TRESNO WONG TUWO

LETAK PINTU KASIH SAYANG

Malam minggu terakhir pada 27 April 2019 menjadi malam rutinitas untuk Majlis gugurgunung menggelar maiyahan. Bertempat di Aula Madrasah Dinniyah Baburrohman, Jl. Watu lembu, RT. 05, RW. 05 Lemah abang, Bergas, Ungaran, Kab. Semarang. Merupakan tempat yang baru malam itu dipergunakan oleh Majlis gugurgunung untuk melingkar. Meskipun beberapa warga dan pengurus setempat telah memiliki kedekatan paseduluran. Tempat yang baru dan lengkap dengan sambutan hangat dari tuan rumah menjadi momen paseduluran yang nikmat tuk dirasa.

Jam menunjukkan hampir pukul 20.30 WIB, Mas Jion atur salam pambuko serta tak lupa menyampaikan terima kasih pada warga serta pengurus setempat seperti Mas Fajar dan Mas Mif. Semoga usai malam ini dapat membangun kebersamaan untuk menambah eratnya paseduluran.Berikutnya pembacaan doa wasilah oleh Mas Ari dilanjutkan Munajat Maiyah oleh Mas Tyo dan Pak Tri membaca doa.Moderator malam ini yakni Mas Kasno yang akan dibantu oleh Mas Chafid dan Mas Angling.

Mas Kasno membacakan puisi yang berjudul “Rindu Cahaya dan Rembulan”

Tema “Tresno Wong Tuwo” menjadi topik untuk dirembug. Dalam prolognya, Mas Kasno merasa kurang pintar untuk mendefinisikan. Jika semakin didefinisikan maka akan semakin tahu cara mencinta. Salah satunya pada orangtua, dengan banyaknya kalimat cinta yang tak bisa ditulis untuk menjadi kata. Namun dicoba oleh Mas Kasno ditulis menjadi puisi yang ditulisnya kala ia jauh dari orangtua. Sebuah puisi tentang kerinduan mendalam berjudul “Rindu Cahaya dan Rembulan”.

Usai pembacaan puisi oleh Mas Kasno, teringat pula ia dengan tulisan “Tetes” dari Simbah yang diminta untuk dibacakan oleh Mas Chafid.

Mas Chafid membacakan “Tetes” dari Simbah

Sebelum rembugan lebih lanjut, Mas Mif selaku perwakilan tuan rumah diminta untuk menyampaikan sesuatu. Diceritakannya awal mula diputuskan untuk menempati Aula Madrasah Diniyyah Baburrohman ini. Dimana Mas Patmo menceritakan bahwa tempat yang biasa (kediaman Mas Mun) sedang tidak bisa digunakan dikarenakan berbenturan dengan jadwal kegiatan Mas Mun yang tidak mungkin ditinggal. Beberapa alternatif dicari oleh Mas Patmo dan Mas Angling. Alih-alih mencari tempat justru disarankan untuk menempati Aula ini. Fenomena apik saat disampaikan pula oleh Mas Mif bahwa disini tidak ada yang namanya tuan rumah, pun tidak ada yang menjadi tamu. Sebab kesemuanya ialah seduluran.

Mas Agus menambahkan pantikan untuk diskusi dengan tema “Tresno Wong Tuwo”

Kemudian Mas Agus diminta untuk menambahkan pantikan untuk diskusi dengan tema “Tresno Wong Tuwo” ini. Bahwasanya tua disini bisa diterjemahkan secara perilaku bukan hanya sifat jasadiahnya saja. Dulur-dulur Lemah abang mencontohkan perilaku yang tua. Rela berkorban, tidak seperti anak-anak yang warna atau jiwa pengorbanannya belum kentara. Hal ini bisa menjadi uraian tema sehingga kita paham tentang proses untuk menua.

