DJD Keluarga Majlis gugurgunung

“Bahwa apa yang akan kita mulai malam ini merupakan upaya penetapan diri untuk menjadi pihak yang senatiasa berlindung dan menjaga amanat dari Allah swt. Mungkin sejak mulai besok ada banyak hal yang terus menerus berusaha memojokkan dan mencoreng-moreng muka martabat amanat kita dengan berbagai macam metode dan dukungan-dukungan kekuatan. Kekuatan jaringan, dana, media, bahkan kekuatan militer. Seolah jika ingin aman justru apabila kita menjadi pihak yang oportunis,menjadi pihak yang hura-hura, generasi eiya-eiya, cengengesan, demen pamer, gemar bersolek dan jika perlu menjadi peserta penyimpangan kodrat. Pilihan itu mungkin bukan hanya akan aman namun juga akan dibela atas nama kemanusiaan. Lain halnya yang sedang berusaha menjaga amanat Tuhan yang berusaha menjalin perilaku yang terus bersambung dalam gelombang kenabian, yang memilih amanat, tabligh, sidiq, fathonah, justru bisa saja akan banyak dicerca dengan berbagai ungkapan yang menghasut, penuh fitnah, dan manipulatif”, demikian prakata malam tadi yang menjadi sedikit ungkapan pembuka sebelum dimulainya pelaksnaaan dhawuh Mbah Nun yang termaktub dalam Tajuk DJD.

Tentunya ini menakutkan apabila dibayangkan. Namun, tampaknya kondisi ini tak ubahnya sebagaimana Firman Allah swt yang akan menguji kepada yang mengaku beriman dengan hantu-hantu yang seolah siap mencengkram dalam suasana ketakutan dan tiada pertolongan. Diberikan ketakutan dari sisi lahir, dari sisi pikir, dan juga dari sisi bathin. Oleh sebab demikian perlu kiranya ketakutan ini segera disambungkan dengan suasana bathin yang dialami oleh Nabi Ismail AS. Apabila hantu-hantu dalam pikiran itu lebih dominan dan sehingga gentar dan lari maka tidak akan ada momentum aqrob, quroba, yakni kedekatan hamba dengan Tuhan secara karib. Nabi Ismail menjadi teladan yang mampu menghadapi fitnah karena keyakinannya yang besar kepada kepada Allah dan rasul-Nya, maka martabat Nabi Ismail AS sama sekali bukan binatang ternak atau domba yang digembalakan, melainkan penggembala dan berkedudukan sebagai manusia yang beriman karena sanggup menghadapi ujian yang seolah siap merenggut jiwanya.

Jamaah Maiyah Ungaran, Majlis gugurgunung sudah sejak 10 Muharram melakukan upaya pemindaian diri dan penetapan langkah mengingat telah memasuki tahun hijriah yang baru. Yang hijrah atau tahun perpindahan yang baru. Pada 22 Muharram 1441 H, ada semacam ‘paksaan’ untuk segera melaksanakan peristiwa berlatih menghadapi ketakutan itu dengan cara yang bisa dibilang cukup aneh dan tidak populer di kalangan umum, yakni memberanikan diri memasuki hutan yang sepi dan sendirian dengan hanya bermodal kepasrahan diri atas segala pengamatan dan perlindungan Allah swt.

Hawa takut masih menyelimuti namun untuk lari rasanya malu hati. Hawa was-was sesekali menghinggapi namun untuk takut rasanya tidak lagi memberi kemanfaatan diri. Suasana tentram dalam sunyi dan gelap, menjadi perumpaan pikiran buruk diri yang selama ini keliru memburuk-sangkai bahwa dalam gelap dan sepi itu adalah ngeri yang patut dijauhi bahkan dihindari. Padahal suasana tentram dan khidmat didapat apabila yang nyata bukan produksi pikiran yang menghasut untuk ngeri dan kalau perlu lari menjauh kembali mendekat bersama keramaian yang disangka lebih memberikan jaminan kemananan danmanfaat. Suasana tentram dan khidmat didapat apabila yang nyata adalah ketidak-berdayaan diri namun juga sekaligus keperwiraan untuk berusaha berjuang mendekatkan diri lahir dan bathin, maka yang nyata kemudian adalah perlindungan, pengawasan, dan segala aspek pertolongan yang dicurahkan Allah dengan besar melalui lahir, pikir, dan bathin pula.

Wirid Akhir Zaman pun pada akhirnya dibacakan pertama kali dengan memilih di tengah hutan. Kali ini bersama-sama, saling menjaga dan mengawasi. Rasa takut itu mungkin berasal dari naluri Dholuman Jahula, yang merasa mampu dan berani menyangga firman Tuhan dengan gagah berani. Padahal semakin merasa gagah justru akan semakin gelisah, semakin merasa berani justru semakin ringkih hati. Tampaknya kepasrahan dan keperwiraan tetap harus bertahan bersamaan. Agar tidak merasa hebat namun juga tidak lantas melarikan diri karena takut secara ironis di tengah suasana menjalani ujian untuk semakin dekat. Wirid Akhir Zaman mengandung do’a berisi kepasrahan dan keperwiraan, Pasrah atas segala kehendak dan karunia kekuatan dari Allah, bahwa hanya Allah saja yang pantas untuk disebut sebagai Tuhan, permohonan Maghfrah dan Kasih Sayang Allah sebagai sebaik-baik Pemberi Rahmat, tentang ketidak-berdayaan apapun dan siapapun tatkala berhadapan dengan firman Allah, hingga pertolongan Allah yang akan mengkaruniakan Kebun yang lebih baik dari kebun-kebun lain yang dipupuk dengan mempersekutukan Allah swt.

