujud. Hal itu adalah sebuah representasi dari air dengan kebeningannya, kejernihannya dan kesejukannya. Mampu untuk tinggi namun justru merendah, andhap asor. Dibawah, pada gerakan sujud kita dianjurkan untuk bercermin terhadap tanah yang rela untuk diabaikan tetapi selalu diperlukan. Tetapi tanah dengan istiqomahnya memberikan sesuatu tanpa ada yang dikurangi, seperti benih cabai yang ditanam maka akan tumbuh cabai pula lengkap dengan pedasnya.

Kita masing-masing memiliki ranah api, air, angin dan tanah. Namun ketika kita tidak menyadarinya maka seolah-olah itu tidak ada. Maka air diracuni, tanah diberi pupuk kimia, hutan dibakar banyak yang tidak mempermasalahkan karena itu bukan diri kita.

Sesungguhnya Allah memberi tawaran pilihan surga atau neraka, masalahnya kita mampu menemukan penjaga pintunya atau tidak, pemenuhan hasrat penguasaan itu lebih mendekat kepada Malaikat Malik. Berbanding terbalik dengan sikap lilo, rela, ridho, legowo maka akan lebih mendekat pada Malaikat Ridwan.

Lima orang yang melakukan demikian (ridho) seakan menjadi 25 orang, sebab masing-masing orang memiliki 4 pembantu. Misalkan ada orang bertugas menjaga air, yang lain mencangkul tanah, dlsb. Mereka tidak terletak dalam sebuah kotak atau sebuah departemen sehingga ketika ingin meminta bantuan orang yang mengurus air maka tidak harus mengeluarkan uang, karena disana dia tidak membuat kerajaan namun lebih didasarkan pada sebuah nilai kerelaan. Jadi kekuatannya sangat berlipat ganda jika menjadika ridho sebagai landasan pergaulan, namun dalam pada itu juga harus ada bayaran atau biayanya. Kita tidak bisa memenuhi hasrat kekuasaan kita karena landasan utamanya adalah memimpin diri sendiri. Tidak untuk mengalahkan orang lain tetapi untuk mengalahkan diri sendiri, sebab untuk mengalahkan orang lain itu sangat mudah entah cara halus ataupun kasar. Contohlah membohongi orang lain sangat mudah namun sulit untuk membohongi diri sendiri. Sebuah jalan bisa ditempuh secara keras, dan tegas. Perbedaanya ketika tegas maka kita sedang menempuh nilai kemanusiaan.

Empat berhala, kisah yang sering diceritakan di Majlis gugurgunung yang paling sulit dihilangkan ialah berhala kelingking. Berhala pertama ialah merasa dirinya pemimpin maka disimbolkan dengan jari telunjuk. Berhala kedua ialah merasa dirinya paling unggul atau paling tinggi disimbolkan dengan jari tengah. Berhala ketiga ialah merasa dirinya yang paling manis, cemerlang, tampan, cantik dst disimbolkan jari manis. Berhala keempat disimbolkan kelingking sebab dia tidak merasa besar, tinggi namun dia menyembah ibadahnya sendiri, merasa paling dekat dengan Tuhan yang tidak memiliki kesalahan padahal sesungguhnya itu menjadi borgolnya sendiri. Seperti sebuah kisah yang sempat dibagikan oleh Mbah Eko Tunas saat di ruang transit, ketika seseorang memiliki handphone, dan dikatakan oleh Mbah Eko, itu adalah borgol karena setiap saat harus laporan. Ini adalah salah satu contoh, dimana sesuatu yang sering kita sangka sebagai fasilitas yang memudahkan namun sesungguhnya ialah sesuatu yang mengekang. Oleh karena itu kita diberikan fasilitas oleh Allah berupa akal dan pikiran juga karunia-karunia lain yang secara langsung dapat kita tangkap melalui panca indera agar kita mampu untuk bersyukur. Salah satunya bersyukur diberi rizki yang bukan hanya sekedar uang.

Namun sekarang rezeki hanya diartikan sama dengan uang. Ini adalah kemampuan mentajalikan yang salah karena sesuatu menjadi lebih rendah dari aslinya.

Pernah muncul sebuah pertanyaan, mengapa uang yang bedanya hanya sekian mili, dengan proses cetak yang sama namun seakan memiliki nilai yang jauh lebih besar. Berarti ini bukan tentang nilai namun lebih kepada kesepakatan sosial. Maka Rasulullah menganjurkan untuk menggunakan sesuatu yang tidak mempengaruhi nilainya seperti emas, perak atau perunggu.

