MANAJEMEN BHINNEKA TUNGGAL IKA

Pertemuan rutin Majlis Gugurgunung edisi bulan Mei jatuh pada tanggal 26 Mei 2018. Bertempat di Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi’in Bodean Pringapus, Kabupaten Semarang. Alhamdulillah dirawuhi juga oleh Gus Aniq yakni pengasuh Ponpes RKSS serta Master Zein Zamatera. Selain itu turut hadir pula perwakilan dari aparat desa yakni kepala RW setempat.

Kegiatan dimulai pada pukul 21.00 WIB, dengan moderator pada malam hari ini yakni Mas Kasno. Diawali dengan do’a wasilah serta wirid oleh Mas Tyo, dilanjutkan dengan Munajat Maiyah oleh Mas Jion.

Mas Kasno selain sebagai moderator juga merupakan perwakilan dari Tim Tema yang juga turut memberikan preambule tentang tema serta pembacaan mukadimah. Telah disediakan pula 33 lembar print out mukadimah yang dapat disimak pula oleh sedulur-sedulur yang hadir.

Mas Kasno memberikan preambule tentang tema serta pembacaan mukadimah

Tema pada malam hari ini ialah “Manajemen Bhineka Tunggal Ika – meruwat dan merawat keanekaan”. Poster dengan gambar tulang belakang manusia itu, dimaknai oleh Mas Kasno erat kaitannya dengan manajemen keanekaan. Selain itu tema ini juga saran dari Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib, untuk mengimplementasikan tema Manajemen Bhineka Tunggal Ika.

Bhineka Tunggal Ika sejak SD setahu Mas Kasno ialah walaupun berbeda-beda tetap satu jua. Dihubungkan oleh Mas Kasno, bahwa tulang belakang merupakan salah satu yang terbentuk pada saat awal tercipta manusia. Kemudian Mas Kasno melanjutkan dengan membacakan Mukadimah.

Kemudian Dusun Bodean juga memberi sambutan, serta menyampaikan maaf dari Kepala Desa yang sebenarnya juga diundang malam hari ini namun tidak bisa untuk hadir. Menanggapi soal tema, Pak RW menghubungkannya dengan masyarakat sekitar serta di Indonesia yang dianggapnya tidak memiliki permasalahan terhadap toleransi terutama keagamaan. Selain itu juga menegaskan berulang kali bahwa kegiatan ini harus diakhiri pada pukul 12 malam, yang menurut beliau di bulan yang suci ini agar ibadah tidak terganggu bagi yang menjalankan. Usai memberikan paparan, beliau segera mohon izin, minta maaf dan berpamitan untuk meninggalkan kegiatan dikarenakan ada kegiatan lagi di lain tempat.

 

BHINNEKA DIRI SEBAGAI CONTOH MANUNGGAL IKA

Mas Agus juga sedikit memberikan paparan untuk memperdalam diskusi malam hari ini, bahwa malam hari ini bukan hanya peristiwa bermajlis namun juga bersambung terhadap pihak yang lebih luas. Ditengarai dengan hadirnya Pak RW. Terima kasih serta apresiasi juga disampaikan kepada Karang Taruna setempat yang turut membantu dalam perhelatan malam hari ini terutama perihal perijinan.

Mas Agus sedikit me-remind bahwa disini merupakan maiyahan khusus sehingga paling larut ialah jam 12 malam, namun dengan harapan tidak mengurangi satu hal apapun juga harus disyukuri dan dibahagiai. Sebelum tema malam hari ini, memang sempat ada gagasan untuk menggarap tema tentang ruwat. Tidak banyak pijakannya, bahwa ruwat itu dihubungkan dengan berpuasa di bulan ramadhan. Bulan ini menurut Mas Agus ialah proses ruwat yang evolusioner bukan revolusioner, namun apabila direntang dalam sebuah laku kehidupan maka ruwat termasuk proses yang revolusioner. Sebab dahulu proses ruwat dengan menggunakan Sastrojendro Hayuningrat Pangruwating Diyu. Manusia diberi karunia oleh Allah dengan berbagai macam simbol. Sendi tulang manusia seluruhnya berjumlah 360 ditadaburi sebagaimana derajad dalam sebuah lingkaran, seperti halnya tawaf juga dalam sebuah lingkaran. Proses belajar kali ini disambungkan antara langit dan bumi, agar tidak terlalu langitan serta masih menggunakan pijakan bumi. Bahwa di dalam tubuh kita itu kita memiliki amtsal alat untuk dzikir, untuk kembali mengingat / eling.

