Mempuisikan puasa kehidupan

 

Hidup penuh hidangan, tidak semua yang bergizi tampil dengan menarik justru yang tidak bergizi sering tampil menarik. Ilmu puasa diperlukan untuk memilih dan memilah. Sehingga tiap-tiap waktu adalah pengendalian, kewaspadaan memilih, kecermatan memilah, maka konsep puasa telah diterapkan.

 

Berpuasa itu bukan fenomena kekurangan namun mengurangi. Bukan fenomena kemiskinan namun mencukupkan. Bukan fenomena menahan diri tapi mengenal porsi. Puasa juga mau memilih hal-hal tidak menarik sebab tahu bahwa itu bergizi. Pilihan tersebut menguntai. Betapa indahnya sehingga melantun sebagai bait-bait syair yang penuh makna dan pendalaman.

 

Romadhon adalah puasa wajib namun kewajiban berpuasa bisa diberlakukan selain romadhon. Sebagaimana kita selalu mengidamkan hidup dalam keseimbangan dan terkendali tidak hanya dalam satu bulan, melainkan sepanjang tahun bahkan sepanjang kehidupan.

 

Mari kita berpuisi di tengah bulan puasa ini, dimana bait-baitnya adalah perilaku, syairnya adalah cinta, lekuk dan pekikannya adalah jelmaan keindahan yang ngejawantah dalam kata dan saling menjaga. Sebab waktu berkata, angin berkata, laut berkata, langit berkata, mata kita berkata, lapar kita berkata, nikmat kita berkata, sedih kita berkata. Bahasanya berbeda, tapi caranya sama saja: bersyair.

 

Keluarga gugurgunung kembali menghelat Sinau Bareng bulan inin, berkenan menghadiri?
Monggo sugeng rawuh sugeng piranak.

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Pada bulan Maret ini kulawarga Gugurgunung mencoba merekonstruksi lagi beberapa komponen penting bangunan “rumah”nya. Dari beberapa personil yang masih aktif, menopang kembali peran-peran penting atau mengaktifkan kembali peran-peran yang sempat kurang optimal. Salah satu referensi pola yang teranyam adalah Sya’ban atau Ruwah. Yakni bulan penting yang sejak 2018 disepakati sebagai momentum “Tunas”.

 

Pawon kini kembali menyala, memasak bahan-bahan oleh tangan-tangan terampil berdasar potensi masing-masing, dengan dasar ilmu Candra (panyandra). Ringkasnya yaitu, setiap personal kulawarga Gugurgunung menjalankan perannya masing-masing sebagai upaya memberikan konstribusi “cahaya rembulannya”. untuk terkumpul sebagai himpunan cahaya yang “Purnama”.

 

Dasar pijakan lainnya adalah sikap utama kulawarga gugurgunung yakni, “menggugurkan diri”. Sebisa mungkin menghindari umuk dan sombong. Tak minat pada pameran kesaktian, kepandaian, kekayaan, kepopuleran, dslb. Terus teguh tak peduli dan kagum pada hal-hal tersebut, yang seringkali hanya untuk meningkatkan mutu kesombongan seseorang secara laten. Memilih sikap lebih tegas kepada potensi-potensi meremehkan, baik ke dalam maupun ke luar.

 

 

قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

 

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim).

 

Mengutip hadist di atas, tentulah kita sudah tidak asing dengan salah satu bentuk ungkapan nafsu, yakni sifat sombong. Tak seorang pun yang membaca ini termasuk yang sedang menulis ingin menjadi pihak yang masuk dalam golongan orang-orang sombong. Namun dalam kenyataan hidup, apa yang tidak kita maui terkadang bebas hinggap dalam diri seperti ketombe atau jamur kulit.

 

Sadar atau tidak sadar kita semua pasti pernah atau bahkan sedang melakukan perilaku sombong tersebut. Apakah kesombongan hanya sebatas bangga atas apa yang dia punya dengan meremehkan hal lain di luar dirinya dengan jumawa? atau barangkali ada varian lainnya? Bagaimana pula setitik kesombongan mampu menghambat seorang hamba memasuki surga? Mengapa setitik ini menjadi begitu serius? Bagaimana pula cara mengelola sifat sombong tersebut? atau bahkan barangkali ada jimat  tolak balak (menolak efek destruksi) yang timbul akibat kesombongan.

