Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Pada bulan Maret ini kulawarga Gugurgunung mencoba merekonstruksi lagi beberapa komponen penting bangunan “rumah”nya. Dari beberapa personil yang masih aktif, menopang kembali peran-peran penting atau mengaktifkan kembali peran-peran yang sempat kurang optimal. Salah satu referensi pola yang teranyam adalah Sya’ban atau Ruwah. Yakni bulan penting yang sejak 2018 disepakati sebagai momentum “Tunas”.

 

Pawon kini kembali menyala, memasak bahan-bahan oleh tangan-tangan terampil berdasar potensi masing-masing, dengan dasar ilmu Candra (panyandra). Ringkasnya yaitu, setiap personal kulawarga Gugurgunung menjalankan perannya masing-masing sebagai upaya memberikan konstribusi “cahaya rembulannya”. untuk terkumpul sebagai himpunan cahaya yang “Purnama”.

 

Dasar pijakan lainnya adalah sikap utama kulawarga gugurgunung yakni, “menggugurkan diri”. Sebisa mungkin menghindari umuk dan sombong. Tak minat pada pameran kesaktian, kepandaian, kekayaan, kepopuleran, dslb. Terus teguh tak peduli dan kagum pada hal-hal tersebut, yang seringkali hanya untuk meningkatkan mutu kesombongan seseorang secara laten. Memilih sikap lebih tegas kepada potensi-potensi meremehkan, baik ke dalam maupun ke luar.

 

 

قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

 

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim).

 

Mengutip hadist di atas, tentulah kita sudah tidak asing dengan salah satu bentuk ungkapan nafsu, yakni sifat sombong. Tak seorang pun yang membaca ini termasuk yang sedang menulis ingin menjadi pihak yang masuk dalam golongan orang-orang sombong. Namun dalam kenyataan hidup, apa yang tidak kita maui terkadang bebas hinggap dalam diri seperti ketombe atau jamur kulit.

 

Sadar atau tidak sadar kita semua pasti pernah atau bahkan sedang melakukan perilaku sombong tersebut. Apakah kesombongan hanya sebatas bangga atas apa yang dia punya dengan meremehkan hal lain di luar dirinya dengan jumawa? atau barangkali ada varian lainnya? Bagaimana pula setitik kesombongan mampu menghambat seorang hamba memasuki surga? Mengapa setitik ini menjadi begitu serius? Bagaimana pula cara mengelola sifat sombong tersebut? atau bahkan barangkali ada jimat  tolak balak (menolak efek destruksi) yang timbul akibat kesombongan.

 

Monggo silakan melingkar bertikar bersama kami jika berkenan bergabung dalam kebersahajaan silaturahmi. Kami menyambut baik setiap kebaikan dan tak punya cukup kecakapan untuk menyambut kebaikan secara sempurna, baik dari sisi tempat, suguhan hiburan, dan hal lain. Namun, kami tetap berusaha menyambut secara patut. Katuran pinarak, melingkar, meluruhkan diri dalam rindu, saling membahagiakan satu dengan yang lain untuk sinau bareng di malam menjelang Nisfu Sya’ban yang penuh makna.

 

Bismillah, terpinta dengan tengadah. Gusti Allah dan Kanjeng Nabi membersamai kita Aamiin.

 

 

 

-Tim Pawon Sinau Bareng MGG-

MADU LUMEBER TUMETES

Sabtu terakhir bulan ini jatuh pada 27 Februari 2021. Pasca hujan deras pada malam yang sesungguhnya Purnama, esoknya semesta benar benar cerah parasnya.

 

Gunung Ungaran tampak gagah diantara bentangan langit biru dan barisan awan-awan putih seperti arak arakan para Pitara.

 

Gelaran acara rutinan pada Februari yang bertepatan dengan wulan Rajab ini telah menyiapkan 3 rancangan konsep acara :

  1. Edisi khusus Rajab berupa pembacaan Tawasul, lengkap dengan Dzikir, Munajat, Sholawat, serta pembacaan hizib.

: sebagai respon atas semakin maraknya sebaran fitnah, hujatan, adu domba, dan sejenisnya, oleh beberapa akun sosial media, yang secara serampangan menyertakan nama Mbah Nun.

 

  1. Menyiapkan tema “Madu Tumetes Lumeber”, sebagai bahan diskusi atau sinau bareng.

 

  1. Menggarap kebun bersama.

 

Sampai hari H belum terpilih konsep rancangan mana yang akan kami gelar. Menjelang jam pelaksanaan, beberapa jamaah mengabarkan datang menyusul. Acara tetap dimulai tepat waktu dengan peserta sangat terbatas. Sehingga pilihan pertama yang kami ambil adalah memulai acara dengan pilihan rancangan nomer 1. Sekitar satu jam lebih acara terselesaikan dengan sangat khusuk. di Gubug Mbodro Pakaryan, di bentangan kebun atau sawah yang beberapa petak siyap dipanen, dan beberapa petakan lain siyap ditanami, dan di samping semaian bibit yang siap ditanam. Seolah kesemuanya itu menjadi satu kesatuan yang berjamaah. Ternyata kehadiran-kehadiran yang tak terbatas lagi-lagi menemani keterbatasan kami.

Satu dua dan seterusnya kemudian mulai berdatangan dan langsung melingkar. Kondisi yang pas sekali untuk menggelar rancangan acara yang nomer 2.

Masing masing mulai ngelinthing kretek, menyulutnya, lalu mencecap kopi. Mukadimah segera dibacakan untuk disimak bareng bareng. Pas satu batang kretek. Lalu disambung dengan batang kretek berikutnya untuk merespon tema tersebut. Mas Agus mengawali dengan beberapa ulasan dan sekaligus pantikan. Baru setengah batang kretek ke dua, diskusi baru pada bahasan mempelajari hitungan besaran zakat dari hasil panen kami, namun harus terhenti (atau mungkin justru tersambung) oleh adegan seorang Mbah penjual gedhek atau kepang dari anyaman Pring Apus yg dijajakan dengan cara dipikul dan berjalan kaki, melintas di kebun kami, lalu mampir menawarkan dagangannya tersebut. Kami persilahkan pinarak, ngunjuk kopi, dan ternyata masih kiyeng udut kretek. Ngobrol alakadarnya, kami serempak menyimak. Mbah, berusia 90 tahun, berdomisili di Salatiga, seorang pedagang gedhek anyaman pring apus yang menjajakan hasil karyanya sendiri, dengan cara dipikul dan berjalan kaki.