Jika kita melihat dari gambar pada poster, yakni tulang belakang diimajinasikan sebagai alif dalam hijaiyah, namun ketika membungkuk seperti huruf wawu. Jaman dahulu saat mengaji menggunakan metode A I U. Alif fathah a, Alif kasroh I, Alif dhomah U, A-I-U, begitu seterusnya. Hal tersebut sebenarnya tidak sesederhana itu, bukan hanya tentang vokal tetapi juga tentang urutan. Mulai mengenal A, terus I, hingga menjadi U. Dari larah menjadi lirih supaya bisa luruh.

Bukan hanya menanggalkan, tapi juga meninggalkan untuk kemudian manunggal. Hal tersebut ialah proses yang dijumpai manusia sehari-hari. Kadang manusia menjadi alif, juga terkadang menjadi wawu. Terkadang harus tegak, terkadang juga harus merunduk. Ketika tegak, maka tidak boleh tegak untuk dihadapan kepada manusia lain, baiknya ialah Wawu, yakni sikap lembah manah andhap asor. Baru kemudian untuk diri kita sendiri yakni hal yang berkaitan dengan tekad, keperkasaan, kegagahan, dalam menjaga Tauhid maka diawali dengan Alif. Ketika sudah diawali dengan niat yang Alif maka nanti bekerja dengan cara wawu, bukan ngelarAh namun ngelurUh.

Berkaitan dengan pengelolaan tulang belulang ada yang lembut menopang yang keras dan sebaliknya yang keras menopang yang lembut. Ketika kita kembali kepada Allah maka bukan dengan keperkasaan dan kegagahan, sebab nanti akan bertanding dengan keperkasaanNya Allah yang Maha Perkasa. Begitu pula jika kembali pada Allah dengan kegagahan maka akan bertanding, sebab kembali kepada yang memiliki kegagahan itu sendiri. Begitu pula dengan yang lembut, misalkan rahman rahim, itupun harus bertanding karena pengasih dan penyayang hanya milik Allah itu sendiri. Oleh karena itu coba kita menarik pada peristiwa Azazil yakni malaikat yang pernah menjadi imamnya para malaikat dimana pada waktu kemudian, dia diburuk rupakan oleh Allah karena dianggap memiliki kesombongan hingga kemudian diturunkan menjadi iblis. Memiliki kesombongan akan dianggap mencederai Allah, sebab sifat sombong hanya Allah yang boleh memiliki. Namun iblis memakainya sehingga dia dilaknat oleh Allah. Sekarang coba kita bayangkan jika itu adalah sebuah proses kedewasaan, dimana imam para malaikat yang hanya memakai satu jubah saja langsung diturunkan menjadi iblis. Tetapi kita seorang manusia yang mungkin belum memiliki fase kedewasaan, maka kita memakai jubah Allah sejumlah 99 itu tidak masalah. Rahman, Rahim, Qahar, Jabar, dll disangka itu adalah milik kita, namun bagaimana caranya dari 99 itu kita mampu untuk menemukan sebuah titik tunggal untuk tidak mencapai titik yang ke-100 yakni kesombongan, dengan demikian berarti kita mengingkari Allah. Sebisa mungkin hal apapun yang membuat kita sombong, harus kita cegah terlebih dahulu. Maka bagaimana kita bisa “bermain” di 99 itu tanpa harus dilaknat oleh Allah, yakni dengan mengenalinya. Sebab di dunia ini kita memang diharuskan untuk belajar. Tidak akan kita mengenal asin apabila Allah tidak menciptakan garam, tidak pula kita mengenal pedas jika Allah tidak menciptakan lombok dan sebagainya. Kita dikenalkan dengan bentuk-bentuk jasadiah itu bukan untuk menegaskan ke-aku-an. Lombok, garam dlsb itu mengabdi kepada Allah dengan istiqoamah mengantarkan rasa yang dititahkan Allah kepada mereka. Jika rasa asin atau pedas ini lewat manusia, bias jadi manusia malah ngaku sebagai yan punya rasa tersebut. Manusia dilahirkan dengan akal maka merasa mampu untuk mengklaimnya. Kita merasa sudah mengasihi dan menyayangi seseorang namun merasa tidak mendapatkan kasih sayang balik, sehingga rasa cinta itu mendai terluka lalu menjadi benci. Itu tanda bahw akita berarti kita tidak sabar. Lanjut dikatakan, “sabar itu ada batasnya” padahal Sabar itu milik Allah (Ash Shobr) itu tidak ada batasnya. Kita sebagai manusia merasa segala halnya selalu ada batasnya karena memang manusia dilahirkan dengan batasan-batasan. Tujuan diberikan batasan ialah agar manusia tidak “mblarah” dan terus-terusan liar, rakus dlsb.