Sehingga segala proses hingga dhawuh Sahan melalui Tajuk DJD seolah menjadi penegasan dan penetapan agar semua pihak yang akan merawat kebun baru ini tidak perlu memperpanjang ilusi dengan hantu-hantu peristiwa yang seolah menjadi alasan untuk mundur. Tidak untuk merasa kuat, tidak untuk merasa hebat, tak pula untuk merasa sangar. Semua tidak ada gunanya di hadapan Allah yang memiliki ketentuan. Jika ada penolong maka itu memang benar-benar dari Tuhan bukan dari hantu yang karena ditakuti lantas dianggap sebagai tuhan. Lebur dan pecah dulu diri gunung-gunung diri agar tak menghantui kepasrahan kita kepada Tuhan yang sudah memberikan amanat kebun-kebun Maiyah yang tumbuh dengan keberserahan diri, yang tak mempersekutukan-Nya, yang saling bertalian kasih sayang karena Allah swt. Yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Dimana amanat Tuhan ini disanggupi oleh manusia yang bodoh dan jahul, yang berpotensi berkhianat atas amanat tersebut. Oleh sebab demikian maka amanat Tuhan tak akan mampu disandang oleh seorang manusia pun, kecuali manusia telah mentransformasi dirinya lebur menjadi ayat Allah sendiri, menjadi Firman Allah sendiri. Yakni manusia yang sadar akan potensi dholim dan jahul-nya sehingga sanggup menjadi nol untuk manunggal dalam kehendak Tuhan Yang Maha Suci dan Tiada Ingkar Janji. Dholuman Jahula ‘Dhedhel’, apabila dholuman jahula itu dianggap tidak konstruktif maka harus dhedhel (lepas) agar menjadi konstruktif. Atau jika justru dengan dholuman jahula itu manusia menjadi konstruktif maka tentunya sudah ada formula konversi (converter) agar potensi bahaya yang bisa merubah amanat menjadi produk khianat kelak terhindarkan. Amanatnya adalah menata dan mempercantik, bukan merusak dan mencederai. Wirid Akhir Zaman perlu dihayati dan dirasuk dalam diri, siapa tahu bahwa itulah converter-nya.

DJD, bisa apa saja kepanjangannta dengan pendekatan othak-athik gathuk. Bisa ‘Do’a Jaman Dajjal’ bisa ‘Do’a Jamaah Dunia’, menurut kami sebagai anak-putu Miayah sejak beberapa bulan terakhir sudah diberikan hadiah-hadiah susul menyusul yang sangat indah dan begitu berguna, baik dari Mbah Nun, Marja’ Maiyah, Pak Toto, dan suplemen-suplemen berkelas yang tak cuma lahir namun juga bathin. Betapa teramat sangat kami syukuri. Tadinya tulisan ini berniat merespon tawaran hadiah dengan mengungkapkan atau menterjemahkan kepanjangan DJD. Namun betapa itu menjadi batal dan cukup menjadi tulisan bekti sebagai respon semata. Sebab DJD akan tidak punya kepanjangan apa-apa tanpa dilanjutkan dalam perilaku, sebaliknya maka akan terus ada kepanjangannya yang tiada bertepi jika Jamaah Maiyah senantiasa mempertautkan diri dengan Welas Asih Tuhan dengan saling menopang menjaga amanat dari-Nya.

 

Keluarga Majlis gugurgunung, 21 Oktober 2019

Padhang Pranatan

PADHANG PRANATAN

Tema kali ini diangkat dalam rangka merespon banyak hal. Merespon tentang dhawuh Mbah Nun yang setiap simpul diharapkan membuat workshop dalam rentang Agustus – Oktober. Merespon tentang persambungan dan perkembangan tema Majlis gugurgunung yang semenjak mengangkat tema “Masyarakat Lebah Me-madu” pada bulan-bulan berikutnya seolah tidak terputus dan berkesinambungan sebagai seolah bahasan berseri. Setelah pada bulan kemarin MGG mengupas tema “Laras” yang di dalam bahasannya mencoba mengingat kembali amanat utama kita di dalam hidup dan gol utama dalam hidup dengan merunut jauh zaman per zaman, peradaban demi peradaban sejak sebelum era risalah kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga terus di ujung mula peradaban Nabi Adam AS.

 

Tidak hanya itu, runutan itu juga mempertautkannya dengan sejarah sejak sebelum Nabi Adam belum diturunkan ke muka bumi bahkan racikan-racikan peristiwa yang melatarinya. Pada bulan kemarin masyarakat maiyah Ungaran yang tergandeng dalam keluarga Majlis gugurgunung mencoba membuat penegasan bahwa hidup di dunia ini sangat kompleks dan serius, dan kehadiran para utusan itu untuk membuat yang kompleks itu tertata dan membenderangi keadaan. Maka, betapa perlunya menyambungkan diri secara laras posisi diri kita sekarang dengan sejarah panjang dan serius alasan kita diciptakan.

 

Berikutnya, yakni pada bulan ini. Majlis gugurgunung mencoba mengupas makna Negeri. Apakah negeri itu adalah teritori kecil? suatu bangsa yang didiami oleh sedikit keragaman? atau sebuah kawasan nilai yang dipenduduki manusia-manusia yang menjaga nilai? Sebab, apabila sebelumnya paham tentang sejarah penciptaan kita maka selanjutnya perlu memahami tugas dan peran yang perlu dirintis dijalankan dan dibangun dengan semangat menggapai suatu penataan yang berpendar cahaya Rahmat Allah swt. Dengan demikian bulan Sepetember 2019 ini ditemukanlah tema tentang penataan, yakni: PADHANG PRANATAN.

 

Secara Bahasa, Padhang mengandung arti : Terbentang Cerah, Terang, Bersih. Sedangkan Pranatan mengandung arti : sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat; institusi. Pranatan juga mempunyai arti lain, yaitu: Pemikiran, Jiwa, Ideologi. Inti struktur pranatan adalah, menjelitakan alam semesta yang telah cantik, memayu hayuning bawana.

