Sholawat Munajat Maulid Nabi Muhammad SAW

Malam minggu terakhir pada bulan November jatuh pada tanggal 24 November 2018. Rutinitas bagi Majlis Gugurgunung untuk nggelar kloso, duduk melingkar serta berdiskusi. Namun sedikit berbeda pada edisi bulan ini, yakni khusus untuk bermunajat serta bersholawat. Dimana bertepatan juga dengan bulan kelahiran Nabi besar junjungan kita, Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam.

Hampir pukul 21.00 WIB, kegiatan dimulai dengan do’a wasilah dan tembang Gugur gunung oleh Mas Ari, dilanjutkan dengan munajat Maiyah, serta bersholawat oleh Mas Tyo juga Mas Jion.

Pembacaan sholawat yang di pimpin oleh Mas Tyo

Tiada tema yang dikhususkan untuk dibahas pada malam itu, segala pembahasan mengalir dengan sendirinya. Dimaksudkan pula supaya dapat diakhiri lebih awal sebab keesokan paginya, Majlis Gugurgunung berencana untuk menghadiri kegiatan dari Majlis Alternatif, khususnya Kampus Sawah dengan kegiatan bertajuk Makan Bareng Kanjeng Nabi.

Sedikit yang menjadi pembahasan pada malam itu ialah tentang, tancep kayon. Dimana tancep kayon merupakan sebuah tradisi akhir tahun bagi Majlis Gugurgunung untuk berhenti, kemudian mengevaluasi apakah masih perlu dilanjutkan atau tidak. Memang Majlis Gugurgunung tidak dipaksakan untuk terus ada, sebab lebih baik tahu kapan untuk berhenti daripada kapan harus menambah. Diharapkan berhenti atau mengulangi kegiatan tersebut karena fitroh hajat kehidupan.

Seperti halnya lapar dan haus, kita makan dan minum bukan karena kita ingin terus makan dan minum. Tetapi karena rahmat Allah, kita ditakdirkan memiliki fitroh untuk lapar dan haus. Majlis Gugurgunung senantiasa bertahan agar Majlisan ini semoga tetap dirahmati oleh Allah, dengan tetap memiliki alasan untuk makan karena lapar atau minum karena haus. Pada tahun ini, akan disudahi dengan laku Kasantikan yang sudah dimulai sejak bulan Januari lalu.

Sedikit hal yang bisa kita gali dari kasantikan. Hakikat dari pertemuan dengan setiap hal baik lembut ataupun kasar ialah kerinduan kita pada perjumpaan dengan Allah, bukan menjumpai diri kita sendiri yang mungkin memang sedikit ada cipratan dari Allah. Maka Allah pun berkata bahwa, kemanapun kita menghadap adalah wajah Allah.

Kecenderungan kita akan lebih mendekat pada hal-hal yang kita anggap sehat, gebyar, higienis, dlsb. Beberapa hal justru terkadang tidak kita pilih untuk berjumpa. Seperti pada hadist qudsi bahwa seolah-olah Allah mengeluh kelaparan, kehausan. Padahal terkadang hal tersebut justru akan mempertemukan dengan Allah.

Tetapi tidak patut kita paksakan pula mengejar untuk mengetahui wujud jasadnya Allah, cukup dengan merasakan keagungan, kebesaran serta ketinggian Allah ketika kita menjumpai kehidupan.

Tahun kasantikan berarti menuntut kita untuk mempercantik diri (santika), bukan hanya untuk wanita namun juga kepada pria. Santika, dipecah menjadi dua, pertama “sakti” dan yang kedua ialah “cantik”.

Clue yang tersedia bahwa sakti ialah orang yang tidak memiliki musuh. Sebab setiap hal yang kita jumpai adalah refleksi dari hal yang kita lakukan. Jika kita sedang mempercantik diri maka akan dipertemukan pula dengan kecantikan.

Contohlah bayi yang belum bisa melakukan apa-apa. Namun siapa sosok yang tidak memperlakukan bayi dengan cantik ?. Kecenderungan umum, tidak ada yang sampai marah kepada bayi yang menangis. Bahkan hingga tahu maksud dari si bayi, apakah lapar, haus, sakit dll.

