NYUWUN JAWAH

Malam minggu terakhir pada bulan Oktober jatuh pada tanggal 27 Oktober 2018, juga menjadi malam perhelatan Majlis Gugurgunung untuk melingkar serta berdiskusi, bertempat di kediaman Mas Mundari, Ngempon, Ungaran, Kab. Semarang. Doa Wasilah oleh Mas Tyo serta Munajat Maiyah oleh Mas Jion mengawali lingkaran diskusi malam ini dengan tema yang dirembug ialah “Nyuwun Jawah”. Mbak Dewi yang baru kali pertama ikut melingkar ditunjuk sebagai moderator, sementara Mas Dian yang biasa memoderasi sedang dalam perjalanan menuju lokasi.

Mbak Dewi membacakan Mukadimah “Nyuwun Jawah”

Mbak Dewi yang notabene baru kali ini ikut melingkar di Majlis Gugurgunung mengawali dengan menceritakan pengalamannya bermaiyah. Dimana sudah beberapa kali ikut diskusi maiyahan di Suluk Surakartan serta Mocopat Syafaat (MS). Beberapa pengalamannya di MS yang paling teringat ialah betapa pentingnya menjalin silaturahim. Mbak Dewi dari Ungaran yang kerap menuju lokasi MS dengan waktu usai kisaran pukul 02.00 hingga 03.00 pagi dijalani dengan tidur di musholla, ataupun pom bensin. Setelah menjalin silaturahim dengan beberapa kawan disana, Mbak Dewi justru memperoleh bonus berupa makan, serta tempat untuk menginap. “Asalkan ada niat untuk kebaikan, seperti halnya mengaji, pasti ada jalan” begitu ungkapnya.

Tak lama berselang Mas Dian yang biasa menggawangi peran moderator pun tiba. Permintaan maaf dihaturkan pada dulur-dulur yang sudah hadir atas keterlambatannya. Langsung merespon tentang tema, dimana salah satu dhawuh pada beberapa waktu lalu ialah mengangkat tema dari kontent buku yang ditulis oleh Marja’ Maiyah yakni Syekh Muhammad Nursamad Kamba dengan judul buku “Kids Jaman Now”. Kemudian dari Tim Dapur Tema memilih salah satu sub bab untuk dikupas pada bulan Oktober ini. Sub Bab yang diangkat ialah tentang “Mengajarkan Kearifan dan Kebijaksanaan” yang kemudian dikemas dalam tema “Nyuwun Jawah” dimana mukadimmahnya telah dibacakan oleh Mbak Dewi.

Mas Dian menghaturkan permintaan maaf pada dulur-dulur yang sudah hadir atas keterlambatannya, dan langsung merespon tentang tema

Mas Dian meminta pada beberapa dulur yang baru pertama kali melingkar untuk memperkenalkan diri. Pertama ialah Mas Anton yang juga merespon tema dimana masa iklim atau cuaca akhir-akhir ini belum bersahabat. Dimana hujan menurutnya ialah pitulungan (pertolongan) Allah untuk semesta. Kemudian ada Mas Febri yang biasanya ikut kegiatan sinau bareng dan baru pertama mengikuti maiyahan sehingga belum bisa ikut merespon tentang tema. Berikutnya ada Mas Surya yang merespon tema. Dimana hujan bisa dipandang sebagai hal yang ditakuti namun bisa juga dianggap sebagai hal yang ditunggu-tunggu.

Kemudian tiba giliran Mas Agus menyampaikan beberapa hal. Seperti yang sudah biasa berjalan dalam lingkaran diskusi Majlis Gugurgunung dimana pembahasan tidak terkotakkan dalam sebuah tema sebab setiap guliran yang ada akan memunculkan gelembung-gelembung topik pembahasan yang semakin luas.

Pemaparan Mas Agus terkait tema malam ini

Nyuwun Jawah meletakkan kita menjadi tanah kerontang yang rumput pun tidak mau tumbuh apalagi pohon yang besar, yang tidak mampu menyuburkan benih namun justru bisa mematikan benih. Dengan kondisi kerontang menjadikan kita merasa ada sesuatu yang kurang basah serta mudah terbakar. Kita mencoba mengamati setiap fenomena yang kerap hadir di sekitar. Dimana seorang dengan orang yang lain sering mudah terbakar atau justru saling membakar. Terminologi ini sebenarnya sudah lazim, sebab ada masa setiap manusia untuk basah serta kering. Permasalahannya, ketika berada dalam kondisi kering akankah kita “umuk” atau bisa “sumeleh”. Ketika sumeleh akan memformat diri untuk memindai setiap kekurangan dalam diri. Kurang basah atau kurang “uluran tangan” dari langit untuk menyentuh kekeringan yang terjadi agar kembali basah dan bersahabat dengan beberapa hal. Mungkin belum akan bersahabat dengan pihak yang kurang menyenangi hujan, basah, becek dll namun kerinduan akan kekeringan ialah hujan.

