Road to “Makan bareng Kanjeng Nabi” – Bagian 2

“Andum Bebungah”

 

Pada bagian ini saya bingung mau mendahulukan kisah yang mana, karena sangat banyak bebungah yang musti diceritakan.

Baiklah aku mulai dari yang paling universal yang mendasari diadakannya acara “Makan bareng Kanjeng Nabi” tersebut, yang belakangan saya dapat bocoran dari Mas Kafi bahwa kontributor utama ide dan gagasan acara tersebut salah satunya adalah Mas Agus. Hmmm ….

Kerinduan. Iya, menurutku, yang paling universal yang mendasari diadakannya acara tersebut adalah “Kerinduan”

Sejenak mari kita simak Tembang Kerinduan ini

 

Pangkur Kerinduan

 

Kangen Pasuryan Paduka.

Kanjeng Nabi kang angon Langit lan Bumi.

Kuthaning berkah lan ngelmu.

Endah tan kinoyo ngopo.

Kekasihing Gusti ingkang Moho Luhur.

Duh Nabi nyuwun margi.

Trisno lahir trus ing batin.

 

Tembang tersebut bisa dianggap seperti tembang wajib bagi Majlis Gugurgunung, karena setiap kegiatan rutinan  selalu melantunkan tembang tersebut yang dirangkai dengan Sholawat dan do’a. Tembang yang menurutku sangat pas dibawakan oleh Om Mujiono ini seolah menjadi pengantar rindu kaluwargo gugurgunung kepada Kanjeng Nabi.

Bahasa universal lain yang terkait dengan rindu, salah satunya adalah bungah. Terhadap sesuatu yang dirindukan, yang ingin dipersembahkan adalah bebungah. Begitu idealnya. Dan bahasa yang paling universal untuk menyampaikan bebungah adalah bahasa kesenian.

“Literasi akademis, kurikulum, ilmu opo wae sing diwakili kata, koma, dan titik, ora iso nyonggah manungso lan kamanungsan. Mulo ilmu njaluk ewang kesenian, sastra, teater, lan sakpiturute. Mulo Alqur’an dibahasakan sangat sastrawi, kisah kisah sejarah dituturkan sangat teatrikal oleh Allah.” (Mbah Nun kepada Majlis Gugurgunung, via Mas Agus)

Teater adalah yang diusulkan oleh Mas Agus untuk sarana andum bebungah, dan dulur dulur sanggar Wangker Bayu sendhiko atas usulan tersebut. Naskah digarap oleh Mas Diyan, penyutradaraan disanggupi oleh Mas Chafid dan Mas Diyan. Rekruitment talent dilaksanakan dengan segera. Ada yang unik pada proses audisinya. Begini ….

Mas Yoga adalah Mahasiswa Teknik Mesin, dia bersama kekasihnya, Mbak Aul namanya. Mereka berdua sama sama dari Bekasi, yang kesehariannya berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia versi remaja Ibukota. Contoh : Njir, Lu, Gue, dst, adalah kata kata yang sering saya dengar darinya. Suatu siang Mas Yoga menghadap Mas Diyan, sang Sutradara. Mas Diyan menyodorkan naskah, sembari berkata, “Yog, Lu mau ikut maen teater ga, silahkan pilih peran”. Mas Yoga menjawab, “Mau, Mas. Yaudah gue pilih memerankan Boniq”. “Oke, Lu diterima, Yog”, kata Mas Diyan. (Entah siapa yang “kenthir”, sesingkat itu audisinya, …. naskah teater berbahasa Jawa, pemeran pertama yang dipilih justru orang yang kesehariannya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia versi remaja Ibukota). Nyata !!! … untuk latihan satu kata dari sekian lembar naskah aja sudah problem. Contoh : Ha thek, Yog … Ha thek, bukan Ha tik, juga bukan Ha thik, tapi Haaaa Thek. (Hahaha, kebayang bukan ????). Oke Yog, waktu masih Tiga bulanan, mulai sekarang training Lu adalah, berkomunikasi menggunakan Bahasa Jawa ketika ngobrol dengan kami, “Saran Mas Dhika”. Disanggupinya, dan hasilnya luar biasa.