Jam menunjukkan pukul 00.00, Mas Jion diminta untuk menembangkan “Lingsir Wengi” sebagai pertanda memasuki pergantian hari. Dirasakan sebelumnya oleh mas Agus bahwa angin lebih menderu dan seperti akan turun hujan. Langit memang tampak suram, tak seperti sebelumnya yang terasa sangat cemerlang.

Kemudian tibalah Mas Agus untuk mempersilahkan kepada Mbah Eko Tunas, untuk berkenan menceritakan kisah-kisahnya. Beliau sekarang tinggal di daerah Banyumanik Semarang dan berasal dari Tegal. Bersama Mbahnya dan dibelakang rumahnya adalah makam. Sejak kecil beliau sudah bermain di makam. Juga mengamati tujuan orang datang ke makam. Kemudian dalam dunia kesenian, baru-baru ini kehilangan tokoh sastra yang hebat yakni Pak Danarto yang meninggal karena tertabrak sepeda motor. Begitu ditangani polisi, tidak ditemukan identitas dan disebut gelandangan. Tidak mengetahui bahwa beliau adalah tokoh sastra. Namun diketemukan sebuah handphone jadul yang dipasangi karet. Padahal beliau memiliki sebuah karya yakni kumpulan cerpen yang hingga saat ini banyak mengilhami para sastrawan. Namun ketika meninggal, sampai ada yang mengatakan ini adalah orang bodoh, padahal beliau adalah sastrawan besar yang karyanya sampai ke manca negara.

Kerinduan sedulur yang hadir dengan Mbah Eko Tunas baru terobati barang sejenak, namun kerinduan ini masih harus berjalan lagi, seperti tema pada malam hari ini yakni Sambung rohso. Dikarenakan sebuah tempat yang baru pertama kali digunakan kali ini berada dalam sebuah lingkup yang tidak memperkenankan kami untuk terus menyambung kerinduan lebih lama. Makan bersama dengan hidangan menu nasi jagung menjadi penutup pada malam hari ini.

Makan bersama dengan hidangan menu nasi jagung

Kekecewaan sudah pasti dirasa, marah hampir saja tidak kuasa kami tahan, namun Insya Allah ketulusan maaf menutupi kesemua itu baik kepada Mbah Eko, juga kepada semua sedulur yang hadir. Rembulan kembali bulat, bersinar dengan terang dengan kalangan warna pelangi yang mengitarinya. Do’a penutup dari Mas Ari mengkhidmatkan suasana. Beberapa sedulur masih beristirahat barang sejenak di teras rumah Mas Agus yang tidak begitu jauh dari lokasi. Hingga hari hampir pagi dan semua berpamitan menuju ke rumah masing-masing. Sekian reportase kali ini, semoga tema Sambung Rohso ini dapat terus bersambung seperti halnya rasa kerinduan kami yang masih terus bersambung terutama kepada beliau Mbah Eko Tunas.

Andhika Hendryawan

SAMBUNG ROHSO

Mendekati bulan Puasa biasanya banyak masyarakat kita melaksanakan tradisi-tradisi yang diturunkan oleh leluhur masing-masing. Salah satunya adalah Nyadran. Dimana tradisi ini biasanya diperingati di bulan Rajab atau Ruwah, atau bahkan keduanya. Rangkaian acara di dalamnya pun memiliki kesamaan di berbagai daerah yang melangsungkan tradisi ini, yakni sedekah bumi, zaroh makam leluhur, berdoa bersama, dan dilanjutkan makan bersama.

Jika dicermati dari asal kata nyadran = ny-sradan, Sradan berasal dari istilah Srada yang artinya adalah suci. Seiring berjalannya waktu, istilah sradan menjadi nyadran. Adapun kata sraddha, dalam bahasa Jawa Kuno memiliki makna sebagai perilaku suci untuk mengenang, mendoakan, ataupun memuliakan roh-roh leluhur yang sudah bersemayam di alam baka.

Apakah ini merupakan hasil elaborasi budaya (atau istilah tepatnya apa) dalam sarana dakwah, namun masih mengakomodir budaya sebelumnya? Kenapa hampir di semua daerah yang melaksanakan tradisi ini sepakat melaksanakannya di bulan rajab dan ruwah?

Marilah duduk melingkar dalam pertemuan rutin Majlis Gugurgunung yang bertempat di Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi’in Bodean RT. 02 / III Klepu Pringapus Kab. Semarang pada malam minggu tanggal 28 April 2018 pukul 20.00-selesai.

Marilah melingkar melepas rindu, marilah melingkar mengupas waktu, marilah melingkar dan bertukar.