Bara tepat di hampir pangkal kretek kami, kemudian kami cecek tegesan kami masing masing. Sekaligus negesi tema pada rutinan kali ini. Kehadiran Mbah tersebut meneteskan “Madu” yang menyehatkan pada kami yang muda muda ini untuk segera kami lumeberkan.

 

Kami segera melepas sarung, dan pakaian lainnya untuk segera berganti pakaian kerja, bersepatu boot, bercaping, dan mengambil cangkul, sabit, pelubang mulsa, alat kocor, dan lain lainnya. Semua obah pada perannya masing masing.

Acara dipungkasi pada jam 17:00, sembari mengemasi hasil panen dua tandhan pisang, bebereapa unting kacang panjang, dan pare. Sebagian kami konsumsi sendiri, sisanya kami bawa ke pasar sebagai rintisan latihan dagang.

Nyuwun tambahing pangestu. 🙏🙏🙏

 

Kasno

MADU LUMEBER TUMETES

Mengartikan diam sebagai pilihan aktif dalam bersikap. Diam kan statis, sedangkan untuk aktif butuh dinamika. Seperti kita semua tahu, kondisi saat ini tengah ada anjuran tingkat dunia bahwa manusia dianjurkan untuk diam di rumah. Tentunya bukan berarti setelah berada di rumah hanya diam. Mereka tetap beraktifitas dan menjalankan fungsi lumrah kemanusiaan sebagai kegiatan sehari-hari. Oleh sebab demikian, maka diam di rumah tidak bisa disebut sebagai proses statis dan stagnasi, kecuali ketika seseorang telah kehilangan gairah perjuangan hidup, tak punya inisiatif, hingga kehilangan kreatifitas, dimana kreatifitas itu lahir proses syukur, sabar, cita-cita dan gairah mengkontribusi. Syukur dengan pengetahuan yang kita punya, maka ia melakukan percobaan. Sabar pada ketidaktahuan maka butuh menambah pengalaman. Dikarenakan ada cita-cita dengan demikian ia melangkah. Dengan adanya gairah mengkontribusi, membuat ia mengharuskan dirinya sendiri meskipun tak ada yang menharuskan.

 

Seseorang yang kreatif selalu punya peluang emas untuk berkreasi, tak jarang bahwa produk yang brilian muncul justru pada kondisi sempit dan terdesak. Maka mengertikan diam sebagai sikap aktif adalah proses pengeraman atau proses fermentasi dimana seolah tak banyak berinteraksi aktif secara luas namun justru tengah menjalankan pertapaan karya gemilang, yang justru proses pengeraman atau pun proses fermentasi tersebut akan ‘gagar’ atau batal jika tak diam atau menutup diri.

 

Telur yang kemudian hari menetas, ia memerlukan kesanggupan untuk diam dan terjaga suhunya. Ia akan berakhir sebagai telur ceplok atau dadar kalau berkeliaran di atas wajan panas berisi minyak goreng. Nektar tak akan menjadi madu jika tak didiamkan pada sebuah ruang tetap dan terjaga temperaturnya dalam kurun waktu yang lama. Keberhasilan lebah memperoleh nektar karena mereka melakukan penjelajahan dan sikap dinamis yang kentara, namun untuk menjadikan nektar menjadi madu justru harus menetap dan terjaga di rumahnya. Sehingga berkeliaran adalah mencari bahan baku dari hamparan karunia Tuhan yang ditaburkan ke bumi. Dan tinggal di rumah adalah memproses bahan-bahan dari hasil unduhan karunia tersebut menjadi produk yang berkhasiat dan dicari banyak orang.

 

Kondisi ini perlu kiranya kita telisik, sesungguhnya rumah yang dihuni oleh masyarakat Maiyah itu apa? Dimana? Dimana ruang tamunya, ruang keluarga, kamar-kamar tidur, jedhing, dapur, pekarangan, dan halamannya? Tentunya hampir seluruh masyarakat Maiyah tahu dan oleh sebab demikian marilah kita semua tak usah terlalu peduli pada virus-virus kepentingan, hasutan, dan segala ocehan sampah yang tak pernah mampu menghasilkan manisnya kehidupan, justru mbudhet, mbulet, pahit dan saling menebarkan kegetiran. Sebaiknya kita tetap tinggal di rumah, tak berhias seperti kaum jahiliyyah, dan agar Tuhan membersihkan diri kita, sebersih-bersihnya.

 

وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا ۚ ﴿الأحزاب : ۳۳﴾

 

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab: 33)

 

 

MUMPUNG PADHANG REMBULANE, MUMPUNG JEMBAR KALANGANE.

 

Apabila orang diminta untuk menyaksikan bulan, bukankah ia perlu menunggu malam tiba? Bukan soal waktu tapi soal suasana. Pada malam menghadirkan suasana gelap, sehingga akan memperlihatkan taburan cahaya langit dan benderangnya rembulan. Dan saat malam tiba dan ternyata bulan tidak nampak, apakah mendung? Apakah akhir bulan? Atau bagaimana apabila ternyata kita lah rembulannya? Ah tentunya sama sekali tidak mungkin bukan?

 

Ummat Islam punya utusan yang kepada beliau tersemat sebagai “Syamsun”, “Badrun”, bahkan “nuurun fawqo nuurin”. Beliau matahari, karena risalah yang beliau emban membawa cahaya yang menyibak kelamnya kebodohan dunia. Dan beliau adalah rembulan, karena beliau punya ummat yang siap muncul melanjutkan cahaya pada saat kebodohan berusaha tampil kembali berniat menenggelamkan risalahnya. Lalu apakah kita sekadar qomar, sekadar rembulan? Ataukah badrun, bulan purnama? Mari kita ingat segitiga cinta yang Mbah Nun ajarkan kepada kita anak cucunya.

 

“Mumpung jembar kalangane”. Kalangan adalah cahaya melingkar yang mengelilingi rembulan, sehingga hanya tampak saat bulan berbentuk bulat. Saat bulannya sabit kemungkinan kecil untuk bisa muncul. Sehingga orang-orang membuat kalangannya sendiri. Ada kebiasaan yang rutin dimeriahkan setiap malam purnama; Pandhang mbulan. Pada saat bulan mulai bulat apalagi purnama, orang-orang keluar dari rumahnya meleburkan pada kalangan rembulan. Dengan melantunkan tetembangan, bercengkrama dengan tetangga meski hanya duduk di lincak beranda sambil berkepul asap rokok, wedang, dan panganan, ada keceriaan anak-anak yang dolanan di halaman, ada pula yang berbagi kebahagiaan lain yang pada intinya tetap ingin terlibat dan menyatu pada kemeriahan pesona Badrun tersebut.