Sehingga kehadiran tulisan Syekh Kamba dan Mbah Nun, yang tiap hari dihadirkan baiknya diposisikan sebagai uluran tangan dari langit agar kita tidak mudah terbakar. Sehingga dalam kondisi basah, memunculkan kondisi bagi kita untuk ditebari benih serta menumbuhkan tetumbuhan.

Andaikan ada perumpamaan tentang hujan, setiap ada uluran tangan dari langit bahwasanya tiap ilmu akan ditampakkan dalam wujud nabi, auliya’, wali, ulama dll, dalam pada itu merupakan mekanisme untuk menampakkan setiap ulurannya pada kita. Hujan berfungsi merangsang benih dalam diri kita untuk tumbuh. Dimana setiap orang masing-masing sudah memilikinya, dimana benih itu muncul dari pohon (wit) yang bernama rah, dalam bahasa jawa wit ing rah (awit-awiting urip) dimana berkembang menjadi kata fitrah.

Fitrah kita letakkan sebagai benih utama kita sebagai manusia, dimana harus kita tumbuhkan agar senantiasa menggapai cahaya. Tak baik pula kita paksakan fitrah untuk kita tumbuhkan sendiri sementara kita adalah tanah yang kering kerontang apalagi yang tidak mau menerima uluran tangan dari langit. Baiknya kita terima setiap uluran dari langit agar senantiasa terus tumbuh mengejar cahaya, menggapai langit namun terus bersyukur tumbuh di bumi.

Kita semua sangat berpotensi sebagai kafir, kufur, ingkar. Namun dalam Al Qur’an juga kafir bisa diartikan sebagai petani. Kita coba ambil kafir sebagai petani, dimana petani selalu menutupi setiap benih menggunakan tanah. Seperti halnya kita yang terbuat dari tanah, yang akan berpotensi untuk mengubur benih tadi dengan segala ambisi, plan, schedule, cita-cita dll yang dapat membuat benih fitrah tadi terhambat pertumbuhannya. Kita sangka apa yang kita miliki adalah kebenaran, sementara tiap hal tersebut kita letakkan pada hal-hal yang bersifat jasadiah. Tetapi jika kita memilih segala sesuatu yang bersifat plan, rencana, gagasan, cita-cita tidak kita naikkan posisinya menjadi ambisi, obsesi maka tiap langkah yang kita ambil akan lebih proporsional sebab langkah akan terukur untuk membuka pintu yang menghadirkan jawah atau hujan. Hujan, udan, hudan ialah hidayah, petunjuk yang siapa saja sudah dibukakan maka tak ada siapapun yang dapat menutupnya demikian pula sebaliknya. Berarti kita harus berperan aktif agar senantiasa menerima uluran langit.

Carilah apapun hal yang tidak merusak fitrah kita, juga abaikan setiap hal yang kita rasa menjauhkan atau menutupi fitrah kita. Jangan sampai terjebak dengan fenomena jasadiahnya baik dari segi popularitas, harta dll dimana hal tersebut merupakan hal yang harus kita waspadai. Justru sering kita temukan kehakikian hidup pada manusia-manusia yang tulus hidupnya seperti petani, nelayan yang terbiasa mampu mengakrabi segala macam jenis penderitaan hidup. Penggunaan nur’aini (mata cahaya) bukan sekedar mata jasad, membuat kita mampu melihat cahaya yang tersembunyi bukan sekedar melihat dari mata jasadiah saja.