Audisi selanjutnya adalah Mbak Dewi. Perempuan dari Wonogiri, yang kerja di Ungaran, dan sering melingkar di berbagai simpul Maiyah. Hadir di Majlis Gugurgunung baru kali itu, itupun karena diberi tahu oleh Jamaah Maiyah di Suluk Surakartan – Solo, tentang keberadaan Majlis Gugurgunung. Pertemuan pertama dengan Mas Diyan, langsung ditawari main teater. “Mbak Dewi kerso main teater ?”, kata Mas Diyan. “Mau, Mas”, jawab Mbak Dewi. Sesingkat itu.

Siang itu, seluruh talent (Mas Ginanjar sebagai Mbah Dur, Mbak Dewi sebagai Bu Nyai, Mas Yoga sebagai Boniq, Mbak Aul sebagai Dayu, Mas Chafid sebagai Sutradara yg juga memerankan Pak Kamiyo, dan Mas Diyan sebagai Tengkulak, dibersamai oleh suporting dari dulur dulur lain, termasuk Mas Rizal dari Gambang Syafaat) berkumpul untuk latihan perdana di Sanggar Wangker Bayu, beralamat di Bangetayu, camp ngopi 0 mdpl. Sanggar yang berupa sebidang tanah kosong entah milik siapa. Tempat di mana dulur dulur ngopi 0 mdpl di bawah pohon mangga, bermeja ember cat dibalik, berkursi apa saja, banyak lalu lalang ayam segala umur. Ayam yang salah satu induknya adalah Si Gondhang, pemberian dari Mas Agus pulak. Sanggar yang kelahirannya dibidani oleh Mas Agus, dan ditempa oleh dulur dulur sepuh Gugurgunung ini telah melahirkan banyak karya, diantaranya : Pagelaran Pewayangan, Film Pendek, Teater Singkat, Menggores Langit Bangetayu, dll.

 

Latihan perdana di Sanggar Wangker Bayu

 

Lokasi lain yang juga berkesempatan untuk latihan diantaranya, balai RW, Warung Penyet Kirana, dan Kawasan Wisata Candi Ngempon.

Suasana Latihan di Kawasan Wisata Candi Ngempon

 

Suasana Latihan di Warung penyet Kirana

 

Suasana latihan di Balai RW 09 Tlogomulyo

 

Kasno

Sholawat Munajat Maulid Nabi Muhammad SAW

Malam minggu terakhir pada bulan November jatuh pada tanggal 24 November 2018. Rutinitas bagi Majlis Gugurgunung untuk nggelar kloso, duduk melingkar serta berdiskusi. Namun sedikit berbeda pada edisi bulan ini, yakni khusus untuk bermunajat serta bersholawat. Dimana bertepatan juga dengan bulan kelahiran Nabi besar junjungan kita, Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam.

Hampir pukul 21.00 WIB, kegiatan dimulai dengan do’a wasilah dan tembang Gugur gunung oleh Mas Ari, dilanjutkan dengan munajat Maiyah, serta bersholawat oleh Mas Tyo juga Mas Jion.

Pembacaan sholawat yang di pimpin oleh Mas Tyo

Tiada tema yang dikhususkan untuk dibahas pada malam itu, segala pembahasan mengalir dengan sendirinya. Dimaksudkan pula supaya dapat diakhiri lebih awal sebab keesokan paginya, Majlis Gugurgunung berencana untuk menghadiri kegiatan dari Majlis Alternatif, khususnya Kampus Sawah dengan kegiatan bertajuk Makan Bareng Kanjeng Nabi.

Sedikit yang menjadi pembahasan pada malam itu ialah tentang, tancep kayon. Dimana tancep kayon merupakan sebuah tradisi akhir tahun bagi Majlis Gugurgunung untuk berhenti, kemudian mengevaluasi apakah masih perlu dilanjutkan atau tidak. Memang Majlis Gugurgunung tidak dipaksakan untuk terus ada, sebab lebih baik tahu kapan untuk berhenti daripada kapan harus menambah. Diharapkan berhenti atau mengulangi kegiatan tersebut karena fitroh hajat kehidupan.

