WUNGU

Pertemuan rutin majlis gugurgunung pada 26 Oktober 2019. Sekaligus menjadi workshop ketiga (terakhir) dari tiga edisi setelah sebelumnya yakni “Laras” dan “Padhang Pranatan”. Bertempat di Mushola Darussalam, Lemahabang, Kab. Semarang. Tema workshop edisi ketiga ini ialah Wungu. Mas Kasno sebagai moderator pada malam hari ini di kisaran pukul 21.25 kegiatan membuka sianu bareng dengan bacaan basmalah.

 

Bismillahirrohmanirrohim…

Workshop ketiga masih dalam rangka merespon dhawuh Mbah Nun. Alhamdulillah malam ini dihadiri juga oleh Mas Aji dari Jogja, serta Pak As’ad dari Solo dan juga Mas Dian dulur gugurgunung yang lama tidak ikut melingkar sebab bekerja di luar pulau selama beberapa bulan. Semoga malam ini mendapat pertalian silaturahmi yang bisa kita pelajari bersama. Kemudian dilanjutkan dengan doa wasilah oleh Mas Sokhib juga Wirid akhir zaman serta Pangkur Kerinduan dari Mas Ari.

 

Sehubungan dengan tema yang hampir diubah menjadi lir-ilir, meskipun memiliki makna yang hampir sama dengan wungu maka Mas Kasno mengajak dulur-dulur untuk mentawasuli Kanjeng Sunan Kalijaga dilanjut nembang Lir-ilir karya Kanjeng Sunan dengan dipimpin oleh Mas Agus. Kompak serempak, lelaki perempuan berpadu merdu, asik bahagia namun tak lepas dari makna. Demikian suasana ketika tembang lir-ilir mengalun. Kemudian Mas Kasno membaca mukadimmah untuk membantu memantik diskusi malam ini. Mas Agus memberi preambule bahwa tema ini memang sempat dianjurkan untuk diganti judulnya. Sebab dirasa terlalu berat dimana diukur dari kapasitas diri Mas Agus pribadi dan dulur-dulur semua. Maka diganti lir-ilir dimana memang sudah harus nglilir untuk menghadapi jaman. Namun sehari setelah itu Mbah Nun mengeluarkan edaran wirid akhir jaman yang juga di dalamnya mengandung kata Wungu. Maka disepakati tema dikembalikan menjadi Wungu.

 

Memang berdialog langsung dengan Mbah Nun sulit untuk kami lakukan, semoga dengan ketersambungan tema seperti ini menjadi kegembiraan tersendiri bagi kami anak cucu beliau. Mas Agus mencoba mengakurasi ayat Allah dalam QS Al Ikhlas. Merupakan salah satu dari dua surah yang tidak menyebutkan kata dari judul surahnya selain Al Fatihah. Ditadabburi bahwa yang tahu makna sesungguhnya hanya Allah. Salah satu cara untuk memahami maknanya yakni dengan ngambrukke roso wegah (merubuhkan rasa enggan), melawan rasa takut. Salah satu simulasi yang paling sederhana dengan memasuki alas/ hutan dalam kondisi sendiri dan gelap dengan niat tiada modal lain selain Al Ikhlas. Begitu hendak memasuki hutan maka seketika qul huwallohu ahad. Ketika dalam kondisi yang gelap maka mulai terombang-ambing maka alat apa lagi yang akan digunakan selain pertolongan Allah. Yakni memasuki ayat kedua Allohushshomad. Suasana menjadi enak namun pikiran muncul reridu berupa ketakutan. Jika kita tunduk pada reridu maka menuhankan ketakutan. Lalu dilanjutkanlah dengan ayat ke-3 yakni lam yalid wa lam yuulad. Maka berhembuslah angin besar. Memang tiada yang lebih diatas Allah. Wa lam yakul lahuu kufuwan ahad. Hal ini merupakan metodologi atau pengalaman pribadi yang bisa diterapkan pada laku hidup. Temuan ini didapati mas Agus pada saat benar-benar memasuki hutan pada suatu waktu. Tentunya bukan arti dari Al Ikhlas itu sendiri, ini hanya merupakan salah satu alat untuk mencoba memahaminya. Mudah-mudahan dengan metode menabrak hantu-hantu ketakutan yang muncul dari pikiran sendiri, ataupun seolah sunyi tanpa kehidupan, juga seolah terpencil namun justru banyak kejujuran di dalamnya. Pohon satu dengan pohon lain tak saling mencederai, andaikanpun ada ternyata masih tetap dalam rangka menjunjung keseimbangan. Binatang senantiasa beristiqomah sesuai dengan aturan yang Allah tetapkan. Jangkrik beristiqomah dengan keriknya, belalang juga beristiqomah sesuai fitrahnya, juga binatang-binatang lain. Hal yang dijauhi oleh sebagian orang justru menyimpan kandungan keselamatan dan keamanan. Sangat berbeda dengan kondisi yang kita kira aman. Dengan terang benderangnya, dengan ramainya, juga dengan gemerlapnya namun tidak menjamin kondisi bahwa akan terbangun keamanan, keselamatan satu dengan yang lain. Dengan kondisi demikian maka kita harus melek kahanan, mesti kita buka selimut agar tidak senantiasa tertidur.

Malam ini akan coba kita urai selimut-selimut apa saja yang melekat pada diri. Selimut yang bukan memberi kenikmatan namun justru memasung dan memenjarakan. Selimut yang memberi impian bukan dengan kenyataan. Selimut-selimut ini jika tidak disibak maka akan memerosotkan derajat kemanusiaan kita sendiri. Padahal dari tema kita lalu yakni “Laras” didapat bahwa manusia harus menjadi kaum yang sebaik-baiknya kaum, yakni ahsani takwim. Di dalamnya berisi manusia-manusia yang ahsan. Manusia yang memegang teguh amanat dan tanggung jawab, jikalau hal tersebut tak disadari maka akan menjadi kaum asfala safilin. Dari pihak yang memiliki derajat yang tinggi akan direndahkan. Pola yang kita jalankan dari workshop 1,2 dan 3 tidak pernah kita rencanakan. Dari tema gelinding saja bermodalkan niat. Asal tidak merasa kuat, hebat, sangar, namun bermodal jelas yakni ringkih, dhuafa, fakir karena yang kita hadapi adalah Allah sendiri. Maka dengan seperti itu maka kita akan memiliki wadah yang kosong, sehingga Allah akan mengisi dengan hal yang murni dan kita butuhkan dalam kehidupan kita. Semoga dengan ini kita mampu membuka selimut-selimut yang membuat kita “nyaman” selama ini. Nantinya jika kita menyadari bahwa selimut tersebut sesungguhnya ialah penjara barulah kita akan bangkit. Karena pada hakikatnya manusia menginginkan kemerdekaan bukan dipenjarakan. Kalaupun menjadi hamba, hanyalah kepada Allah kita menghamba. Jika Allah tuan rumah dan Nabi penjaga pintu dan kita batur (hamba sahaya) bukan berarti akan tersiksa dengan perbudakan malahan justru diberi kenikmatan. Makanan dan minuman serta hawa dan kahanan yang dirasakan Kanjeng Nabi pun kita juga akan merasakan hal yang sama.

 

PENGENALAN DIRI

Mas Aji memahami bahwa salah satu pintu menuju wungu terletak pada pengenalan diri. Kalau boleh dibilang sedari lahir sampai saat ini, pikiran kita menyerap apa yang kita dengar, lihat dan rasakan, hingga kita mengidentifikasi bahwa serapan tersebut sebagai diri kita. Terkadang kita melihat diri kita ada hal yang kita rasa baik dan sukai, namun tak sedikit pula terdapat hal yang kita rasa buruk dan tidak kita sukai. Dengan menyadari hal ini sedikit demi sedikit akan membuka penjara itu tadi. Semua yang kita pelajari tadi hanya sebagai penghantar saja untuk melihat diri sendiri. Identifikasi terhadap diri yang telah melekat dari lahir sampai mengenal diri kita lalu mesti dikembalikan lagi pada peran dalam kehidupan sehari-hari namun tetap dengan kesadaran untuk menempatkan diri. Masih menurut Mas Aji dengan demikian maka akan dapat membuka selimut yang paling tebal dari diri yakni ‘diri’ itu sendiri. Segala hal yang dipelajari menjadi penghantar menuju pengenalan diri namun juga di sisi lain juga menjadi selimut untuk mengenali diri. Beberapa pintu pantikan dari Mas Aji yang menarik sekali untuk lebih memperdalam diskusi malam ini.

PETANI DAN KESEIMBANGAN

Malam makin larut, diskusi terus berlanjut. Untuk memperdalam bahasan, Pak As’ad pun diminta untuk turut. Sebelum memasuki tema, tak lupa salam dari keluarga dan juga dulur-dulur Suluk Surakartan disampaikannya. Wungu menjadi terbuka ketika berbincang dengan Mas Agus. Wungu merupakan sintesa dari warna biru dan merah. Merah merupakan angkoro, biru menep. Wungu adalah sebuah proses puncak dari dualitas yang harus ditarik mundur. Pak As’ad mencoba menarik ke masa lampau. Beliau menceritakan tentang Nabi yang sedang menggembala. Lalu diuji oleh malaikat untuk mengambil susunya, sebab majikannya tidak akan tahu. Namun dijawab oleh Nabi bahwa Allah pasti akan mengetahuinya. Menurut Pak As’ad ini merupakan salah satu prinsip manajemen aset. Masih seputar tiga tipe manusia (manusia pasar, nilai, dan istana) memiliki lambaran dasar yakni harus memiliki manajemen resiko. Ali dikatakan sebagai seorang pewaris Nabi. Seorang pemimpin di China dulu pernah menyampaikan bahwa, umat Islam tidak perlu kemana-mana hanya cukup mempelajari Ali.

China memiliki situs jual beli yang cukup besar pun menggunakan nama alibaba.com. Pada situs berbasis marketplace ini tersedia harga yang sangat murah, bebas biaya pengiriman, pelayanan yang baik dan cepat serta barang yang diterima juga sangat mirip dengan yang dipesan. Pikiran Pak As’ad tersambung kepada; mengapa sebagian besar nabi menggeluti dunia perdagangan. Sebab disanalah seorang diuji apakah yang diperdagangkan atau dikatakan sesuai dengan yang diterima oleh orang lain atau tidak. Jika di China tidak mungkin menggunakan Muhammad.com maka digunakanlah Alibaba.com, maka di maiyah tidak bisa muncul “maiyah.com” sebab maiyah adalah nilai tapi alangkah baiknya jika muncul misalkan “Kasno.com”, atau “aji com” dll. Maksudnya ialah setiap khasanah yang dimiliki oleh masyarakat maiyah bisa diterapkan dalam perilaku keseharian. Maka kita harus bisa memanajemen resiko. Segala yang kita peroleh dari bermaiyah ataupun dari Mbah Nun harus terus diinternalisasi pada kehidupan sehari-hari. Bertahun-tahun bermaiyah mestinya mampu mengakumulasi ketegangan bagi dirinya untuk berbuat sesuatu.