Karena bayi disebut masih fitroh, berarti rumus untuk mencapai kasantikan ialah dengan tidak menjauhkan fitroh dari diri kita. Bahkan di dalam Islam pun setahun sekali diajarkan untuk kembali pada fitroh. Bahkan sebulan, seminggu, sehari sekalipun bisa. Setahun sekali dengan idul fitri, bulanan misalkan dengan maiyahan atau majlisan apapun yang dapat menjadi sarana untuk mendekat kepada Allah. Mingguan misalkan jum’atan yang kontributif dan konstruktif bukan hanya mengunduh pahala saja sebab pahala yang diperoleh sangat besar. Dalam hari jum’at dimaksudkan untuk bertemu, berkumpul, mereview beberapa hal untuk ditata di hari sabtu dan dimulai lagi di hari ahad. Harian dengan sholat lima waktu. Senantiasa setiap waktu menegakkan level kemanusiaan senantiasa yang Allah harapkan, yakni sebagai abdi dan khalifah. Bukan malah memburu waktu. Jangan sampai tenggelam di kedangkalan, jangan sampai terjerembab di kerendahan. Yang lebih singkat jaraknya lagi ialah, setiap bernafas, berkedip, berdetaknya jantung kembali kepada fitroh. Setiap hal yang kita lakukan senantiasa menyampaikan atau melakukan kebaikan, insya allah setiap nafas yang kita hirup, tiap jantung berdetak turut menjaga fitroh kita sebagai manusia.

Kehangatan Majlis Gugurgunung

Bukan hanya menjadi cantik namun gemilang, juga berpendar yang harus tidak kita miliki. Karena semua itu harus kita abdikan kepada Allah, karena semua itu adalah miliknya.

Maksud dari kasantikan ialah mau untuk “dandan”. Tidak harus dandan menggunakan bedak dll, namun melihat kursi rusak lalu ingin memperbaiki itu juga merupakan dandan. Dandan itu tidak dipaksa harus ideal, ketika tidak mampu melakukan dengan perbuatan maka dengan perkataan. Tidak sanggup berkata, jika diam saja untuk tidak menambah masalah juga disebut dandan.

Sesi pertanyaan diawali dari Mas Tyo yang menpertanyakan tentang sensitivitas apakah fitroh atau pengaruh dari lingkungan? Dianalogikan sebagai tiap-tiap bagian dari pohon, dan masalah ialah api. Pasti daun akan memiliki sensitifitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ranting, dahan apalagi batang. Andaikan bagian-bagian dari pohon tersebut merupakan rangkaian dari masing-masing manusia yang sedang menjalankan fungsinya. Orang yang sensitif pasti memiliki kecenderungan yang berbeda dengan orang yang easy going. Salah satunya ialah mengurai sebuah hal yang rumit serta membutuhlam waktu yang lama, sensitif menjadi tidak produktif ketika disebut baperan. Padahal perasaan itu memang umum untuk selalu digunakan, namun istilah baperan seakan mengkotak-kotakkan yang seolah menuding kualitas mental seseorang. Semakin seorang sensitif maka dia akan semakin mampu menyentuh wilayah-wilayah titah. Tukang bangunan dan seniman, mungkin terlihat lebih berkelas seniman. Namun belum tentu seniman juga bisa menggarap pekerjaan-pekerjaan tukang, demikian juga sebaliknya. Sebab sensitifitas yang dimiliki masing-masing berbeda.

Melihat benda-benda peninggalan leluhur meskipun hanya terbuat dari batu namun mampu untuk diukir. Sangat berbeda dengan era saat ini, proses pembangunan diambil jalan yang paling instan, praktis. Semakin banyak pihak yang kita singkirkan karena tidak kita anggap penting, maka kita akan menjadi peradaban yang tidak penting juga.

Menjadi bangsa yang sensitif lebih baik dibanding bangsa yang baperan dalam idiom populer. Contoh kasus baper dalam idiom populer ialah marah ketika calon pemimpinnya diolok-olok. Sedangkan jika membawa perasaan di dalam setiap lini kehidupan maka tidak masalah.

Kita coba memetakan idiom-idiom yang disampaikan dalam struktur komunikasi horizontal kepada manusia dan juga vertikal atau yang bersifat ketauhidan.

 

Leluhur

Kita hidup menggunakan warisan dari leluhur. Padahal 200 tahun lagi kita akan menjadi leluhur juga, lalu apakah yang akan kita wariskan?

Yang harus kita pahami ialah, seseorang yang kita sebut leluhur, ialah orang yang selama hidupnya menjalankan titah-titah keluhuran. Bukan hanya karena sudah meninggal maka disebut leluhur. Perlu dibedakan antara leluhur dengan lelembut, telanjang atau polos, pasrah atau kalah.