 

Monggo silakan melingkar bertikar bersama kami jika berkenan bergabung dalam kebersahajaan silaturahmi. Kami menyambut baik setiap kebaikan dan tak punya cukup kecakapan untuk menyambut kebaikan secara sempurna, baik dari sisi tempat, suguhan hiburan, dan hal lain. Namun, kami tetap berusaha menyambut secara patut. Katuran pinarak, melingkar, meluruhkan diri dalam rindu, saling membahagiakan satu dengan yang lain untuk sinau bareng di malam menjelang Nisfu Sya’ban yang penuh makna.

 

Bismillah, terpinta dengan tengadah. Gusti Allah dan Kanjeng Nabi membersamai kita Aamiin.

 

 

 

-Tim Pawon Sinau Bareng MGG-

MADU LUMEBER TUMETES

Mengartikan diam sebagai pilihan aktif dalam bersikap. Diam kan statis, sedangkan untuk aktif butuh dinamika. Seperti kita semua tahu, kondisi saat ini tengah ada anjuran tingkat dunia bahwa manusia dianjurkan untuk diam di rumah. Tentunya bukan berarti setelah berada di rumah hanya diam. Mereka tetap beraktifitas dan menjalankan fungsi lumrah kemanusiaan sebagai kegiatan sehari-hari. Oleh sebab demikian, maka diam di rumah tidak bisa disebut sebagai proses statis dan stagnasi, kecuali ketika seseorang telah kehilangan gairah perjuangan hidup, tak punya inisiatif, hingga kehilangan kreatifitas, dimana kreatifitas itu lahir proses syukur, sabar, cita-cita dan gairah mengkontribusi. Syukur dengan pengetahuan yang kita punya, maka ia melakukan percobaan. Sabar pada ketidaktahuan maka butuh menambah pengalaman. Dikarenakan ada cita-cita dengan demikian ia melangkah. Dengan adanya gairah mengkontribusi, membuat ia mengharuskan dirinya sendiri meskipun tak ada yang menharuskan.

 

Seseorang yang kreatif selalu punya peluang emas untuk berkreasi, tak jarang bahwa produk yang brilian muncul justru pada kondisi sempit dan terdesak. Maka mengertikan diam sebagai sikap aktif adalah proses pengeraman atau proses fermentasi dimana seolah tak banyak berinteraksi aktif secara luas namun justru tengah menjalankan pertapaan karya gemilang, yang justru proses pengeraman atau pun proses fermentasi tersebut akan ‘gagar’ atau batal jika tak diam atau menutup diri.

 

Telur yang kemudian hari menetas, ia memerlukan kesanggupan untuk diam dan terjaga suhunya. Ia akan berakhir sebagai telur ceplok atau dadar kalau berkeliaran di atas wajan panas berisi minyak goreng. Nektar tak akan menjadi madu jika tak didiamkan pada sebuah ruang tetap dan terjaga temperaturnya dalam kurun waktu yang lama. Keberhasilan lebah memperoleh nektar karena mereka melakukan penjelajahan dan sikap dinamis yang kentara, namun untuk menjadikan nektar menjadi madu justru harus menetap dan terjaga di rumahnya. Sehingga berkeliaran adalah mencari bahan baku dari hamparan karunia Tuhan yang ditaburkan ke bumi. Dan tinggal di rumah adalah memproses bahan-bahan dari hasil unduhan karunia tersebut menjadi produk yang berkhasiat dan dicari banyak orang.

 

Kondisi ini perlu kiranya kita telisik, sesungguhnya rumah yang dihuni oleh masyarakat Maiyah itu apa? Dimana? Dimana ruang tamunya, ruang keluarga, kamar-kamar tidur, jedhing, dapur, pekarangan, dan halamannya? Tentunya hampir seluruh masyarakat Maiyah tahu dan oleh sebab demikian marilah kita semua tak usah terlalu peduli pada virus-virus kepentingan, hasutan, dan segala ocehan sampah yang tak pernah mampu menghasilkan manisnya kehidupan, justru mbudhet, mbulet, pahit dan saling menebarkan kegetiran. Sebaiknya kita tetap tinggal di rumah, tak berhias seperti kaum jahiliyyah, dan agar Tuhan membersihkan diri kita, sebersih-bersihnya.

 

وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا ۚ ﴿الأحزاب : ۳۳﴾

 

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab: 33)

 

 

MUMPUNG PADHANG REMBULANE, MUMPUNG JEMBAR KALANGANE.

 

Apabila orang diminta untuk menyaksikan bulan, bukankah ia perlu menunggu malam tiba? Bukan soal waktu tapi soal suasana. Pada malam menghadirkan suasana gelap, sehingga akan memperlihatkan taburan cahaya langit dan benderangnya rembulan. Dan saat malam tiba dan ternyata bulan tidak nampak, apakah mendung? Apakah akhir bulan? Atau bagaimana apabila ternyata kita lah rembulannya? Ah tentunya sama sekali tidak mungkin bukan?