Sinau Mulat

Pertemuan rutin majlis gugurgunung pada bulan ini jatuh pada tanggal 31 Maret 2018 bertempat di Balai Desa Klepu Ungaran, Kab. Semarang dengan tema “Sinau Mulat”. Seperti biasa, kegiatan dimulai sekitar pukul 21.00 WIB, dengan do’a pembuka dan wasilah oleh Mas Tyo, dilanjutkan Munajat Maiyah oleh Mas Jion. Sedikit kalimat pembuka dari Mas Agus untuk mengawali diskusi, yakni pada malam ini bebarengan dengan rapat pleno Maiyah di Kadipiro dan juga tepat 40 tahun usia (hijriah) Mas Sabrang. Sedikitdo’a dipanjatkan untuk kebaikan beliau. Amin.

Tenang dan menyegarkan tatkala Munajat Maiyah dibacakan oleh Mas Jion dan diikuti dulur-dulur yang hadir malam itu.

Continue reading

Desa Purwa

Mukaddimah Maiyah Kalijagan edisi 6 April 2018 dengan tema “Desa Purwa”

Mukaddimah Maiyah Kalijagan edisi 6 April 2018

Wacana mengenai manusia tidak akan selesai sampai manusia diselesaikan oleh Allah. Namun yang perlu dipelajari manusia yakni asal-usulnya, sebagai penanda, pemetaan, penataan, perenungan dan sangu untuk berjalan di kesekarangan dan menuju masa depan. Dari asal-usulnya, manusia akan menemukan kesejatian hidupnya pula, yakni Allah sebagai desa wiwitan, Al Awwalu. Ya, dari desa, peradaban manusia mulai terbentuk oleh tatanan sistem yang telah Allah sabdakan dalam satu kata “Kun” di surat Yaasin.

Dari “Kun”nya Allah, bependarlah cahaya kehidupan, terciptanya makhluk-makhluk, tatanan jagad semesta dan segala ubo rampenya, termasuk desa. Khususnya desa, ada yang menarik untuk kita pelajari. Salah satunya mengenai pilar utamanya, yang pertama adalah spiritual. Kedua: pemikiran, jiwa, ideologi dan pranatan. Ketiganya yakni sandang, pangan, juga papan. Mengenai jalinan dan ikatannya, desa tidak bisa dilepaskan dari tiga subyek: Tuhan, Manusia dan Alam. Dari tiga pilar utama dan subyek jalinan tersebut ada tujuh hal yang tidak bisa kita pisahkan juga. Yakni i am, i feel, i think, i love, i speak, i see, dan i understand dalam konsep cahaya yang utuh dan manunggal. Dan desa yang utuh dan manunggal adalah desa di atas desa, desa yang tidak sekedar gemah ripah loh jinawi (baldatun thoyyibatun), lebih dari itu masyarakatnya mendapat pangapura dari Allah (Rabbun ghofur).

Desa sebagaimana konsep baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur dalam buku “Desa Purwa” disebutnya sebagai Paradesa. Secara linguistik, kata “paradesa” kemudian diadopsi menjadi kata “paradise”(di negara Inggris dan sekitarnya) dan “firdaus”(di negara Arab dan sekitarnya). Jika memang begitu, maka tak mengherankan kalau nuansa yang kita imajinasikan mengenai surga (paradise/firdaus) tidak jauh berbeda dengan nuansa paradesa. Banyak tanaman hidup didukung tanah yang subur, kondisi sandang, pangan dan papan yang makmur, serta masyarakat yang taat pada Sang Ada, Hyang Widi, Arrohman, Allah, Tuhan semesta raya.

Namun apakah hal itu masih bisa kita temukan di tengah penjajahan elit global, konspirasi global atas kapitalisme kerakusan fir’aun raja naga, namrud paman sam? Penggusuran desa demi kemaslahatan perut konglomerat unta, naga dan koboi? Sehingga penduduk paradesa agaknya kelimpungan dan lupa bahwa muasalnya adalah desa, paradesa, firdaus, paradise dan mereka harusnya nanti kembali ke sana. Ada pula masyarakat desa yang rela menyesatkan diri di belantara jalanan kota. Maka selebihnya mengenai desa mari kita diskusikan lebih mendalam, tenang dan mesra sebagaimana nuansa surga yang mengalir sungainya dan tumbuhnya banyak pepohonan dan hidup tentram bersama binatang. Mari pulang kepada keabadian desa sebagaimana tema Kalijagan April 2018, “Desa Purwa” adalah sebuah judul buku yang ditulis mas Agus Wibowo dan diterbitkan Maiyah Gugur Gunung Ungaran.

[Redaksi Kalijagan]

*Sumber: https://www.kalijagan.com/2018/04/02/desa-purwa/