Orang lahir kesemuanya untuk menua. Di Jawa, tuwo berarti nutu howo (menempa /menumbuk hawa nafsu). Meski berusia muda dan masih brangasan tapi sudah ditutu. Seakan dihancurkan namun justru memunculkan kemanfaatan yang lebih luas. Sama halnya dengan gabah, setelah ditutu hingga menjadi beras dan dimasak menjadi nasi maka akan menjadi makanan yang bisa terdistribusi ke berbagai pihak. Disini diam-diam kita membidik informasi manakah yang bisa dijadikan pegangan. Dimana tidak harus tua secara umur tapi mengetahui bagaimana untuk menjadi “tua”. Kita merasa masih kekanakan namun kita rindu untuk menjadi figur tua. Dengan menjadi tua, sesungguhnya makin membuat kita semakin mengenali letak pintu kasih sayang.

 

LETAK ORANGTUA

Diskusi malam ini akan menjadi lebih hidup bila kita disini masing-masing saling menyumbang. Bersama mengisi kegembiraan dengan level yang sama. Tema ini merupakan tema kita bersama, sehingga menjadi kembulan dan santapan bersama.

Mbak Dewi tak ketinggalan dibidik moderator untuk merespon. Mbak Dewi seorang perantau, yang tidak tiap hari merasakan kebersamaan dengan orangtua. Tema malam hari ini membuatnya berat untuk berbicara. Namun bagaimanapun kondisi kita hingga menjadi seperti ini tidak terlepas dari peran orangtua. Orangtua selalu ada untuk kita. Apapun yang kita lakukan tidak membuat orangtua sakit hati. Namun sebagai anak pasti ada momen menjengkelkan bagi orangtua. Namun sebenarnya yang dirasakan hanyalah cinta, cinta dan cinta. Mbak Wulan juga berkisah yang hampir sama. Meskipun ia mengaku seorang “anak mami” yang tak bisa jauh dari ibunda namun ternyata justru keberadaan orangtua semakin tambah terasa dekat saat jauh secara ruang seperti sekarang. Sebenarnya orangtua memang memberi perhatian tanpa henti yang lebih dari siapapun, apa lagi ketika kita sakit. Dimana memang Mbak Wulan saat itu mengaku baru saja sembuh dari sakit.

Mas Kasno sebagai seorang yang berpengalaman pula dalam dunia perantauan memberi tambahan pantikan. Menurutnya bahwa cinta secara naluriah ialah hidangan oleh Allah SWT yang ditanamkan pada masing-masing hati atau jiwa manusia. Jadi ketika bersentuhan dengan momentum-momentum tertentu maka akan muncul kerinduan secara naluriah. Sehingga jarak takkan menjadi halangan sebab masing-masing akan mendekat secara getaran atau frekuensi.Kemudian ada Mas Ari yang menanggapi tentang Tresno Wong Tuwo ini. Didalamnya terdapat 2 (dua) hal yakni ada anak dan juga orangtua. Sebagai seorang anak, asalkan menurut saja dengan orangtua maka akan membuat orangtua bahagia. Itulah yang disebut kesanggupan menjalankan.Salah seorang sesepuh Majlis gugurgunung dalam hal usia yakni Pak Zam sependapat bilamana cinta hadir ketika kita merindu. Semakin rindu dirasa makin pula kita melihat apa itu cinta. Menurutnya, tidak ada kerinduan maka tidak ada yang namanya cinta.

Mas Amri yang syukur bisa hadir malam ini menceritakan sebuah fenomena pengalamannya. Pernah dilihatnya seorang anak kecil membawa tas besar di pinggir jalan. Didekatilah anak tersebut. Disapa dan diajak bercerita. Bahwa si anak tersebut ternyata sedang ada konflik di rumah dan ingin pergi namun membawa lukisan favoritnya yakni lukisan rukun Islam.Mas Angling berikutnya meminta Mas Mif menambahkan sudut pandangnya tentang cinta. Cinta sejak tadi dibahas bekisar seputar kerinduan dan jarak. Cinta biasanya kepada istri dan orangtua. Sementara Mas Mif dengan sang istri hanya beda RT saja. Sedangkan pada orangtua terkadang sebagai anak ingin kita bekerja hingga kaya lalu memberinya pada orangtua. Namun ternyata setelah anak mapan maka orangtua hanya butuh bahagia, bukan melulu tentang harta.

Dari beberapa responden memberi sudut pandang bahwa letak orangtua itu berada dalam kerinduan, dan cinta orangtua terletak pada cinta itu sendiri. Segala hal yang menghubungkan pada cinta maka akan menghubungkan pada orangtua dan segala hal yang berhubungan dengan orangtua akan menghubungkan dengan cinta. Yang menjaga, mengasihi, mendidik, menumbuhkan, berkorban, kepada buah hatinya.