 

Ummat Islam punya utusan yang kepada beliau tersemat sebagai “Syamsun”, “Badrun”, bahkan “nuurun fawqo nuurin”. Beliau matahari, karena risalah yang beliau emban membawa cahaya yang menyibak kelamnya kebodohan dunia. Dan beliau adalah rembulan, karena beliau punya ummat yang siap muncul melanjutkan cahaya pada saat kebodohan berusaha tampil kembali berniat menenggelamkan risalahnya. Lalu apakah kita sekadar qomar, sekadar rembulan? Ataukah badrun, bulan purnama? Mari kita ingat segitiga cinta yang Mbah Nun ajarkan kepada kita anak cucunya.

 

“Mumpung jembar kalangane”. Kalangan adalah cahaya melingkar yang mengelilingi rembulan, sehingga hanya tampak saat bulan berbentuk bulat. Saat bulannya sabit kemungkinan kecil untuk bisa muncul. Sehingga orang-orang membuat kalangannya sendiri. Ada kebiasaan yang rutin dimeriahkan setiap malam purnama; Pandhang mbulan. Pada saat bulan mulai bulat apalagi purnama, orang-orang keluar dari rumahnya meleburkan pada kalangan rembulan. Dengan melantunkan tetembangan, bercengkrama dengan tetangga meski hanya duduk di lincak beranda sambil berkepul asap rokok, wedang, dan panganan, ada keceriaan anak-anak yang dolanan di halaman, ada pula yang berbagi kebahagiaan lain yang pada intinya tetap ingin terlibat dan menyatu pada kemeriahan pesona Badrun tersebut.

 

Demikian pula peristiwa pada kehidupan. Keutuhan tampil sebagai rembulan adalah kebutuhan membawakan diri sebagai penerus perjuangan dari yang telah dirintis dan diperjuangkan oleh para Nabi dan dipungkasi oleh Rasulullah Muhammad SAW. Perjuangan itu memerlukan kebulatan agar tidak menghadirkan bulan-bulan sabit tidak bulat dan tak benderang. Sebagaimana bahwa kanjeng Nabi tak membuat akhlaknya menjadi baik hanya sebulan sekali, melainkan setiap saat. Saat ummat penerus ini lemah, sehingga tampilannya tidak utuh, maka keberadaannya tak benar-benar menjadi faktor yang dirindukan dan tidak menjadi toloh utama di saat kelam. Orang-orang akan berkumpul secara terpisah dan membuat kalangan sendiri-sendiri untuk tampak paling mumpuni sebagai yang paling benderang. Ada kalangan politik, ada kalangan seni budaya, ada kalangan pecinta lingkungan, ada kalangan selebritis, ada kalangan terpelajar, ada kalangan petani, ada kalangan pedagang, ada kalangan pengusaha, ada kalangan ulama, ada kalangan priyayi, ada kalangan dukun,hingga kalangan penggemar sinetron. Kalangan demi kalangan akan terus muncul dan kian tak bermutu karena tak segera berjumpa kalangan rembulan yang membenderang dari langit dimana cahaya purnamanya yang lembut tertebar indah dan ramah ke penjuru permukaan bumi, cahayanya yang indah dan ramah merasuk ke dalam setiap sanubari. Ramah dan indah pangan dan pertaniannya, ramah dan indah politiknya, ramah dan indah seni budayanya, penataan lingkungan dan alamnya, ramah dan indah perdagangannya, pendidikannya, hankamnya, teknologinya, para orangtuanya, anak-anak dan generasinya, ramah dan indah al-mutahabbina Fillah.

 

Ungaran, 27 Februari 2021

Tancep Kayon Majlis Gugur Gunung 2020
“Sinau Gugur”

2020 merupakan lanjutan dari tahun tandhang. Juga dimulainya rintisan pilihan daur kulawarga gugurgunung yaitu “Revolusi Kultural”. Dengan memilih jalur culture atau pertanian sebagai salah satu upaya yang ditempuh.

Lantas dunia diterpa pandemi. Untuk menghormati berbagai aspek, maka rutinan secara formal sempat jeda. Sehingga tak banyak tema yang bisa diangkat dalam sinau bareng tiap bulannya. Namun justru sangat banyak sekali tema tema “non formal” yang dapat kami jalani, melalui kegiatan bertani maupun berkebun tersebut. Lingkaran sinau bareng yang tadinya rutin sebulan sekali, justru menjadi lebih repetitif dalam hitungan hari atau maksimal minggu. Berupa lingkaran lingkaran kecil yang justru nandangi tema-tema besar.