 

Wungu dalam keseharian bagai baterai atau powerbank, yang mendampingkan positif dan negatif. Baterai dengan ketegangan dari positif dan negatif yang cukup maka bermanfaat untuk melakukan sesuatu. Demikian juga seharusnya kita dengan memiliki ketegangan positif dan negatif yang cukup untuk bermanfaat dalam ranah harian. Menyeimbangkan tegangan positif dan negatif dilakukan dengan cara mengenali diri. Bahwa setiap manusia mampu melakukan distruksi yang luar biasa sesuai bidangnya. Begitupun manusia mampu melakukan konstruksi yang luar biasa sesuai bidangnya. Walaa tansa nashiibaka minad dun-yaa. Setiap orang memiliki nasib yang tidak bisa diubah. Meskipun nasibnya adalah seorang karyawan, jadilah karyawan yang baik, maka pasti akan memiliki kelebihan dibanding karyawan yang lainnya. Manusia yang tidak mempergunakan keseimbangan tegangan positif dan negatif dalam dirinya sama halnya dengan powerbank yang tidak pernah digunakan maka akan lebih cepat rusak dibandingkan dengan yang sering digunakan dengan baik.

 

Mbah Nun ibarat seorang yang tebar bibit atau matahari. Maka bukan tugas Mbah Nun untuk menatanya. Ibarat dalam kebun, matahari tidak pilih kasih. Bukan hanya tanaman yang tumbuh tetapi juga akan ada gulma yang turut tumbuh. Tanaman yang belum diketahui manfaatnya turut tumbuh.

Maka disana dibutuhkan petani. Yang menata tanaman satu dengan yang lain, yang memilah dengan menanamnya di tanah, di pot, atau polybag.

Satu pertanyaan yang belum terjawab. “DIMANAKAH PETANINYA??”

Semua tanaman sudah tumbuh namun bisa menjadi berbahaya bila tak ada yang mendistribusikan dengan baik. Satu dengan yang lain bisa saling merusak karena kurang adanya “petani” yang bisa menatanya. Demikian menjadi pe-er bagi kita semua.

 

‘AIN DAN KIFAYAH

Mas Kasno meminta Mas Yoga Lemahabang untuk mem”bangun”kan dulur-dulur dengan pembacaan puisinya. Sebuah puisi berjudul “Pertemuan yang dinanti” karya Mas Sokhib. Penampilan Mas Yoga yang jujur berbuah keindahan dalam puisi  sarat makna. Tak hanya menuliskan puisi. Mas Sokhib juga menyampaikan sebuah pertanyaan. Beberapa waktu lalu Mas Sokhib sempat bertanya pada Mas Agus tentang wungu.

Di dalam wungu terdapat 4 hal yakni :

  1. Cinta
  2. Irodah
  3. Ikhtiar
  4. Tawakal

Di depan tadi diungkapkan selimut yang harus disibak agar menjadi kondisi wungu. Lalu selimut apa sajakah yang dimaksud? Mas Agus langsung merespon pertanyaan yang sangat baik dari Mas Sokhib tersebut.

 

Masih tersambung pada tema dalam workshop sebelumnya yakni Laras atau penyelarasan diri.  Sebaik-baik manusia ialah yang selaras dengan Allah. Jika belum bisa maka selaraslah dengan Malaikat Allah. Jika masih belum bisa maka selaraslah dengan para Nabi dan Rasul. Jika masih belum bisa juga, selaraslah dengan kitab-kitabnya. Jika masih belum bisa juga maka selaraslah dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa akan ada hari akhir. Sebab dengan kepercayaan tentang hari akhir akan membuat seseorang untuk berpikir bahwa jika ada hari akhir maka ada hari awal, dimana jika kondisi hari hari akhir tidak bisa dipastikan hasilnya, paling tidak sejak awal sudah bisa ia pilih secara memastikan niat awalnya. Jika itu juga masih belum bisa selaras, maka selaraslah dengan qodo dan qodar. Bahwa segala keinginan kita tidak selalu tercapai. Setiap manusia hanya ada kandungan probabilitas bukan absoluditas. Sebab kita hanya sebatas bersifat rancangan, yang absolut hanya Allah SWT. Agar kita tetap terjaga keselarasan, maka jangan tergoda rencana. Sebab manusia hanya akan optimal pada area rancangan bukan pada rencana. Manusia bisa merancang namun Rencana hanya milik Allah SWT. Apakah perilaku selaras hanya dimiliki oleh ulama, auliya dll atau pihak yang dianggap suci. Ya. Tapi harus ingat bahwa kita semua diperkenankan terlahir di dunia karena masing-masing kita ini memiliki eksklusifnya. Hanya saja ada yang memoles keekslusifan dirinya sehingga muncul, dan ada yang mendiamkannya sehingga hanya tertimbun. Bagaikan intan yang terpoles maka akan menampilkan keindahan, sedangkan yang terpendam sering merasa bahwa dia bukanlah intan. Ciri intan ialah bening, dalam diri kita apa yang harus bening? ialah akal. Intan bersifat padat, ialah tekad. Maka kita perlu memperluas wawasan, ilmu agar tanah yang menimbun kita semakin terkikis, terkuak. Tanah yang dimaksud ialah kepentingan-kepentingan. Sering tanpa kita sadari justru memberi “makan” kepentingan tersebut tanpa memberi kesempatan intan untuk keluar, mencuat.

 

Mengidentifikasi diri dapat diketahui dari apa yang dilihat oleh orang lain, dan kita dapat mengambil kesimpulan oranglain atas diri kita sebagai identitas baku yang ada di luar diri kita. Apabila demikian menjadi pola, maka tidak akan menghantarkan pada keprigelan mengenali diri kita sendiri. Jika orang lain lebih mengenali diri kita maka kita akan malas mencari diri sendiri. Pandangan orang lain baiknya hanya menjadi tambahan koordinat. Pada wilayah apakah letak kita berdiri? Dimana maqom kita? Kalau kita tak mengerti maqom kita sendiri, bagaimana mau qum (bangun), qiyam (bangkit) hingga bersama-sama qiyamah (menjunjung kebangkitan). Qiyamah disini diartikan sebagai bangkit, tumbuh; bukan rubuh.

 

Koordinat satu dengan yang lain harus saling melengkapi. Koordinat-koordinat ini jika dikaitkan dengan bahasa Pak Toto yang menggunakan QS Al Qasas. Mas Agus memilih koordinat ‘ain dan kifayah. ‘Ain ialah fardhu yang setiap muslim wajib menjalankan.

 

Kifayah juga fardhu namun akan menjadi tidak wajib jikalau sudah dilaksanakan oleh orang lain. Contohnya ialah sholat jenazah. Dalam sholat jenazah juga terdapat salam namun tidak ada rukuk dan sujudnya. Artinya jika ada seorang yang sudah meletakkan maqom-nya, terbaring, maka yang lain harus tetap qiyam (berdiri) untuk menjaga maqom yang baru saja kehilangan salah satu petugasnya tersebut.‘Ain dalam kehidupan ialah mengabdi pada Allah. Bahwasanya tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT.

 

Ada yang disebut pekerjaan profesi dan peran. Dalam mengerjakan profesi belum tentu sesuai dengan pos ‘ain kita. Kita harus mengenali pos ‘ain diri terlebih dahulu agar kita tahu bahwa ada sektor yang lebih harus kita prioritaskan sebab mengerti pilahan primer dan sekundernya.

 

SELIMUT DIRI

Sebagai gambarannya adalah orang yang duduk bersila. Simbol ini dipilih sebab men-diri-kan pengabdian tak selalu dilambangkan dengan tegak dan bertumpuan dua kaki. Janin di alam rohim pun berbentuk seperti hijaiyah ‘wau’, bukan posisi ber-diri, namun janin jelas tengah mendirikan pengabdiannya. Ternyata dalam alam rohim kita pernah mengalami fase sen-diri-an dan kita mampu menunaikannya dengan roso bungah. Dalam pada itu kita dilahirkan untuk menjalani kehidupan di dunia seperti halnya dalam alam kasih sayang. Namun justru setelah manusia benar-benar mampu bertumpu pada dua kaki, menjadi jarang yang mau bersusila, bersila (shilah, seakar kata dengan sholat). Shilah ini berarti terhubung pada Allah SWT. Dalam Islam ada syariatnya yakni dalam gerakan-gerakan sholat. Dimana kita berpijak, dan kemana kita menuju harus mustaqim. Namun untuk menuju kesana akan ada hambatan-hambatan, maka kita selalu meminta selalu petunjuk Tuhan yang tersampaikan pada ihdinasshirathal mustaqim. Hambatan tersebut berupa selimut yang membuat diri semakin kabur dalam melihat keadaan. Seolah jalan tidak tampak, maka patutlah kita memohon petunjuk pada Allah SWT. Jika kita tidak menyadari hambatan yang menyelimuti tersebut, kita tidak tahu bahwa jalan sudah berbelok. Kita punya mata dan telinga namun hanya kita gunakan untuk melihat dan mendengar apa yang kita mau saja. Perlu kita ketahui perjalanan pen-diri-an kita apakah berada di jalur yang biru (baik) atau merah (buruk). Kita perlu memindai, bahwa setiap manusia memiliki perannya. Setiap peran dalam manusia memiliki martabat, dimana semakin martabat itu diakomodir oleh manusia-manusia yang lain maka manusia tersebut akan menjadi semakin bermanfaat. Maka haq bahwa untuk memperjelas peran-peran kita tersebut harus bermuara pengabdian kepada Allah SWT.

 

Selimut terbagi menjadi 3 :

  • Raga
  • Jiwa
  • Sukma (ruh)

 

SELIMUT RAGA

Raga sendiri sebenarnya sudah merupakan selimut. Selimut raga ialah menggemari zona nyaman. Jika ini dijadikan ageman (pegangan), maka laksana sampah yang dibiarkan di dalam diri dan membusuk. Zona nyaman seperti kondisi yang tidak terlalu dingin atau terlalu panas. Maka yang diolah sebagai ‘ain ialah rosonya, agar tak selalu berkutat pada hal-hal jasmaniah. Manusia yang terlarut zona nyaman biasanya selalu hiperbola, tidak memiliki produk dan kurang bersyukur. Musuh untuk merubuhkan kemanusiaannya ialah ketakutan. Dengan demikian maka kita masih meletakkan Allah SWT sebagai angan belaka. Serta tidak meyakini janji cintanya. Kita perlu nggaya sebagai manusia ahsani takwim bukan untuk menegakkan diri akan tetapi menghormati bahwa kita diciptakan sebagai makhluk yang mulia.

