TAN MANGROWA DHARMA
(Kebajikan Tiada Mendua)

Hidup adalah mengakurasi kesaksian. Mari kita runut,

Segala Puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, Sumber segala kebajikan.

Dalam perjalanan hidup, manusia memiliki tugas dan tanggung jawab yang telah ditetapkan sejak awal penciptaannya. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam QS Al-A’raf: 172, di mana naluri kebertuhanan ruh manusia bersaksi kepada Allah SWT atas Ketuhanan-Nya dengan kalimat:

Alastu bi Rabbikum?” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?)

Balaa syahidnaa.” (Benar, kami bersaksi.)

Pengakuan ini bukan sekadar pernyataan, tetapi sebuah janji suci yang menuntut konsekuensi besar: manusia harus hidup dalam ketaatan kepada-Nya, menjalankan perintah-Nya, dan menjaga kesucian hati serta amal perbuatan.

Manusia lahir sebagai Jalma, dikaruniai lupa, namun dilengkapi perangkat atau perangan-perangan diri yang sekaligus sebagai “gurunya”, diantaranya adalah Jasad, Nafsu, Pikir, Adab, Akhlak, Akal, Iman. Juga bersanding dengan alam semesta yang meliputi Matahari, Bulan, Bintang, Langit, Angin, Air, Api, Bumi (Hasta Brata). Lalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dirinya, untuk menjalankan tugas, titah, amanah, sebagai Janma (Hasta Janma).

Dalam tradisi spiritual Nusantara, konsep ini sejalan dengan ajaran Tan Mangrowa Dharma, yang menekankan bahwa manusia tidak boleh hidup tanpa dharma atau pegangan hidup. Setiap individu memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memahami asal-usulnya (sangkan) dan tujuan akhirnya (paran), yaitu kembali kepada Tuhan dengan jiwa yang bersih dan penuh kebajikan.

Dalam sejarah peradaban Jawa, kepemimpinan tidak hanya dipandang sebagai kekuasaan semata, tetapi juga sebagai amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Konsep Hasta Brata, yang berarti delapan laku kepemimpinan, mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus meneladani sifat-sifat alam semesta—matahari yang memberikan keadilan, bulan yang meneduhkan, bintang yang menjadi pedoman, langit yang luas dan sabar, angin yang dinamis, air yang menyejukkan, api yang berani, dan bumi yang penuh keteguhan.

 

Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi bangsa dan masyarakat kita saat ini, konsep Hasta Brata menjadi semakin penting. Seorang pemimpin, baik dalam lingkup pemerintahan, organisasi, maupun keluarga, harus mampu menjalankan tugasnya dengan kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan ketulusan hati. Tanpa nilai-nilai ini, kepemimpinan akan kehilangan esensinya dan dapat menyimpang dari prinsip utama, sebagaimana diingatkan dalam ajaran “Tan Mangroa Dharma”—bahwa dharma atau kebenaran tidak boleh menyimpang atau kebajikan tiada mendua”

Oleh karena itu, sebagai manusia yang telah mengikrarkan janji kepada Tuhan, kita dituntut untuk selalu menjaga keseimbangan antara lahir dan batin, menjalankan dharma dengan penuh kesadaran, serta menjadikan kehidupan ini sebagai jalan menuju kebenaran dan kebijaksanaan. Semoga kita senantiasa diberikan petunjuk dan kekuatan dalam menjalani perjalanan spiritual ini. Aamiin.

 

Langit Ijabah

Dalam keheningan malam, di bawah langit yang terbentang luas, seorang hamba menemukan ruang untuk berbicara dengan Tuhannya. Malam bukan sekadar ketiadaan cahaya, tetapi sebuah panggilan untuk memasuki dunia yang lebih sunyi—dimana bisikan hati lebih nyaring dari kebisingan dunia, dan di mana ruh lebih leluasa berlayar menuju cahaya Ilahi.

 

Malam merupakan situasi dimana banyak orang menghindarinya, banyak yang takut, banyak yang terlelap dalam buaian mimpi yang nyenyak. Malam bisa suatu lambang dimana seseorang menjadi begitu takut menghadapi dan menyelaminya, ia bisa berupa kesedihan, kenestapaan, kesepian, kesendirian, kesempitan jarak pandang, dan lain sebagainya.  Namun Malam yang ditakuti nyatanya tidak selalu sepakat dengan rasa takut tersebut, ia membentangkan keluasaan, menaburkan cahaya, menghadirkan cahaya rembulan, mengiringkan nyanyian melalui lafadz merdu para serangga dan burung malam.