Indikasi disebut leluhur ialah bukan karena menyebut dirinya sendiri luhur namun rumusnya ialah karena pandai bersujud. Maka ketika bersujud, yang kita sebut ialah keluhurannya Allah. Peradaban yang dibangun oleh leluhur kita, dalam ranah yang sedang menghamparkan segala wilayah untuk menjadi tempat bersujud atau masjid. Hakikat dari sebuah masjid ialah, tempat untuk bersujud. Dimanapun kita mampu bersujud kepada Allah, maka hakikatnya kita mendirikan masjid disana. Dengan kesadaran penuh bahwa setiap ada keluhuran yang menempel pada diri kita, maka senantiasa kita sadar bahwa keluhuran tersebut berasal dari Allah.

Seperti halnya jika ada kasih sayang yang kita lakukan maka, Allah yang maha rahman rahim meridhoi kita, bukan karena kita memproduksinya.

Guliran diskusi edisi spesial ini tidak sampai larut. Sebab masih ada pembahasan lain serta pagi harinya ada agenda bagi Majlis Gugurgunung untuk ngombyongi kegiatan Majlis Alternatif di Jepara yang bertajuk Makan Bareng Kanjeng Nabi. Sekian reportase kali ini. Semoga bermanfaat.

 

Andhika Hendriyawan

Road to “Makan Bareng Kanjeng Nabi”

“Rumah Bahagia”

 

Dulur-dulur Jepara menamainya “Rumah Bahagia”, dan aku setuju. Begini …..

Induk semang Rumah Bahagia tersebut adalah Mas Kafi dan Mbak Diyah, pasutri yang bertubuh makmur, dan mempunyai satu titik artistik yang sama yaitu lesung pipi. Pribadi yang ramah, supel, berinteraksi dengan berbagai kalangan, profesi, usia, dll. Belakangan saya tahu bahwa Beliau ternyata pernah diamanahi oleh masyarakat sebagai Petinggi. Layak, ” gumamku”.

Pertama kali saya berkunjung ke sana, ketika nderekke Mas Agus beserta Keluwarga Gugurgunung, selepas dari ngombyongi simpul Maiyah Semak – Kudus. Saya menangkap sebuah organisasi ruang yang menarik dari Rumah Bahagia tersebut. Begini ….

Ruang tamu yang terbuka, terletak di teras belakang rumah, bersebelahan dengan kamar tidur yang ventilasinya berupa jendela kaca naco yang selalu terbuka, yang ternyata sengaja difungsikan untuk display mainan anak anak. Juga berhadapan dengan dapur, dan sejarak 5 meteran adalah kamar mandi. Tamu benar benar berasa bagai bagian dari anggota keluwarga rumah tersebut.

Rumah Bahagia

Pada sisi dinding yg batanya terekspose, juga terpampang kalender, yang bersebelahan dengan white board bertuliskan Jadwal kegiatan yang cukup padat. Luar biasa, ruangan terbuka yang bisa dibilang tidak luas tersebut, ternyata melahirkan rentetan kegiatan yang luas, “gumamku lagi”

White Board yang berisikan agenda Majlis Alternatif, Jepara

Berada dalam rumah tersebut, tidak bisa menghindar dari yang namanya diskusi. Banyak ide dan gagasan yang lahir, dan banyak ide dan gagasan yang terealisasi. Majlis Alternatif, Kampus Sawah, Hati Petani, Tabur Benih Ikan, Silaturrahim antar Simpul, adalah beberapa diantaranya yang berjalan secara Istiqomah. Lebih menakjubkan lagi, karena hampir semua kegiatan terschedule, terdokumentasikan, terevaluasi, dan terangkum menjadi literasi yang terkumpul sebagai khasanah pustaka yang kelak bisa menjadi referensi sinau generasi selanjutnya. Mas Agus menjadi salah satu asbab Ketersambungan  kaluwargo gugurgunung lewat benih katresnan yang ditanamnya sejak kurang lebih sewindu yang lalu.

Agustus 2018, keluwarga gugurgunung menemani dulur dulur Jepara di Rumah Bahagia berdiskusi tentang gegayuhan akan digelarnya sebuah acara sakral di bulan Maulud, acara yang dipandegani oleh Majlis Alternatif, Kampus Sawah, Hati Petani tersebut diberi judul “Makan bareng Kanjeng Nabi”.