 

Demikian pula peristiwa pada kehidupan. Keutuhan tampil sebagai rembulan adalah kebutuhan membawakan diri sebagai penerus perjuangan dari yang telah dirintis dan diperjuangkan oleh para Nabi dan dipungkasi oleh Rasulullah Muhammad SAW. Perjuangan itu memerlukan kebulatan agar tidak menghadirkan bulan-bulan sabit tidak bulat dan tak benderang. Sebagaimana bahwa kanjeng Nabi tak membuat akhlaknya menjadi baik hanya sebulan sekali, melainkan setiap saat. Saat ummat penerus ini lemah, sehingga tampilannya tidak utuh, maka keberadaannya tak benar-benar menjadi faktor yang dirindukan dan tidak menjadi toloh utama di saat kelam. Orang-orang akan berkumpul secara terpisah dan membuat kalangan sendiri-sendiri untuk tampak paling mumpuni sebagai yang paling benderang. Ada kalangan politik, ada kalangan seni budaya, ada kalangan pecinta lingkungan, ada kalangan selebritis, ada kalangan terpelajar, ada kalangan petani, ada kalangan pedagang, ada kalangan pengusaha, ada kalangan ulama, ada kalangan priyayi, ada kalangan dukun,hingga kalangan penggemar sinetron. Kalangan demi kalangan akan terus muncul dan kian tak bermutu karena tak segera berjumpa kalangan rembulan yang membenderang dari langit dimana cahaya purnamanya yang lembut tertebar indah dan ramah ke penjuru permukaan bumi, cahayanya yang indah dan ramah merasuk ke dalam setiap sanubari. Ramah dan indah pangan dan pertaniannya, ramah dan indah politiknya, ramah dan indah seni budayanya, penataan lingkungan dan alamnya, ramah dan indah perdagangannya, pendidikannya, hankamnya, teknologinya, para orangtuanya, anak-anak dan generasinya, ramah dan indah al-mutahabbina Fillah.

 

Ungaran, 27 Februari 2021

“Tancep Kayon” Majlis Gugurgunung 2019
Laku Kasantikan

Setelah bulan lalu majlis gugurgunung libur sinau bareng dikarenakan membersamai kegiatan “jegur sawah” di Jepara. Sekarang bertepatan dengan bulan Desember bulan penutup dalam satu tahun yang bertepatan juga dengan “Tancep Kayon” yang digelar oleh majlis gugurgunung. “Tancep Kayon” menjadi momentum mengevaluasi langkah serta memutuskan apakah pada tahun depan perlu di mulai lagi (bedhol kayon) atau berhenti. Salah satu indikator dalam pengambilan keputusan adalah apakah majlis gugurgunung memberi manfaat pada yang lain atau tidak. Pada tanggal 28 Desember 2018 “Tancep Kayon” diselenggarakan di “Bina Lingkungan Congol”. Sebelum acara sinau bareng dimulai pada siang hari sedulur-sedulur majlis gugurgunung mempersiapkan tempat terselenggaranya acara tersebut. Sekitar pada pukul 16.00 WIB Mas Agus mengajak sedulur sedulur untuk berziarah ke makam Mbah Benowo dan Mbah Basyaruddin yang berada dalam satu kompleks pemakaman. Ziarah ini sudah menjadi satu tradisi paket Tancep Kayon sejak diadakan pertama kali.

 

“Tancep Kayon” kali ini dirawuhi oleh Gus Anik dan Pak Budi Maryono yang menjadi narasumbernya. Malam yang khidmat dengan menunjukan pukul 21.30 acara dimulai oleh Mas Kasno yang memberikann sedikit penjelasan tentang tema yang diangkat yaitu Laku Kasantikan. Konsep “Tancep Kayon” sebenarnya sederhana tapi tiba-tiba menjadi mewah karena kerawuhan sedulur sedulur yang ikut melingkar bersama.”Tancep Kayon” dimulai dengan bacaan basmalah yang dipimpin oleh Mas Kasno sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan tawasul dan sholawat oleh team bala swarna. ”Tancep Kayon” kali ini selain mas Kasno, juga dimoderatori oleh Mas Dian yang sedikit memberi arti bahwa laku kasantikan diawali dengan rekasa (susah) dulu, sebagai contoh orang tua yang mencari rejeki untuk keluarganya itu termasuk laku kasantikan. Mas Dian juga membagi para sedulur menjadi 4 kelompok supaya mudah ketika memberikan respon/pertanyaan. Sebelum ke pertanyaan/respon para sedulur Mas Azam terlebih dulu memberikan opini tentang laku kasantikan yaitu orang yang melakukan/menjalani sesuatu yang sudah dilakukan dengan indah melalui proses. Semua laku tidak mudah pasti ada proses dan pengorbanan. Jadilah diri sendiri, cari sejati diri. Mas Kasno juga memberikan opininya laku kasantikan secara universal yang bisa diterima oleh siapapun misal (rindu, riang gembira dst).