 

ORANGTUA JASAD, JIWA, RUHANI

Mas Agus memberikan tambahan tentang pilahan bahasan dari tresno wong tuwo. Orangtua dibagi menjadi tiga. Yakni:

  1. Jasad. Wujud : yakni kedua orangtua kita
  2. Jiwa : yakni yang menanamkan nilai atau gagasan, pemikiran, ideologi.
  3. Ruhani : yakni yang memanggil untuk mencahaya

Mengacu pada unsur yang ada dalam diri kita juga terdapat akantiga hal tersebut. Body, andMind, Soul. Hal ini akan mempengaruhi segala sepak terjang yang gagasan utamanya mempertimbangkan 3 hal tersebut.

 

ORANGTUA JASAD

Andai ada lowongan pekerjaan untuk menjadi orangtua. Dengan gaji perbulan yang belum pasti jam kerjanya 24 jam sehari tanpa istirahat, memberi kasih banyak hal dan mengorbankan dirinya dalam banyak hal. Maka siapa yang sanggup menerima pekerjaan seperti itu? Itulah kedua orangtua kita. Mereka melakukan itu agar kita hidup bahagia, terlindungi, mendapat kasih sayang, perhatian, disenangkan hatinya, dibiayai pendidikannya, diobatkan saat sakit, dibiarkan kenyang meski mungkin mereka lapar, dibiarkan bergembira meskipun mungkin mereka penuh luka. Mereka tersenyum saat anaknya tersenyum, lupa semua lelah dan jerih payah. Maka berusahalah untuk menjadi anak yang memberi kebahagiaan dengan banyak bakti penuh senyum dan jangan menambah luka dengan perbuatan yang menambah tangis.

Mengawal anak kecil sampai dewasa bukanlah pekerjaan mudah. Sementaraorangtua mengambil pekerjaan tidka mudah itu kita. Secara pekerjaan seharusnya bukan pekerjaan yang menarik. Terutama pekerjaan sebagai ibu yang mengandung, melahirkan dan menyusui. Mengapa orangtuakita mau melakukan itu untuk kita? Karena pekerjaan tersebut dilandasi atas dasar keterdorongan bukan ketertarikan. Jika kita tertarik pada suatu profesi maka kita harus mendapat menuntut balasan yang setimpal. Berbeda dengan terdorong. Seorang ibu yang menyusui bayinya meskipun badan letih dan mengantuk tetap mau melakukan karena dilandasi dorongan sikap welas asih yang begitu besar kepada anaknya.

 

KISAH NABI YAQUB DAN NABI YUSUF

Dalam hidup sekarang secara mayor pasti ada ruang-ruang tertentu dimana orang melakukan sesuatu didasari pada ketertarikan bukan keterdorongan. Maka banyaknya yang didapat ialah kecewa. Hingga menyebabkan terdistruksinya cinta dan akhirnya menua. Hal ini harus ditengarai pada bentuk perjuangan dan pengorbanan. Menilik kisah Nabi Yaqub as dengan banyaknya putra yang dimilikinya. Pertama saat Nabi Yusuf kecil dibawa kakaknya untuk berburu padahal sebenarnya akan dibuang ke dalam sebuah sumur. Didramatisasi dengan baju yang robek dan darah kelinci yang seakan diserang binatang buas. Semua anak kompak mengatakan hal yang sama. Namun si anak-anak lupa menghitung bahwa ayahanda mereka bukan sekedar seorang bapak yang mungkin mudah dikelabui dengan informasi yang seolah meyakinkan. Sebagai bapak yang juga seorang nabi Yaqub pastinya memiliki nubuwah yang informasinya lebih hakiki. Maka nabi Yaqub tidak langsung percaya begitu saja bahwa hal buruk tersebut menimpa anaknya.Jasad hanya memiliki fungsi mereplika beberapa hal yang diciptakan oleh Allah. Mata akan menjumpai fenomena warna, bentuk, dll agar mendapat ilmu/pandangan(kaweruhan). Di titik tertentu kaweruhan akan masuk ke ruhani maka jasad tidak kuat menampung. Seperti halnya ketika Nabi Musa as ‘bertapa’ di Gunung Tursina. Ketika Nabi Musa as ingin berjumpa dengan Tuhan. Maka jasad tidak kuat menerimanya, gunung meluruh dan nabi Musa pingsan.