Makan bareng Kanjeng Nabi ???? ” gumamku, kali ini sungguh sambil bergetar”.

Antusias terhadap acara tersebut sangat terasa, terbukti dari banyaknya peserta yang hadir dengan ide dan gagasannya. Namun ada pula yang datang untuk melepas rindu dengan Mas Agus.

suasana kehangatan ketika berdiskusi

Diskusi menggelinding sedemikian rupa, masing masing saling melempar gagasan, lalu masing masing saling menunjuk diri untuk menyampaikan kesanggupan. aku siyap nanam Jahe, aku tak nanam lomboknya, aku terongnya, aku sanggup kacang tanah, telo biar saya yang nanam, dst …. begitu kurang lebih mereka saling bersahutan. Ringkasnya, ini adalah acara Makan bareng Kanjeng Nabi. Masing masing ingin mempersembahkan yang terbaik untuk acara tersebut. sesuatu yang dihidangkan sebisa mungkin adalah hasil dari menanamnya sendiri.

Kesanggupan kesanggupan tersebut kemudian dicatat, dirangkum, dilaksanakan, diamati bersama progressnya, disinauni fenomena fenomenanya, dst dst. Bentuk diskusi yang mengharukan. Mas Agus pamit udut ke luar, (mungkin karena haru). Lalu giliran saya untuk dipersilahkan berbicara, namun gagal. Karena yang tumpah justru air mata. Entah ….

 

Kasno

NYUWUN JAWAH

Malam minggu terakhir pada bulan Oktober jatuh pada tanggal 27 Oktober 2018, juga menjadi malam perhelatan Majlis Gugurgunung untuk melingkar serta berdiskusi, bertempat di kediaman Mas Mundari, Ngempon, Ungaran, Kab. Semarang. Doa Wasilah oleh Mas Tyo serta Munajat Maiyah oleh Mas Jion mengawali lingkaran diskusi malam ini dengan tema yang dirembug ialah “Nyuwun Jawah”. Mbak Dewi yang baru kali pertama ikut melingkar ditunjuk sebagai moderator, sementara Mas Dian yang biasa memoderasi sedang dalam perjalanan menuju lokasi.

Mbak Dewi membacakan Mukadimah “Nyuwun Jawah”

Mbak Dewi yang notabene baru kali ini ikut melingkar di Majlis Gugurgunung mengawali dengan menceritakan pengalamannya bermaiyah. Dimana sudah beberapa kali ikut diskusi maiyahan di Suluk Surakartan serta Mocopat Syafaat (MS). Beberapa pengalamannya di MS yang paling teringat ialah betapa pentingnya menjalin silaturahim. Mbak Dewi dari Ungaran yang kerap menuju lokasi MS dengan waktu usai kisaran pukul 02.00 hingga 03.00 pagi dijalani dengan tidur di musholla, ataupun pom bensin. Setelah menjalin silaturahim dengan beberapa kawan disana, Mbak Dewi justru memperoleh bonus berupa makan, serta tempat untuk menginap. “Asalkan ada niat untuk kebaikan, seperti halnya mengaji, pasti ada jalan” begitu ungkapnya.

Tak lama berselang Mas Dian yang biasa menggawangi peran moderator pun tiba. Permintaan maaf dihaturkan pada dulur-dulur yang sudah hadir atas keterlambatannya. Langsung merespon tentang tema, dimana salah satu dhawuh pada beberapa waktu lalu ialah mengangkat tema dari kontent buku yang ditulis oleh Marja’ Maiyah yakni Syekh Muhammad Nursamad Kamba dengan judul buku “Kids Jaman Now”. Kemudian dari Tim Dapur Tema memilih salah satu sub bab untuk dikupas pada bulan Oktober ini. Sub Bab yang diangkat ialah tentang “Mengajarkan Kearifan dan Kebijaksanaan” yang kemudian dikemas dalam tema “Nyuwun Jawah” dimana mukadimmahnya telah dibacakan oleh Mbak Dewi.

Mas Dian menghaturkan permintaan maaf pada dulur-dulur yang sudah hadir atas keterlambatannya, dan langsung merespon tentang tema

Mas Dian meminta pada beberapa dulur yang baru pertama kali melingkar untuk memperkenalkan diri. Pertama ialah Mas Anton yang juga merespon tema dimana masa iklim atau cuaca akhir-akhir ini belum bersahabat. Dimana hujan menurutnya ialah pitulungan (pertolongan) Allah untuk semesta. Kemudian ada Mas Febri yang biasanya ikut kegiatan sinau bareng dan baru pertama mengikuti maiyahan sehingga belum bisa ikut merespon tentang tema. Berikutnya ada Mas Surya yang merespon tema. Dimana hujan bisa dipandang sebagai hal yang ditakuti namun bisa juga dianggap sebagai hal yang ditunggu-tunggu.