Merespon Mas Surya, tentang ketakutan dan pertolongan. Pastinya kita boleh takut, tentunya kita membutuhkan pertolongan. Tetapi mungkin perlu kita tegaskan piranti utama untuk menghadirkan pertolongan tersebut ialah dengan merasa apa yang kita sangka baik belum tentu baik untuk kita begitupun sebaliknya. Lumrah ketika muncul akan ketakutan sebab hujan mungkin membuat baju kita basah, mengeluh ketika genting bocor, susah ketika akan berangkat beraktivitas dll. Namun jangan sampai dengan ketakutan tersebut mengurangi kadar cinta kita akan fenomena kehadirannya, bukan malah terjebak dalam situasi dimana kita menghentikan ketakutan tersebut hanya untuk mengeluhkan kehadirannya dengan segala permasalahannya.

Kemudian Mbak Dewi yang meminta penjelasan lebih lanjut tentang hujan yang bisa memberikan dampak buruk seperti banjir (musibah) lalu bagaimana kita menyikapinya. Direspon oleh Mas Agus bahwa kita harus memiliki metode tentang sebab-akibat. Jika ada suatu musibah, baiknya kita telaah terlebih dahulu. Musibah tersebut merupakan sebab ataukah akibat. Jika hal tersebut tergolong akibat, berarti ada penyebab sebelum terjadinya. Ukuran celaka dan tidak celaka jangan diletakkan pada tolok ukur kita sebagai makhluk. Jika kita menganggap banjir sebagai sebuah azab, berarti kita juga memilih menyalahkan hujan sebagai penyebabnya. Berarti kita menyalahi risalah nabi, dimana jin dan manusia secara mayoritas dibuat untuk mengabdi bukan supaya ingkar. Bilamana kita hidup di tengah manusia ingkar berarti kita harus siap terinjak dan bersiap untuk tidak memiliki tempat untuk menjalankan kehendak Allah saat menjalankan kehidupan. Jadi setiap kejadian yang sudah ditentukan oleh Allah harus kita pahami dengan baik.

Bangunan-bangunan didirikan tanpa menghiraukan aliran sungai sehingga tidak memberikan tempat untuk sungai mengalir secara semestinya. Disebabkan kita yang merasa sangat sok tahu, maka ketika air tidak memiliki tempat hingga meluap, air menjadi yang disalahkan. Segala petunjuk dari langit harus kita tata terlebih dahulu kemampuan dari diri kita. Diberi banyak ya diterima tapi bukan berarti harus rakus. Ketika kita percaya Allah pasti memiliki cara untuk mengamankan dan menata segala sesuatu dengan baik, selesai masalah. Tidak perlu kita yang mengatur ini harus begini dan itu harus begitu.

Banjir yang dianggap sebagai sebuah azab di era Nabi Nuh, justru sekarang masih direkonstruksi. Ketika makhluk dunia memiliki “syahwat” yang besar terhadap dunia, dimana penguasaan manusia masih mengalahkan kekuasaan Yang Maha, maka disitulah dia harus ‘mandi junub’ untuk ‘menyiram api’ yang terbumbung meskipun tidak tampak bahkan yang ditampakkan justru bangunan yang baik, penuh ketertataan tetapi kemanusiaan lah yang terbakar disana. Maka simbolis penyiraman perlu dilakukan hingga sebasah-basahnya.

Jangan kita sangka banjir besar hanya terjadi di masa lalu. Sebab hal tersebut bukanlah dongeng, legenda yang bisa terjadi lagi kapanpun. Jaman yang kita jalani sekarang ini ialah jaman jahiliyah menuju cahaya agar mendapat cinta dari Allah. Rumus menjadi pintar ialah bagaimana cara menambahkan cinta, tanpa perlu sekolah, diklat, workshop. Segala cara Allah ialah caranya untuk menampakkan diri kepada kita melalui kebijaksanaan, kearifan, ilmu dlsb yang kita temui sehari-hari.

Menurut pemahaman Mas Agus dibuatlah fase 7 (tujuh) Nabi inti. Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Nabi dan Rasul ini disebut inti untuk mempermudah membaca visual peringatan Allah melalui pada Nabi dan RasulNya. Seperti halya gambar visual maka harus ada keyframe. Yang disebutkan di atas tadi dianggap sebagai keyframe dari awal hingga akhir jaman agar kehidupan manusia tetap terbingkai sesuai dengan kehendak Allah sedangkan Nabi yang lain menjadi inbetweener. Seperti halnya animasi yang memerlukan keyframe untuk gerak utama serta inbetweener yang diletakkan diantara gerak utama. Jadi bukan sedang berbicara siapa Nabi yang penting dan tidak penting, sebab semuanya penting.

