Road to Desa Jalawastu

Perjalanan ke Brebes dimulai dengan berkumpul di kediaman Pak Zam. Salah seorang sesepuh Majlis gugurgunung yang berdomisili Kendal. Hari Senin Tanggal 25 Maret 2019 dan kisaran waktu pukul 15.00 WIB. Kejutan bagi Pak Zam, sebab kedatangan kami memang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sepulang sholat ashar dari masjid masih di jarak kejauhan langsung tertawa lebar dan mempercepat langkah. Bahkan Pak Zam memang ada rencana untuk silaturahmi ke Bangetayu (Kediaman Mas Kasno) dalam 2 atau 3 hari ke depan. Tiga gelas kopi hitam panas segera disuguhkan sembari bertanya kabar dan memulai obrolan ringan. Pak Zam menceritakan sedikit progresnya untuk memulai perijinan pengolahan limbah dengan respon Mas Kasno berbekal pengalamannya dalam dunia proyek. Gerimis nampak ingin ikut bercengkerama, sehingga kami sedikit menunda perjalanan hingga kisaran pukul 17.00 WIB.

Mas kasno dan Oxypethalum yang mekar

Sebelum petang segera kami melanjutkan perjalanan ke barat (Brebes). Sesampai di Batang, kami singgah sejenak di Pom Bensin untuk maghriban. Langit mendung mulai bergeser sedikit menjauh dan kami kembali melanjutkan perjalanan. Sesampai di Tegal, kami putuskan untuk beristirahat sembari makan malam. Nasi bakar isi jamur dan beberapa gorengan menjadi menu pilihan kami. Tegal memang menjadi pilihan untuk singgah, sebab sekalian pula menjumpai adik saya (Mas Andhika.red) yang memang bertugas di Tegal. Tak lama kami beristirahat, segera kami menuju Brebes dengan tujuan awal ialah rumah Mas Niza yang merupakan salah seorang kawan dari Mas Kasno, kerinduan dari keluarga Mas Niza bak sanak yang lama tak jumpa. Beberapa kuncup kembang Wijaya Kusuma nampak mekar malam ini, jelas ini sambutan khusus bagi Mas Kasno yang sangat mencintai dan nggulo-wethah tanaman-tanaman cantik itu dengan penuh perasaan. Apalagi bunga itu hanya mekar dalam satu malam saja. Salah satunya ialah jenis Oxypethalum yang mekar sejengkal tangan orang dewasa. Harum wangi semerbaknya menemani kopi hangat di bawah langit malam yang cerah. Wangi yang mengingatkan pada kisah Gedong Batu dan Burung Rangkok di hutan Jalawastu. Kemudian ibu Mas Niza yang belum tidur menyuguhkan tempe goreng dan mendoan yang masih mengepul.

Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB. Bulan berbentuk mangkuk jelas terlihat diatas. Segera kami bersiap untuk mulai berangkat menuju Desa Jalawastu sebab Upacara Adat Ngasa memang dimulai pagi hari, biasanya masyarakat sudah berkumpul kisaran pukul 05.00 WIB. Mas Kasno masih teringat pesan dari salah seorang Dewan Kakolot (sesepuh desa) bahwa disana tidak boleh membawa perlengkapan berbahan kulit seperti sepatu, ikat pinggang, dompet, dll. Bahkan sebisa mungkin untuk tidak memakan daging sebelum berangkat. Setelah semuanya siap segera kami menyalakan motor dan langsung tancap gas menuju Desa Jalawastu. Diawali jalanan aspal lurus, dengan sawah di kanan kirinya beriringan dengan sungai-sungai kecil serta rasi lintang gubug penceng jelas terlihat diatas seakan menunjukkan jalan ke arah selatan yang memang Desa Jalawastu berada di Brebes bagian selatan tepatnya di lereng Gunung Kumbang.