 

Menghubungkan masa silam dengan masa sekarang untuk masa yang akan datang adalah metodologi penyusuran silah yang kami yakini. Amsalnya demikian, bijih suatu tumbuhan menampung dan merekam segala rentetan peristiwa tumbuh kembang yg dialami induknya. Menyimpan seluruh karakter dan identitas dominan dari tumbuhan induknya. Sehingga untuk siklus atau proses kehidupan selanjutnya, bijih yang dijadikan sebagai benih tersebut ketika ditanam akan tumbuh sebagaimana induknya tumbuh. Akar, batang, daun, bunga, buah, wanginya bunga, manisnya buah, dan seterusnya dan seterusnya sampai ke bijih lagi akan mempunyai karakter yang relatif sama. Kecuali ada unsur lain dari luar yang sengaja memutus rantai siklus, misalnya dengan cara mencemari nutrisi asupannya, mencemari media tanamnya, dan lain-lain yang kemudian benih menjadi rusak, sehingga tidak dapat meneruskan karakter Induknya pada siklus kehidupan selanjutnya. Manusia  merupakan komponen penting atas terbentuknya sebuah pranatan. Mari mengembarai diri melalui salah satu pintu ini,

 

“Jangan melakukan apapun diluar jalur kenabian,”. Sebuah dhawuh dari Mbah Nun yang disampaikan pada gelaran sinau bareng di Kudus pada awal bulan September 2019 ini. Sefrekwensi dengan Diagram Pemetaan Dasar Peradaban, yang telah diangkat menjadi materi Workshop sinau bareng gugurgunungan bulan Agustus lalu. Yang didalamnya menggambarkan runtutan peradaban Manusia yang padanya mempunyai dua fenomena jalur pengembaraan yaitu Jalur Ahsani Takwim dan Jalur Asfala Safilin. Jalur-jalur peradaban sejak peradaban Nabi Adam AS sampai dengan Nabi Muhammad SAW, atau sejak Peradaban At Tin – Peradaban Zaitun – Peradaban Sinai – Sampai ke Peradaban Al Balad Al Amiin.

 

Selanjutnya membangun kesadaran untuk kian memahami pranatan yang sejak awal dibangun untuk diterapkan hingga akhir zaman. Perubahan pranatan secara fisik memang pasti terjadi, namun konsep utamanya harus terus dipertahankan, sebagai bagian dari memperjuangkan Sunatullah. Pengetahuan leluhur yang adilihung memberangkatkan peradaban dengan keindahan, kabaikan, dan kebenaran, sebagai konsep Dasar ciptaan Tuhan. Konsep Dasar sebagai unsur spiritual. Sandang, pangan, papan senantiasa diupayakan dan dibangun dengan mengacu pada tatanan paugeran spiritual.

 

Pintu selanjutnya adalah,

Beberapa pertanyaan Mbah Nun yang tertulis dalam seri tulisan RAHMATAN LIL-BILAD. Demikian,

  1. Apakah Rahmatan Lil’alamin dengan sendirinya sama dan sebangun dengan perjuangan nasional keIndonesiaan? Apakah skala dan hak serta kewajiban Nasionalisme Indonesia otomatis adalah skala dan hak dan kewajiban Rahmatan Lil’alamin?
  2. Eksistensi dan perjuangan hidup sebagai warganegara Indonesia apakah merupakan perwujudan langsung dari tugas penciptaan Rahmatan Lil’alamin?
  3. Kalau prinsip dan praktek NKRI sendiri tidak berangkat dari prinsip Rahmatan Lil’alamin, maka bagaimana memaknai posisi Jamaah Maiyah antara Khalifah Allah dengan warganegara Indonesia?
  4. Jamaah Maiyah Sinau Bareng terus apakah Rahmatan Lil’alamin identik dengan Rahmatan Lil Bilad, Lil Balad, Lil Buldan atau Lil Baldah?

 

Kemudian, Pertanyaan ini mengantarkan kami pada tadabur tentang :

 

Ummul Qura, dimana terdapat sosok terpuji yang bergelar Ummi. Pada sebuah padang mulia, saking mulianya pada padang tersebut rumputpun dilarang untuk dicabut, dilarang membunuh, dilarang menganiaya, siapa saja yang berada pada padang mulia tersebut harus dijamin Aman. Juga padang yang menjadi saksi atas perjuangan Kanjeng Nabi yang begitu Terjal. Tentang nila-nilai kemanusiaan yang menganjurkan untuk mengasihi anak yatim dan orang-orang lapar serta fakir-miskin, memerdekaan/membebaskan budak, perjuangan manusia yang susah-payah, saling nasihat menasihati dalam hal kesabaran dan kasih sayang.

 

Allah SAW berfirman, QS. Al Balad ayat 1

 

 

 

Aku bersumpah dengan Negeri ini

 

Selanjutnya, mari melingkar, bareng bareng mentadaburi QS. Al Balad. Untuk menemukan jawaban-jawaban atau bahkan rumusan-rumusan untuk menuju kembali pada Al Balad Al Aamiin, selaras dengan perkenan Allah SWT. Aamiin

Road to Desa Jalawastu

Perjalanan ke Brebes dimulai dengan berkumpul di kediaman Pak Zam. Salah seorang sesepuh Majlis gugurgunung yang berdomisili Kendal. Hari Senin Tanggal 25 Maret 2019 dan kisaran waktu pukul 15.00 WIB. Kejutan bagi Pak Zam, sebab kedatangan kami memang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sepulang sholat ashar dari masjid masih di jarak kejauhan langsung tertawa lebar dan mempercepat langkah. Bahkan Pak Zam memang ada rencana untuk silaturahmi ke Bangetayu (Kediaman Mas Kasno) dalam 2 atau 3 hari ke depan. Tiga gelas kopi hitam panas segera disuguhkan sembari bertanya kabar dan memulai obrolan ringan. Pak Zam menceritakan sedikit progresnya untuk memulai perijinan pengolahan limbah dengan respon Mas Kasno berbekal pengalamannya dalam dunia proyek. Gerimis nampak ingin ikut bercengkerama, sehingga kami sedikit menunda perjalanan hingga kisaran pukul 17.00 WIB.