2020 juga merupakan fenomena yang dahsyat. Keluwarga Gugurgunung dipertemukan dengan orang orang yang pintar namun juga berperangai minteri atau ngakali. Hadir orang orang dengan bergaya penolong namun ternyata culas yang justru tega mengambil keuntungan dari keadaan susah oranglain. Juga orang-orang yang tega mencelakai dengan kedok ahli mengobati. Berpenampilan alim ternyata lalim. Ahli tani ternyata hama nyata yang menggerogoti kebon maiyah kami dari dalam.

Betapa tahun ini keluarga kecil ini dikepung oleh caci maki, hujatan, fitnah-fitnah keji, upaya-upaya perpecahan. Sinau dan Sholawatan di rumah diawasi. Sinau dan Sholawatan di kebun dicurigai sesat. Tanaman kebun kami dicemooh. Saat kemarau di wanti wanti, katanya air ini untuk petani sini. Saat kami bikin sumur untuk mengupayakan air sendiri, dicemooh dan ditertawakan. Saat hujan, air dilimpaskan dan digelontorkan ke kebon kami. Saat sawah kami tergenang air dan bacek sehingga tanaman kebun kami jamuran, ditertawakan lagi. Disepatani terus menerus. ‘Cikal’ dan ‘Bakal’, sepasang anak kambing yang kami angon di kebun, dan sempat menjadi mata pelajaran bagi anak-anak dari kulawarga, gugur juga tega dicuri. Ada pada saat panen raya kebon kami dihantam kebijakan rendah serendah-rendahnya harga pasar. Saat harga pasar tinggi, kami dihinggapi berbagai masalah hama.

Reridu sebagaimana hujan yang deras menghujam. Namun kami mencoba terus berupaya menderas hudan hudan. Kakawin Adalah pasangan Reridu. Kami belajar bagaimana tanaman beradaptasi dengan lahan, dengan cuaca, dengan musim, dengan waktu, dengan hama, dan seterusnya sangat banyak sekali. Kami menemukan variabel-variabel. Kami mencoba menganyam pola-pola. Kami berupaya tekun niteni gejala gejala.

Bahkan dengan itu semua kami diperkenankan merintis berbagai bidang keahlian. Diantaranya : Sistem pengairan sawah, dimensi bedengan, pola tanaman, identifikasi tanaman, nyemai benih, fermentasi pupuk, meramu obat-obatan untuk tanaman, dan sebagainya sangat banyak sekali. Kami sungguh panen “Cara”. Memang banyak persoalan yang teridentifikasi sebagai kesulitan yang seolah hendak mendorong untuk mundur namun pada segala gelaran ini pula senantiasa dibarengi dengan kenikmatan yang datang bertubi-tubi sehingga mengencangkan niat dan menyorong langkah untuk kembali melipatkan rasa syukur.

Kakawin ternyata juga turun sebagaimana hujan yang deras menghujam. Kami kian tekun menderas hudan hudan. ‘kakaWin reriDu’ atau WinDu adalah sebuah putaran waktu dengan segala fenomenanya. Sangat berat karena kurikulum yang idealnya ditempuh dalam kurun waktu 8 (delapan) tahun ini, harus mengalami percepatan waktu tempuh hanya dalam 1 (satu) tahun. Benar benar berat, sangat menguras energi, memeras pikiran, mengaduk-aduk perasaan, jiwa, raga, dan lain sebagainya. Namun inilah cara yang kami pahami bahwa Allah hendak mendewasakan kami dan menarik langkah-langkah kami dalam kereta Iradah-Nya yang anggun dan penuh kejutan. Dan inilah revolusi kultural sehingga ada medan laga yang tentu harus dimasuki dan mengadapi dalam mripat rahmat kepada gelap maupun terang.

Hasil panen dari kerja keras keluwarga gugurgunung tersebut awalnya ingin kami tengarai sebagai “Gemah Ripah” pada pagelaran Tancep Kayon. Namun urung. Kemudian kami lebih memilih “Gugur” sebagai tengara kurikulum tahun ini. Tahun yang mungkin akan menjadi momentum yang paling diingat-ingat sepanjang perjalanan gugurgunung selama ini. Tahun yang juga sangat pedih oleh banyaknya peristiwa tanggal. Oleh anggota keluarga gugurgunung yang kini hanya menyisakan separo. Juga tahun dimana orang-orang yang kami cintai dan sangat mencintai kami sedang menjalani puncak proses dicintai Allah. Ialah Beliau Syeikh Kamba, Ki Seno, Pak Iman, dan tokoh-tokoh lainnya, laksana barisan besar yang diperbondong-bondongkan kondur dengan iringan rebana dan lantunan sholawat Mamak Camana.