 

SELIMUT JIWA

Takut salah, takut dianggap aneh, lebih senang berbicara di belakang, malas menambah wawasan, apatis dlsb merupakan bentuk selimut jiwa. Manusia yang berselimut ini minor quality namun secara quantity sangat mayor. Jumlahnya banyak namun belum tergerak untuk menumbuhkan kualitas.

Mbah Nun sebenarnya pernah menyampaikan bahwa benih-benih yang tersebar sebenarnya sudah mulai tumbuh dan menampakkan kuncup bunga nya. Maka perlu disingkirkan gulma-gulmanya dan justru jangan sampai hanya menjadi peradaban gulma. Peradaban sekarang sudah tidak ada yang dominan. Jika dahulu ada negara adi kuasa, namun sekarang nampaknya sudah mulai jarang didengungkan. Justru yang sering didengungkan adalah islam teroris. Padahal sebenarnya tidak ada islam teroris. Yang ada yaitu islam dan teroris. Islam merupakan kedamaian dan teroris sebaliknya yakni benci kedamaian. Untuk menjadi wungu maka harus bisa meramut keduanya. Bukan mempertandingkan keduanya. Bahwasanya ada garis merah dan biru yang harus kita sandingkan untuk menjadi wungu. Seperti di dalam surat At Taubah ayat 111. Kemudian Mas Sokhib diminta untuk melantunkannya.

Pengabdian yang sungguh-sungguh menjadi modal bagi diri kita untuk “berjualan” dan Allah SWT sendiri yang menjadi “pembeli”nya. Segala jiwa dan pemikiran kita jihadkan, untuk kita pertahankan syahadat menjadi alat pengabdian bagi Allah SWT.

 

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

 

Diskusi masih terus berlanjut, hingga lewat tengah malam. Untaian-untaian pertanyaan yang tersimpan atau tersampaikan terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yang tentunya diharap bermanfaat bagi masing-masing sedulur yang hadir; untuk dibawa pulang; untuk dijadikan bekal menyibak sedikit-demi sedikit selimut bagi raga, jiwa dan ruh. Saling berusaha mengenali diri hingga kelak, semoga kita semua menjadi manusia-manusia yang tak lelah mempertahankan konsep Allah atas diri bahwa pribadi dan pendirian kita benar-benar dalam bingkai ahsani takwim. Sebagai sabaik-baik bentuk, menjadi ciptaanNya yang mulia, menjadi manusia yang wungu. Tumbuh; bukan rubuh. Sekian reportase kali ini semoga bermanfaat.

 

___

Andhika Hendryawan

Link video terkait, klik disini

PADHANG PRANATAN

Kegiatan Majlis gugurgunung kali ini mengangkat tema yang berjudul “PADHANG PRANATAN”. Rutinan yang juga masih merupakan rentetan workshop ini menjadi edisi kedua, digelar pada 28 September 2019 bertempat di Musholla Darussalam, Lemahabang Kab.Semarang. Sebagai moderator oleh Mas Kasno dengan pengantarnya yang menjelaskan tentang kronologi awal munculnya tema ini. Ialah adanya fenomena dalam majlis gugurgunung yaitu fenomena tandur, kemudian mencoba ditaddaburi dengan surah Al-Balad. Kemudian tersambung dengan tulisan Mbah Nun juga bertema tentang Balad (negeri). Peradaban Kawi yang ada dalam surah Al-Balad, salah satunya ialah orang-orangnya senang berpantun dan berpuisi.

 

Usai Mas Kasno memberi sedikit kalimat pembuka tentang tema, lalu diteruskan dengan tawassul yang dipimpin oleh Mas Azam dan Sholawat yang dipimpin oleh Mas Ari. Sholawat selesai dilantunkan, langsung dibuka sesi tanya jawab untuk mengembangkan sayap diskusi. Penanya pertama yakni Mas Shohib. Mas Sokhib menanyakan tentang perumpamaan negeri dalam surah Al-Balad adalah negeri Mekkah, sebenarnya apa yang melatarbelakangi itu dan bagaimana gambaran kemakmurannya. Pertanyaan tersebut mendapat respon dari Mas Agus dengan menjelaskan dari keluarga sebagai piranti membangun suasana aman, dalam keluarga tersebut kita membutuhkan asupan “sembako” untuk jasad dan jiwa kita. Adapun sembako untuk jasad antara lain beras, minyak, telur, jagung, gula, minyak tanah, susu, garam, daging dll. Sedangkan untuk jiwa kita membutuhkan wiraga, wirasa, wirama, tetandur, tetulung, tetular, asah, asih dan asuh.

 

Wiraga masa dimana banyak bertingkah laku yang kemudian menjadi wirama yang tingkah laku tersebut berirama dan sudah bertanggung jawab ketika sudah berirama kita akan merasakan irama sehingga masuk dalam irama tersebut (wirasa). Kita juga diajari untuk tetandur (menanam) sebagai simbol untuk melanjutkan hidup karena kita hidup memang dijamin rezekinya oleh Allah swt tapi juga harus berusaha untuk bisa melanjutkan hidup, ketika tetandur ada panen bisa kita membagi sedikit hasil tandur dan tetulung (mengulurkan bantuan) kepada orang sekitar, setelah kita tetulung tersebut maka bisa tetular (berbagi) kepada yang lain untuk melakukan hal yang sama dengan yang kita lakukan.

Asah adalah tugas orang tua mengembangkan potensi anak yang disertai asih dengan memberi kasih sayang yang lebih maka akan terbentuk asuh yang akan terlatih pada suasana pengasuhan. Asah asih asuh akan berpengaruh sampai kita dewasa, bahkan harta berlimpahpun tidak bisa menggantikan nilai dari asah asih dan asuh itu sendiri.

 

 

Balad Al-Amin

 

Peradaban bisa disatukan dengan tawa dan tangis. Tawa dan tangis itu sebagai indikator Allah memberi adegan mempersatukan kita. Tugas seorang manusia ialah saling mengamankan satu sama lain. Untuk tercapainya hal itu membutuhkan piranti berupa iman. Jika seorang manusia tidak ada potensi untuk mengamankan maka itu termasuk benih yang mandul.

 

Balad al amin tidak bisa terlepas dari level keluarga sebagai level terkecil dalam sebuah negeri. Negeri Mekkah (Al-Balad) terdapat Masjidil Haram, air zam zam, Hijr Ismail, dan Makam Ibrahim. Kemudian Mas Agus memberi pertanyaan apakah negeri Mekkah dalam surah Al-Balad hanya ada di negara Mekkah itu sendiri atau bisa di negara selain itu? Jawabanya ialah tidak harus. Dengan alasan beberapa penjabaran sebagai berikut: dalam pembahasan tema “laras” kemarin disebutkan bahwa Hijr Ismail dan makam Ibrahim akan berlanjut di masa nabi Muhammad sebagai kiblat. Nabi Muhammad berasal dari Arab tapi risalahnya tidak untuk negara Arab saja (Rahmatan lil Alamin). Kemanapun engkau berada hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram maksudnya adalah anjuran menghadirkan Masjidil Haram dalam diri untuk hamparan bersujud dan tercegah dari perbuatan ingkar.

 

Air zam-zam mempunyai sejarah bukan sebagai aset kepemilikan melainkan ridho Allah yang dijaga dengan konsep tidak diperjual belikan. Konsep itu yang membuat air zam zam sampai sekarang tidak habis karena jika kemanfaatan yang diutamakan maka Allah akan terus memberi karunia atas penjagaanya. Sebagai simbol jasadiyah dalam surah Al-Balad memang adalah Mekkah tetapi Mekkah bisa dihadirkan di mana saja asal bisa menerapkan Hijr Ismail, Makam Ibrahim,Masjidil Haram,Air zam zam dalam negara tsb. Kemanapun kita melangkah adalah wajah Allah. Mas Agus juga sempat bercerita ada seorang ulama yang melaksanakan haji tapi ia tidak melihat ada malaikat saat ia berhaji,kemudian ia bertanya kemana para malaikat itu? Dijawab oleh sesorang bahwa malaikat itu sedang berada pada orang yang berangkat haji tapi terhenti karena melihat ada seseorang yang memakan bangkai. Setelah ditelusuri ternyata pemakan bangkai tersebut tidak ada yang bisa dimakan selain bangkai itu orang itu kemudian mensodaqohkan harta yang untuk haji tadi kepada orang yang memakan bangkai. Orang tersebut tidak jadi haji tetapi mendapat pahala seperti orang haji karena perbuatannya.

 

Syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji tidak bisa terpisah satu dengan yang lainya karena ketika kita sholat kita juga bersyahadat ketika kita puasa kita juga sholat dan syahadat ketika zakat kita syahadat,sholat puasa dan hajipun kita juga tidak lepas dari syahadat, sholat, puasa dan zakat. Dalam surah Al Fajr, Al Lail, Al Asr, As Syam dan Ad Dhuha, Allah berani bersumpah “demi waktu” dan setiap saat kita harus bersaksi karena Allah selalu ada setiap saat.

 

Sholat merupakan metode menegakkan gelombang dengan kenabian dan keterhubungan untuk menciptakan rasa kemanusiaan (Ahsan). Meskipun kita sholat belum tentu kita menegakkan rasa kemanusiaan jika belum berbuat baik/berbagi kepada anak yatim (surah Al-Ma’un). Kemudian Mas Agus turut mentadabburi surah Al-Balad ayat 2:Dan kau Muhammad bertempat di negeri Mekkah ini. Nabi Muhammad mempunyai spirit terpuji berarti ketika kita terpuji bisa menjadi ahmad dan jika dalam majlis orang-orangnya terpuji maka bisa menjadi majlis Nabi Muhammad. Dan jika kita bersaksi maka Allah dan Nabi Muhammad menyaksikan kita bersaksi dan ada ketika kita bersaksi. Ketika kita berakhlak baik jangan menganggap kita berahlak baik tapi anggaplah itu salah satu keberhasilan Nabi Muhammad untuk membangun manusia berahlak baik dengan mengaplikasikan 4 sifat Allah.