Seperti halnya lapar dan haus, kita makan dan minum bukan karena kita ingin terus makan dan minum. Tetapi karena rahmat Allah, kita ditakdirkan memiliki fitroh untuk lapar dan haus. Majlis Gugurgunung senantiasa bertahan agar Majlisan ini semoga tetap dirahmati oleh Allah, dengan tetap memiliki alasan untuk makan karena lapar atau minum karena haus. Pada tahun ini, akan disudahi dengan laku Kasantikan yang sudah dimulai sejak bulan Januari lalu.

Sedikit hal yang bisa kita gali dari kasantikan. Hakikat dari pertemuan dengan setiap hal baik lembut ataupun kasar ialah kerinduan kita pada perjumpaan dengan Allah, bukan menjumpai diri kita sendiri yang mungkin memang sedikit ada cipratan dari Allah. Maka Allah pun berkata bahwa, kemanapun kita menghadap adalah wajah Allah.

Kecenderungan kita akan lebih mendekat pada hal-hal yang kita anggap sehat, gebyar, higienis, dlsb. Beberapa hal justru terkadang tidak kita pilih untuk berjumpa. Seperti pada hadist qudsi bahwa seolah-olah Allah mengeluh kelaparan, kehausan. Padahal terkadang hal tersebut justru akan mempertemukan dengan Allah.

Tetapi tidak patut kita paksakan pula mengejar untuk mengetahui wujud jasadnya Allah, cukup dengan merasakan keagungan, kebesaran serta ketinggian Allah ketika kita menjumpai kehidupan.

Tahun kasantikan berarti menuntut kita untuk mempercantik diri (santika), bukan hanya untuk wanita namun juga kepada pria. Santika, dipecah menjadi dua, pertama “sakti” dan yang kedua ialah “cantik”.

Clue yang tersedia bahwa sakti ialah orang yang tidak memiliki musuh. Sebab setiap hal yang kita jumpai adalah refleksi dari hal yang kita lakukan. Jika kita sedang mempercantik diri maka akan dipertemukan pula dengan kecantikan.

Contohlah bayi yang belum bisa melakukan apa-apa. Namun siapa sosok yang tidak memperlakukan bayi dengan cantik ?. Kecenderungan umum, tidak ada yang sampai marah kepada bayi yang menangis. Bahkan hingga tahu maksud dari si bayi, apakah lapar, haus, sakit dll.

Karena bayi disebut masih fitroh, berarti rumus untuk mencapai kasantikan ialah dengan tidak menjauhkan fitroh dari diri kita. Bahkan di dalam Islam pun setahun sekali diajarkan untuk kembali pada fitroh. Bahkan sebulan, seminggu, sehari sekalipun bisa. Setahun sekali dengan idul fitri, bulanan misalkan dengan maiyahan atau majlisan apapun yang dapat menjadi sarana untuk mendekat kepada Allah. Mingguan misalkan jum’atan yang kontributif dan konstruktif bukan hanya mengunduh pahala saja sebab pahala yang diperoleh sangat besar. Dalam hari jum’at dimaksudkan untuk bertemu, berkumpul, mereview beberapa hal untuk ditata di hari sabtu dan dimulai lagi di hari ahad. Harian dengan sholat lima waktu. Senantiasa setiap waktu menegakkan level kemanusiaan senantiasa yang Allah harapkan, yakni sebagai abdi dan khalifah. Bukan malah memburu waktu. Jangan sampai tenggelam di kedangkalan, jangan sampai terjerembab di kerendahan. Yang lebih singkat jaraknya lagi ialah, setiap bernafas, berkedip, berdetaknya jantung kembali kepada fitroh. Setiap hal yang kita lakukan senantiasa menyampaikan atau melakukan kebaikan, insya allah setiap nafas yang kita hirup, tiap jantung berdetak turut menjaga fitroh kita sebagai manusia.

Kehangatan Majlis Gugurgunung

Bukan hanya menjadi cantik namun gemilang, juga berpendar yang harus tidak kita miliki. Karena semua itu harus kita abdikan kepada Allah, karena semua itu adalah miliknya.

