Sejak awal mula sejarah manusia, peristiwa monumental yang menandai hijrah Nabi Adam ‘alaihissalam dari surga ke bumi tidak bisa dilepaskan dari persoalan makanan. Bukan sekadar kisah “makan buah terlarang”, tetapi lebih dalam lagi—ia adalah simbol pilihan, kesadaran, dan arah hidup manusia. Di titik itu, makanan tidak hanya berfungsi sebagai pengisi perut, tetapi menjadi pintu pembuka bagi dimensi tanggung jawab, hukum, dan konsekuensi peradaban. Dari buah quldi itu, manusia belajar bahwa makan bukan sekadar aktivitas biologis, melainkan keputusan spiritual yang menyingkap tabir antara ketaatan dan pelanggaran, antara kelestarian hidup dan awal “penderitaan”.
(Makanan adalah Pendidikan utama di Bumi. Bumi adalah Madrasah besar. Tatanan Pangan berupa pertanian dan peternakan adalah ihtiar besar Nabi Adam dalam rangka upaya membersihkan jasad sebagai wadah Ruh, dan mengaktivasi Potensial Diri yaitu Kalimat Thoyibah, yang Allah sendiri menyematkannya dalam diri manusia, sebagai “kunci” untuk kembali “pulang”)
Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali menyinggung soal ṭa‘ām (makanan) dan rizq (rezeki), bahkan mengaitkannya dengan kalimat yang disebut ṭayyibah—suci, bersih, penuh berkah. Sebagaimana firman-Nya dalam QS Ibrahim: 24
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا كَلِمَةٗ طَيِّبَةٗ كَشَجَرَةٖ طَيِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتٞ وَفَرۡعُهَا فِي ٱلسَّمَآءِ
A lam tara kaifa ḍaraba-llāhu mathalan kalimatan ṭayyibatan kashajaratin ṭayyibah aṣluhā thābitun wafar‘uhā fis-samā’
“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimah ṭayyibah) seperti pohon yang baik, akarnya menghujam kuat dan cabangnya menjulang ke langit.”
Peradaban manusia, dari sejak Nabi Adam hingga dunia modern hari ini, selalu berputar pada urusan “Pangan dan Kalimat”. Dari pangan lahirlah kekuatan ekonomi dan kelestarian hidup; dari kalimat lahirlah arah budaya, agama, bahkan politik. Jika makanan tercemar, lahir penyakit. Jika kalimat tercemar, lahir fitnah, permusuhan, dan kehancuran sosial.
Oleh karena itu, membicarakan Makanan dan Kalimat Toyyibah bukan sekadar wacana normatif agama, melainkan jalan napak tilas peradaban. Ia mengajak kita menyadari bahwa makanan adalah cermin peradaban lahiriah, sedangkan kalimat toyyibah adalah cermin peradaban batiniah. Dan keduanya bertemu di dalam diri manusia, di mulut yang sama: tempat masuknya makanan, dan tempat keluarnya kalimat. Maka, barang siapa menjaga apa yang masuk dan menjaga apa yang keluar, ia akan menemukan dirinya dalam keseimbangan antara bumi dan langit, antara sejarah dan masa depan, antara jasad dan ruh.