Mas Niza, Saya (Andhika. red), dan Mas Kasno di depan gerbang Desa Jalawastu

Satu per satu Desa kami lewati dengan Gapura besar di tiap perbatasan pintu masuknya. Salah satunya desa Karangbandung dengan berhiaskan tulisan Nirbaya Reksa Wicara di bagian atas gerbangnya. Setengah jam sudah kami di perjalanan. Dan nampaknya Mas Kasno dan Mas Niza yang sudah beberapa kali berkunjung ke Desa Jalawastu pun tidak mudah untuk mengingat jalannya apalagi di malam hari seperti ini. Sempat pula kami salah mengambil jalan dan diberitahu oleh masyarakat sekitar yang kebetulan berada di luar rumah. Hutan yang lebat dan gelap mulai kami masuki. Jalanan yang dulu hanya dari bebatuan kini sebagian sudah diaspal. Meskipun masih banyak pula bagian jalan yang rusak parah. Sekitar satu jam kami melintasi lereng Gunung Kumbang dengan kondisi seperti itu. Hingga sampailah kami di bagian luar Desa Jalawastu.

salah satu rumah yang dipasang pohon pisang yang telah berbuah

Ada suguhan pandangan yang sedikit unik, yakni tiap-tiap rumah dipasang pohon pisang yang telah berbuah. Namun tidak ada keberanian bagi kami untuk mengambil buah pisang yang sebenarnya sudah matang tersebut. Tidak adanya sinyal operator membuat kami sedikit susah untuk mencari rombongan dari sedulur maiyah Cirrebes. Yang memang kami sudah berjanjian untuk bertemu dengan mereka di Desa Jalawastu ini. Namun karena susah berkomunikasi, kami justru segera memasuki desa untuk menuju rumah salah seorang Dewan Kakolot yakni Pak Wardi. Jam masih menunjukkan setengah tiga pagi, membuat kami sungkan untuk mengetuk pintu rumah Pak Wardi. Sehingga kami putuskan untuk beristirahat di kursi-kursi teras rumah warga untuk sedikit menghilangkan lelah perjalanan sembari ngobrol ngalor ngidul dan menghisap Sampoerna kretek yang kami bawa.

Tak lama berselang, sinyal HP mulai muncul dan kami segera menghubungi dulur-dulur maiyah Cirrebes untuk menghampiri kami di depan rumah Pak Wardi. Sambil menunggu, kami berganti kaos Gugurgunung dan sarung motif Batik. Tidak ada ketentuan sebenarnya tentang kostum hanya memang kami lebih senang menggunakan kaos dan sarung. Dari kejauhan nampak tiga orang berkaos hitam mendekat seraya mengucap salam. Ya, dulur-dulur Maiyah Cirrebes dan Tari Topeng Losari Sanggar Purwa Kencana yang mendatangi kami. Mas Heri, Mas Dani dan Mas Gandi. Kemudian kami diajak untuk beristirahat di rumah Pak Edi yang juga salah seorang sesepuh Desa Jalawastu ini. Rumah Pak Edi berada di bagian luar Desa Jalawastu. Sambutan dari tuan rumah pun sangat hangat. Suguhan kopi dan buah-buahan di atas tikar yang sudah tergelar membuat kami lupa dengan lelahnya perjalanan bahkan justru bercengkerama hingga pagi.

kami (Mas Kasno, Mas Niza, Mas Andhika), dulur-dulur Maiyah Cirrebes dan Tari Topeng Losari Sanggar Purwa Kencana