Pukul 10.45 Mas Fidoh perform yang dilanjutkan Mas Azam nyanyi Lir ilir. Mas Agus juga ikut andil dalam beropini tentang laku kasantikan yang mana laku kasantikan dilanjutkan karna belum matang mempelajari kasantikan. Menurut Mas Sabrang dan Mbah Nun maiyah itu “prasasat koyo unta” yang pandai cari mata air, menyimpan air dan bisa bermanfaat untuk yang lain. Dahulu ketika jaman Nabi Muhammad hijrah banyak umat Islam yang menawarkan kediaman untuk singgah Rasulullah, tetapi Nabi Muhammad memilih ikut berhentinya unta karena unta yang mempunyai kepekaan dalam hal menemukan sumber air dengan nalurinya. Dalam bahasa Arab, unta disebut Jamal (cantik). Laku kasantikan = laku unta; karena bukan figur unta yang dinilai cantik tapi fungsi unta tersebut yang bisa mencari, menyimpan air dan bermanfaat untuk yang lain. Tak ubahnya kita, ketika kita tidak dapat mencari, menyimpan kebeningan, kesejukan yang bermanfaat bagi yang lain maka bisa dikatakan kita disfungsi. Terminologi kecantikan tidak disematkan pada fisik cantik tapi pada fungsi cantik. ”Tancep Kayon” evaluasi selama setahun menjadikan kita cantik/buruk. Bentuk laku kasantikan 2019 merupakan lanjutan dari laku kasantikan 2018 yang mengandung penegasan banyak hal. Cantik = bentuk syukur yang dikonversi dalam kemanfaatan yang dilapangkan. Cantik juga memiliki kandungan yang sama dengan sakti dan bisa juga untuk merugikan orang lain karena Cantik bisa menembus ruang paling dalam seseorang. Kita bisa membuat bahagia dengan kebermanfaatan kita, minimal bisa melihat orang lain bahagia dan kita juga ikut bahagia. Seperti tenis meja; permainan ini merupakan simbol sufistik yang mengajarkan pada kita jika mendapat sesuatu secara lincah segera diberikan kepada orang lain. Laku kasantikan dalam menang atau kalah bisa seperti memimpin diri sendiri agar makin cepat menemukan fitrah. Semakin baik fitrahnya terpelihara akan mengembalikan keberadaan dirinya sebagai insan yang menggembirakan. Semisal seperti bayi yang mana ia masih dalam keadaan fitrah. Keberadaannya tidak mengancam orang lain tapi justru memberi ketenangan bahkan kesenangan pada orang lain, itulah tampilan menang yang cantik. Setelah Mas Agus cukup memberikan beberapa opininya tentang laku kasantikan dilanjutkan dengan respon para sedulur yang melingkar. Respon pertama berupa pertanyaan yang ditanyakan oleh Mas Rahmat yaitu laku kasantikan yang menurut kita itu sudah benar menurut kita tapi menurut orang lain belum benar dan bagaimana laku kasantikan di jalan yang lurus?

Pertanyaan tersebut dijawab oleh Gus Anik, ada beberapa segmen kehidupan yang mempunyai 2 modal (hikmah dan kalimah). Hikmah adalah rumusan konsep kehidupan dan kalimah adalah membawa rumusan konsep kehidupan. Memaknai laku para nabi contohnya nabi Sulaiman, hikmah rohmaniah (surat sakti bismilahirahmanirohhim). Ada tiga aktor intelektual dalam kejadian tersebut yaitu nabi Sulaiman, ratu Bilqis, dan burung Hud-hud. Hud-hud di mata Nabi Sulaiman adalah binatang malas karena terus-terusan pacaran dengan markalah. Sedangkan menurut Markalah, Hud-hud tidak pernah ada waktu untuk dirinya. Untuk membuktikan loyalitas Hud-hud kepada Nabi Sulaiman dan Markalah, dia pergi dan menemukan kerajaan Ratu Bilqis kemudian dia mengintipnya. Hud-hud heran kenapa Ratu Bilqis kok menyembah matahari. Hud-hud yang sedang mengintai dari atas pohon tiba-tiba di dekati oleh Haida dan terjadi komunikasi antara kaduanya. Kemudian hud-hud kembali ke kerajaan Nabi Sulaiman bercerita tentang Bilqis tersebut, dan kemudian Nabi Sulaiman mengirim surat kepada Bilqis tersebut yang berisi bismilahirahmanirahim dan sudah diterima dan dibaca oleh Ratu Bilqis.

 

Dalam peristiwa tersebut ada 3 aktor yang mempunyai kecerdasan organik yaitu Nabi Sulaiman yang memiliki pola menyampaikan, burung Hud-hud intelejen dan Ratu Bilqis memiliki pola menerima. Kode laku kasantikan bagaimana gunung ditegakkan langit ditinggikan dan bumi dihamparkan itu cara bagaimana kita memperlakukan langit dan bumi. Alasan kenapa binatang dijadikan hikmah karena manusia punya mitra dengan hewan dan mencintai hewan bisa mendapatkan hikmah. Laku manusia tidak berpotensi mencederai sesama mahluk karena ada potensi cinta dan rohman. Perbarui kecantikan kita ketika orang lain belum menganggap cantik (terus berbuat baik).

 

Pak Budi juga membagikan sedikit pengalamanya ketika berencana ke Semak taddaburan di Kudus, “saya tidak ada kendaraan kemudian saya putuskan untuk menunda acara semak tadaburan bulan depan, tetapi sekitar jam 17.00 saya dikabari sudah mendapat jemputan grab ke Kudus. Ketika apa yang ditetapkan dan kita menerima merupakan laku kasantikan.”

Acara diselingi oleh perform dari Mas yoga pada pukul 12.45. Setelah perform tersebut moderator meminta kepada sedulur sedulur untuk memberi respon atau bertanya, dan mas Shohib bertanya tentang lebih dulu mana mencari Tuhan atau mencari jati diri dan tanda ditemukanya jati diri dan Tuhannya bagaimana? Pertanyaan tersebut di tanggapi oleh Pak Budi bahwa ukuran baik adalah menurut norma yang berlaku, kita mengikuti norma dan ukuran norma. Norma agama yang akhlaknya baik itu sudah termasuk cantik. Ada kesepakatan secara umum itu baik contohnya senyum dan kita juga punya kecenderungan baik. Kemudian Gus Anik juga merespon bahwa makrifat diawali sikap mempertanyakan. Contohnya Nabi Ibrahim yang melihat bintang, melihat langit dan ia heran siapa yang menciptakan dan ia juga berfikir setelah yakin siapa Tuhannya dia mengalahkan orang-orang yang tidak menyembah Tuhannya dengan cara merusak patung sesembahan. Kemudian setelah tahu siapa yang merusak Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup tapi tidak mati. Allah mempunyai sifat rahman dan kita hanya dititipi sifat rahman. Gus Anik juga menyampaikan bahwa kitab Taurat sudah mengenal angka-angka makanya orang Yahudi dianggap modern/canggih karena angka-angkanya. Kemudian pertanyaan terahir dari Mas Rian ilmu kasepuhan ada korelasi dengan laku kasantikan dan bagaimana cara menularkan ke generasi kanoman?