 

Pertanyaan kedua muncul dari Mbak Dewi, yaitu tentang Rahmatan Lil Alamin itu nabi Muhammad, Islamnya atau orangnya? Yang kemudian direspon oleh Mas Agus, tidak ada yang tidak terlibat dalam Rahmatan Lil Alamin entah itu Nabi Muhammad, Islam maupun orangnya karena mereka adalah bagian dari alam. Allah menciptakan sesuatu dengan konsep salam, adapun ciptaan Allah adalah persemayaman ilmuNya dengan kadar titah masing-masing. Untuk menjadi Rahmatan Lil Alamin dengan cara bagaimana mencintai ciptaan Allah agar mau bertauhid. Kita dianjurkan untuk Rahmatan Lil Alamin supaya kita bisa mencintai apa saja ciptaan Allah. Dilanjutkan oleh pertanyaan dari Mas Azam yang bertanya apakah jiwa itu nur yang ditumbuhkan supaya bermanfaat?

Langsung direspon oleh Mas Agus, bahwa karakter cahaya mencerahkan dan yang bisa mencerah ruh adalah alam jiwa,tetapi nur belum ada jika tidak ada ruh. Kiat menumbuhkan nur dengan cara memahami kegelisahan utama dalam diri kita maka bisa menumbuhkan jiwa dan nur.

Mas kasno juga memberikan responnya terhadap surah Al Balad yaitu Al Balad ayat 5 yang terkait dengan fenomena tandur yang dilakukan oleh dulur kita yaitu Mas Angling dan Mas Fajar, kemudian Mas fajar menceritakan sedikit mengenai susah payah tandur di lahan tandus bekas penggilingan batu yang tanahnya sangat padat. Fenomena itu juga berkaitan dengan tema padang tandur yang ada dalam surah Al Balad ayat 5.

 

Posisi kita dibagian negeri yang mana dan apa yang kita lakukan dengan keadaan kita saat ini? Merupakan salah satu pertanyaan dari Mas Ari malam itu. Mas Agus merespon dengan turut menjawab pertanyaan dari Mbah Nun yang tertulis dalam seri tulisan Rahmatan Lil Alamin yaitu :

 

  1. Apakah Rahmatan Lil’alamin dengan sendirinya sama dan sebangun dengan perjuangan nasional keIndonesiaan? Apakah skala dan hak serta kewajiban Nasionalisme Indonesia otomatis adalah skala dan hak dan kewajiban Rahmatan Lil’alamin?

 

Iya dengan catatan apabila pergerakan Indonesia bagian dari Rasulullah dalam Rahmatan Lil Alamin.

 

  1. Eksistensi dan perjuangan hidup sebagai warganegara Indonesia apakah merupakan perwujudan langsung dari tugas penciptaan Rahmatan Lil’alamin?

 

Bisa iya, tergantung eksistensinya dalam rangka menyebangunkan nilai untuk mengamankan satu dengan yang lain, ataukah perjuangan hidup untuk eksistensi diri dan golongan untuk menguasai aset Indonesia.

 

  1. Kalau prinsip dan praktek NKRI sendiri tidak berangkat dari prinsip Rahmatan Lil’alamin, maka bagaimana memaknai posisi Jamaah Maiyah antara Khalifah Allah dengan warganegara Indonesia?

 

Posisi NKRI untuk negeri aman dan damai, tugas manusia melanjutkan konsep utama Bhineka Tunggal Ika dan berusaha melanjutkan silah Al Balad

 

  1. Jamaah Maiyah Sinau Bareng terus apakah Rahmatan Lil’alamin identik dengan Rahmatan Lil Bilad, Lil Balad, Lil Buldan atau Lil Baldah?

 

karena Rahmatan berbicara tentang alam dan ilmu, dan negeri adalah kumpulan alam dan ilmu dan Rahmatan Lil Alamin lebih luas cakupanya. Balad Al Amin berkonsep pada identitas Ahsani Takwim.sehingga identik sebagai sebaik-baik kaum.

 

Demikianlah reportase mengenai Padhang Pranatan semoga sinau bareng kali ini bisa bermanfaat untuk kita yang senantiasa terus berusaha untuk menjadi bagian dalam Balad Al Amin.

 

 

Andhika Hendryawan & Team Reportase

DJD Keluarga Majlis gugurgunung

“Bahwa apa yang akan kita mulai malam ini merupakan upaya penetapan diri untuk menjadi pihak yang senatiasa berlindung dan menjaga amanat dari Allah swt. Mungkin sejak mulai besok ada banyak hal yang terus menerus berusaha memojokkan dan mencoreng-moreng muka martabat amanat kita dengan berbagai macam metode dan dukungan-dukungan kekuatan. Kekuatan jaringan, dana, media, bahkan kekuatan militer. Seolah jika ingin aman justru apabila kita menjadi pihak yang oportunis,menjadi pihak yang hura-hura, generasi eiya-eiya, cengengesan, demen pamer, gemar bersolek dan jika perlu menjadi peserta penyimpangan kodrat. Pilihan itu mungkin bukan hanya akan aman namun juga akan dibela atas nama kemanusiaan. Lain halnya yang sedang berusaha menjaga amanat Tuhan yang berusaha menjalin perilaku yang terus bersambung dalam gelombang kenabian, yang memilih amanat, tabligh, sidiq, fathonah, justru bisa saja akan banyak dicerca dengan berbagai ungkapan yang menghasut, penuh fitnah, dan manipulatif”, demikian prakata malam tadi yang menjadi sedikit ungkapan pembuka sebelum dimulainya pelaksnaaan dhawuh Mbah Nun yang termaktub dalam Tajuk DJD.

Tentunya ini menakutkan apabila dibayangkan. Namun, tampaknya kondisi ini tak ubahnya sebagaimana Firman Allah swt yang akan menguji kepada yang mengaku beriman dengan hantu-hantu yang seolah siap mencengkram dalam suasana ketakutan dan tiada pertolongan. Diberikan ketakutan dari sisi lahir, dari sisi pikir, dan juga dari sisi bathin. Oleh sebab demikian perlu kiranya ketakutan ini segera disambungkan dengan suasana bathin yang dialami oleh Nabi Ismail AS. Apabila hantu-hantu dalam pikiran itu lebih dominan dan sehingga gentar dan lari maka tidak akan ada momentum aqrob, quroba, yakni kedekatan hamba dengan Tuhan secara karib. Nabi Ismail menjadi teladan yang mampu menghadapi fitnah karena keyakinannya yang besar kepada kepada Allah dan rasul-Nya, maka martabat Nabi Ismail AS sama sekali bukan binatang ternak atau domba yang digembalakan, melainkan penggembala dan berkedudukan sebagai manusia yang beriman karena sanggup menghadapi ujian yang seolah siap merenggut jiwanya.

Jamaah Maiyah Ungaran, Majlis gugurgunung sudah sejak 10 Muharram melakukan upaya pemindaian diri dan penetapan langkah mengingat telah memasuki tahun hijriah yang baru. Yang hijrah atau tahun perpindahan yang baru. Pada 22 Muharram 1441 H, ada semacam ‘paksaan’ untuk segera melaksanakan peristiwa berlatih menghadapi ketakutan itu dengan cara yang bisa dibilang cukup aneh dan tidak populer di kalangan umum, yakni memberanikan diri memasuki hutan yang sepi dan sendirian dengan hanya bermodal kepasrahan diri atas segala pengamatan dan perlindungan Allah swt.

Hawa takut masih menyelimuti namun untuk lari rasanya malu hati. Hawa was-was sesekali menghinggapi namun untuk takut rasanya tidak lagi memberi kemanfaatan diri. Suasana tentram dalam sunyi dan gelap, menjadi perumpaan pikiran buruk diri yang selama ini keliru memburuk-sangkai bahwa dalam gelap dan sepi itu adalah ngeri yang patut dijauhi bahkan dihindari. Padahal suasana tentram dan khidmat didapat apabila yang nyata bukan produksi pikiran yang menghasut untuk ngeri dan kalau perlu lari menjauh kembali mendekat bersama keramaian yang disangka lebih memberikan jaminan kemananan danmanfaat. Suasana tentram dan khidmat didapat apabila yang nyata adalah ketidak-berdayaan diri namun juga sekaligus keperwiraan untuk berusaha berjuang mendekatkan diri lahir dan bathin, maka yang nyata kemudian adalah perlindungan, pengawasan, dan segala aspek pertolongan yang dicurahkan Allah dengan besar melalui lahir, pikir, dan bathin pula.

Wirid Akhir Zaman pun pada akhirnya dibacakan pertama kali dengan memilih di tengah hutan. Kali ini bersama-sama, saling menjaga dan mengawasi. Rasa takut itu mungkin berasal dari naluri Dholuman Jahula, yang merasa mampu dan berani menyangga firman Tuhan dengan gagah berani. Padahal semakin merasa gagah justru akan semakin gelisah, semakin merasa berani justru semakin ringkih hati. Tampaknya kepasrahan dan keperwiraan tetap harus bertahan bersamaan. Agar tidak merasa hebat namun juga tidak lantas melarikan diri karena takut secara ironis di tengah suasana menjalani ujian untuk semakin dekat. Wirid Akhir Zaman mengandung do’a berisi kepasrahan dan keperwiraan, Pasrah atas segala kehendak dan karunia kekuatan dari Allah, bahwa hanya Allah saja yang pantas untuk disebut sebagai Tuhan, permohonan Maghfrah dan Kasih Sayang Allah sebagai sebaik-baik Pemberi Rahmat, tentang ketidak-berdayaan apapun dan siapapun tatkala berhadapan dengan firman Allah, hingga pertolongan Allah yang akan mengkaruniakan Kebun yang lebih baik dari kebun-kebun lain yang dipupuk dengan mempersekutukan Allah swt.