Mas kasno dan Oxypethalum yang mekar

Sebelum petang segera kami melanjutkan perjalanan ke barat (Brebes). Sesampai di Batang, kami singgah sejenak di Pom Bensin untuk maghriban. Langit mendung mulai bergeser sedikit menjauh dan kami kembali melanjutkan perjalanan. Sesampai di Tegal, kami putuskan untuk beristirahat sembari makan malam. Nasi bakar isi jamur dan beberapa gorengan menjadi menu pilihan kami. Tegal memang menjadi pilihan untuk singgah, sebab sekalian pula menjumpai adik saya (Mas Andhika.red) yang memang bertugas di Tegal. Tak lama kami beristirahat, segera kami menuju Brebes dengan tujuan awal ialah rumah Mas Niza yang merupakan salah seorang kawan dari Mas Kasno, kerinduan dari keluarga Mas Niza bak sanak yang lama tak jumpa. Beberapa kuncup kembang Wijaya Kusuma nampak mekar malam ini, jelas ini sambutan khusus bagi Mas Kasno yang sangat mencintai dan nggulo-wethah tanaman-tanaman cantik itu dengan penuh perasaan. Apalagi bunga itu hanya mekar dalam satu malam saja. Salah satunya ialah jenis Oxypethalum yang mekar sejengkal tangan orang dewasa. Harum wangi semerbaknya menemani kopi hangat di bawah langit malam yang cerah. Wangi yang mengingatkan pada kisah Gedong Batu dan Burung Rangkok di hutan Jalawastu. Kemudian ibu Mas Niza yang belum tidur menyuguhkan tempe goreng dan mendoan yang masih mengepul.

Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB. Bulan berbentuk mangkuk jelas terlihat diatas. Segera kami bersiap untuk mulai berangkat menuju Desa Jalawastu sebab Upacara Adat Ngasa memang dimulai pagi hari, biasanya masyarakat sudah berkumpul kisaran pukul 05.00 WIB. Mas Kasno masih teringat pesan dari salah seorang Dewan Kakolot (sesepuh desa) bahwa disana tidak boleh membawa perlengkapan berbahan kulit seperti sepatu, ikat pinggang, dompet, dll. Bahkan sebisa mungkin untuk tidak memakan daging sebelum berangkat. Setelah semuanya siap segera kami menyalakan motor dan langsung tancap gas menuju Desa Jalawastu. Diawali jalanan aspal lurus, dengan sawah di kanan kirinya beriringan dengan sungai-sungai kecil serta rasi lintang gubug penceng jelas terlihat diatas seakan menunjukkan jalan ke arah selatan yang memang Desa Jalawastu berada di Brebes bagian selatan tepatnya di lereng Gunung Kumbang.

Mas Niza, Saya (Andhika. red), dan Mas Kasno di depan gerbang Desa Jalawastu

Satu per satu Desa kami lewati dengan Gapura besar di tiap perbatasan pintu masuknya. Salah satunya desa Karangbandung dengan berhiaskan tulisan Nirbaya Reksa Wicara di bagian atas gerbangnya. Setengah jam sudah kami di perjalanan. Dan nampaknya Mas Kasno dan Mas Niza yang sudah beberapa kali berkunjung ke Desa Jalawastu pun tidak mudah untuk mengingat jalannya apalagi di malam hari seperti ini. Sempat pula kami salah mengambil jalan dan diberitahu oleh masyarakat sekitar yang kebetulan berada di luar rumah. Hutan yang lebat dan gelap mulai kami masuki. Jalanan yang dulu hanya dari bebatuan kini sebagian sudah diaspal. Meskipun masih banyak pula bagian jalan yang rusak parah. Sekitar satu jam kami melintasi lereng Gunung Kumbang dengan kondisi seperti itu. Hingga sampailah kami di bagian luar Desa Jalawastu.

salah satu rumah yang dipasang pohon pisang yang telah berbuah

Ada suguhan pandangan yang sedikit unik, yakni tiap-tiap rumah dipasang pohon pisang yang telah berbuah. Namun tidak ada keberanian bagi kami untuk mengambil buah pisang yang sebenarnya sudah matang tersebut. Tidak adanya sinyal operator membuat kami sedikit susah untuk mencari rombongan dari sedulur maiyah Cirrebes. Yang memang kami sudah berjanjian untuk bertemu dengan mereka di Desa Jalawastu ini. Namun karena susah berkomunikasi, kami justru segera memasuki desa untuk menuju rumah salah seorang Dewan Kakolot yakni Pak Wardi. Jam masih menunjukkan setengah tiga pagi, membuat kami sungkan untuk mengetuk pintu rumah Pak Wardi. Sehingga kami putuskan untuk beristirahat di kursi-kursi teras rumah warga untuk sedikit menghilangkan lelah perjalanan sembari ngobrol ngalor ngidul dan menghisap Sampoerna kretek yang kami bawa.

Tak lama berselang, sinyal HP mulai muncul dan kami segera menghubungi dulur-dulur maiyah Cirrebes untuk menghampiri kami di depan rumah Pak Wardi. Sambil menunggu, kami berganti kaos Gugurgunung dan sarung motif Batik. Tidak ada ketentuan sebenarnya tentang kostum hanya memang kami lebih senang menggunakan kaos dan sarung. Dari kejauhan nampak tiga orang berkaos hitam mendekat seraya mengucap salam. Ya, dulur-dulur Maiyah Cirrebes dan Tari Topeng Losari Sanggar Purwa Kencana yang mendatangi kami. Mas Heri, Mas Dani dan Mas Gandi. Kemudian kami diajak untuk beristirahat di rumah Pak Edi yang juga salah seorang sesepuh Desa Jalawastu ini. Rumah Pak Edi berada di bagian luar Desa Jalawastu. Sambutan dari tuan rumah pun sangat hangat. Suguhan kopi dan buah-buahan di atas tikar yang sudah tergelar membuat kami lupa dengan lelahnya perjalanan bahkan justru bercengkerama hingga pagi.

kami (Mas Kasno, Mas Niza, Mas Andhika), dulur-dulur Maiyah Cirrebes dan Tari Topeng Losari Sanggar Purwa Kencana