Direspon oleh Mas Agus bahwa tujuan utama memiliki kesaktian untuk bisa bermanfaat untuk orang lain. Jika perhiasan mayornya hanya untuk pamer malah tidak punya guna tapi jika untuk menghamba dan tidak mengancam orang lain itu bagus sebab masih terletak pada tempatnya. Ilmu tersebut untuk “berdiri”(menegaskan peran diri) tapi apakah peran tersebut untuk menggapai sampai salam atau sekadar untuk jumawa dalam kehidupan? Telah dianjurkan kepada manusia untuk mengemban pilar-pilar waktu untuk menyempaikan salam supaya tidak menjadi orang yang mengancam. Ilmu cantik yang perlu dipertahankan adalah ilmu salam.

 

Setelah terjadi pasinaon bareng, sudah waktunya untuk memuncaki acara. Pak Budi Maryono berpuisi dan pemberian kenang-kenangan berupa buku dan kalender kepada para narasumber dan beberapa penanya. Acara pada malam tersebut ditutup dengan talaman atau makan bersama sebagai bentuk rasa syukur.

 

Demikian reportase yang dapat saya buat semoga kita bisa tetap menjadi keluarga yang saling berguna dan semoga reportase ini bermanfaat.

 

CAHYA_MGG

WUNGU

Pertemuan rutin majlis gugurgunung pada 26 Oktober 2019. Sekaligus menjadi workshop ketiga (terakhir) dari tiga edisi setelah sebelumnya yakni “Laras” dan “Padhang Pranatan”. Bertempat di Mushola Darussalam, Lemahabang, Kab. Semarang. Tema workshop edisi ketiga ini ialah Wungu. Mas Kasno sebagai moderator pada malam hari ini di kisaran pukul 21.25 kegiatan membuka sianu bareng dengan bacaan basmalah.

 

Bismillahirrohmanirrohim…

Workshop ketiga masih dalam rangka merespon dhawuh Mbah Nun. Alhamdulillah malam ini dihadiri juga oleh Mas Aji dari Jogja, serta Pak As’ad dari Solo dan juga Mas Dian dulur gugurgunung yang lama tidak ikut melingkar sebab bekerja di luar pulau selama beberapa bulan. Semoga malam ini mendapat pertalian silaturahmi yang bisa kita pelajari bersama. Kemudian dilanjutkan dengan doa wasilah oleh Mas Sokhib juga Wirid akhir zaman serta Pangkur Kerinduan dari Mas Ari.

 

Sehubungan dengan tema yang hampir diubah menjadi lir-ilir, meskipun memiliki makna yang hampir sama dengan wungu maka Mas Kasno mengajak dulur-dulur untuk mentawasuli Kanjeng Sunan Kalijaga dilanjut nembang Lir-ilir karya Kanjeng Sunan dengan dipimpin oleh Mas Agus. Kompak serempak, lelaki perempuan berpadu merdu, asik bahagia namun tak lepas dari makna. Demikian suasana ketika tembang lir-ilir mengalun. Kemudian Mas Kasno membaca mukadimmah untuk membantu memantik diskusi malam ini. Mas Agus memberi preambule bahwa tema ini memang sempat dianjurkan untuk diganti judulnya. Sebab dirasa terlalu berat dimana diukur dari kapasitas diri Mas Agus pribadi dan dulur-dulur semua. Maka diganti lir-ilir dimana memang sudah harus nglilir untuk menghadapi jaman. Namun sehari setelah itu Mbah Nun mengeluarkan edaran wirid akhir jaman yang juga di dalamnya mengandung kata Wungu. Maka disepakati tema dikembalikan menjadi Wungu.

 

Memang berdialog langsung dengan Mbah Nun sulit untuk kami lakukan, semoga dengan ketersambungan tema seperti ini menjadi kegembiraan tersendiri bagi kami anak cucu beliau. Mas Agus mencoba mengakurasi ayat Allah dalam QS Al Ikhlas. Merupakan salah satu dari dua surah yang tidak menyebutkan kata dari judul surahnya selain Al Fatihah. Ditadabburi bahwa yang tahu makna sesungguhnya hanya Allah. Salah satu cara untuk memahami maknanya yakni dengan ngambrukke roso wegah (merubuhkan rasa enggan), melawan rasa takut. Salah satu simulasi yang paling sederhana dengan memasuki alas/ hutan dalam kondisi sendiri dan gelap dengan niat tiada modal lain selain Al Ikhlas. Begitu hendak memasuki hutan maka seketika qul huwallohu ahad. Ketika dalam kondisi yang gelap maka mulai terombang-ambing maka alat apa lagi yang akan digunakan selain pertolongan Allah. Yakni memasuki ayat kedua Allohushshomad. Suasana menjadi enak namun pikiran muncul reridu berupa ketakutan. Jika kita tunduk pada reridu maka menuhankan ketakutan. Lalu dilanjutkanlah dengan ayat ke-3 yakni lam yalid wa lam yuulad. Maka berhembuslah angin besar. Memang tiada yang lebih diatas Allah. Wa lam yakul lahuu kufuwan ahad. Hal ini merupakan metodologi atau pengalaman pribadi yang bisa diterapkan pada laku hidup. Temuan ini didapati mas Agus pada saat benar-benar memasuki hutan pada suatu waktu. Tentunya bukan arti dari Al Ikhlas itu sendiri, ini hanya merupakan salah satu alat untuk mencoba memahaminya. Mudah-mudahan dengan metode menabrak hantu-hantu ketakutan yang muncul dari pikiran sendiri, ataupun seolah sunyi tanpa kehidupan, juga seolah terpencil namun justru banyak kejujuran di dalamnya. Pohon satu dengan pohon lain tak saling mencederai, andaikanpun ada ternyata masih tetap dalam rangka menjunjung keseimbangan. Binatang senantiasa beristiqomah sesuai dengan aturan yang Allah tetapkan. Jangkrik beristiqomah dengan keriknya, belalang juga beristiqomah sesuai fitrahnya, juga binatang-binatang lain. Hal yang dijauhi oleh sebagian orang justru menyimpan kandungan keselamatan dan keamanan. Sangat berbeda dengan kondisi yang kita kira aman. Dengan terang benderangnya, dengan ramainya, juga dengan gemerlapnya namun tidak menjamin kondisi bahwa akan terbangun keamanan, keselamatan satu dengan yang lain. Dengan kondisi demikian maka kita harus melek kahanan, mesti kita buka selimut agar tidak senantiasa tertidur.