Sehingga segala proses hingga dhawuh Sahan melalui Tajuk DJD seolah menjadi penegasan dan penetapan agar semua pihak yang akan merawat kebun baru ini tidak perlu memperpanjang ilusi dengan hantu-hantu peristiwa yang seolah menjadi alasan untuk mundur. Tidak untuk merasa kuat, tidak untuk merasa hebat, tak pula untuk merasa sangar. Semua tidak ada gunanya di hadapan Allah yang memiliki ketentuan. Jika ada penolong maka itu memang benar-benar dari Tuhan bukan dari hantu yang karena ditakuti lantas dianggap sebagai tuhan. Lebur dan pecah dulu diri gunung-gunung diri agar tak menghantui kepasrahan kita kepada Tuhan yang sudah memberikan amanat kebun-kebun Maiyah yang tumbuh dengan keberserahan diri, yang tak mempersekutukan-Nya, yang saling bertalian kasih sayang karena Allah swt. Yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Dimana amanat Tuhan ini disanggupi oleh manusia yang bodoh dan jahul, yang berpotensi berkhianat atas amanat tersebut. Oleh sebab demikian maka amanat Tuhan tak akan mampu disandang oleh seorang manusia pun, kecuali manusia telah mentransformasi dirinya lebur menjadi ayat Allah sendiri, menjadi Firman Allah sendiri. Yakni manusia yang sadar akan potensi dholim dan jahul-nya sehingga sanggup menjadi nol untuk manunggal dalam kehendak Tuhan Yang Maha Suci dan Tiada Ingkar Janji. Dholuman Jahula ‘Dhedhel’, apabila dholuman jahula itu dianggap tidak konstruktif maka harus dhedhel (lepas) agar menjadi konstruktif. Atau jika justru dengan dholuman jahula itu manusia menjadi konstruktif maka tentunya sudah ada formula konversi (converter) agar potensi bahaya yang bisa merubah amanat menjadi produk khianat kelak terhindarkan. Amanatnya adalah menata dan mempercantik, bukan merusak dan mencederai. Wirid Akhir Zaman perlu dihayati dan dirasuk dalam diri, siapa tahu bahwa itulah converter-nya.

DJD, bisa apa saja kepanjangannta dengan pendekatan othak-athik gathuk. Bisa ‘Do’a Jaman Dajjal’ bisa ‘Do’a Jamaah Dunia’, menurut kami sebagai anak-putu Miayah sejak beberapa bulan terakhir sudah diberikan hadiah-hadiah susul menyusul yang sangat indah dan begitu berguna, baik dari Mbah Nun, Marja’ Maiyah, Pak Toto, dan suplemen-suplemen berkelas yang tak cuma lahir namun juga bathin. Betapa teramat sangat kami syukuri. Tadinya tulisan ini berniat merespon tawaran hadiah dengan mengungkapkan atau menterjemahkan kepanjangan DJD. Namun betapa itu menjadi batal dan cukup menjadi tulisan bekti sebagai respon semata. Sebab DJD akan tidak punya kepanjangan apa-apa tanpa dilanjutkan dalam perilaku, sebaliknya maka akan terus ada kepanjangannya yang tiada bertepi jika Jamaah Maiyah senantiasa mempertautkan diri dengan Welas Asih Tuhan dengan saling menopang menjaga amanat dari-Nya.

 

Keluarga Majlis gugurgunung, 21 Oktober 2019

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– HUKUM KERUMUNAN, HUKUM TUHAN –

Mas Kasno kemudian mengajukan pertanyaan kepada Mas Sabrang. Jika sedang melingkar dapat diartikan sebagai kerumunan lebah, lalu bagaimana maksud melingkar ke dalam dan melingkar keluar seperti yang pernah diucapkan Mas Sabrang ketika workshop di Semarang yang kala itu dipanitiai oleh Mas Yunan dkk yang kebetulan juga hadir malam ini. Kemudian akan dijawab oleh Mas Sabrang namun tidak langsung kesana. Sebab menurut beliau ada sesuatu yang krusial untuk direspon, sebab tadabbur Mas Sabrang tak dikira sampai ke pembahasan ini namun karena “pintu”nya masuk kesana jadi alangkah lebih baik untuk direspon dahulu. Secara analogi paralel, apa yang diajarkan oleh sistem lebah justru lebih mendekat ke arah “komunisme”. Tetapi ada juga perbedaannya.

Komunisme juga merupakan salah satu hasil tadabburnya manusia. Kemudian Mas Sabrang mengajak untuk menganalisa terlebih dahulu. Untuk menjadi bermanfaat maka syarat pertama ialah surplus komoditi dan akan menghasilkan manfaat. Bagaimanakah untuk menjadi surplus? ialah kerja sama yang tertata rapi. Untuk mencapai kerja sama yang tertata maka paling mudah ialah dengan dipaksa dan kedua ialah sukarela.

Antara manusia dan hewan menurut Mas Sabrang bahwa hewan mereaksi sebuah kejadian sedangkan manusia mestinya merespon kejadian bukan bereaksi. Kemudian Mas Sabrang memaparkan perbedaan antara reaksi dan respon. Reaksi dilakukan secara langsung tanpa berpikir, sedangkan respon dilakukan dengan cara diserap dan dipelajari terlebih dahulu.

Di awal dikatakan oleh Mas Sabrang bahwa lebah menerima wahyu. Sebab tidak mungkin menata lebah sedemikian rupa dengan menggunakan konsep ketakutan. Lebah pekerja berangkat pagi dan pulang sore, jika tak dilakukannya maka tidak ada pula yang menghukumnya. Lalu sebenarnya apakah yang membuat mereka berbuat demikian. Sebab lebah mereaksi, maka harus ditanamkan pada dirinya tentang apa yang mesti dilakukan.

Mas Sabrang memang tidak mempelajari lebah, yang dipelajarinya adalah semut. Tapi ada satu persamaannya yakni kerumunan, sebab dengan adanya kerumunan maka akan menghasilkan surplus. Semut juga hampir sama. Tidak ada menteri tenaga kerja disana, namun semua mengerjakan sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

Mereka hanya menjalankan peraturan sederhana yang kemudian menghasilkan kepandaian yang lebih tinggi. Menurut pengalaman Mas Sabrang, di semut ada beberapa peraturan sederhana. Pertama yakni mau bersilaturahmi terbukti setiap semut bertemu pasti bersalaman dan yang kedua ialah berani untuk menjadi. Setiap bersalaman maka semut akan mendapat data. Misalkan sudah bersalaman sejumlah berapa kali kok tidak bertemu semut tentara maka ia akan menjadi semut tentara. Atau sudah bersalaman berkali-kali kok tidak bertemu semut pekerja maka ia akan menjadi semut pekerja.

Hanya dua hal yang dijalankan namun menjadi kerumunan dengan sistem yang sangat rapi, sebab mereka hanya bereaksi. Mesin reaksi ditanamkan dalam sistem biologi. Demikian halnya dengan lebah, meskipun pada lebah terjadi sistem yang lebih kompleks lagi. Mereka bisa menemukan lokasi bunga berjarak 100 meter tanpa berbicara, tanpa internet apalagi sosmed. Cara tersebut sudah mereka miliki sejak lahir, meskipun dalam sebuah penelitian disebut dengan sebuah tarian untuk menunjukkan jalan menuju sebuah lokasi. Jika hanya berhenti pada sistem tersebut maka akan menjadi sistem komunis. Agar tidak berhenti pada komunis, maka sistem penataan tersebut bukan berdasar pada paksaan namun pada kerumunan yang menyadari perannya.

Membicarakan tentang peran merupakan hal yang abadi pada setiap kumpulan. Peran akan mengikuti zaman. Dalam kumpulan yang kecil maka pecahan perannya pun akan lebih sederhana demikian sebaliknya. Dalam dunia internet saat ini muncul lebih banyak lagi jenis-jenis peran atau pekerjaan baru yang belum ada sebelumnya seperti programmer. Tidak mungkin akan muncul pekerjaan tersebut pada tahun 1945. Peran akan terus berkembang meskipun core atau intinya sama klasifikasinya dengan yang diungkapkan Mas Agus.

Pada sebuah contoh fenomena misalkan kita sangat tertarik pada sesuatu hal lalu seketika kita ubah menjadi sesuatu yang lain. Pasti akan sangat sulit. Ada sebuah pertanyaan dalam fenomena tersebut, sebenarnya siapakah yang mengontrol ketertarikan tersebut? Sebuah tadabbur Mas Sabrang terkait hal tersebut. Pada intinya setiap manusia memiliki akal dan kompleksitas yang melebihi orang lain. Setiap manusia sebenarnya ingin menjadi diri sendiri sebagaimana sejatinya yang telah diciptakan oleh Tuhan. Tetapi setiap manusia tidak paham sebab belum memiliki ilmu. Maka kita diberi ketertarikan, dengan demikian kita akan mempelajari ketertarikan tersebut hingga kita memiliki kesempatan menggali ilmu. Sebuah ilmu diperlukan untuk mempelajari dan membuka diri kita yang sejati. Demikianlah cara mengajari diri sendiri tanpa disadari untuk menemukan peran.

Namun sebuah ketertarikan masih terikat dengan nafsu dan amarah. Maka kita diajarkan untuk berpuasa. Dari puasa ada yang dipelajari oleh Mas Sabrang yakni ketika belum waktunya berbuka maka menginginkan untuk memakan banyak hal. Tetapi apa yang terjadi ketika sudah waktunya berbuka? Apakah dimakan semua atau hanya sekian persen saja dari keinginan tersebut? Berarti mimpi yang datangnya dari nafsu ternyata menipu. Keinginan datang dari ketidakmampuan atau ketidakbolehan tadi. Ketika nafsu ditahan maka menjadi nesu-nesu atau amarah yang keluar. Ketika nafsu dan amarah ditahan maka menjadi malas untuk berbuat sesuatu hingga ingin tidur saja ketika berpuasa. Ternyata mesin bergerak kita selama ini hanyalah nafsu dan amarah. Namun melihat gojek yang tetep rajin narik, ada yang bekerja lain tetep rajin pula. Berarti ternyata ada mesin yang lain juga yakni mesin tanggung jawab. Sebuah mesin yang bertanggung jawab untuk memenuhi perannya. Dan menggali ilmu dari kesalahan sebuah tanggung jawab akan menjadi tahap kedewasaan berikutnya.

Sebuah kumpulan akan berjalan baik ketika menjalankan peran tersebut berdasar pada kerelaan dirinya dan kesadaran tanggung jawab bukan atas dasar paksaan. Hal ini yang ingin didorong oleh Allah meskipun harus dicontohkan melalui sebuah reaksi pada lebah dengan outputnya adalah madu dan ketertataan yang sangat baik. Dengan sistem kerajaan atau seperti China, dlsb maka segala keputusan akan diambil dengan cepat. Berbeda dengan sistem demokrasi. Namun bukan pula sistem tersebut buruk, sebab merupakan sebuah proses pendewasaan. Memang segala keputusan diambil lebih lambat namun kita semakin belajar untuk melibatkan kerumunan banyak orang dalam pengambilan sebuah keputusan. Jika raja yang mengambil keputusan, maka pada peta yang lebih besar akan menjadi tanggung jawab yang lebih berat pula. Demokrasi juga merupakan satu-satunya cara menata kerumunan dimana memungkinkan untuk melakukan pemindahan kekuasaan tanpa adanya pertumpahan darah. Ini adalah proses menuju menjadi society seperti lebah namun dengan kesadaran masing-masing bukan dengan paksaan.