Maksud dari kasantikan ialah mau untuk “dandan”. Tidak harus dandan menggunakan bedak dll, namun melihat kursi rusak lalu ingin memperbaiki itu juga merupakan dandan. Dandan itu tidak dipaksa harus ideal, ketika tidak mampu melakukan dengan perbuatan maka dengan perkataan. Tidak sanggup berkata, jika diam saja untuk tidak menambah masalah juga disebut dandan.

Sesi pertanyaan diawali dari Mas Tyo yang menpertanyakan tentang sensitivitas apakah fitroh atau pengaruh dari lingkungan? Dianalogikan sebagai tiap-tiap bagian dari pohon, dan masalah ialah api. Pasti daun akan memiliki sensitifitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ranting, dahan apalagi batang. Andaikan bagian-bagian dari pohon tersebut merupakan rangkaian dari masing-masing manusia yang sedang menjalankan fungsinya. Orang yang sensitif pasti memiliki kecenderungan yang berbeda dengan orang yang easy going. Salah satunya ialah mengurai sebuah hal yang rumit serta membutuhlam waktu yang lama, sensitif menjadi tidak produktif ketika disebut baperan. Padahal perasaan itu memang umum untuk selalu digunakan, namun istilah baperan seakan mengkotak-kotakkan yang seolah menuding kualitas mental seseorang. Semakin seorang sensitif maka dia akan semakin mampu menyentuh wilayah-wilayah titah. Tukang bangunan dan seniman, mungkin terlihat lebih berkelas seniman. Namun belum tentu seniman juga bisa menggarap pekerjaan-pekerjaan tukang, demikian juga sebaliknya. Sebab sensitifitas yang dimiliki masing-masing berbeda.

Melihat benda-benda peninggalan leluhur meskipun hanya terbuat dari batu namun mampu untuk diukir. Sangat berbeda dengan era saat ini, proses pembangunan diambil jalan yang paling instan, praktis. Semakin banyak pihak yang kita singkirkan karena tidak kita anggap penting, maka kita akan menjadi peradaban yang tidak penting juga.

Menjadi bangsa yang sensitif lebih baik dibanding bangsa yang baperan dalam idiom populer. Contoh kasus baper dalam idiom populer ialah marah ketika calon pemimpinnya diolok-olok. Sedangkan jika membawa perasaan di dalam setiap lini kehidupan maka tidak masalah.

Kita coba memetakan idiom-idiom yang disampaikan dalam struktur komunikasi horizontal kepada manusia dan juga vertikal atau yang bersifat ketauhidan.

 

Leluhur

Kita hidup menggunakan warisan dari leluhur. Padahal 200 tahun lagi kita akan menjadi leluhur juga, lalu apakah yang akan kita wariskan?

Yang harus kita pahami ialah, seseorang yang kita sebut leluhur, ialah orang yang selama hidupnya menjalankan titah-titah keluhuran. Bukan hanya karena sudah meninggal maka disebut leluhur. Perlu dibedakan antara leluhur dengan lelembut, telanjang atau polos, pasrah atau kalah.

Indikasi disebut leluhur ialah bukan karena menyebut dirinya sendiri luhur namun rumusnya ialah karena pandai bersujud. Maka ketika bersujud, yang kita sebut ialah keluhurannya Allah. Peradaban yang dibangun oleh leluhur kita, dalam ranah yang sedang menghamparkan segala wilayah untuk menjadi tempat bersujud atau masjid. Hakikat dari sebuah masjid ialah, tempat untuk bersujud. Dimanapun kita mampu bersujud kepada Allah, maka hakikatnya kita mendirikan masjid disana. Dengan kesadaran penuh bahwa setiap ada keluhuran yang menempel pada diri kita, maka senantiasa kita sadar bahwa keluhuran tersebut berasal dari Allah.

Seperti halnya jika ada kasih sayang yang kita lakukan maka, Allah yang maha rahman rahim meridhoi kita, bukan karena kita memproduksinya.