Kemudian tiba giliran Mas Agus menyampaikan beberapa hal. Seperti yang sudah biasa berjalan dalam lingkaran diskusi Majlis Gugurgunung dimana pembahasan tidak terkotakkan dalam sebuah tema sebab setiap guliran yang ada akan memunculkan gelembung-gelembung topik pembahasan yang semakin luas.

Pemaparan Mas Agus terkait tema malam ini

Nyuwun Jawah meletakkan kita menjadi tanah kerontang yang rumput pun tidak mau tumbuh apalagi pohon yang besar, yang tidak mampu menyuburkan benih namun justru bisa mematikan benih. Dengan kondisi kerontang menjadikan kita merasa ada sesuatu yang kurang basah serta mudah terbakar. Kita mencoba mengamati setiap fenomena yang kerap hadir di sekitar. Dimana seorang dengan orang yang lain sering mudah terbakar atau justru saling membakar. Terminologi ini sebenarnya sudah lazim, sebab ada masa setiap manusia untuk basah serta kering. Permasalahannya, ketika berada dalam kondisi kering akankah kita “umuk” atau bisa “sumeleh”. Ketika sumeleh akan memformat diri untuk memindai setiap kekurangan dalam diri. Kurang basah atau kurang “uluran tangan” dari langit untuk menyentuh kekeringan yang terjadi agar kembali basah dan bersahabat dengan beberapa hal. Mungkin belum akan bersahabat dengan pihak yang kurang menyenangi hujan, basah, becek dll namun kerinduan akan kekeringan ialah hujan.

Sehingga kehadiran tulisan Syekh Kamba dan Mbah Nun, yang tiap hari dihadirkan baiknya diposisikan sebagai uluran tangan dari langit agar kita tidak mudah terbakar. Sehingga dalam kondisi basah, memunculkan kondisi bagi kita untuk ditebari benih serta menumbuhkan tetumbuhan.

Andaikan ada perumpamaan tentang hujan, setiap ada uluran tangan dari langit bahwasanya tiap ilmu akan ditampakkan dalam wujud nabi, auliya’, wali, ulama dll, dalam pada itu merupakan mekanisme untuk menampakkan setiap ulurannya pada kita. Hujan berfungsi merangsang benih dalam diri kita untuk tumbuh. Dimana setiap orang masing-masing sudah memilikinya, dimana benih itu muncul dari pohon (wit) yang bernama rah, dalam bahasa jawa wit ing rah (awit-awiting urip) dimana berkembang menjadi kata fitrah.

Fitrah kita letakkan sebagai benih utama kita sebagai manusia, dimana harus kita tumbuhkan agar senantiasa menggapai cahaya. Tak baik pula kita paksakan fitrah untuk kita tumbuhkan sendiri sementara kita adalah tanah yang kering kerontang apalagi yang tidak mau menerima uluran tangan dari langit. Baiknya kita terima setiap uluran dari langit agar senantiasa terus tumbuh mengejar cahaya, menggapai langit namun terus bersyukur tumbuh di bumi.

Kita semua sangat berpotensi sebagai kafir, kufur, ingkar. Namun dalam Al Qur’an juga kafir bisa diartikan sebagai petani. Kita coba ambil kafir sebagai petani, dimana petani selalu menutupi setiap benih menggunakan tanah. Seperti halnya kita yang terbuat dari tanah, yang akan berpotensi untuk mengubur benih tadi dengan segala ambisi, plan, schedule, cita-cita dll yang dapat membuat benih fitrah tadi terhambat pertumbuhannya. Kita sangka apa yang kita miliki adalah kebenaran, sementara tiap hal tersebut kita letakkan pada hal-hal yang bersifat jasadiah. Tetapi jika kita memilih segala sesuatu yang bersifat plan, rencana, gagasan, cita-cita tidak kita naikkan posisinya menjadi ambisi, obsesi maka tiap langkah yang kita ambil akan lebih proporsional sebab langkah akan terukur untuk membuka pintu yang menghadirkan jawah atau hujan. Hujan, udan, hudan ialah hidayah, petunjuk yang siapa saja sudah dibukakan maka tak ada siapapun yang dapat menutupnya demikian pula sebaliknya. Berarti kita harus berperan aktif agar senantiasa menerima uluran langit.