Setahu Mas Sabrang pula tidak ada satupun nabi yang meninggalkan sistem kepemimpinan. Semua nabi adalah bagaimana membangunkan pribadi masing-masing. Jika kepribadian sudah terbangun maka kepatuhan akan terbangun pula bukan atas paksaan. Contoh kepatuhan yang bisa dilihat ialah malaikat. Malaikat patuh bukan karena sekedar diciptakan menjadi patuh, justru karena pengetahuan dan kesadaran yang tinggi. Hingga akhirnya mereka menjadi patuh dan “menyerah” atau pasrah pada keadaan. Bahkan ada pula yang mendefinisikan bahwa Islam adalah bagaimana seseorang “menyerah” pada hukum Tuhan.

Sebuah kerumunan jika bekerja sama maka akan menjadi makhluk yang baru lagi. Contoh sederhana ialah sel dalam tubuh memiliki pengetahuan dan independensinya. Setiap sel bekerja tanpa kita perintah, tetapi di dalam sistem yang lebih besar yakni sistem manusia maka mereka patuh terhadap akal. Ada yang disebut swarm inteligence atau kecerdasan dari sebuah kerumunan. Apa yang dilakukan oleh kecerdasan masing-masing maka akan terlihat apa yang menjadi kecerdasan suatu kerumunan. Ke depan akan menjadi apa, tergantung pada sebab akibat didalamnya.

Hukum kerumunan.

Kita semua berlaku pada hukum. Lalu sebenarnya apakah hukum itu? Hukum ialah rel dari sebab akibat. Ada rentang hukum yang paling dasar yakni hukum alam. Tanpa kita sadari kita pun sebenarnya mempercayai hukum alam berdasarkan sebab akibat. Karena kita percaya hukum alam maka dalam buang hajat misalkan, kita percaya bahwa kotoran tersebut akan jatuh ke bawah bukan malah naik mengenai badan. Itulah hukum alam yang kita percayai secara bawah sadar yakni gravitasi. Semua makhluk di bumi ini akan mempercayai hukum alam tanpa sadar. Mau tidak mau tak akan lepas dari sunatullah itu tadi.

Di ujung atau sisi yang lain ada hukum manusia. Itu adalah hukum sebab akibat. Mencuri, membunuh, merampok dll ya hukumnya dipenjara namun ini bukan hukum alam. Hukum manusia hanya menjadi pagar bukan menjadi pengatur dalam sebuah kerumunan. Karena hanya akan berlaku jika dilanggar. Karena hanya berfungsi sebagai pagar maka resolusinya rendah. Sehingga hanya berakhir pada sebatas mencuri maka dipenjara, tidak bisa dikejar sampai mengapa seseorang tersebut mencuri. Bagaimana jika mencuri karena lapar? Sementara di sekitarnya ialah orang-orang yang mampu, maka siapa yang turut salah juga sebenarnya?

Hukum manusia tidak pula salah, namun kita hidup hampir selalu berada di tengah-tengah hukum manusia dan hukum alam. Tersebutlah hukum istiadat, hukum sopan-santun dst. Seperti yang diceritakan oleh Mas Agus tadi misalkan ada orang yang membawa motornya ke cucian motor. Selesai dicucikan langsung dikencingi motor tersebut oleh yang punya dan minta untuk dicucikan lagi. Apakah orang tersebut melanggar hukum?

Menurut Mas Sabrang orang yang paling fitri ialah orang yang paling dekat berada di garis hukum alam. Sebab ia dekat dengan hukum Tuhan.

Lebah hanya bisa patuh pada hukum alam dan tidak bisa membuat hukumnya sendiri. Segala yang dilakukannya tidak bisa lepas dari hukum Tuhan. Baik hukum alam pada dirinya sampai pada hukum alam pada DNA-nya. Sementara manusia memiliki rentang dari hukum manusia sampai hukum alam. Sehingga lebih banyak pula peluang untuk mendapat kesalahan. Memang ada sisi negatif namun juga ada sisi positifnya. Yaitu hanya yang memiliki rentang demikian yang bisa untuk menjadi seorang khalifah. Yaitu hanya pihak yang bisa merespon sesuatu dan bukan sekedar reaktif yang berpotensi untuk menjadi khalifah.

Lagi-lagi Mas Sabrang mentadabburi bahwa tidak semua orang terlahir otomatis menjadi khalifah. Ia harus membuktikannya sebagai abdi terlebih dahulu. Yaitu abdi kepada hukum alam pada dirinya, jujur pada dirinya sendiri. Sebab itulah yang akan menjadi kompas untuk menuju hukum lain yang lebih “tinggi”.

Memang betul kita dapat belajar kepada penataan yang sudah jadi yakni yang disebut lebah, ia menghasilkan surplus, manfaat dll tetapi pada kepenataan itu kita harus mengintegrasi komponen yang kita miliki dan tidak dimiliki oleh lebah. Adalah Freewill, kebebasan dalam berpikir, bereaksi, melakukan sesuatu.

Hal tersebut harus kita integrasi seperti lebah bukan untuk menjadi lebah. Karena Tuhan ciptakan manusia tertata seperti lebah, tetapi menjadi lebah karena kesadaran manusia dengan ini akan menjadi khalifah yang sebenarnya. Dalam level kenegaraan mungkin tidak akan bisa pada umur kita, namun dalam sisa umur kita saat ini alangkah baiknya jika kita terus move forward lebih menjadi lebah yang sadar responsif bukan sekedar reaktif.

Sesi Tanya Jawab

Pertama ada Mas Wibisono dari Purworejo yang menanyakan wedharan dari kata bhineka tunggal ika. Kedua ada Mas Zidni dari Brebes yang menanyakan hal-hal apa sajakah yang dapat membantu untuk menemukan jati diri. Ketiga Mas Joko Sriyono dari Ungaran yang menpertanyakan tentang pencarian nafkah, bagaimanakah tentang bekerja yang tawakal namun pada akhirnya menyerah karena berkali-kali gagal.

Respon pertama dari Mas Agus yang telah di-remind oleh Mas Kasno tentang bahasan tema beberapa edisi lalu tentang Manajemen Kebhinekaan. Disini Mas Agus mencoba merespon sesuai dengan apa yang telah didiskusikan pada beberapa bulan lalu tersebut, meskipun hal ini juga kurang matching dengan apa yang kita pahami di sekolahan. Tetapi karena kalimat Bhineka Tunggal Ika sudah ada semenjak belum ada sekolahan maka Mas Agus mencoba mengulik makna lain dibalik kalimat tersebut. Bhineka berarti beraneka, Tunggal adalah satu dan Ika bisa berarti satu namun bisa juga diartikan sebagai kalimat untuk menunjuk. Dalam Jawa bisa dibaca dengan iko. Sehingga menjadi berarti “beraneka tapi yo siji kae”.

Tan Hana Dharma Mangrwa. Sebab tidak ada perilaku atau attitude yang mendua. Semuanya ingin mengemukakan hal yang sama yakni kebaikan, kebenaran dan keindahan dengan caranya masing-masing. Tidak harus manis berarti baik, pahit pun bisa jadi baik seperti halnya pare. Atau pedas pun baik seperti cabai, dan asin pun baik seperti halnya garam. Semuanya memiliki fungsinya sendiri-sendiri asalkan masing-masing pihak mengerti bahwa satu dengan yang lain mampu mengelaborasikan dharmanya menjadi satu yang tunggal. Makanya kita memerlukan satu pancer tunggal yang menjadi alat kontrol kesadaran kita untuk berperilaku di dalam kehidupan.

Pak As’ad di depan telah memberikan pola berpikir yang bisa mendorong kita untuk berperilaku secara lebih proporsional dalam hidup yang tertata dan beragama. Memang dicontohkan China, juga oleh Mas Sabrang dengan penjelasan sistem “komunisme”nya. Namun ini baru sistem Malik, dan belum menyentuh pada Robb dan Illah. Namun bagaimana jika penerapan bhineka tunggal ika dari lebah ternyata menggunakan sistem malik, robb dan illah sekaligus?

Penyikapan malik terkadang bisa dipergunakan. Misalkan dalam khitan, maka harus menggunakan pola radikal dengan sekali potong dan selesai. Pola illah ialah bagaimana kita menggelembungkan vibrasi dalam diri kita secara positif untuk mengkaitkan bahwa ada kita, orang lain dan juga Tuhan yang senantiasa harus berputar siklikal di dalam hidup.

Mas Aniq turut merespon tentang pertanyaan seputar jatidiri. Manusia merupakan Makhluk ciptaan Allah. Jika Allah pasti menciptakan manusia dengan dasar logika kerahmatan, maka mengapa manusia tidak menggunakan “logika Tuhan” dimana sebenarnya manusia tercipta untuk menghamba. Hal ini berkaitan dengan sisi nubuah, risalah dan walayah.

Sisi nubuah, ibarat manusia hadir dengan hamba kerahmatan. Bagaimana manusia bisa hadir menghamba dan bisa menampilkan diri sebagai hamba. Yang mana tampilan kehambaan merupakan sesuatu yang penting. Proses penghambaan ini harus didasari cinta atau kerahmatan. Proses manusia untuk menjadi manusia yang menghamba secara individu ialah untuk menjadi pencinta harus mencintai. Minimal diawali dengan mencintai diri sendiri. Bersyukur bahwa diciptakan sebagai seorang manusia.

Nubuah, seakan diri ini menjadi wayangnya Allah. Tetapi bukan pula sampai bermaksud menganggap diri adalah Allah. Jika sudah sampai pada menghamba maka tidak cukup untuk berhenti pada nubuah namun juga berpotensi untuk risalah. Risalah merupakan duta kerahmatan. Hal ini tentang kehidupan sosial, bebrayan, gugur gunungan. Manusia yang mampu menyampaikan cinta. Potensi berikutnya yakni walayah, merupakan manusia yang mampu terus melestarikan cinta dan kerahmatan. Rasulullah selain menghamba, merisalah namun juga mewalayahi. Mewalayahi suatu keadaan, peradaban.

Tentang pertanyaan ketiga direspon langsung oleh Mas Sabrang. Menurut Mas Sabrang, tidak wajib bekerja namun karena kita berada di rel sebab-akibat maka ya ada akibatnya. Apa yang wajib dan tidak berada di pilihan kita. Demikian ialah efek samping dari sebuah tanggung jawab. Bekerja tidak wajib, namun efek samping yang harus diambil karena bertanggung jawab terhadap istri dan anak. Jika tadi dalam pertanyaan diceritakan bahwa berusaha terus dan gagal terus maka sebaliknya bagi Mas Sabrang yang merasa tidak pernah gagal. Terkesan kalimat sombong memang namun karena kegagalan dan keberhasilan juga kita sendiri yang berhak menggariskan. Jika gagal terhadap sebuah keuntungan maka berhasil urusan ilmu. Ada yang disebut profit ada pula yang disebut benefit.