Mas Heri menceritakan tentang pengalaman-pengalaman dalam perjalanan Maiyah Cirrebes dan juga Tari Topeng Losari. Mas Heri juga merupakan salah seorang pengurus di Sanggar Tari Topeng Losari yang dipegang oleh Mbak Nani yakni kakak Mas Heri. Mbak Nani juga salah seorang penari Topeng Losari. Ada dua jenis topeng, yakni Kancil dan Kujang. Mbak Nani memegang Topeng jenis Kancil ini. Lanjut Mas Heri menceritakan ketika mengikuti Festival Sanggarung, Mbak Nani kehilangan bandana/selendang. Sudah dicari kemana-mana dan tidak dapat diketemukan. Ketika Bulan Desember, maiyahan Cirrebes pertama kali digelar di sanggar dan kebetulan dihadiri oleh Pak Toto. Malam itu Pak Toto meminta untuk Sanggar Tari Topeng Losari datang ke Mocopat Syafa’at dan Sekolah Alam (Salam) pada bulan depan (Januari) untuk dibuatkan workshop. Saat workshop banyak dihadiri oleh teman-teman Pak Toto, yang ternyata juga merupakan teman-teman sanggar dari Mbak Nani yang sudah lama tak berjumpa. Usai kegiatan di Jogja tersebut, Pak Toto memberikan kenang-kenangan berupa bandana/selendang yang ternyata sangat mirip dengan kepunyaan Mbak Nani yang hilang di Festival Sanggarung dulu. Tari Topeng Losari sudah pernah tampil di Kenduri Cinta (KC) dan Mocopat Syafa’at (MS). Ketika di KC banyak pula berdatangan orang-orang dari Cirebon. Seperti tukang sound lalu beberapa Jama’ah yang mengajukan pertanyaan.

Maiyah Cirrebes belakangan sedang disibukkan dengan menyediakan mesin pengolah sampah yang bersifat efisiensi dan ekonomis serta fasilitator (orang yang mengelola masyarakat). Mesin tersebut merupakan pengolah sampah bikinan Mas Heru yang hari ini kebetulan tidak bisa datang. Sampah-sampah yang sudah tidak terpakai diharapkan dapat diolah dengan mesin tersebut. Salah satu tujuannya bukan sekedar produk tetapi lebih ke arah perilaku sosial masyarakat. Jika dihubungkan maka akan membentuk perilaku dengan membawa produk sebagai solutif. Beberapa kendala sudah dialami oleh Maiyah Cirrebes. Pertama, tidak adanya minat sebab beberapa instansi pernah membeli alat serupa namun tidak ada pengelolanya. Kedua, Ada perebutan di kolektifan sampah. Benturan-benturan dengan Bumdes. Dimana Bumdes sangat berresiko terhadap money politik di dalamnya. Hanya sampah bernilai ekonomis yang diambil seperti plastik, besi dll. Lalu yang tidak bernilai ekonomis akan dikemanakan? Maka kita suguhkan solutif. Mesin ini bisa mengolah sampah basah dan sampah kering. Mesin ini mengolah plastik menjadi biji plastik baru yang lebih berharga tinggi. Fokus pada hal yang tidak bernilai ekonomis.

Mesin ini sudah terdistribusi ke beberapa tempat ataupun instansi. Si pembuat yakni Mas Heru pernah mendapatkan proyek pengadaan mesin ini senilai 20 M di Kecamatan Banyumas. Sedikit permasalahan, yakni ketika disana, bukan diambil secara tim tapi justru personal. Harga mesin ini kisaran 75 juta rupiah dengan kapasitas 4 kubik dan waktu olah ialah 4 jam. Ada mesin serupa dari Jerman, namun harganya tergolong mahal. Harga produk dari Jerman kisaran 150 juta dengan kapasitas hanya 2 kubik saja. Salah satu bentuk produk hasil dari pengolahan mesin ini ialah bentuk fly ash, abu yang bisa dipadatkan.

berfoto bersama masyarakat Desa Jalawastu sebelum menuju lokasi upacara adat Ngasa

Obrolan terus bergulir. Selain obrolan tentang mesin pengolah sampah, Mas Gunawan salah seorang anak dari Pak Edi (Dewan Kakolot) juga ikut nyangkruk pagi itu menceritakan tentang kegelisahannya pada penerus dari kaum muda Desa Jalawastu agar mempertahankan budaya dan tidak terbawa budaya dari luar. Mas Gunawan sendiri juga merupakan salah seorang pengurus Desa Jalawastu. Kisaran jam 05.30 WIB, semua bersiap-siap untuk berangkat menuju lokasi upacara adat Ngasa. Bulan masih terlihat berada tepat diatas kepala, dan dari arah timur matahari pun sudah mulai menampakkan wajahnya. Kami mulai berjalan kaki menuju lokasi. Melintasi sawah dan sungai-sungai yang jernih mengalir begitu derasnya. Masyarakat sekitar pun mulai berbaur di luar rumah dengan kostum putih-putih dari baju, sarung atau celana dan ikat kepala. Saling sapa, bercengkerama dengan bahasa yang digunakan ialah bahasa Sunda. Hiasan pohon pisang di depan rumah disertai semacam gawangan yang digantung bermacam buah-buahan. Keramahan warga khas desa sangat kental disana, termasuk juga kami ditawari untuk mengincipi buah-buah pisang yang tergantung di depan rumahnya.