Carilah apapun hal yang tidak merusak fitrah kita, juga abaikan setiap hal yang kita rasa menjauhkan atau menutupi fitrah kita. Jangan sampai terjebak dengan fenomena jasadiahnya baik dari segi popularitas, harta dll dimana hal tersebut merupakan hal yang harus kita waspadai. Justru sering kita temukan kehakikian hidup pada manusia-manusia yang tulus hidupnya seperti petani, nelayan yang terbiasa mampu mengakrabi segala macam jenis penderitaan hidup. Penggunaan nur’aini (mata cahaya) bukan sekedar mata jasad, membuat kita mampu melihat cahaya yang tersembunyi bukan sekedar melihat dari mata jasadiah saja.

Merespon Mas Surya, tentang ketakutan dan pertolongan. Pastinya kita boleh takut, tentunya kita membutuhkan pertolongan. Tetapi mungkin perlu kita tegaskan piranti utama untuk menghadirkan pertolongan tersebut ialah dengan merasa apa yang kita sangka baik belum tentu baik untuk kita begitupun sebaliknya. Lumrah ketika muncul akan ketakutan sebab hujan mungkin membuat baju kita basah, mengeluh ketika genting bocor, susah ketika akan berangkat beraktivitas dll. Namun jangan sampai dengan ketakutan tersebut mengurangi kadar cinta kita akan fenomena kehadirannya, bukan malah terjebak dalam situasi dimana kita menghentikan ketakutan tersebut hanya untuk mengeluhkan kehadirannya dengan segala permasalahannya.

Kemudian Mbak Dewi yang meminta penjelasan lebih lanjut tentang hujan yang bisa memberikan dampak buruk seperti banjir (musibah) lalu bagaimana kita menyikapinya. Direspon oleh Mas Agus bahwa kita harus memiliki metode tentang sebab-akibat. Jika ada suatu musibah, baiknya kita telaah terlebih dahulu. Musibah tersebut merupakan sebab ataukah akibat. Jika hal tersebut tergolong akibat, berarti ada penyebab sebelum terjadinya. Ukuran celaka dan tidak celaka jangan diletakkan pada tolok ukur kita sebagai makhluk. Jika kita menganggap banjir sebagai sebuah azab, berarti kita juga memilih menyalahkan hujan sebagai penyebabnya. Berarti kita menyalahi risalah nabi, dimana jin dan manusia secara mayoritas dibuat untuk mengabdi bukan supaya ingkar. Bilamana kita hidup di tengah manusia ingkar berarti kita harus siap terinjak dan bersiap untuk tidak memiliki tempat untuk menjalankan kehendak Allah saat menjalankan kehidupan. Jadi setiap kejadian yang sudah ditentukan oleh Allah harus kita pahami dengan baik.

Bangunan-bangunan didirikan tanpa menghiraukan aliran sungai sehingga tidak memberikan tempat untuk sungai mengalir secara semestinya. Disebabkan kita yang merasa sangat sok tahu, maka ketika air tidak memiliki tempat hingga meluap, air menjadi yang disalahkan. Segala petunjuk dari langit harus kita tata terlebih dahulu kemampuan dari diri kita. Diberi banyak ya diterima tapi bukan berarti harus rakus. Ketika kita percaya Allah pasti memiliki cara untuk mengamankan dan menata segala sesuatu dengan baik, selesai masalah. Tidak perlu kita yang mengatur ini harus begini dan itu harus begitu.

Banjir yang dianggap sebagai sebuah azab di era Nabi Nuh, justru sekarang masih direkonstruksi. Ketika makhluk dunia memiliki “syahwat” yang besar terhadap dunia, dimana penguasaan manusia masih mengalahkan kekuasaan Yang Maha, maka disitulah dia harus ‘mandi junub’ untuk ‘menyiram api’ yang terbumbung meskipun tidak tampak bahkan yang ditampakkan justru bangunan yang baik, penuh ketertataan tetapi kemanusiaan lah yang terbakar disana. Maka simbolis penyiraman perlu dilakukan hingga sebasah-basahnya.