Kita mengetahui istilah personality, berasal dari bahasa yunani yakni persona. Persona merupakan istilah yang digunakan dalam teater di yunani. Persona adalah topeng yang dipakai dalam sebuah keadaan tertentu. Namun permasalahannya terkadang kita lupa bahwa kita memakai topeng. Misalkan topeng kejujuran kita anggap sebagai topeng yang baik. Namun misalkan ada orang yang sedang membawa bom, lalu menanyakan di masjid sedang ramai atau tidak, maka apakah kita masih memakai topeng kejujuran ataukah harus kita langgar topeng kita tersebut. Karena kita memiliki pandangan yang lebih besar dibanding persona tersebut. Pemain bola tidak mungkin membawa personanya dalam kehidupan. Tidak mungkin ketika tidak sedang berada di lapangan melakukan sliding-sliding sembarangan.

Dalam bisnis memiliki persona jual beli yang harus untung. Berbeda dengan persona terhadap anak yang tidak bisa kita ambil keuntungannya. Setiap dunia memiliki personanya, jangan lupa untuk melepas dan menggunakan persona yang tepat. Persona bisnis seperti yang diungkap oleh Pak As’ad di depan. Semua bekisar tentang manajemen resiko. Pelajari resiko terlebih dahulu untuk dapat me manage nya. Dalam belanja online misalkan. Selalu yang kita lihat adalah penjual yang memiliki rating bintang lima. Disitu kita hanya mencari pendapat yang menguatkan. Baiknya dilihat dulu yang rating bintang satu untuk melihat resiko pada pengalaman buruk disana.

Pernah suatu ketika Mas Sabrang belajar inti bisnis pada salah seorang kaya di dunia. Dia mengajarkan bahwa setiap bisnis pasti memiliki pesaing. Yang paling menang adalah yang bekerja keras. Sesama pekerja keras yang paling menang adalah yang juga kerja efisien. Sesama pekerja keras dan efisien yang paling menang adalah yang juga bekerja secara inovatif.

Jika sama-sama melakukan tiga hal siapa yang paling menang ialah yang mampu memprediksi apa yang terjadi. Hanya sedikit pengetahuan ke depan tentang bisnis mampu mempengaruhi profit.

Bisnis sama dengan permainan. Yang paling penting ialah belajar peraturannya. Maka ada yang menganalisis secara SWOT: Strength, weakness, opportunity, dan threat. Namun jika sampai permainan itu menghalangi Tuhan maka belum lengkap permainan tersebut. Banyak pebisnis yang tidak bisa memprediksi sebab banyak min haitsu la yahtasib di dalamnya. Tapi kita harus meminimalisir ketidakpastian dengan mengetahui permainan. Untuk mencari Tuhan bukanlah pada tempat yang kita anggap ada Tuhan. Namun bagaimana kita menggunakan mata, telinga dll untuk merasakan Tuhan dalam permainan apapun. Dalam memasuki bisnis, harus total. Namun bukan sekedar gambling. Bahwa nanti ada kegagalan dulu itu pasti.

Seperti halnya ketika senang terhadap wanita. Pelajari dulu bukan asal gambling. Ketahui peraturan permainan yang dia miliki. Dan juga jangan berharap dia berubah ketika nanti sudah menikah. Itulah bhineka tunggal ika. Menjadi satu bukan untuk sama. Namun ada satu entitas tujuan yang kita tuju bersama disitu. Tentang pertanyaan seputar jatidiri turut ditambahi pula oleh Mas Sabrang. Jangan terkecoh dengan persona. Jika kita melihat nabi Ibrahim, jika kita mencari sesuatu yang kita ketahui maka akan mudah mencarinya. Lebih mudah mencari jarum dalam tumpukan jerami, pakai magnet saja kata Mas Sabrang. Namun bagaimana jika kita tidak mengetahui apa yang kita cari? Pasti akan lebih sulit. Dari Nabi Ibrahim kita belajar tentang proses pengeliminasian. Sepertinya ini namun ternyata bukan. Dan seterusnya dan seterusnya. Sampai nanti akhirnya semua tidak kecuali dia. Lailaha ilallah. Maka perjalanan ini memang tidak mudah, karena banyak faktor yang kita harus “tidak-tidak kan” dulu sampai habis. Yang kamu kumpulkan adalah milikmu, namun bukan kamu. Aku bukan lah badanku, aku bukanlah akalku. Lalu yang manakah aku? Inilah pe-er masing-masing untuk mencari kesejatian. Jalani perjalananmu dengan kegembiraan dan jujur terhadap diri sendiri.

Tentang bhineka tunggal ika juga ditambahkan oleh Mas Sabrang. Kesatuan bukanlah pada fisiknya tapi dengan menjadi sebuah kesatuan entitas.

Pak As’ad tak ketinggalan untuk merespon pertanyaan ketiga. Penanya merupakan seorang guru yang menyambi berbisnis. Hematnya dibreakdown ulang terlebih dahulu sebelum melakukan penyambian tersebut. Yang dicari apakah kualitas hidup ataukah kuantitas hidup. Yang diartikan oleh Pak As’ad seperti berikut. Banyak dari kita yang tidak tercukupi kebutuhannya bukan karena pendapatannya kurang tetapi karena cara mengalokasikan dananya terkadang kurang tepat. Amtsal sederhana dari Pak As’ad, jika kita punya uang hanya satu juta lalu hilang 100ribu maka akan menjadi beban. Namun jika ternyata misal lima bulan lagi ketemu yang tersebut maka apakah menjadi bonus atau tidak. Sebenarnya seberapa banyak pengeluaran kita untuk sesuatu yang tidak urgent. Ini berhubungan dengan puasa yang diungkapkan tadi di depan. Bahwa puasa tidak memakan sesuatu yang sebenarnya halal namun tidak prioritas. Kemampuan kita untuk menganalisa kembali pada kesadaran apakah bisa berpikir sampai sana ataukah tidak. Jika tidak bisa maka, atur kembali cara pandang terhadap Tuhanmu seperti dalam QS Ar Ruum.

Menekuni sesuatu pasti akan berhasil meskipun membutuhkan waktu. Namun kesabaran kita tidak dibina dengan baik karena segala macam perhitungan kita yang menginginkan proses instan sehingga terkadang hal itu melemahkan kita untuk mencapai sesuatu. Kembali pada ukuran kesuksesan harus dibreakdown ulang. Keberhasilan nampaknya bukan harus menjadi nomor satu, tetapi kesungguhan.

Pernah ada sebuah pabrik yang melakukan PHK besar-besaran. Ada salah seorang yang terkena efeknya hingga sangat kesusahan dengan pesangon yang tidak seberapa. Hingga ia mencoba untuk bermain kayu dibentuk seperti harley davidson. Suatu ketika ada sebuah pameran yang ia ikuti di sebuah hotel. Kebetulan owner harley davidson menginap di hotel yang sama. Hingga masa berjalan, dan seorang yang terkena PHK tadi sekarang sukses dan merambah ke lainnya. Jika coba diamati, kejadian waktu terkena PHK apakah kejadian yang susah atau senang? Lalu ketika orang tersebut sukses apakah PHK tersebut menjadi kisah yang susah atau senang? Ini bagian dimana susah dan senang adalah sebatas sudut pandang.

Waktu sudah menunjukkan lingsir wengi atau kisaran jam 1 pagi. Sebelum malam ini diakhiri, Mas Sabrang menambahkan kegembiraan dengan menyumbangkan dua buah lagu yakni Ruang Rindu dan Sebelum Cahaya yang masing-masing diiringi oleh Mas Yoga dan Mas Prisa. Meskipun permintaan adalah tiga buah lagu, namun Mas Kasno berharap satu lagu disimpan sebagai sebuah kerinduan untuk pertemuan yang akan datang. Semoga…

Sedikit cuplikan doa dan harapan Mas Sabrang semoga kita semua disini menjadi seperti yang Tuhan contohkan dengan lebah-lebah dan menjadi kumpulan yang memberi madu bukan sekedar mengisap madu. Amin.. amin.. ya robbal alamin.

 

Andhika Hendryawan

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– KOMUNITAS TADABBUR –

Malam yang semakin mesra dan hangat dilanjutkan oleh Pak As’ad. Berbicara tentang kerumunan, ekonomi masyarakat, potluck sudah dialami langsung oleh beliau. Seorang pengusaha yang juga memandegani Suluk Surakartan hingga tiap hari berkawan dengan kerumunan.Pak As’ad mengawali dengan ketertarikan beliau terhadap gagasan Pak Kiai Mahrun tentang pembikinan pondok tahfidz namun berbeda dengan umumnya. Dimana pondok tersebut terdapat sebuah kegiatan yang berujung ekonomi. Dalam pada itu bertepatan pula dengan lokasi ini yang dipilih dengan tema “Masyarakat Lebah me-Madu”.

Jika kita sedikit tarik mundur ke belakang. Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW, ketika sedang memerangi pasar yahudi sudah jarang kita melakoninya. Biasanya umat Islam ketika melakoni sesuatu pasti akan mencari pembenaran dari ayat Al Qur’an dan hadist. Tetapi ada satu hal yang terlupakan yakni mengevaluasi secara terus menerus langkah apa yang keliru.Nabi Muhammad memerangi pasar yahudi dengan sistem ekonomi serta teknologi yang lebih baik bukan sekedar mengangkat sentimen suku, ras dan agama. Sehingga dalam waktu singkat, pasar yahudi kukutan (gulung tikar). Perlu diketahui bahwa Kanjeng Nabi melakukan hal demikian sudah sangat terencana. Dimulai dari julukan yang disandang oleh beliau yakni Al Amin jauh sebelum beliau menerima wahyu. Nampaknya satu hal yang penting diajarkan ialah untuk menjadi manusia sepenuhnya bukan karena menerima wahyunya tetapi proses pertumbuhannya tidak terlalu jauh dari realitas sehari-hari. Berdagang misalnya, maka bukan hanya sekedar berdagang namun juga harus mengerti intinya berdagang yakni manajemen resiko.