Sama halnya dengan fenomena Nabi Yaqub as. Nabi Yusuf dipantaunya dengan visi kaweruhan (pandangan) bukan sekedar paningal (penglihatan). Maka jasad tidak kuat menerimanya. Maka netra jasad nabi Yaqubtak cukup sanggup menampung, yang terjadi ialah kebutaan sementara.Nabi Yusuf as sudah diberitahu bahwa akan menjadi seorang Nabi. Dimana kemudian hari Nabi Yusuf digoda dengan Zulaichah. Saat itu level Nabi Yusuf hanyalah abdi dalem istana. Tapi rayuannya Zulaichah sangat maut. Hingga Zulaichah “golek kencono” (badan tak berbusana). Yusuf mulai tidak tahan. Akhirnya malaikat Jibril diutus untuk melarang Nabi Yusuf as. Dari dicabut kenabiannya hingga dijadikan musuh Allah SWT tak menggoyahkan Nabi Yusuf yang kala itu hampir terjerumus. Lalu muncullah sepintas sosok Nabi Yaqub as. Seakan luruh, runtuh semua. Kemudian ia siap dengan segala risiko apapun di dunia. Berbalik arah dan lari meninggalkan Zulaichah yang sempat menggapai bagian belakangnya hingga sobek. Nabi Yusuf benar-benar tak bisa menahan kerinduan kepada ayahanda yang dicintainya, sehingga saat itu cinta apapun apalagi hanya dari seorang perempuan menjadi sangat kecil dan tak lagi menarik hati apalagi mendorongnya untuk menggapai. Namun sebenarnya itulah yang menjadi titik tolak. Nabi Yusuf as sebagai seorang abdi dalem pun dipenjarakan sekian kurun dan kemudian hari dibebaskan berkat kemampuannya dalam hal ta’wil dan diangkat menjadi sosok yang berperan untuk Negeri Mesir. Mulai penasihat hingga menjadi kepala logistik. Dengan menjadi kepala logistik akhirnya dapat mempertemukannya dengan saudara-saudara dan juga sang ayahanda. Monentum pertemuan itu yang akhirnya membuat Nabi Yaqub as kembali bisa melihat.

 

ILMU DAN HIMAH

Dari kisah tersebut, maka proses cinta jangan sampai memutus kaweruh. Kita harus punya pengetahuan agar nalar kita tidak mudah ditundukkan oleh gelora cinta yang tidak hakiki. Jika terjadi maka kita hanya akan menjadi budak kesenangan. Dengan mempertaruhkan sesuatu yang sangat mulia. Pertaruhan tidak akan terjadi jika kita memakai kawruh. Ilmu, alim. Ada fadhilah yang dimiliki setiap orang. Maka Allah SWT akan memberi label ulama kepada seseorang ketika fadilah pada diri orang tersebut menjadi ilmu, dan ilmu tersebut bermanfaat untuk orang lain. Jika ilmu hanya bermanfaat untuk diri sendiri, sama dengan menunggangi fadilah dengan kepentingan tanpa kawruh. Kawruh yang ditangkap hanya ‘alimul, sedangkan kelanjutan pengetahuan adalah kebijaksanaan. jadi selain ‘alimul itu juga harus hakiim. Jaman jahiliyah sudah banyak ahli. Artinya secara pengetahuan, orang-orang sudah berpengetahuan. Tapi tidak menghikmahi atau membijaksanai ilmu untuk kepentingan bersama. Ilmu hanya digunakan untuk diri sendiri.

Nabi Muhammad SAW ditolak bukan karena nilai agama dan kandungannya. Yang ditolak ialah segala kerugiannya secara materi. Wanita jaman dulu bisa dijual. Jika Islam diterima maka akan mengorbankan banyak hal yang sudah menjadi zona nyaman. Abu Jahal pun juga bersaksi bahwa Muhammad merupakan seorang baik nan jujur. Namun tidak mau memelukIslam karena dia tak lagi bisa bebas berdagang dan berbisnis apa saja, omset dan pundi dinar dirhamnya terancam bangkrut jika ia memeluk Islam. Sebuah harga yang terlalu besar menurut pandangan abu jahal.