Mas Heri menceritakan tentang pengalaman-pengalaman dalam perjalanan Maiyah Cirrebes dan juga Tari Topeng Losari. Mas Heri juga merupakan salah seorang pengurus di Sanggar Tari Topeng Losari yang dipegang oleh Mbak Nani yakni kakak Mas Heri. Mbak Nani juga salah seorang penari Topeng Losari. Ada dua jenis topeng, yakni Kancil dan Kujang. Mbak Nani memegang Topeng jenis Kancil ini. Lanjut Mas Heri menceritakan ketika mengikuti Festival Sanggarung, Mbak Nani kehilangan bandana/selendang. Sudah dicari kemana-mana dan tidak dapat diketemukan. Ketika Bulan Desember, maiyahan Cirrebes pertama kali digelar di sanggar dan kebetulan dihadiri oleh Pak Toto. Malam itu Pak Toto meminta untuk Sanggar Tari Topeng Losari datang ke Mocopat Syafa’at dan Sekolah Alam (Salam) pada bulan depan (Januari) untuk dibuatkan workshop. Saat workshop banyak dihadiri oleh teman-teman Pak Toto, yang ternyata juga merupakan teman-teman sanggar dari Mbak Nani yang sudah lama tak berjumpa. Usai kegiatan di Jogja tersebut, Pak Toto memberikan kenang-kenangan berupa bandana/selendang yang ternyata sangat mirip dengan kepunyaan Mbak Nani yang hilang di Festival Sanggarung dulu. Tari Topeng Losari sudah pernah tampil di Kenduri Cinta (KC) dan Mocopat Syafa’at (MS). Ketika di KC banyak pula berdatangan orang-orang dari Cirebon. Seperti tukang sound lalu beberapa Jama’ah yang mengajukan pertanyaan.

Maiyah Cirrebes belakangan sedang disibukkan dengan menyediakan mesin pengolah sampah yang bersifat efisiensi dan ekonomis serta fasilitator (orang yang mengelola masyarakat). Mesin tersebut merupakan pengolah sampah bikinan Mas Heru yang hari ini kebetulan tidak bisa datang. Sampah-sampah yang sudah tidak terpakai diharapkan dapat diolah dengan mesin tersebut. Salah satu tujuannya bukan sekedar produk tetapi lebih ke arah perilaku sosial masyarakat. Jika dihubungkan maka akan membentuk perilaku dengan membawa produk sebagai solutif. Beberapa kendala sudah dialami oleh Maiyah Cirrebes. Pertama, tidak adanya minat sebab beberapa instansi pernah membeli alat serupa namun tidak ada pengelolanya. Kedua, Ada perebutan di kolektifan sampah. Benturan-benturan dengan Bumdes. Dimana Bumdes sangat berresiko terhadap money politik di dalamnya. Hanya sampah bernilai ekonomis yang diambil seperti plastik, besi dll. Lalu yang tidak bernilai ekonomis akan dikemanakan? Maka kita suguhkan solutif. Mesin ini bisa mengolah sampah basah dan sampah kering. Mesin ini mengolah plastik menjadi biji plastik baru yang lebih berharga tinggi. Fokus pada hal yang tidak bernilai ekonomis.

Mesin ini sudah terdistribusi ke beberapa tempat ataupun instansi. Si pembuat yakni Mas Heru pernah mendapatkan proyek pengadaan mesin ini senilai 20 M di Kecamatan Banyumas. Sedikit permasalahan, yakni ketika disana, bukan diambil secara tim tapi justru personal. Harga mesin ini kisaran 75 juta rupiah dengan kapasitas 4 kubik dan waktu olah ialah 4 jam. Ada mesin serupa dari Jerman, namun harganya tergolong mahal. Harga produk dari Jerman kisaran 150 juta dengan kapasitas hanya 2 kubik saja. Salah satu bentuk produk hasil dari pengolahan mesin ini ialah bentuk fly ash, abu yang bisa dipadatkan.

berfoto bersama masyarakat Desa Jalawastu sebelum menuju lokasi upacara adat Ngasa

Obrolan terus bergulir. Selain obrolan tentang mesin pengolah sampah, Mas Gunawan salah seorang anak dari Pak Edi (Dewan Kakolot) juga ikut nyangkruk pagi itu menceritakan tentang kegelisahannya pada penerus dari kaum muda Desa Jalawastu agar mempertahankan budaya dan tidak terbawa budaya dari luar. Mas Gunawan sendiri juga merupakan salah seorang pengurus Desa Jalawastu. Kisaran jam 05.30 WIB, semua bersiap-siap untuk berangkat menuju lokasi upacara adat Ngasa. Bulan masih terlihat berada tepat diatas kepala, dan dari arah timur matahari pun sudah mulai menampakkan wajahnya. Kami mulai berjalan kaki menuju lokasi. Melintasi sawah dan sungai-sungai yang jernih mengalir begitu derasnya. Masyarakat sekitar pun mulai berbaur di luar rumah dengan kostum putih-putih dari baju, sarung atau celana dan ikat kepala. Saling sapa, bercengkerama dengan bahasa yang digunakan ialah bahasa Sunda. Hiasan pohon pisang di depan rumah disertai semacam gawangan yang digantung bermacam buah-buahan. Keramahan warga khas desa sangat kental disana, termasuk juga kami ditawari untuk mengincipi buah-buah pisang yang tergantung di depan rumahnya.

Suasana di lokasi upacara adat Ngasa

Lokasi upacara adat Ngasa berada di dekat pesarean (makam) leluhur. Bebatuan semacam pondasi rumah menjadi pembatas yang diatasnya dibentangkan kain-kain panjang berwarna putih. Bakul-bakul berisi nasi jagung dan sayuran sudah tersedia diatas terpal dan tikar yang digelar untuk duduk masyarakat yang mengikuti upacara adat. Jam 06.50 WIB dua tandu yang memikul pisang berbentuk seperti gunung dibawa memasuki lokasi upacara adat. Tua, muda, lelaki, perempuan jadi satu di lokasi tersebut. Rombongan anak-anak sekolah yang masih mengenakan seragam juga tak mau ketinggalan meramaikan acara. Upacara sedikit tertunda disebabkan menunggu beberapa pejabat molor yang belum datang. Jam 07.00 WIB barulah dimulai pembukaan. Dan sambutan-sambutan termasuk salah satunya dari wakil bupati Brebes. Bebarengan pula di belakang kami nampak beberapa ekor monyet yang seakan ingin ikut bergabung dan justru menjadi pilihan tontonan bagi anak-anak sepanjang acara. Pukul 08.00 WIB, upacara ditutup dengan do’a-do’a dari Sesepuh Desa dan juga Juru Kunci. Bahasa yang digunakan ialah bahasa Sunda kuno. Agak sulit diartikan namun bisa kami pahami sedikit-sedikit. Kuncen memimpin do’a:

Pun sadupun arek ngimankeun
titiwalari kanu baheula.