Guliran diskusi edisi spesial ini tidak sampai larut. Sebab masih ada pembahasan lain serta pagi harinya ada agenda bagi Majlis Gugurgunung untuk ngombyongi kegiatan Majlis Alternatif di Jepara yang bertajuk Makan Bareng Kanjeng Nabi. Sekian reportase kali ini. Semoga bermanfaat.

 

Andhika Hendriyawan

Road to “Makan Bareng Kanjeng Nabi”

“Rumah Bahagia”

 

Dulur-dulur Jepara menamainya “Rumah Bahagia”, dan aku setuju. Begini …..

Induk semang Rumah Bahagia tersebut adalah Mas Kafi dan Mbak Diyah, pasutri yang bertubuh makmur, dan mempunyai satu titik artistik yang sama yaitu lesung pipi. Pribadi yang ramah, supel, berinteraksi dengan berbagai kalangan, profesi, usia, dll. Belakangan saya tahu bahwa Beliau ternyata pernah diamanahi oleh masyarakat sebagai Petinggi. Layak, ” gumamku”.

Pertama kali saya berkunjung ke sana, ketika nderekke Mas Agus beserta Keluwarga Gugurgunung, selepas dari ngombyongi simpul Maiyah Semak – Kudus. Saya menangkap sebuah organisasi ruang yang menarik dari Rumah Bahagia tersebut. Begini ….

Ruang tamu yang terbuka, terletak di teras belakang rumah, bersebelahan dengan kamar tidur yang ventilasinya berupa jendela kaca naco yang selalu terbuka, yang ternyata sengaja difungsikan untuk display mainan anak anak. Juga berhadapan dengan dapur, dan sejarak 5 meteran adalah kamar mandi. Tamu benar benar berasa bagai bagian dari anggota keluwarga rumah tersebut.

Rumah Bahagia

Pada sisi dinding yg batanya terekspose, juga terpampang kalender, yang bersebelahan dengan white board bertuliskan Jadwal kegiatan yang cukup padat. Luar biasa, ruangan terbuka yang bisa dibilang tidak luas tersebut, ternyata melahirkan rentetan kegiatan yang luas, “gumamku lagi”

White Board yang berisikan agenda Majlis Alternatif, Jepara

Berada dalam rumah tersebut, tidak bisa menghindar dari yang namanya diskusi. Banyak ide dan gagasan yang lahir, dan banyak ide dan gagasan yang terealisasi. Majlis Alternatif, Kampus Sawah, Hati Petani, Tabur Benih Ikan, Silaturrahim antar Simpul, adalah beberapa diantaranya yang berjalan secara Istiqomah. Lebih menakjubkan lagi, karena hampir semua kegiatan terschedule, terdokumentasikan, terevaluasi, dan terangkum menjadi literasi yang terkumpul sebagai khasanah pustaka yang kelak bisa menjadi referensi sinau generasi selanjutnya. Mas Agus menjadi salah satu asbab Ketersambungan  kaluwargo gugurgunung lewat benih katresnan yang ditanamnya sejak kurang lebih sewindu yang lalu.

Agustus 2018, keluwarga gugurgunung menemani dulur dulur Jepara di Rumah Bahagia berdiskusi tentang gegayuhan akan digelarnya sebuah acara sakral di bulan Maulud, acara yang dipandegani oleh Majlis Alternatif, Kampus Sawah, Hati Petani tersebut diberi judul “Makan bareng Kanjeng Nabi”.

Makan bareng Kanjeng Nabi ???? ” gumamku, kali ini sungguh sambil bergetar”.

Antusias terhadap acara tersebut sangat terasa, terbukti dari banyaknya peserta yang hadir dengan ide dan gagasannya. Namun ada pula yang datang untuk melepas rindu dengan Mas Agus.

suasana kehangatan ketika berdiskusi

Diskusi menggelinding sedemikian rupa, masing masing saling melempar gagasan, lalu masing masing saling menunjuk diri untuk menyampaikan kesanggupan. aku siyap nanam Jahe, aku tak nanam lomboknya, aku terongnya, aku sanggup kacang tanah, telo biar saya yang nanam, dst …. begitu kurang lebih mereka saling bersahutan. Ringkasnya, ini adalah acara Makan bareng Kanjeng Nabi. Masing masing ingin mempersembahkan yang terbaik untuk acara tersebut. sesuatu yang dihidangkan sebisa mungkin adalah hasil dari menanamnya sendiri.