Malam ini akan coba kita urai selimut-selimut apa saja yang melekat pada diri. Selimut yang bukan memberi kenikmatan namun justru memasung dan memenjarakan. Selimut yang memberi impian bukan dengan kenyataan. Selimut-selimut ini jika tidak disibak maka akan memerosotkan derajat kemanusiaan kita sendiri. Padahal dari tema kita lalu yakni “Laras” didapat bahwa manusia harus menjadi kaum yang sebaik-baiknya kaum, yakni ahsani takwim. Di dalamnya berisi manusia-manusia yang ahsan. Manusia yang memegang teguh amanat dan tanggung jawab, jikalau hal tersebut tak disadari maka akan menjadi kaum asfala safilin. Dari pihak yang memiliki derajat yang tinggi akan direndahkan. Pola yang kita jalankan dari workshop 1,2 dan 3 tidak pernah kita rencanakan. Dari tema gelinding saja bermodalkan niat. Asal tidak merasa kuat, hebat, sangar, namun bermodal jelas yakni ringkih, dhuafa, fakir karena yang kita hadapi adalah Allah sendiri. Maka dengan seperti itu maka kita akan memiliki wadah yang kosong, sehingga Allah akan mengisi dengan hal yang murni dan kita butuhkan dalam kehidupan kita. Semoga dengan ini kita mampu membuka selimut-selimut yang membuat kita “nyaman” selama ini. Nantinya jika kita menyadari bahwa selimut tersebut sesungguhnya ialah penjara barulah kita akan bangkit. Karena pada hakikatnya manusia menginginkan kemerdekaan bukan dipenjarakan. Kalaupun menjadi hamba, hanyalah kepada Allah kita menghamba. Jika Allah tuan rumah dan Nabi penjaga pintu dan kita batur (hamba sahaya) bukan berarti akan tersiksa dengan perbudakan malahan justru diberi kenikmatan. Makanan dan minuman serta hawa dan kahanan yang dirasakan Kanjeng Nabi pun kita juga akan merasakan hal yang sama.

 

PENGENALAN DIRI

Mas Aji memahami bahwa salah satu pintu menuju wungu terletak pada pengenalan diri. Kalau boleh dibilang sedari lahir sampai saat ini, pikiran kita menyerap apa yang kita dengar, lihat dan rasakan, hingga kita mengidentifikasi bahwa serapan tersebut sebagai diri kita. Terkadang kita melihat diri kita ada hal yang kita rasa baik dan sukai, namun tak sedikit pula terdapat hal yang kita rasa buruk dan tidak kita sukai. Dengan menyadari hal ini sedikit demi sedikit akan membuka penjara itu tadi. Semua yang kita pelajari tadi hanya sebagai penghantar saja untuk melihat diri sendiri. Identifikasi terhadap diri yang telah melekat dari lahir sampai mengenal diri kita lalu mesti dikembalikan lagi pada peran dalam kehidupan sehari-hari namun tetap dengan kesadaran untuk menempatkan diri. Masih menurut Mas Aji dengan demikian maka akan dapat membuka selimut yang paling tebal dari diri yakni ‘diri’ itu sendiri. Segala hal yang dipelajari menjadi penghantar menuju pengenalan diri namun juga di sisi lain juga menjadi selimut untuk mengenali diri. Beberapa pintu pantikan dari Mas Aji yang menarik sekali untuk lebih memperdalam diskusi malam ini.

PETANI DAN KESEIMBANGAN

Malam makin larut, diskusi terus berlanjut. Untuk memperdalam bahasan, Pak As’ad pun diminta untuk turut. Sebelum memasuki tema, tak lupa salam dari keluarga dan juga dulur-dulur Suluk Surakartan disampaikannya. Wungu menjadi terbuka ketika berbincang dengan Mas Agus. Wungu merupakan sintesa dari warna biru dan merah. Merah merupakan angkoro, biru menep. Wungu adalah sebuah proses puncak dari dualitas yang harus ditarik mundur. Pak As’ad mencoba menarik ke masa lampau. Beliau menceritakan tentang Nabi yang sedang menggembala. Lalu diuji oleh malaikat untuk mengambil susunya, sebab majikannya tidak akan tahu. Namun dijawab oleh Nabi bahwa Allah pasti akan mengetahuinya. Menurut Pak As’ad ini merupakan salah satu prinsip manajemen aset. Masih seputar tiga tipe manusia (manusia pasar, nilai, dan istana) memiliki lambaran dasar yakni harus memiliki manajemen resiko. Ali dikatakan sebagai seorang pewaris Nabi. Seorang pemimpin di China dulu pernah menyampaikan bahwa, umat Islam tidak perlu kemana-mana hanya cukup mempelajari Ali.

China memiliki situs jual beli yang cukup besar pun menggunakan nama alibaba.com. Pada situs berbasis marketplace ini tersedia harga yang sangat murah, bebas biaya pengiriman, pelayanan yang baik dan cepat serta barang yang diterima juga sangat mirip dengan yang dipesan. Pikiran Pak As’ad tersambung kepada; mengapa sebagian besar nabi menggeluti dunia perdagangan. Sebab disanalah seorang diuji apakah yang diperdagangkan atau dikatakan sesuai dengan yang diterima oleh orang lain atau tidak. Jika di China tidak mungkin menggunakan Muhammad.com maka digunakanlah Alibaba.com, maka di maiyah tidak bisa muncul “maiyah.com” sebab maiyah adalah nilai tapi alangkah baiknya jika muncul misalkan “Kasno.com”, atau “aji com” dll. Maksudnya ialah setiap khasanah yang dimiliki oleh masyarakat maiyah bisa diterapkan dalam perilaku keseharian. Maka kita harus bisa memanajemen resiko. Segala yang kita peroleh dari bermaiyah ataupun dari Mbah Nun harus terus diinternalisasi pada kehidupan sehari-hari. Bertahun-tahun bermaiyah mestinya mampu mengakumulasi ketegangan bagi dirinya untuk berbuat sesuatu.