Seseorang yang bisa mengelola sesuatu dengan perhitungan meminimalkan resiko sebenarnya sesuatu yang lumrah. Tetapi sering luput oleh kita dikarenakan pola pengenalan Al Qur’an kepada kita nampaknya tidak pernah masuk pada wilayah tadabbur.Menurut Pak As’ad yang diperintahkan kepada kita ialah afala tadabbarunal qur’an. Sedangkan tentang tafsir yang perlu kita pahami bahwa sebaik-baik penafsir ialah Allah itu sendiri.Pernah ketika berdikusi dengan Syekh Nursamad Kamba, bahwa ketika bertadabbur maka sudah tidak terikat tata bahasa asalkan outputnya kemanfaatan dan tidak pula dipaksakan kepada orang lain.Sederhana saja, ketika membicarakan khamr dan maysir. Pandangan kita khamr tidak jauh dari minuman keras, sedangkan maysir tidak jauh dari kartu. Jika pengertian judi ialah tentang mengundi nasib, maka bukankah kita dalam hidup hanya berkutat soal mengundi nasib saja? Papar Pak As’ad melempar wacana.Khamr, diartikan sesuatu yang membingungkan dan dalam Al Qur’an diperintahkan pada kita untuk menjauhinya.

Seperti dalam QS Al Ma’idah ayat 90 yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah :90)

Dan dipertegas lagi pada ayat berikutnya yang berbunyi, “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). ” (QS. Al-Ma’idah :91)

Sebuah permisalan, ketika kita berada di sebuah kota yang baru pertama kita datangi pasti kita akan kebingungan. Maka harus kita “jauhi” dengan mengambil jarak, mempelajari informasinya sehingga ketika kita memasuki kota tersebut sudah terdapat gambaran.Mengapa khamr dipasangkan dengan maysir?Sesuatu yang kita lakukan tanpa perhitungan, tanpa analogi maka sesungguhnya itu judi. Berarti itu berlaku kepada apapun. Dalam mencari ilmu, bekerja atau apapun harus ada perhitungannya dahulu meskipun tidak terlalu banyak perhitungan juga. Tetapi minimal harus ada gambaran dasar. Seakan sudah “setor” pada Allah bahwa kita sudah berpikir sehingga kita terhindarkan status dari khamr dan maysir.

Suluk Surakartan kemarin mengambil tema satu banding sebelas berawal dari uraian Mbah Nun ketika halal bihalal di sebuah perguruan tinggi. Maksudnya ialah di dalam 12 bulan terdapat 1 bulan training yakni bulan puasa, dan seharusnya 11 bulan yang lain menjadi bentuk realitas dari puasa kita selama satu bulan. Kita tahu pada bulan puasa tidak memakan dan meminum sesuatu yang sebenarnya halal. Tetapi mengapa hal itu tidak diperbolehkan?Sesungguhnya dalam seseorang bekerja juga isinya hanya demikian. Yakni tidak mengeluarkan untuk sesuatu yang sebenarnya halal-halal saja namun tidak dilakukan sebab lebih menghitung prioritas.

Sedikit bercerita Pak As’ad ketika berada di dalam ruangan ketika Mocopat Syafa’at. Ada seseorang yang mengajukan pertanyaan tentang kunci sukses. Dengan canda beliau mengatakan bahwa tidak bisa menjawabnya.Namun tentang sukses itu sendiri kita pun rancu. Tergambar secara sederhana orang sukses adalah orang dengan mobil baru, uang banyak, tidak punya hutang, tagihan lancar, bahkan ingin membeli apapun bisa meskipun kredit.Padahal itu hanyalah daun, bunga dan buah tetapi sesungguhnya kita tidak pernah mencermati bahwa itu adalah hasil dari sebuah pertumbuhan. Jika kita membicarakan pertumbuhan maka kita semua adalah tanaman-tanaman tetapi tidak sama maka berbeda pula cara pengukuran kesuksesannya tinggal dikembalikan saja pada kesadaran dirimu.

Kembali pada manajemen resiko satu banding sebelas. Ketika itu pula ada fenomena MK, Solo-Jogja, juga anjloknya harga ayam hingga dibagikan secara gratis. Hampir berlaku di semua wilayah Islam Jawa bahwa sesuatu berjalan dengan gebyar lalu setelah itu anyep. Seperti berpuasa maka gebyarnya hanya di awal-awal ramadhan saja dengan munculnya banyak quote, kata mutiara, kajian hikmah, kultum dlsb dan di akhir ramadhan menangis dimana konon dahulu kanjeng nabi menangis ketika ditinggalkan bulan ramadhan.Sesungguhnya yang kita perlu renungkan ialah bahwa banyak dari sekian peristiwa tidak kita pelajari.

Fenomena harga ayam potong anjlok sudah pernah terjadi ketika era 70an. Bapak dari Pak As’ad ketika itu sudah memiliki peternakan dengan ribuan ayam sehingga sudah sangat familiar dengan perusahaan pokphan. Perbedaannya dengan kita saat ini mengapa menjadi sangat terasa ialah kita selalu kalah dalam beberapa medan karena kita tidak pernah melakukan beberapa evaluasi tadi. Sedangkan orang yahudi pun mereka belajar dan melakukan strategi jangka pendek, menengah dan panjang jauh sebelum Nabi berhijrah tentang apa yang ditanamkan oleh nabi di Yastrib.Segala sesuatu yang kita lakukan harus ada perhitungan. Ada rencana pendek, menengah dan panjang. Ini semua yang tidak pernah kita lakukan.

Coba kita tengok di Bali. Mengapa sedemikian terjaga juga dengan angka kriminalitas cenderung minim. Sebab mereka dikenalkan tentang dosa secara lebih nyata yang disebut dengan karma. Tetapi dalam pandangan cendekia agama hanya dikatakan bahwa ngapusi dosa, korupsi dosa, zina dosa. Sebenarnya apa ukuran dosa? Meter? Kubik? Bulan? Atau tahun?Sehingga dosa seakan seperti ilusi, maka orang melanggar pun dengan begitu mudahnya sebab tidak ada perhitungan yang jelas. Sementara tidak mungkin bahwa suatu ajaran yang datang dari Tuhan yang menguasai semua keilmuan tidak memberikan deskripsi yang jelas.

Seperti orang berhaji. Orang musyrik dilarang pergi haji, sementara tidak boleh menuding orang lain musyrik. Lalu bagaimana untuk melakukan pelarangan? Sementara berhaji merupakan sesuatu yang bersifat material, jelas visa nya, pintu masuknya, naik pesawatnya dll. Lalu bentuk pelarangannya berstandar sesuatu yang tidak boleh menyalahkan orang lain. Maka apakah sebenarnya musyrik itu?

Di dalam QS Ar Ruum terdapat sesuatu penggambaran yang bisa kita cermati. Musyrik atau menyekutukan Tuhan menurut Pak As’ad ialah seseorang yang meninggalkan partnership dan merasa mampu melakukan segala sesuatunya sendiri. Padahal apa yang diciptakan Tuhan pasti dualitas dan berpasangan. Begitu juga kita di Maiyah. Jika mengatakan di dalam Maiyah itu cair maka juga harus percaya bahwa di dalam Maiyah ada sesuatu yang padat. Berarti ada yang musyawarah dan ada yang tidak musyawarah, ada yang hirarkis ada pula yang tidak.

Mencermati surat An Nahl, jelas bahwa satu-satunya hewan yang diberi wahyu ialah lebah. Dan jelas dikatakan bahwa lebah membuat sarang di bukit-bukit dan di pohon-pohon. Di rumah Pak As’ad terdapat tawon jenis lanceng. Tawon lanceng memiliki manajemen yang luar biasa yakni memisahkan kotoran, lilin dan madu.

Kembali pada pondok tahfidz yang akan dibentuk maka menjadi tambahan “tanggung jawab” bagi Mas Agus untuk menginisiasi. Sebab di Maiyah sudah sepakat untuk bertadabbur. Padahal kunci berkembang dalam hal perekonomian atau apapun maka tidak ada jalan lain selain tadabbur. Lepaskan segala standarisasi yang telah ditanamkan pada kita dan bikin standarisasi sendiri. Kita mengenal orang Jawa dulu, kita mengenal Nabi Muhammad. Hampir setiap benda diberi nama untuk apa? Yakni standarisasi. Hampir di setiap negara industri pasti memiliki standarisasi sendiri. Ada standarisasi teknologi dll untuk berdaulat pada sesuatu yang diyakini.Pahami Al Qur’an dengan tadabbur realitas kehidupan sehari-hari. Ketika kita yakin pada dualitas yang diciptakan Tuhan maka tidak mungkin Tuhan hanya membicarakan langit di sana.Kembali pada An Nahl, jika kita perhatikan lebah seperti profil orang-orang yang melakukan industrialisasi sendiri secara personal. Mereka mengolah putik bunga di dalam dirinya sendiri dan keluar menjadi madu. Hubungannya dengan kerumunan ialah, kerumunan yang paling baik ialah kerumunan lebah. Masyarakat lebah tidak pernah ngomong saja tetapi terus berproduksi.

Masyarakat lebah juga merupakan masyarakat yang sangat hirarkis, menjalankan langsung perintah yang bersifat top down. Jika kita mencoba melihat China sebagai raksasa yang luar biasa, maka dapat pula kita lihat penanaman kepatuhan yang luar biasa dari pemimpinnya untuk rakyatnya. Pemimpinnya mengatur semua lini kehidupan sampai hal terkecil sekalipun. Contoh kecil ketika membeli barang yang sangat murah pun bisa diantar sampai depan rumah tanpa ongkos kirim. Disana tidak ada kekayaan pribadi tanpa adanya acuan kemanfaatan bersama.Demikan halnya dengan Iran. Negara yang sudah diembargo bertahun-tahun lamanya namun masih bisa tetap eksis. Setiap jajaran masyarakat tahu diri. Jika dia adalah karyawan maka hanya menjalankan perintah tanpa banyak bertanya. Entah disuruh menanam apa, membersihkan apa namun jelas kemanfaatannya. Hal ini yang dilakoni Kiai-Kiai sepuh jaman dulu.Metode demikian sangat cocok untuk dikembangkan di pondok, asalkan visi Kiai nya jelas. Bagai negara “China kecil” atau “Iran kecil” menurut Pak As’ad.

Uraian Pak As’ad ini kemudian disambung dengan tanggapan oleh Mas Sabrang. Menurut Mas Sabrang, meskipun negara China bisa menjadi salah satu protipe berkomunitas, namun ada hal yang boleh jadi menjadi PR bersama yakni tidak seperti China maupun seperti Iran melainkan seperti lebah yang seolah meletakkan kepemimpan dalam standar hirarki abdi dan Tuhan. Selengkapnya nantikan bagian berikutnya.

 

 

Andhika Hendryawan