Sedangkan kita sekarang punya syahadat yang sama dengan syahadatnya para Sahabat Nabi, namun dalam hal perilaku malah mirip abu jahal yang jelas-jelas menolak Islam. Misalnya kita dianjurkan untuk saling menolong danmencintai, malah saling menuding, membenci, menebar kebencian, dan mencederai. Kita dianjurkan untuk mengasihi anak yatim, malah mengasihi harta benda dan takut sekali kehilangannya. Kita dianjurkan untuk menebarkan salam dan membawa kabar gembira, tapi malah menebarkan promo dan kabar produk-produk dagangan terbaru. Beberapa hal di atas itu masih wajar dan bahkan normal dalam kondisi jaman seperti sekarang. Namun sangat perlu berhati-hati agar sikap yang kita awali dengan menentukan prioritas, tidak menempatkan kita menjadi salah prioritas, dan alih-alih menjadi hipokrit. Ini yang perlu sekali diwaspadai. Menjadi hipokrit, munafik sebenarnya lebih berbahaya. Karena musuh bukan namun ternyata juga bukan teman. Ini adalah cara untuk mengingatkan diri sendiri agar tidak menjadi seperti itu.

 

ORANGTUA JIWA

Orangtua bukan secara jasadnya namun kepada pengetahuan, ide, gagasan. Pernah ada cerita tentang chef handal yang hendak ditarik ke Eropa. Suatu ketika ia ingin pulang kampung menjumpai orangtuanya di desa yang cukup terpencil. Ketika lewat rumahnya banyak yang ternyata hidupnya belum beres. Terutama masalah makannya yang kurang baik. Chef yang ahli menghitung segala hal tentang nutrisi, bahan hingga estetikanya ini menjadi tergerus hatinya. Titik tolaknya ketika melihat ada orangtua yang makan sepertinya sangat nikmat sekali. Padahal yang dimakan ialah tinjanya sendiri. Akhirnya dirumah chef tersebut menangis dan bercerita kepada ibunya untuk tidak jadi berangkat ke Eropa dan justru ingin memasak untuk warga kampungnya sendiri. Langkah besar untuk berjiwa indah dengan adegan ketidak-indahan.

Di lain kisah Mbah Nun pernah bercerita. Semasa kecilnya angon wedus (menggembala kambing). Beliau takjub dengan kambing ketika meminum air sungai di siang yang panas. Melihat hal demikian dirasanya indah sekali. Mengajarkan tentang rasa syukur, harmoni dll. Itulah pelajaran hidup. Dari itu Mbah Nun menyampaikan bahwa tidak berani hidup neko-neko. Seperti yang bisa dilihat sekarang, Mbah Nun hingga usianya yang sepuh tak neko-neko. Bisa jadi fenomena adegan tadi adalah pemantik suatu langkah besar Mbah Nun untuk memilih berjiwa indah dengan dipicu adegan yang indah.

Mas Agus mendengar kisah tersebut semasa masih di Kadipiro. Dimana memang Mas Agus cukup lama berada disana. Awal mulanya Mas Agus hanya mengenal Mbah Nun dari tulisan-tulisan beliau. Dengan agak sombong Mas Agus masih menjaga jarak dan beranggapan Jangan-jangan nanti kecewa ketika terlalu cinta. Karena memang sebelumnya Mas Agus sudah mencintai tulisan-tulisan Mbah Nun. Jika sekedar tulisan yang baik mudah untuk dibuat, namun perilakunya belum tentu baik pula. Namun setelah lebih mengenal keseharian Mbah Nun, ternyata yang tertulis hanyalah sedikit dari yang dilakukan. Jika tulisan Mbah Nun itu baik maka yang dilakukan Mbah Nun berlipat-lipat jauh lebih baik lagi. Barulah demikian Mas Agus merasa bahwa inilah wong tuwoku.