Titiwalari ti baharu, taratas tilas
nu baheula cuwang mumunjang.

Anak putu sakalih, ka Indung ka Bapak,
ja Nini ka Aki, ka Buyut ka Bao,
ka Bumi, ka Langit, ka Beurang, ka Peuting,
ka Basukana, ka Basukina.

Kanu antek kaluhuran.
Kanu antek kararahaban.

Kanu suci paweta.
Kanu kadi srengenge katinggangeun.
Kanu kadi Bentang kapurnaman.
Kanu kadi Bulan kaopat welasna.

Kanu kadi Saloka Jinibar.
Kanu kadi Emas winasukan.
Kanu kadi inten winantaya.

Kanu kadi hujan meneurang kapoya na.

 

Usai do’a dilantunkan, semua yang hadir dipersilahkan untuk menyantap nasi jagung dengan menggunakan lembaran daun pisang sebagai piring. Prosesi yang sangat mengingatkan kami dengan dulur-dulur Gugurgunung. Nasi jagung, oseng-oseng kacang panjang, lalap daun gunung, petai, dan jengkol menjadi menu dalam upacara ini. Nampak salah seorang ibu “memarahi” saya ketika saya mengambil jengkol dan petai, dimana menurut keterangan ibu tersebut tidak boleh makan petai dan jengkol secara bersamaan. “Bisa sakit perut” katanya dalam bahasa Sunda. Usai makan langsung kami kembali menuju ke rumah Pak Edi. Namun sampai di balai Desa, Mas Kasno dipanggil oleh Pak Wardi (salah seorang Dewan Kakolot) dan dipersilahkan untuk makan nasi dan lauk pauk seperti ayam lengkap dengan sayur-mayurnya. Sedikit catatan bahwa warga Desa Jalawastu tidak menggunakan beras sebagai bahan makanan pokok. Disini lebih menggunakan umbi-umbian dan jagung. Namun nasi dan daging disediakan hanya untuk para tamu dari luar.

Usai makan kami langsung turun ke rumah Pak Edi. Disana pun kami sudah disiapkan makanan lagi oleh Istri dari Pak Edi. Nasi, daging kambing, daging ayam dan juga sambal tersedia di tikar yang kami gunakan untuk melingkar pagi tadi. Keramahan dan cara menghargai tamu yang luar biasa bagi kami. Bukan sekedar tentang pilihan menunya saja namun mereka menyediakan sesuatu yang bukan menjadi bahan makanan pokok dan hanya tersedia ketika upacara adat saja untuk diberikan pada tamu-tamu dari luar. Obrolan-obrolan masih terus berjalan, dengan tema menggali tradisi di Desa Jalawastu serta Tari Topeng Losari hingga menjelang sore. Sebelum berpamitan Mas Kasno sempat memberikan Buku Desa Purwa dari Mas Agus kepada Mas Gunawan yang nantinya diberikan kepada Ketua Adat Desa Jalawastu.

Mas Gun adalah salah satu pemuda terpilih yang ditunjuk untuk ikut melestarikan Desa Adat. Singkat cerita mengalami fase “capek dan hampir putus asa dari tugasnya tersebut”. Buku ini juga lanjut diserahkan pada Pemangku atau Ketua Adat. Ketua Adat yakni Pak Dastam mengatakan bahwa ada juga yang baru saja memberikan buku di acara Ngasa tahun ini, da njudul adalah: Galuh Purwa.

“Ada apa ini kok purwa-purwa semua?” Kata Pak Dastam sambil sedikit tertawa. Apresiasi hangat diberikan oleh Pak Dastam pada beberapa orang yang masih peduli terhadap tradisi. Rasa haru nampak terlihat di pelupuk mata beliau. Yang kemudian mengatakan demikian.

“Sejatinya kita ini adalah orang gila di jaman sekarang masih mempertahankan tradisi. Beberapa pengaruh modern sudah mulai masuk Jalawastu dan sedikit merubah karakternya. Mulai terasa pergeseran dari Jalawastu yang sesungguhnya. Lalu bagaimana ini Jalawastu nantinya? Namun masih sedikit lega karena generasi muda masih mau ikut Ngasa. Mudah-mudahan nanti dengan buku ini bisa tergetar dan jadi kesinambungan.”

Mas Kasno menjawab demikian, “Pak Dastam dan Mas Gun, kami datang jauh dari Semarang, dari Majlis Gugurgunung Ungaran, datang ke sini untuk menyampaikan terimakasih kepada Panjenengan dan Masyarakat Jalawastu yang telah menjaga kelestarian adat yang begitu penting ini. Kecintaan dan kerinduan kami pada khasanah kepurwaan ini mencoba kami tulis dalam sebuah buku tersebut. Kami titip Jalawastu ini, kami titip “Desa Purwa” ini…”

Tak ada kata lagi yang bisa kami ucapkan selain mengangguk, berterima kasih dan menghisap rokok. Memasuki senja dengan cuaca yang sedikit gerimis, kami segera berpamitan untuk turun. Sebelum berpisah dengan dulur-dulur Maiyah Cirrebes kami sempatkan mampir di warung makan untuk mengisi perut. Salam hangat perpisahan meninggalkan bekas kerinduan dengan harapan semoga akan kembali dipertemukan. Sebelum kembali ke Kendal (kediaman Pak Zam) Mas Kasno mengajak singgah sejenak di Pondok Mbah Yai yang dulu sering disambanginya ketika masih bekerja di Brebes. Hanya sebentar disana langsung kami kembali ke rumah Mas Niza untuk mempersiapkan diri kembali pulang. Buah tangan dari Mas Niza seperti biji Kembang Wijaya Kusuma dan Seruling Bambu semakin menambah kebahagiaan. Kisaran pukul 02.00 WIB kami langsung berpamitan pulang. Sekian reportase perjalanan Majlis gugurgunung ke Desa Jalawastu Brebes. Semoga bermanfaat.