Jangan kita sangka banjir besar hanya terjadi di masa lalu. Sebab hal tersebut bukanlah dongeng, legenda yang bisa terjadi lagi kapanpun. Jaman yang kita jalani sekarang ini ialah jaman jahiliyah menuju cahaya agar mendapat cinta dari Allah. Rumus menjadi pintar ialah bagaimana cara menambahkan cinta, tanpa perlu sekolah, diklat, workshop. Segala cara Allah ialah caranya untuk menampakkan diri kepada kita melalui kebijaksanaan, kearifan, ilmu dlsb yang kita temui sehari-hari.

Menurut pemahaman Mas Agus dibuatlah fase 7 (tujuh) Nabi inti. Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Nabi dan Rasul ini disebut inti untuk mempermudah membaca visual peringatan Allah melalui pada Nabi dan RasulNya. Seperti halya gambar visual maka harus ada keyframe. Yang disebutkan di atas tadi dianggap sebagai keyframe dari awal hingga akhir jaman agar kehidupan manusia tetap terbingkai sesuai dengan kehendak Allah sedangkan Nabi yang lain menjadi inbetweener. Seperti halnya animasi yang memerlukan keyframe untuk gerak utama serta inbetweener yang diletakkan diantara gerak utama. Jadi bukan sedang berbicara siapa Nabi yang penting dan tidak penting, sebab semuanya penting.

Nabi Ibrahim dipilih karena merupakan prototype manusia modern saat ini yang memiliki kapasitas intelektualitas. Kemampuan analis yang luar biasa, keberanian, serta memiliki ketakutan dan kekhawatiran yang mirip manusia pada umumnya. Perintah penyembelihan putra tercintanya melatih kedewasaan dimana kedewasaan seseorang selalu dirasa menjadi milik pribadi tersebut. Kerelaan bahwa intelektualitas harus menjadi sarana untuk mendekat kepada Allah bukan justru menjadi penghalang.

Berhala bisa berwujud popularitas, kecantikan, harta dll. Dengan cara yang intelektual harusnya menjadikan kita mampu memenggal kepala-kepala berhala tersebut. Bahkan memenggal sesuatu yang seolah kita sangat cintai. Keyframe berikutnya ialah Nabi Ismail yang mengerti bahwa Allah lebih dekat dari urat leher maka merelakan urat lehernya sendiri. Sebab urat leher merupakan syarat paling berat karena berkaitan dengan hidup untuk mendekat kepada Allah. Disimbolkan kambing sebab merupakan makhluk yang mau diatur. Namun merelakan urat leher sungguh membuat seseorang memiliki kapasitas sebagai ‘bocah angon’ yang mampu mengatur bukan hanya dirinya namun juga kepada pihak diluar dirinya. Jikapun belum sebesar mengatur kahanan minimal mengatur diri kita sendiri. Sedangkan seseorang yang memiliki keengganan menjalankan kehidupan untuk mendekat kepada Allah, alih-alih justru mempertahankan potensi kambing di dalam dirinya yang siap dikandang, dan diikat oleh tata aturan yang belum tentu membawa aturan dari Tuhan. Nabi Ismail mencontohkan keberaniannya mempersembahkan urat leher kepada Allah SWT, maka serta merta potensi kambing dalam dirinya keluar dan disembelih sata itu. Sekian tahapan hidup yang memiliki tujuan mendekat kepadaNya berguna untuk memunculkan sisi-sisi kemanusiaan dan menyingkirkan sisi-sisi ringkih dan takut kepada hasut sistem kekuasaan dunia. Setiap tetesan dari langit baiknya kita respon dengan rasa syukur yang besar agar mampu menumbuhkan dan menyuburkan apapun.

Allah ialah Cahaya Diatas Cahaya. Berarti meletakkan wajah Allah dengan penuh cahaya. LIGHT. Love, senantiasa mengedepankan rasa cinta. Semakin mencintai sesuatu yang kita benci maka kualitas cinta kita akan meningkat karena tidak ada tuntutan didalamnya. Cinta sudah bekerja dengan caranya sendiri untuk menyambut cinta. Inspiration, memposisikan diri seolah berada dalam wilayah yang memberikan inspirasi seperti halnya matahari. Tanpa berencana memberikan inspirasi namun banyak yang terinspirasi olehnya. Greatness, Allah maha agung (adzim) berarti kita harus merukuk, bukan menjadi tegak. Karena bukan kita yang memiliki keagungan, kita merukuk agar muncul bukan dengan keagungan kita namun keagungan Allah. Highness, a’la. Memposisikan diri dalam posisi bersujud. Bercermin dengan tanah yang rela diinjak namun tetap menumbuhkan. Ketinggian pun hanya milik Allah bukan milik kita. Dimana kita mampu ber”sujud” disitulah kita mendirikan “masjid”. Totality, ukuran totalitas yang kaffah bukan dimata manusia. Bukan total sebagai raja, khalifah namun total sebagai abdi. Bukan mengabdi kepada sistem manusia namun sistem kita hamparkan lebih luas agar lebih menebarkan cahaya seperti Allah yang menebarkan cahaya di semua makhluk.