Pernah pula Mas Agus diminta untuk menemani salah seorang sesepuh lain. Tetapi bagi Mas Agus tidak masuk dalam kategori orangtua. Mbah Nun mengajarkan otentisitas dan kedaulatan diri. Maka penolakan tidak apa-apa, asalkan alasan harus kuat dan bukan hanya sekedar tidak mau saja.Memahami hidup dengan berdaulat pada hal yang menjadi proses kita dalam menjalani kehidupan. Apakah pengetahuannya juga terimplementasi dalam diri kita sehingga menjadi produk perilaku atau hanya sekedar jasadiahnya saja sehingga menjadi tiru-tiru.

 

ORANGTUA RUHANI

Untuk ruhani ini tidak diwedar secara direct oleh Mas Agus meskipun dari beberapa penyampaian Mas Agus sebelumnya sudah terdeliverisecara tidak langsung.

Kemudian Pak Narto salah seorang Pengurus Madrasah juga diminta untuk merespon mengenai tema. Banyak hal yang diulasnya tentang cinta. Salah satunya bahwa cinta orangtua ke anak sakklopo (sebutir kelapa), cinta anak ke orangtuasak upo(sebutir nasi). Selain itu juga, umum diketahui istilah anak durhaka. Namun apakah ada orangtua durhaka?

Mas Shohib menambahkan respon agar kita memahami membedakan mana cinta dan syahwat.Mas Azzam, salah seorang dulur yang sudah lama ingin ikut melingkar di Majlis gugurgunung juga diminta untuk menambahkan respon di majlis yang akhirnya berhasil ia bersamai di malam itu. Al Jannatu Tahta Aqdamil Ummahat ialah Surga di telapak kaki ibu. Menurut Mas Azzam ada 2 (dua) hal sakral di kehidupan yaitu saat ijab kabul dan membasuh telapak kaki orangtua. Kita bukan apa-apa tanpa mereka. Kita bukan menjadi kita kalau bukan perantara orangtua. Jika diminta menggambarkan tentang prosesi mencuci kaki ibu, ibarat menangis hingga tidak bersuara. Mencuci kaki dengan membaca syahadat, istighfar, sholawat, al fatihah lalu membasuh muka. Rasanya seperti rontok badan. Jika orang dalam kondisi nol.Mas Satrio, baru ikut melingkar pula malam ini. Iatermasuk baru di Ungaran, yakni kisaran tigatahun. Terkait tema, Mas Satrio mengungkap bahwa ketika sudah menjadi orangtua maka akan merasakan cintanya orangtua pada anak. Terutama ketika anak sedang sakit.

Kemudian Mas Ihda juga menambahkan, ketika Hamka mau meninggal. Dengan menjalani awal hidup yang penuh ketegangan. Dan ketika menjelang akhir hidupnya, ia menulis perumpamaan tua dan muda. Jika tua yang di depan bakal diam tak bergerak, sebab penuh ketakutan. Jika di depan yang muda, akan berjalan terus dan akhirnya menabrak karena penuh harapan. Solusi ketiga yakni yang tua ikut membersamai yang muda.

Mas Agus merespon Pak Narto. Apakah ada orangtua yang durhaka (duroko atau durhoko)? Tentang orangtua yang durhaka alias bertindak jauh diluar kategori orangtua bisa dicari banyak contoh kasusnya di media. Bahwa kata Duro disematkan pada orang yang mengabaikanperan dan merusak. Menurut Mas Agus bisa jadi ada orangtua yang durhaka, jika melihat adanya orangtua yan mengabaikan perannya dan merusak masa depan anak. Bahwa orangtua semacam ini kelak akan dihukum karena tindakannya atau malah bebas hukum di hadapan TuhanWallahua’lam.Tapi dalam kacamata hukum manusia tindakan orangtua menelantarkan anaknya tidak dibenarkan. Berkaitan hukum Tuhan adalah begini ; jika dihukum karena sengaja bertindak merusak dan mengabaikan, dan tidak dihukum karena digolongkan sebagai gangguan jiwa yang mengalami ketidakpresisian dalam berperan sebagai orangtua yang diakibatkan oleh kapasitas pengetahuannya yang sangat rendah. Sebab tidak semua orangtua menampung kebijaksanaan, ada yang benar-benar punya anak dengan dilatarbelakangi pandangan dan cita-cita berkeluarga yang baik sehingga siap bersikap bijaksana, ada yang memiliki anak karena suatu imbas yang belum siap disangga sehingga tak punya persiapan kebijaksanaan, ada orangtua yang hanya sekedar lebih tua usianya namun tidak secara mental, tampaknya yang terakhir tidak banyak di negara Indonesia, namun mungkin bisa menjadi angka yang cukup besar di beberapa negara lain yang menerapkan ciri egaliter dalam hirarki pergaulan sosialnya.