 

Wungu dalam keseharian bagai baterai atau powerbank, yang mendampingkan positif dan negatif. Baterai dengan ketegangan dari positif dan negatif yang cukup maka bermanfaat untuk melakukan sesuatu. Demikian juga seharusnya kita dengan memiliki ketegangan positif dan negatif yang cukup untuk bermanfaat dalam ranah harian. Menyeimbangkan tegangan positif dan negatif dilakukan dengan cara mengenali diri. Bahwa setiap manusia mampu melakukan distruksi yang luar biasa sesuai bidangnya. Begitupun manusia mampu melakukan konstruksi yang luar biasa sesuai bidangnya. Walaa tansa nashiibaka minad dun-yaa. Setiap orang memiliki nasib yang tidak bisa diubah. Meskipun nasibnya adalah seorang karyawan, jadilah karyawan yang baik, maka pasti akan memiliki kelebihan dibanding karyawan yang lainnya. Manusia yang tidak mempergunakan keseimbangan tegangan positif dan negatif dalam dirinya sama halnya dengan powerbank yang tidak pernah digunakan maka akan lebih cepat rusak dibandingkan dengan yang sering digunakan dengan baik.

 

Mbah Nun ibarat seorang yang tebar bibit atau matahari. Maka bukan tugas Mbah Nun untuk menatanya. Ibarat dalam kebun, matahari tidak pilih kasih. Bukan hanya tanaman yang tumbuh tetapi juga akan ada gulma yang turut tumbuh. Tanaman yang belum diketahui manfaatnya turut tumbuh.

Maka disana dibutuhkan petani. Yang menata tanaman satu dengan yang lain, yang memilah dengan menanamnya di tanah, di pot, atau polybag.

Satu pertanyaan yang belum terjawab. “DIMANAKAH PETANINYA??”

Semua tanaman sudah tumbuh namun bisa menjadi berbahaya bila tak ada yang mendistribusikan dengan baik. Satu dengan yang lain bisa saling merusak karena kurang adanya “petani” yang bisa menatanya. Demikian menjadi pe-er bagi kita semua.

 

‘AIN DAN KIFAYAH

Mas Kasno meminta Mas Yoga Lemahabang untuk mem”bangun”kan dulur-dulur dengan pembacaan puisinya. Sebuah puisi berjudul “Pertemuan yang dinanti” karya Mas Sokhib. Penampilan Mas Yoga yang jujur berbuah keindahan dalam puisi  sarat makna. Tak hanya menuliskan puisi. Mas Sokhib juga menyampaikan sebuah pertanyaan. Beberapa waktu lalu Mas Sokhib sempat bertanya pada Mas Agus tentang wungu.

Di dalam wungu terdapat 4 hal yakni :

  1. Cinta
  2. Irodah
  3. Ikhtiar
  4. Tawakal

Di depan tadi diungkapkan selimut yang harus disibak agar menjadi kondisi wungu. Lalu selimut apa sajakah yang dimaksud? Mas Agus langsung merespon pertanyaan yang sangat baik dari Mas Sokhib tersebut.

 

Masih tersambung pada tema dalam workshop sebelumnya yakni Laras atau penyelarasan diri.  Sebaik-baik manusia ialah yang selaras dengan Allah. Jika belum bisa maka selaraslah dengan Malaikat Allah. Jika masih belum bisa maka selaraslah dengan para Nabi dan Rasul. Jika masih belum bisa juga, selaraslah dengan kitab-kitabnya. Jika masih belum bisa juga maka selaraslah dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa akan ada hari akhir. Sebab dengan kepercayaan tentang hari akhir akan membuat seseorang untuk berpikir bahwa jika ada hari akhir maka ada hari awal, dimana jika kondisi hari hari akhir tidak bisa dipastikan hasilnya, paling tidak sejak awal sudah bisa ia pilih secara memastikan niat awalnya. Jika itu juga masih belum bisa selaras, maka selaraslah dengan qodo dan qodar. Bahwa segala keinginan kita tidak selalu tercapai. Setiap manusia hanya ada kandungan probabilitas bukan absoluditas. Sebab kita hanya sebatas bersifat rancangan, yang absolut hanya Allah SWT. Agar kita tetap terjaga keselarasan, maka jangan tergoda rencana. Sebab manusia hanya akan optimal pada area rancangan bukan pada rencana. Manusia bisa merancang namun Rencana hanya milik Allah SWT. Apakah perilaku selaras hanya dimiliki oleh ulama, auliya dll atau pihak yang dianggap suci. Ya. Tapi harus ingat bahwa kita semua diperkenankan terlahir di dunia karena masing-masing kita ini memiliki eksklusifnya. Hanya saja ada yang memoles keekslusifan dirinya sehingga muncul, dan ada yang mendiamkannya sehingga hanya tertimbun. Bagaikan intan yang terpoles maka akan menampilkan keindahan, sedangkan yang terpendam sering merasa bahwa dia bukanlah intan. Ciri intan ialah bening, dalam diri kita apa yang harus bening? ialah akal. Intan bersifat padat, ialah tekad. Maka kita perlu memperluas wawasan, ilmu agar tanah yang menimbun kita semakin terkikis, terkuak. Tanah yang dimaksud ialah kepentingan-kepentingan. Sering tanpa kita sadari justru memberi “makan” kepentingan tersebut tanpa memberi kesempatan intan untuk keluar, mencuat.

 

Mengidentifikasi diri dapat diketahui dari apa yang dilihat oleh orang lain, dan kita dapat mengambil kesimpulan oranglain atas diri kita sebagai identitas baku yang ada di luar diri kita. Apabila demikian menjadi pola, maka tidak akan menghantarkan pada keprigelan mengenali diri kita sendiri. Jika orang lain lebih mengenali diri kita maka kita akan malas mencari diri sendiri. Pandangan orang lain baiknya hanya menjadi tambahan koordinat. Pada wilayah apakah letak kita berdiri? Dimana maqom kita? Kalau kita tak mengerti maqom kita sendiri, bagaimana mau qum (bangun), qiyam (bangkit) hingga bersama-sama qiyamah (menjunjung kebangkitan). Qiyamah disini diartikan sebagai bangkit, tumbuh; bukan rubuh.

 

Koordinat satu dengan yang lain harus saling melengkapi. Koordinat-koordinat ini jika dikaitkan dengan bahasa Pak Toto yang menggunakan QS Al Qasas. Mas Agus memilih koordinat ‘ain dan kifayah. ‘Ain ialah fardhu yang setiap muslim wajib menjalankan.

 

Kifayah juga fardhu namun akan menjadi tidak wajib jikalau sudah dilaksanakan oleh orang lain. Contohnya ialah sholat jenazah. Dalam sholat jenazah juga terdapat salam namun tidak ada rukuk dan sujudnya. Artinya jika ada seorang yang sudah meletakkan maqom-nya, terbaring, maka yang lain harus tetap qiyam (berdiri) untuk menjaga maqom yang baru saja kehilangan salah satu petugasnya tersebut.‘Ain dalam kehidupan ialah mengabdi pada Allah. Bahwasanya tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT.