 

Andhika H & Kasno

SULIT TAPI SOLID

Rutinitas kegiatan Majlis gugurgunung yang digelar pada 23 Februari 2019, bertempat di Art Cafe, Pringapus, Ungaran, Kab. Semarang. Dengan tema “Sulit Tapi Solid”.Kisaran pukul 20.45 WIB pembacaan doa wasilah oleh Mas Ari dilanjutkan Munajat Maiyah oleh Mas Tyo.Moderator malam ini ialah Mas Kasno, mengawalinya dengan perkenalan beberapa wajah baru khususnya beberapa jama’ah perempuan yang duduk berkumpul di sudut ruang. Notabene Majlis gugurgunung memang cukup jarang disambangi oleh jama’ah perempuan.Mas Kasno kemudian menceritakan kisah 3 (tiga) tahun yang lalu di tempat ini juga yakni Art Cafe. Dimana itulah pertama kalinya Mas Kasno merapat di Majlis gugurgunung.Dengan tema saat itu ialah ‘Maiyah Combat’, dan diskusi dimulai hanya bertiga. Mas Agus, Mas Tyo dan Mas Kasno. Masih jelas teringat bagi Mas Kasno dimana malam itu Mas Agus menceritakan tentang kisah Wiro. ‘Sulit’ menurut Mas Kasno bukan berarti tidak bisa, bahkan justru akan menemukan pintu kemudahan. Sesuai dengan salah satu ayat dari Al Insyiroh, dimana juga tertulis dalam desain poster malam ini.

Mas Agus menambahkan bahwa kegiatan ini memang sederhana namun dibanding 3 tahun yang lalu, masih jauh lebih mewah. Maiyah Combat menjadi tema bulan Februari 3 tahun yang lalu. Combat dapat diartikan tarung/tanding namun masih dengan memegang nilai Maiyah. Menghadapi fenomena kehidupan, salah satunya ada fenomena tanding. Tanding yang dimaksud bukan ditujukan pada person tetapi pada sekian rentang kesepakatan atau tidak sepakat. Semakin banyaknya ketidaksepakatan sejalan pula dengan semakin banyaknya pengalaman tanding. Begitu pun sebaliknya.

Nilai Maiyah yang ditawarkan Mbah Nun pada anak cucunya yakni memposisikan diri pada banyak hal yang belum bisa disepakati. Tetapi tidak perlu bertanding secara person meainkan secara nilai. Kesulitan mestinya bukan untuk dihindari. Sebab rumusan Sulit itu sebenarnya sederhana yakni ketika tidak sepakat pada sesuatu hal.

Sebuah akibat pasti ada sebab. Disebabkan karena ketidakwaspadaan atau memang pemberian Tuhan. Terdapat dua respon yang dapat muncul, yakni Bebal dan Kebal. Dampaknya memang sama-sama tahan terhadap sebuah akibat namun memiliki perbedaan dalam prosesnya. Bebal nampak tahan terhadap kondisi, namun Bebal ini muncul disebabkan karena akal/pikirannya tidak digunakan secara baik. Sedangkan Kebal ada proses sistem imun ditandai fenomena panas-dingin. Kondisi panas dingin yang harafiah pun menurut mas Agus merupakan tanda bahwa manusia akan menghadapi ujian yang lebih maka perlu diberikan daya tahan lebih. Dan proses peningkatan daya tahan tersebut ditengarai dengan fenomena panas-dingin atau demam. Maka orang Jawa sering bilang jika ada anak yang panas: “mundhak akale”, tampaknya akal yang lebih berkualitas yang membuat seseorang menjadi lebih kebal.

Mas Agus melanjutkan, bahwa manusia dilahirkan lebih dahulu dibandingkan dengan politik. Era saat ini, lumrah terjadi sekarang memilih A, kemudian berganti B. Solusi yang kerap kali diperlukan justru tidak ada. Manusia memang memerlukan politik tapi bukan pula dengan menggeser sisi kemanusiaan. Malam ini kita coba membidik hal yang solid itu seperti apa.Disini setiap orang membawa sisi yang tidak disepakati. Kita tidak bisa kemudian memaksa hal yang tidak disepakati itu terhapuskan. Pemahaman bersama akan lebih mantab ketika dapat lebih menjaga setiap hal yang berada pada ranah yang sama. Adanya sekumpulan perbedaan namun akan membangun sebuah keindahan, seperti keindahan taman.

Kemudian Mas Tyo juga memberi respon tentang surat Al Insyiroh dikatakan bahwa kesulitan dan kemudahan itu datang bersamaan. Dan juga dilihat dari unsur kata, sesudah dan bersamaan itu terdapat perbedaan. Maka yang biasanya terjadi ialah sukar mencerna ketika mengalami sesuatu, diartikan sebagai kesulitan ataukah justru kemudahan yang datang.

Mas Uci juga merespon tentang kesulitan. Bahwa sulit itu adalah part of. Kaya yang umum diartikan sebagai kemudahan pun juga sebenarnya adalah sebuah kesulitan. Menikah pun juga diartikannya Monumen penderitaan bersama. Dengan cinta maka makan sepiring berdua jadi indah dan derita seakan menjadi ongkos. Pun seperti tembakau yang dibakar, maka tiada derita tiada pula kenikmatan. Luka dan derita menurutnya ialah sebuah penawar. Bahkan patut kita cari, jangan-jangan senyum kita pun sebenarnya juga sebuah kesulitan.Selama ini kita terjebak dimensi standaritas. Naik mobil kerap disebut sebagai solid sedangkan jalan kaki disebut sebagai kesulitan. Kata “Setelah” merupakan bahasa proses. Setelahnya adalah sintesis yang menjadi dasar tesisnya.

Kemudian Mas Ari turut urun rembug dengan sebuah pertanyaan. Jika dikatakan bersamaan. Entah sulit ataupun mudah ini datangnya darimana?