 

Dalam syair yang mengalun di bawah gemerlap bintang, kita menemukan narasi yang lebih dalam dari sekadar keindahan alam. Kita tidak hanya melihat bintang sebagai titik cahaya, tetapi sebagai simbol petunjuk yang mengarahkan kita kepada Allah, Dzat yang Maha Cahaya. Angin yang berbisik di antara awan bukan sekadar fenomena alam, melainkan laksana wahyu (berkah ilmu dan petunjuk) yang membawa hikmah bagi siapa pun yang merenung dalam diam.

 

Setiap malam yang sunyi adalah ladang bagi doa-doa yang naik ke langit. Dalam kelelahan dunia, seorang hamba mengangkat tangannya, mencari jawaban dalam keheningan, mencari pelukan dalam sujudnya. Allah, yang Maha Mendengar, Maha Menjawab, dan Maha Penyayang, telah membentangkan langit ijabah bagi siapa saja yang bersungguh-sungguh dalam permohonannya.

Tancep Kayon 2024
Mbangun Tresno

Alhamdulillahi Robbil ‘aalamiin, telah sampai di penghujung Desember 2024. Bulan “Sakral” bagi Majlis Gugur Gunung, dimana keluarga gugurgunung bahu-membahu, berusaha kumpul setelah mungkin pada bulan-bulan sebelumnya di tahun ini belum dapat merapat. Bulan Desember sebagai tanda bahwa minimal setahun sekali kita bisa berkumpul secara utuh. Secara sejarah, Tancep Kayon memang digunakan untuk merayakan proses dan keberanian untuk mengerti kapan harus berhenti dari pada terus ahli dalam hal terus memulai tiada henti.

Sepanjang 2024 ini, pada setiap bulannya, Majlis Gugurgunung mencoba merespon keadaan baik dari dalam diri maupun dari luar diri. Kemudian Berjalan dengan mengendarai tema sebagai berikut :

– REJEBAN (Bedhol Kayon 2024)

– MANTRA SESRAWUNGAN.

– SA RAHAS SEMI.

– AWITANING RAH.

– HARI RAYYA PUISI.

– NUSANTARA CANTIK.

– TAQWIM.

– FUN – TACY (Ketagihan Bungah).

– TEKAD SEMI.

– SINAU TANJUNG WICAKSONO (Teguh dan Bijaksana).

– SILATNAS JOGJA.

Rangkaian proses perjalanan yang telah memproduksi asupan asupan Budi dan Daya, untuk kemudian gugurgunungan menengarai Tancep Kayon 2024 ini dengan membangun tema besar, ”MBANGUN TRESNO”

Cinta adalah esensi yang mendasari seluruh jagad semesta. Seperti pohon yang menjulang, cinta mengakar pada Sang Pencipta, sumber dari segala cinta. Dalam skema kehidupan, cinta bukan sekadar emosi atau dorongan, melainkan energi Ilahi yang mengalir dari-Nya kepada ciptaan-Nya. Ia tersebar menjadi beragam fenomena, dari rasa kasih antar manusia hingga keharmonisan alam semesta. Mencintai Tuhan adalah puncak perintah, namun yang lebih utama bagi seorang hamba adalah menjadi penerima cinta-Nya, karena cinta sejati bermula dari santunan-Nya yang tiada habis.

Fenomena cinta sering kali diinterpretasikan melalui elemen-elemen alam. Kadang ia seperti api yang membakar, seperti angin yang misterius namun menghidupi, seperti tanah yang menopang, atau seperti air yang membawa kesejukan. Namun, cinta sejati bukanlah benda yang bisa terlihat atau disentuh; ia adalah rahasia yang melintasi dimensi rasa, karsa, hingga raga. Kesalahpahaman cinta sering kali menciptakan kerusakan, tetapi cinta yang sejati selalu membangun, menyuburkan, dan membawa harmoni.

Membangun cinta atau mbangun tresno berarti memahami cinta bukan sebagai objek yang bisa dipahami sepenuhnya, melainkan sebagai pengalaman yang dirasakan dan dijalani. Tak perlu mendefinisikannya secara rinci, cukup menjadi ahli cinta dengan menjalankan peran kita sebagai sungai-sungai kecil yang menyalurkan Cinta-Nya. Dengan itu, cinta menjadi kekuatan yang menyatukan dan memperbaiki, baik dalam hubungan antarmanusia maupun dengan Sang Khalik.