 

Ada yang disebut pekerjaan profesi dan peran. Dalam mengerjakan profesi belum tentu sesuai dengan pos ‘ain kita. Kita harus mengenali pos ‘ain diri terlebih dahulu agar kita tahu bahwa ada sektor yang lebih harus kita prioritaskan sebab mengerti pilahan primer dan sekundernya.

 

SELIMUT DIRI

Sebagai gambarannya adalah orang yang duduk bersila. Simbol ini dipilih sebab men-diri-kan pengabdian tak selalu dilambangkan dengan tegak dan bertumpuan dua kaki. Janin di alam rohim pun berbentuk seperti hijaiyah ‘wau’, bukan posisi ber-diri, namun janin jelas tengah mendirikan pengabdiannya. Ternyata dalam alam rohim kita pernah mengalami fase sen-diri-an dan kita mampu menunaikannya dengan roso bungah. Dalam pada itu kita dilahirkan untuk menjalani kehidupan di dunia seperti halnya dalam alam kasih sayang. Namun justru setelah manusia benar-benar mampu bertumpu pada dua kaki, menjadi jarang yang mau bersusila, bersila (shilah, seakar kata dengan sholat). Shilah ini berarti terhubung pada Allah SWT. Dalam Islam ada syariatnya yakni dalam gerakan-gerakan sholat. Dimana kita berpijak, dan kemana kita menuju harus mustaqim. Namun untuk menuju kesana akan ada hambatan-hambatan, maka kita selalu meminta selalu petunjuk Tuhan yang tersampaikan pada ihdinasshirathal mustaqim. Hambatan tersebut berupa selimut yang membuat diri semakin kabur dalam melihat keadaan. Seolah jalan tidak tampak, maka patutlah kita memohon petunjuk pada Allah SWT. Jika kita tidak menyadari hambatan yang menyelimuti tersebut, kita tidak tahu bahwa jalan sudah berbelok. Kita punya mata dan telinga namun hanya kita gunakan untuk melihat dan mendengar apa yang kita mau saja. Perlu kita ketahui perjalanan pen-diri-an kita apakah berada di jalur yang biru (baik) atau merah (buruk). Kita perlu memindai, bahwa setiap manusia memiliki perannya. Setiap peran dalam manusia memiliki martabat, dimana semakin martabat itu diakomodir oleh manusia-manusia yang lain maka manusia tersebut akan menjadi semakin bermanfaat. Maka haq bahwa untuk memperjelas peran-peran kita tersebut harus bermuara pengabdian kepada Allah SWT.

 

Selimut terbagi menjadi 3 :

  • Raga
  • Jiwa
  • Sukma (ruh)

 

SELIMUT RAGA

Raga sendiri sebenarnya sudah merupakan selimut. Selimut raga ialah menggemari zona nyaman. Jika ini dijadikan ageman (pegangan), maka laksana sampah yang dibiarkan di dalam diri dan membusuk. Zona nyaman seperti kondisi yang tidak terlalu dingin atau terlalu panas. Maka yang diolah sebagai ‘ain ialah rosonya, agar tak selalu berkutat pada hal-hal jasmaniah. Manusia yang terlarut zona nyaman biasanya selalu hiperbola, tidak memiliki produk dan kurang bersyukur. Musuh untuk merubuhkan kemanusiaannya ialah ketakutan. Dengan demikian maka kita masih meletakkan Allah SWT sebagai angan belaka. Serta tidak meyakini janji cintanya. Kita perlu nggaya sebagai manusia ahsani takwim bukan untuk menegakkan diri akan tetapi menghormati bahwa kita diciptakan sebagai makhluk yang mulia.

 

SELIMUT JIWA

Takut salah, takut dianggap aneh, lebih senang berbicara di belakang, malas menambah wawasan, apatis dlsb merupakan bentuk selimut jiwa. Manusia yang berselimut ini minor quality namun secara quantity sangat mayor. Jumlahnya banyak namun belum tergerak untuk menumbuhkan kualitas.

Mbah Nun sebenarnya pernah menyampaikan bahwa benih-benih yang tersebar sebenarnya sudah mulai tumbuh dan menampakkan kuncup bunga nya. Maka perlu disingkirkan gulma-gulmanya dan justru jangan sampai hanya menjadi peradaban gulma. Peradaban sekarang sudah tidak ada yang dominan. Jika dahulu ada negara adi kuasa, namun sekarang nampaknya sudah mulai jarang didengungkan. Justru yang sering didengungkan adalah islam teroris. Padahal sebenarnya tidak ada islam teroris. Yang ada yaitu islam dan teroris. Islam merupakan kedamaian dan teroris sebaliknya yakni benci kedamaian. Untuk menjadi wungu maka harus bisa meramut keduanya. Bukan mempertandingkan keduanya. Bahwasanya ada garis merah dan biru yang harus kita sandingkan untuk menjadi wungu. Seperti di dalam surat At Taubah ayat 111. Kemudian Mas Sokhib diminta untuk melantunkannya.

Pengabdian yang sungguh-sungguh menjadi modal bagi diri kita untuk “berjualan” dan Allah SWT sendiri yang menjadi “pembeli”nya. Segala jiwa dan pemikiran kita jihadkan, untuk kita pertahankan syahadat menjadi alat pengabdian bagi Allah SWT.

 

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

 

Diskusi masih terus berlanjut, hingga lewat tengah malam. Untaian-untaian pertanyaan yang tersimpan atau tersampaikan terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yang tentunya diharap bermanfaat bagi masing-masing sedulur yang hadir; untuk dibawa pulang; untuk dijadikan bekal menyibak sedikit-demi sedikit selimut bagi raga, jiwa dan ruh. Saling berusaha mengenali diri hingga kelak, semoga kita semua menjadi manusia-manusia yang tak lelah mempertahankan konsep Allah atas diri bahwa pribadi dan pendirian kita benar-benar dalam bingkai ahsani takwim. Sebagai sabaik-baik bentuk, menjadi ciptaanNya yang mulia, menjadi manusia yang wungu. Tumbuh; bukan rubuh. Sekian reportase kali ini semoga bermanfaat.

 

___

Andhika Hendryawan

Link video terkait, klik disini