Bagai cahaya. Seperti matahari kita nikmati cahayanya namun kita abaikan keberadaannya. Sesuatu yang sangat bermanfaat dan biasanya tidak dihitung ucapan terima kasihnya. Inilah cinta yang tua. Cinta yang tidak lagi menuntut.Sebodoh-bodohnya orangtua (dengan ukuran pendidikan akademis) pasti masih jauh memiliki pengalaman hidup dibanding anaknya. Maka orangtua lebih mengerti cara menyayangi dan mencintai kepada anaknya dan anak masih dalam tataran belajar menyayangi dan mencintai dari orangtuanya. Maka layak disebut cinta orangtua sepanjang jalan. Ya, sebab mereka mengiring dari lahir sampai mengawal seluruh perjalanan kita dengan cinta yang tanpa henti.

Kuroba (kurban). Sebagai bentuk akrab dan ucapan cinta pada Allah SWT. Nabi Ismail dengan pengorbanannya mencontohkan secara real bahwa Allah lebih dekat dari urat nadinya sendiri. Hal ini merujuk pada Mas Azzam. Di satu sisi sebagai anak memang meletakkan hormat pada orangtua, karena disitulah letak ridho. Seorang ibu toh nyowo(bertaruh nyawa) berkorban untuk melahirkan kita di dunia. Pengorbanan setingkat nyawa. Seperti pengorbanannya Nabi Ismail, maka betapa dekatnya Allah kepada ibunda kita. Merujuk ke pertanyaan Mas Sohib, untuk membedakan cinta dan syahwat adalah pada tingkat pengorbanan dan pamrihnya.

Tentang kisah Maling Kundang. Bagaimana jika kisah Malin Kundang hanyalah perumpamaan. Yang menjadi batu, bukanlah tubuhnya tapi hatinya yang sekeras batu. Ketika hati sekeras batu dia akan lebih keras dan menjadi semakin keras.Andai orangtua memakai metode ing ngarsa sung tulodho, sehingga dapat menumbuhkan pikiran-pikiran. Lalu ing madya mangun karso, yakni membangun kehendak hingga sudah bisa berjalan sendiri. Maka tinggal tut wuri handayani yang mengikuti dari belakang namun memiliki kedigdayaan. Seperti tanah yang menumbuhkan rela diinjak namun tetap konsisten menumbuhkan dan membuahkan. Seperti udara bisa dihirup tanpa memilih siapa yang akan menghirupnya. Menyelusup dan menyapa kembang salak yang tersembunyi untuk membuah. Seperti air yang selalu akrab dengan kekeruhan padahal ia adalah lahir sebagai kejernihan.

Hampir memasuki jam 00.00 WIB. Seperti biasanya, majlisan ditutup terlebih dahulu meskipun kemudian berlanjut dengan lingkaran-lingkaran diskusi kecil. Mas Kasno menutup malam hari ini dengan meminta mas Sohib memimpin do’a. Sebagai moderator tak seperti biasa kali ini ia tidak mampu untuk menyimpulkan. Menurut Mas Kasno sebab semua yang hadir mungkin punya kesimpulan yang berbeda-beda yang tak ingin dirusak dengan kesimpulan yang dibuatnya. Sebagai ganti kesimpulan Mas Kasno menyampaikan kalimat penutup, “biarlah semua materi malam ini menjadi material untuk membangun tresno pada siapa saja, terutama orangtua kita. Dengan harapan gusti Allah ridho dan cinta pada kita”.

Sekian reportase edisi bulan April 2019, semoga bermanfaat.

 

Andhika H

Facebooktwitteryoutubetumblrinstagram
Posted in reportase.