 

 

 

 

 

 

 

SINAU TANJUNG WICAKSONO

Tangguh dan Bijaksana

Kita semua tentu pernah mengalami peristiwa duka dan suka dalam hidup ini. Setiap peristiwa tersebut hadir sebagai pelajaran berharga, agar kita bisa tumbuh, layaknya pohon besar yang kokoh. Namun, kebesaran sebuah pohon bukan hanya terletak pada bentuknya yang menjulang, melainkan pada manfaat yang diberikannya kepada sekitarnya. Sama halnya dengan peristiwa-peristiwa yang kita alami di dunia ini, yang sejatinya terjadi karena kehendak dari Dzat Yang Maha Besar dan Maha Tinggi, yaitu Allah SWT.

Begitu pula halnya dengan peran yang kita jalani dalam kehidupan. Tidak ada peran yang benar-benar besar atau kecil, apalagi jika penilaian tersebut hanya berdasarkan apa yang tampak di mata manusia. Derajat dan kebesaran peran seseorang bukanlah diukur dari seberapa memukau penampilannya di hadapan manusia, melainkan dari ridha Allah SWT. Peran tersebut akan semakin besar jika turut mendapat ridha dari sebanyak mungkin orang yang merasakan kebaikannya.

Karena itu, peran seorang tukang sapu tidak otomatis lebih kecil dari komisaris sebuah perusahaan. Peran seorang penerbang juga tidak serta merta lebih tinggi dari seorang penyelam. Dalam kehidupan, ada yang berusaha menciptakan ilusi bahwa satu peran lebih besar dan bermartabat daripada yang lain, seolah kita didorong untuk berlomba menjadi yang paling besar dan paling tinggi. Namun, di sinilah kita harus belajar mengenai ketajaman, keteguhan, dan kebijaksanaan dalam memaknai kehidupan.

Lihatlah pohon Tanjung. Meski pohon ini besar dan tinggi, ia bijaksana dalam memilih untuk tidak berbuah besar seperti tomat. Sebaliknya, buahnya kecil, namun pohon ini memberi keteduhan dan menaungi orang-orang di bawahnya. Ketika buahnya jatuh, ia tidak melukai mereka yang berlindung di bawah naungannya. Inilah kebijaksanaan yang harus kita pelajari: bahwa sebuah peran tidak perlu terlihat besar dan mencolok untuk membawa manfaat yang besar. Yang terpenting adalah bagaimana peran tersebut dijalani dengan penuh kebijaksanaan dan tanggung jawab, sebagaimana pohon besar yang akarnya menghujam dalam, memberikan manfaat bagi sekitarnya tanpa merugikan siapa pun.

Tema ini juga sekaligus didedikasikan oleh keluarga majlis gugurgunung untuk almarhum mas Gandhie Tanjung Wicaksono yang telah berpulang ke Rahmatullah.

TEKAD SEMI

Berkah Wulan Mulud

Tema “TEKAD SEMI” yang diusung oleh Majlis Gugurgunung bertepatan dengan bulan Rabiul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, menjadi simbol keindahan pembaruan dan kebangkitan. “Rabi‘” dalam bahasa Arab berarti “musim semi,” yang menandakan sebuah fase kehidupan baru setelah melewati masa-masa yang penuh tantangan.

 

Seperti musim semi yang menghidupkan kembali alam setelah masa dingin yang panjang, bulan ini menjadi pengingat penting bagi kita untuk selalu memperbarui tekad, harapan, dan semangat dalam menjalani hidup. Kelahiran Nabi SAW bukan hanya sebuah peristiwa sejarah, tetapi juga sebuah momen spiritual yang mendorong kita untuk terus menumbuhkan nilai-nilai kebajikan dan cinta dalam setiap aspek kehidupan.

 

Musim semi, dalam simbolisme berbagai budaya, kerap dilihat sebagai momen kelahiran kembali—masa ketika alam menunjukkan pertumbuhan, optimisme, dan kesuburan. Begitu juga dalam kehidupan manusia, momen ini mengajak kita untuk merenungi siklus kehidupan dan kebangkitan yang kita alami setiap hari. Dari matahari terbit hingga terbenam, setiap momen adalah kesempatan untuk memperbaharui diri, baik secara jasmani maupun rohani.

 

Dengan demikian, “TEKAD SEMI” adalah pengingat akan pentingnya pembaruan dalam kehidupan kita sehari-hari, di mana kita senantiasa menjaga keseimbangan antara bekerja, beribadah, dan menciptakan harmoni dengan sesama, sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Muzzammil: Allah selalu memberi keringanan kepada hamba-Nya untuk menjalani kehidupan dengan tekad yang penuh, dalam keseimbangan antara dunia dan akhirat.

 

Tekad Semi adalah panggilan untuk kebangkitan, harapan, dan pembaruan dalam diri—menyongsong hidup dengan penuh syukur dan cinta.