Kesanggupan kesanggupan tersebut kemudian dicatat, dirangkum, dilaksanakan, diamati bersama progressnya, disinauni fenomena fenomenanya, dst dst. Bentuk diskusi yang mengharukan. Mas Agus pamit udut ke luar, (mungkin karena haru). Lalu giliran saya untuk dipersilahkan berbicara, namun gagal. Karena yang tumpah justru air mata. Entah ….

 

Kasno

NYUWUN JAWAH

Marja’ maiyah Syech Muhammad Nurshamad Kamba dalam tahun ini menyampaikan bulir-bulir bening ilmu yang bisa dinikmati kesegarannya bagi banyak pihak, bukan hanya kepada lingkup keluarga Maiyah saja namun juga kepada segmen sosial yang bisa jadi notabene belum cukup ‘basah’ dengan Maiyah.
Bisa dikatakan, bahwa buliran-buliran ilmu beliau laksana butir-butir kesegaran dari langit guna membasahi bumi. Buliran itu antara lain diterbitkannya “Sejarah Otentik Nabi Muhammad” yang merupakan kitab referensi penting dari tulisan Prof. Dr. Husein Mu’nis yang oleh beliau Syech Kamba telah disulih bahasakan ke Bahasa Indonesia. Kemudian juga sebelumnya, terbit pula tulisan beliau bersama Sudjiwo Tedjo dalam buku bertajuk “Tuhan Maha Asyik” dan yang paling bungsu adalah buku beliau  yang berjudul “Kids Zaman Now menemukan kembali Islam”. Bagi gugurgunung deretan tulisan-tulisan beliau sangat mengandungi muatan cinta, terlebih lagi salah satu buku pustaka gugurgunung berjudul “Desa Purwa” pun turut dihantar oleh dhawuh yang bijak dan mendalam oleh Syech Kamba.

Bulan ini, sebagai sedikit wujud cinta kami kepada Syech, kami ingin mengangkat tema berangkat dari buku-buku atau tulisan-tulisan beliau. Bahwa tulisan beliau tentu tidak akan cukup satu malam saja diurai dan diserap maka dipilihlah satu bab dalam buku “Kids Zaman Now …” yang berjudul “Mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan”. Kami tetap tahu bahwa untuk satu tema ini saja tak bisa rampung disinaoni dalam semalam. Perjalanan untuk terus memahami kearifan dan kebijaksanaan ini akan terus berlanjut dalam setiap langkah kehidupan dalam pergantian siang malam dan pada putaran musim. Memang demikianlah sepertinya cara belajar, hujan semalam tak lantas menjadi jawaban kesuburan bagi keseluruhan sisa rentang masa. Akan tetapi harus ada guyuran hujan lagi dan lagi pada periode-periode hidup selanjutnya, sabab pasti akan mengalami kekeringan lagi dan kekerontangan kembali. Sebab itulah kami menempatkan diri bagai tanah kerontang yang sinau rindu untuk disapa kerinduan sang hujan yang menghantarkan basah. Nyuwun jawah melalui salah satunya buliran-buliran bening dalam tulisan Syech Kamba.

Dalam Bahasa Jawa disebut sebagai “Nyuwun Jawah” arti bebasnya adalah : “meminta hujan”. Bahwa tidak ada fenomena pertumbuhan di bumi tanpa melibatkan langit. Hal ini bisa diartikan secara jasadiah sebagai hujan yang harfiah yang kemudian menumbuhkan bebijian. Atau bisa juga dimaknai non harfiah bahwa uluran langit kepada bumi bisa berupa ilmu, keteladanan, utusan, pencerah, pemandhu, penuntun, ataupun pamomong.

Mukadimah Majlis gugurgunung,

Edisi Oktober 2018 “NYUWUN JAWAH”