Suasana di lokasi upacara adat Ngasa

Lokasi upacara adat Ngasa berada di dekat pesarean (makam) leluhur. Bebatuan semacam pondasi rumah menjadi pembatas yang diatasnya dibentangkan kain-kain panjang berwarna putih. Bakul-bakul berisi nasi jagung dan sayuran sudah tersedia diatas terpal dan tikar yang digelar untuk duduk masyarakat yang mengikuti upacara adat. Jam 06.50 WIB dua tandu yang memikul pisang berbentuk seperti gunung dibawa memasuki lokasi upacara adat. Tua, muda, lelaki, perempuan jadi satu di lokasi tersebut. Rombongan anak-anak sekolah yang masih mengenakan seragam juga tak mau ketinggalan meramaikan acara. Upacara sedikit tertunda disebabkan menunggu beberapa pejabat molor yang belum datang. Jam 07.00 WIB barulah dimulai pembukaan. Dan sambutan-sambutan termasuk salah satunya dari wakil bupati Brebes. Bebarengan pula di belakang kami nampak beberapa ekor monyet yang seakan ingin ikut bergabung dan justru menjadi pilihan tontonan bagi anak-anak sepanjang acara. Pukul 08.00 WIB, upacara ditutup dengan do’a-do’a dari Sesepuh Desa dan juga Juru Kunci. Bahasa yang digunakan ialah bahasa Sunda kuno. Agak sulit diartikan namun bisa kami pahami sedikit-sedikit. Kuncen memimpin do’a:

Pun sadupun arek ngimankeun
titiwalari kanu baheula.

Titiwalari ti baharu, taratas tilas
nu baheula cuwang mumunjang.

Anak putu sakalih, ka Indung ka Bapak,
ja Nini ka Aki, ka Buyut ka Bao,
ka Bumi, ka Langit, ka Beurang, ka Peuting,
ka Basukana, ka Basukina.

Kanu antek kaluhuran.
Kanu antek kararahaban.

Kanu suci paweta.
Kanu kadi srengenge katinggangeun.
Kanu kadi Bentang kapurnaman.
Kanu kadi Bulan kaopat welasna.

Kanu kadi Saloka Jinibar.
Kanu kadi Emas winasukan.
Kanu kadi inten winantaya.

Kanu kadi hujan meneurang kapoya na.

 

Usai do’a dilantunkan, semua yang hadir dipersilahkan untuk menyantap nasi jagung dengan menggunakan lembaran daun pisang sebagai piring. Prosesi yang sangat mengingatkan kami dengan dulur-dulur Gugurgunung. Nasi jagung, oseng-oseng kacang panjang, lalap daun gunung, petai, dan jengkol menjadi menu dalam upacara ini. Nampak salah seorang ibu “memarahi” saya ketika saya mengambil jengkol dan petai, dimana menurut keterangan ibu tersebut tidak boleh makan petai dan jengkol secara bersamaan. “Bisa sakit perut” katanya dalam bahasa Sunda. Usai makan langsung kami kembali menuju ke rumah Pak Edi. Namun sampai di balai Desa, Mas Kasno dipanggil oleh Pak Wardi (salah seorang Dewan Kakolot) dan dipersilahkan untuk makan nasi dan lauk pauk seperti ayam lengkap dengan sayur-mayurnya. Sedikit catatan bahwa warga Desa Jalawastu tidak menggunakan beras sebagai bahan makanan pokok. Disini lebih menggunakan umbi-umbian dan jagung. Namun nasi dan daging disediakan hanya untuk para tamu dari luar.