Langsung dijawab oleh Mas Uci bahwa tidak ada kata datang dalam Al Insyiroh. Sebab manusia sudah menggendong kemudahan dan kesulitan sejak awal mula. Seperti dalam pewayangan digambarkan sebagai Gunungan. Dimana jika gambar muka yang menggambarkan gemah ripah loh jinawi digerakkan maka batara kala dibelakangnya pun turut bergerak.

Mas Agus menambahkan tentang Direct Facility, apa yang mudah tanpa sulit ialah bernafas. Sebab merupakan fasilitas yang langsung Allah berikan pada makhluk. Sedangkan sesuatu yang dikelola manusia pasti mengandung unsur kesulitan.Pengelolaan fasilitas Allah dilakukan agar justru tidak menjadi wilayah yang kita cemari. Pencemaran terjadi karena kita meremehkannya. Seakan kita punya hak untuk kesulitan dan kemudahan. Sungai yang sudah diberi bersih justru dikotori. Tanah yang subur justru diberi pupuk kimia.Disini kita perlu membidik kasus. Agar orientasi dan presisi tidak keliru. Sehingga kita mafhum pada ayat tersebut.Ketika masih di alam kandungan atau alam rohim. Disanalah kasih sayang yang masih intim. Dan secara jasadiah yang diamanati adalah wanita. Alam rohim dalam bentuk hijaiyah seperti huruf Wau. Yang diartikan bagai simbol ketertundukan atau patrap silo. Sebab digambarkan seperti ada kepala, tulang punggung dan tulang ekor. Maka untuk tetap berada dalam posisi fitroh, jangan sampai kehilangan makna Wau dalam kehidupan. Sebab dengan hijab yang ada pada diri kita membuat rangsangan untuk ngAlif. Alif senantiasa menuntun nafsu yang terbangun.

Maka ada nafsu yang membumbung atau Amarah. Marah ialah salah satu bentuk kita terpimpin pada sesuatu yang membumbung. Manusia Jawa ada kalimat bombong, sedangkan dalam bahasa Indonesia ada bumbung atau membumbung. Membumbung bersifat seperti api. Api yang terlalu besar akan kurang memberi manfaat dalam kehidupan.Kemudian ada api yang lebih kecil tapi mudah mobat-mabit (tidak tenang) yakni Lauwamah. Sedangkan api yg lebih tenang yakni Mutmainah. Api yang biasa digunakan untuk memasak. Sebab mutmainnah akan mengkonfirmasi waktu untuk lebih bersifat sobar/sabar hingga yang didapati kemungkinan ialah kesulitan yang tidak ngAlif dan bertujuan mendidik agar lebih baik Wau nya.

Nun dan Ro

Pada tengahnya dapat kita isi Alif ataupun Wau. Nantinya akan menjadi Nar atau Nur. Nur seperti cahaya mentari ataupun lampu yang memang sering terabaikan dan terjadi secara repetitif. Jika Amarah dan Lauwamah dapat dikelola dalam kondisi yang tenang. Maka jalan yang kita titi insya allahmardhiyah, diridhoi. Demikianlah perlunya mengakomodir Wau dalam hidup.Di dalam rohman maka akan menemukan rohim dan di dalam rohim akan menemukan bekal menghadapi rohman. Hal tersebut tidak sulit dipahami namun sulit dijalankan.

Masih tentang sulit dan mudah, kira-kira sebanyak apakah hal yang dahulu sulit namun sekarang mudah. Serta sebanyak apa hal yang dulu mudah namun sekarang justru sulit.

Lingga Yoni

Lingga dan Yoni, dari segi fungsi saling melengkapi. Lumpang seperti fungsi pada perempuan yang berfungsi mewadahi, misalkan cabai, bawang dll. Yoni berfungsi sebagai alat pengolahnya dan kedua-duanya berkolaborasi. Sementara di dunia laki-laki dan perempuan itu hanyalah ilusi. Dalam surat 33 ayat 33 dikatakan bahwa Allah akan membersihkan sebersihnya asalkan tidak menggunakan cara berhiasnya orang jahiliyah. Perumpamaan tersebut dibangun agar kita lebih bertakwa. Ilusi jangan dianggap sebagai sebuah kepastian. Maka ayat-ayat alquran diduga tidak ada yang feminim dan maskulin, sebab diberikan untuk manusia. Bukan kepada lelaki ataupun perempuan.

Kita dituntut untuk menjadi masyarakat real. Bukan hanya saat sinau bareng, tetapi kadang ada beberapa hambatan normal. Ada stereotip yang kerapkali berbeda. Yang disuguhkan bukan mendoktrin pawon, tetapi suguhkanlah produk dalam bentuk sandang, pangan, papan dll. Tahun ini memang adalah tahun yang sulit, tetapi bagaimana bisa menjadi solid dengan kesulitan tersebut.

Di tengah diskusi sempat pula membahas salah satu produk dari Mas Angling. Dengan menggunakan limbah kaca dari kakaknya diubahnya menjadi karya seni dengan menjadi sebuah lukisan yang meningkatkan harga jual dibanding limbah kaca. Sudah ada beberapa pesanan yang masuk, meskipun belum ditetapkannya harga standar penjualan.Dilanjutkan oleh Mas Kasno yang mempresentasikan tentang tikar berbahan debog pisang kering, eceng gondok kering dan jerami. Tabel-tabel penjadwalan progres tercantum lengkap dimana tabel-tabel tersebut dapat diadopsi pula oleh beberapa kegiatan perekonomian sedulur-sedulur lainnya.

Mas Kasno menutup kegiatan kisaran pukul 01.03 pagi. Dengan sedikit cuplikan kalimat penutup seperti berikut. Kesulitan combat dalam berfighting melekat dari awal. Dari tahapan ke tahapan senantiasa membersamai lahirnya kita. Realitas-realitas yang kita alami di dunia adalah kesulitan untuk menemukan kemudahan. Ditutup dengan makan bersama, namun beberapa diskusi ringan masih berjalan hingga menjelang shubuh. Sekian reportase kali ini, semoga bermanfaat.

 

Andhika H