Gugur bukan kematian, bukan kemusnahan, bukan kebinasaan. Gugur adalah kesadaran menunaikan fase paran. Tancep Kayon Majlis Gugur Gunung dengan tema besar “Sinau Gugur” ini kami rancang dengan sangat sederhana. Bahkan untuk menghormati dan saling menjaga keadaan, kami tidak mengundang nara sumber sebagaimana tradisi gelaran tancep kayon tahun-tahun sebelumnya. Namun, tentunya kami juga tak mungkin sanggup menolak kehadiran kehadiran para dulur-dulur yang ingin membersamai gelaran acara ini. Maka bagi yang belum bisa hadir, ijinkan kami menghadirkan panjenengan semua dalam gelembung cinta dan kasih-sayang.

Mari Sinau Gugur, bersama Majlis Gugur Gunung, di lembah kaki Gunung Ungaran. Pada plataran situs Air Suci Komplek Candi Gedhong Songo. Semoga Allah mengijinkan.

 

Nyuwun tambahing pangestu. 🙏🙏🙏

WIDYA DESA
– Murid Mencari Guru –

Ada momentum dimana seseorang akan ‘mengalami’. Maka dari yang ia alami tersebut jadilah pengalaman. Dari pengalaman itu terjadilah ilmu. Pada sekumpulan ilmu terjadilah pengetahuan. Pengetahuan baru semakin menjadi kelengkapan data untuk diterapkan. Penerapan pengetahuan menjadi pengalaman. Pengalaman menjadi ilmu. Terus seperti itu. Setiap penerapan ilmu menjadi data baru sehingga ia kembali menjadi pengetahuan secara lebih kaya dari sebelumnya. Kekayaan itu menjadi kekayaan pengetahuan.

 

Kekayaan pengetahuan dikumpulkan dari sekian ilmu dari sebanyak-banyak pihak yang bergotong-royong membangun pengetahuan. Setiap individu yang berpengetahuan akan merasa perlu menyumbangkan pengetahuannya yang berasal dari persentuhan diri pada pengalaman. Individu yang berpengetahuan merasa perlu memiliki pendamping atau mitra yang sama-sama berpengetahuan. Oleh sebab demikian orang yang memiliki pengetahuan membutuhkan oranglain yang sama-sama mengetahui untuk menegaskan bahwa dirinya tidak sendirian.

 

Jika kemudian individu ini menggumpal menjadi masyarakat, maka terciptalah masyarakat berpengetahuan dan terus belajar bersama dengan aplikasi dan kreatifitas agar ilmunya teraplikasi dan pengetahuannya semakin luas. Pengetahuan seperti penampang sedangkan ilmu seperti tiang pancang. Tanda-tanda masyarakat berilmu adalah sikap utamanya saling membantu, melengkapi, dan menambal kebocoran pada himpunan yang ia singgahi.

 

Jika, individu saja menghendaki mitra atau pendamping yang sama-sama berpengetahuan, maka demikian pula masyarakat yang berpengetahuan. Mereka akan mencoba melakukan perluasan dan membangun ikatan kepada masyarakat lain yang memiliki corak dominan memperhatikan dan merawat pengetahuan. Masyarakat yang lebih berpengetahuan akan mengajarkan kepada masyarakat lain.

 

  1. Masyarakat jasad akan membangun singgahan jasadiah
  2. Masyarakat ideologi akan membangun ruang idealis
  3. Masyarakat spirit akan membangun mutu/ bobot spiritualitas.

 

Masyarakat berpengetahuan juga memiliki kesadaran penangkaran atau pembenihan. Sepak terjangnya memiliki mental bawah sadar untuk mendukung sustainabilitas ilmu pengetahuan yang menjadi aset masyarakatnya agar tetap survive. Agar ilmu tidak punah disamping setiap bertambahnya masa diasumsikan sumberdaya makin kaya. Sehingga pembangunan tidak hanya sepotong dari tiga unsur manusia, melainkan membangun secara lebih utuh ranah-ranah kemanusiaan primer (jawad, jiwa, ruh). Maka bukan hanya berkutat pada kemegahan jasad, tak pula pada euforia ideologi, ataupun tingkah polah spirit yang simbolis.

 

Setiap terkumpulnya sebongkah ilmu pengetahuan dari masyarakat akan menghadirkan pengertian baru. Didapatlah kesabaran, kebijaksanaan, keadilan, demikian rumus pada setiap pemanunggalan.