Usai makan kami langsung turun ke rumah Pak Edi. Disana pun kami sudah disiapkan makanan lagi oleh Istri dari Pak Edi. Nasi, daging kambing, daging ayam dan juga sambal tersedia di tikar yang kami gunakan untuk melingkar pagi tadi. Keramahan dan cara menghargai tamu yang luar biasa bagi kami. Bukan sekedar tentang pilihan menunya saja namun mereka menyediakan sesuatu yang bukan menjadi bahan makanan pokok dan hanya tersedia ketika upacara adat saja untuk diberikan pada tamu-tamu dari luar. Obrolan-obrolan masih terus berjalan, dengan tema menggali tradisi di Desa Jalawastu serta Tari Topeng Losari hingga menjelang sore. Sebelum berpamitan Mas Kasno sempat memberikan Buku Desa Purwa dari Mas Agus kepada Mas Gunawan yang nantinya diberikan kepada Ketua Adat Desa Jalawastu.

Mas Gun adalah salah satu pemuda terpilih yang ditunjuk untuk ikut melestarikan Desa Adat. Singkat cerita mengalami fase “capek dan hampir putus asa dari tugasnya tersebut”. Buku ini juga lanjut diserahkan pada Pemangku atau Ketua Adat. Ketua Adat yakni Pak Dastam mengatakan bahwa ada juga yang baru saja memberikan buku di acara Ngasa tahun ini, da njudul adalah: Galuh Purwa.

“Ada apa ini kok purwa-purwa semua?” Kata Pak Dastam sambil sedikit tertawa. Apresiasi hangat diberikan oleh Pak Dastam pada beberapa orang yang masih peduli terhadap tradisi. Rasa haru nampak terlihat di pelupuk mata beliau. Yang kemudian mengatakan demikian.

“Sejatinya kita ini adalah orang gila di jaman sekarang masih mempertahankan tradisi. Beberapa pengaruh modern sudah mulai masuk Jalawastu dan sedikit merubah karakternya. Mulai terasa pergeseran dari Jalawastu yang sesungguhnya. Lalu bagaimana ini Jalawastu nantinya? Namun masih sedikit lega karena generasi muda masih mau ikut Ngasa. Mudah-mudahan nanti dengan buku ini bisa tergetar dan jadi kesinambungan.”

Mas Kasno menjawab demikian, “Pak Dastam dan Mas Gun, kami datang jauh dari Semarang, dari Majlis Gugurgunung Ungaran, datang ke sini untuk menyampaikan terimakasih kepada Panjenengan dan Masyarakat Jalawastu yang telah menjaga kelestarian adat yang begitu penting ini. Kecintaan dan kerinduan kami pada khasanah kepurwaan ini mencoba kami tulis dalam sebuah buku tersebut. Kami titip Jalawastu ini, kami titip “Desa Purwa” ini…”

Tak ada kata lagi yang bisa kami ucapkan selain mengangguk, berterima kasih dan menghisap rokok. Memasuki senja dengan cuaca yang sedikit gerimis, kami segera berpamitan untuk turun. Sebelum berpisah dengan dulur-dulur Maiyah Cirrebes kami sempatkan mampir di warung makan untuk mengisi perut. Salam hangat perpisahan meninggalkan bekas kerinduan dengan harapan semoga akan kembali dipertemukan. Sebelum kembali ke Kendal (kediaman Pak Zam) Mas Kasno mengajak singgah sejenak di Pondok Mbah Yai yang dulu sering disambanginya ketika masih bekerja di Brebes. Hanya sebentar disana langsung kami kembali ke rumah Mas Niza untuk mempersiapkan diri kembali pulang. Buah tangan dari Mas Niza seperti biji Kembang Wijaya Kusuma dan Seruling Bambu semakin menambah kebahagiaan. Kisaran pukul 02.00 WIB kami langsung berpamitan pulang. Sekian reportase perjalanan Majlis gugurgunung ke Desa Jalawastu Brebes. Semoga bermanfaat.

 

Andhika H & Kasno

Facebooktwittertumblr
Posted in reportase.