Nabi Ibrahim dipilih karena merupakan prototype manusia modern saat ini yang memiliki kapasitas intelektualitas. Kemampuan analis yang luar biasa, keberanian, serta memiliki ketakutan dan kekhawatiran yang mirip manusia pada umumnya. Perintah penyembelihan putra tercintanya melatih kedewasaan dimana kedewasaan seseorang selalu dirasa menjadi milik pribadi tersebut. Kerelaan bahwa intelektualitas harus menjadi sarana untuk mendekat kepada Allah bukan justru menjadi penghalang.

Berhala bisa berwujud popularitas, kecantikan, harta dll. Dengan cara yang intelektual harusnya menjadikan kita mampu memenggal kepala-kepala berhala tersebut. Bahkan memenggal sesuatu yang seolah kita sangat cintai. Keyframe berikutnya ialah Nabi Ismail yang mengerti bahwa Allah lebih dekat dari urat leher maka merelakan urat lehernya sendiri. Sebab urat leher merupakan syarat paling berat karena berkaitan dengan hidup untuk mendekat kepada Allah. Disimbolkan kambing sebab merupakan makhluk yang mau diatur. Namun merelakan urat leher sungguh membuat seseorang memiliki kapasitas sebagai ‘bocah angon’ yang mampu mengatur bukan hanya dirinya namun juga kepada pihak diluar dirinya. Jikapun belum sebesar mengatur kahanan minimal mengatur diri kita sendiri. Sedangkan seseorang yang memiliki keengganan menjalankan kehidupan untuk mendekat kepada Allah, alih-alih justru mempertahankan potensi kambing di dalam dirinya yang siap dikandang, dan diikat oleh tata aturan yang belum tentu membawa aturan dari Tuhan. Nabi Ismail mencontohkan keberaniannya mempersembahkan urat leher kepada Allah SWT, maka serta merta potensi kambing dalam dirinya keluar dan disembelih sata itu. Sekian tahapan hidup yang memiliki tujuan mendekat kepadaNya berguna untuk memunculkan sisi-sisi kemanusiaan dan menyingkirkan sisi-sisi ringkih dan takut kepada hasut sistem kekuasaan dunia. Setiap tetesan dari langit baiknya kita respon dengan rasa syukur yang besar agar mampu menumbuhkan dan menyuburkan apapun.

Allah ialah Cahaya Diatas Cahaya. Berarti meletakkan wajah Allah dengan penuh cahaya. LIGHT. Love, senantiasa mengedepankan rasa cinta. Semakin mencintai sesuatu yang kita benci maka kualitas cinta kita akan meningkat karena tidak ada tuntutan didalamnya. Cinta sudah bekerja dengan caranya sendiri untuk menyambut cinta. Inspiration, memposisikan diri seolah berada dalam wilayah yang memberikan inspirasi seperti halnya matahari. Tanpa berencana memberikan inspirasi namun banyak yang terinspirasi olehnya. Greatness, Allah maha agung (adzim) berarti kita harus merukuk, bukan menjadi tegak. Karena bukan kita yang memiliki keagungan, kita merukuk agar muncul bukan dengan keagungan kita namun keagungan Allah. Highness, a’la. Memposisikan diri dalam posisi bersujud. Bercermin dengan tanah yang rela diinjak namun tetap menumbuhkan. Ketinggian pun hanya milik Allah bukan milik kita. Dimana kita mampu ber”sujud” disitulah kita mendirikan “masjid”. Totality, ukuran totalitas yang kaffah bukan dimata manusia. Bukan total sebagai raja, khalifah namun total sebagai abdi. Bukan mengabdi kepada sistem manusia namun sistem kita hamparkan lebih luas agar lebih menebarkan cahaya seperti Allah yang menebarkan cahaya di semua makhluk.

Suasana makan bersama

Diskusi masih terus berjalan, hingga waktu menunjukkan kisaran pukul 00.30 WIB. Menu khas gunung senantiasa menjadi penutup kegiatan bermajlis di Gugurgunung. Namun sebelum itu doa penutup dipanjatkan oleh Mas Tyo. Lingkaran-lingkaran diskusi kecil masih berlanjut hingga pukul 02.00 pagi. Hingga masing-masing berpamitan untuk kembali menjalani tugas dan peran yang berbeda namun senantiasa berharap mendapat uluran dari langit yang sama. Sekian reportase kali ini semoga bermanfaat.

 

Andhika Hendriyawan

Facebooktwittertumblr
Posted in reportase.