Suasana makan bersama

Diskusi masih terus berjalan, hingga waktu menunjukkan kisaran pukul 00.30 WIB. Menu khas gunung senantiasa menjadi penutup kegiatan bermajlis di Gugurgunung. Namun sebelum itu doa penutup dipanjatkan oleh Mas Tyo. Lingkaran-lingkaran diskusi kecil masih berlanjut hingga pukul 02.00 pagi. Hingga masing-masing berpamitan untuk kembali menjalani tugas dan peran yang berbeda namun senantiasa berharap mendapat uluran dari langit yang sama. Sekian reportase kali ini semoga bermanfaat.

 

Andhika Hendriyawan

NYUWUN JAWAH

Marja’ maiyah Syech Muhammad Nurshamad Kamba dalam tahun ini menyampaikan bulir-bulir bening ilmu yang bisa dinikmati kesegarannya bagi banyak pihak, bukan hanya kepada lingkup keluarga Maiyah saja namun juga kepada segmen sosial yang bisa jadi notabene belum cukup ‘basah’ dengan Maiyah.
Bisa dikatakan, bahwa buliran-buliran ilmu beliau laksana butir-butir kesegaran dari langit guna membasahi bumi. Buliran itu antara lain diterbitkannya “Sejarah Otentik Nabi Muhammad” yang merupakan kitab referensi penting dari tulisan Prof. Dr. Husein Mu’nis yang oleh beliau Syech Kamba telah disulih bahasakan ke Bahasa Indonesia. Kemudian juga sebelumnya, terbit pula tulisan beliau bersama Sudjiwo Tedjo dalam buku bertajuk “Tuhan Maha Asyik” dan yang paling bungsu adalah buku beliau  yang berjudul “Kids Zaman Now menemukan kembali Islam”. Bagi gugurgunung deretan tulisan-tulisan beliau sangat mengandungi muatan cinta, terlebih lagi salah satu buku pustaka gugurgunung berjudul “Desa Purwa” pun turut dihantar oleh dhawuh yang bijak dan mendalam oleh Syech Kamba.

Bulan ini, sebagai sedikit wujud cinta kami kepada Syech, kami ingin mengangkat tema berangkat dari buku-buku atau tulisan-tulisan beliau. Bahwa tulisan beliau tentu tidak akan cukup satu malam saja diurai dan diserap maka dipilihlah satu bab dalam buku “Kids Zaman Now …” yang berjudul “Mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan”. Kami tetap tahu bahwa untuk satu tema ini saja tak bisa rampung disinaoni dalam semalam. Perjalanan untuk terus memahami kearifan dan kebijaksanaan ini akan terus berlanjut dalam setiap langkah kehidupan dalam pergantian siang malam dan pada putaran musim. Memang demikianlah sepertinya cara belajar, hujan semalam tak lantas menjadi jawaban kesuburan bagi keseluruhan sisa rentang masa. Akan tetapi harus ada guyuran hujan lagi dan lagi pada periode-periode hidup selanjutnya, sabab pasti akan mengalami kekeringan lagi dan kekerontangan kembali. Sebab itulah kami menempatkan diri bagai tanah kerontang yang sinau rindu untuk disapa kerinduan sang hujan yang menghantarkan basah. Nyuwun jawah melalui salah satunya buliran-buliran bening dalam tulisan Syech Kamba.

Dalam Bahasa Jawa disebut sebagai “Nyuwun Jawah” arti bebasnya adalah : “meminta hujan”. Bahwa tidak ada fenomena pertumbuhan di bumi tanpa melibatkan langit. Hal ini bisa diartikan secara jasadiah sebagai hujan yang harfiah yang kemudian menumbuhkan bebijian. Atau bisa juga dimaknai non harfiah bahwa uluran langit kepada bumi bisa berupa ilmu, keteladanan, utusan, pencerah, pemandhu, penuntun, ataupun pamomong.

Mukadimah Majlis gugurgunung,

Edisi Oktober 2018 “NYUWUN JAWAH”