Dalam khasanah Jawa ada satu istilah homofon tentang lapar, yakni luwih (lapar atau kekurangan) dan luwih (berlebihan). Juga ada istilah Ngelih (memindah) dan ngelih (lapar). Pada saat makan, seseorang bisa menjadi rakus karena menuruti rasa lapar sehingga yang berada di meja makan dipindah ke dalam perut. Cara demikian adalah cara Ngelih (lapar/memindah). Ada pula yang berposisi terkendali, yakni pada saat makan meskipun memang lapar namun hanya mengambil seperlunya saja. Cara yang demikian ini adalah cara Luwih(lapar/ lebih). Pelakunya menjadi linuwih (memiliki kelebihan). Dengan cara luwih maka makan digunakan hanya untuk mengganjal tulang punggung. Agar makanan tidak berhenti tertahan di weteng (perut), kalau hanya untuk urusan tertimbun di perut disindir dengan istilah ‘meteng’ (menuju gelap/orang hamil) meskipun sedang tidak hamil. Lain halnya dengan “madhang“. Madhang kata dasarnya adalah padhang (terang), meteng kata dasarnya ialah peteng (gelap).

Semua hal di atas ialah simbol, yang baiknya kita elaborasi menjadi sebuah bentuk peringatan agar kita mampu belajar dalam fenomena yang kita jumpai sehari-hari. Seperti pesan yang selalu disampaikan Mas Agus saat bulan Ramadhan, “selamat memasuki ujian untuk tidak mencret di saat lebaran”. Sebab hal itu merupakan indikator bahwa ketika terjadi mencret maka bersamaan itu pula ada fenomena balas dendam pada puasanya. Berbeda ceritanya apabila ada proses pengendalian maka tidak akan menggiring kita pada fenomena tersebut. Luwih (lapar) berbeda dengan kaliren (kelaparan). Lapar itu baik, menyiksa diri hingga kelaparan itu tidak baik.

Fenomena tulang punggung yang ada pada diri manusia memerankan diri sebagai pemersatu segala jenis dan macam tulang belulang manusia. Juga segala macam lembut dan teguh dalam diri manusia. Pemersatu kebhinnekaan. Bisa kemudian kita kembangkan, bagaimana jika sesungguhnya di dalam hidup ini, masing-masing manusia adalah komponen sebagaimana halnya daging tulang dalam tubuh. Sehingga wajar jika manusia ada yang berperangai keras, lugas, tegas, ada pula yang berperangai lembut, puitis, penuh isyarat, dan senang bersembunyi.

Akan berbenturan ketika kita dititahi sifat Qahar (Memaksa) dengan sifat Rahman Rahim (Welas Asih), satu sisi lembah manah, sisi lain harus tegak. Namun ketika kita menyadari bahwa itu berasal dari Allah maka kita juga harus mengetahui titik harmoni agar tidak timpang sebelah. Maka dari itu agar kita tidak terhanyut dalam sebuah sifat yang lembut saja hingga seakan mendewakan kelembutan itu untuk diakui diri kita di hadapan manusia, bukannya mendewasakan diri untuk menjadikan kelembutan itu menjadi sebuah proses pengabdian.

Halal dan haram sendiri juga harus memiliki catatan. Sesuatu yang haram bisa menjadi halal dengan satu catatan. Seperti halnya dalam kehidupan kita juga harus memiliki catatan tersebut. Misalkan dalam suatu fenomena kita harus marah akan sesuatu namun dengan catatan tertentu rasa marah itu mampu kita kelola untuk diubah menjadi mengambil hikmah dari fenomena tersebut. Apakah catatan itu? Yakni catatan ini harus positif dan tersambung kepada Allah dengan harapan untuk mendewasakan kita. Agar di setiap titik kita mampu melihat wajah Allah. Meskipun ketika wajah Allah ditampakkan di bumi sebenarnya banyak ketidaksepakatan muncul dari diri kita. Coba kita tilik pada sebuah Hadist Qudsy, “Aku lapar tidak engkau beri makan, Aku haus tidak engkau beri minum, Aku sakit tidak kau jenguk”. Akal manusia akan menjawabnya dengan mengatakan “bisakah Allah lapar, haus dan sakit?”. Dijawab lagi oleh Allah bahwa lapar yang dirasakan itu diwakilkan pada orang-orang yang terpinggirkan, rasa sakit diwakilkan pada orang-orang yang tidak memiliki biaya berobat, demikian pula rasa hausnya juga diwakilkan pada orang yang tidak memiliki air untuk minum. Untuk dekat dengan Allah maka kita harus berjuang, berkorban, harus kita dekati orang-orang tersebut meski sebagian besar kita merasa enggan melakukannya. Mendekat kepada Allah sudah naluriah kita, namun di dalam hidup memang banyak tantangan dan perjuangan serta harus memiliki sikap untuk mengalahkan diri sendiri hingga mampu mencenderungi untuk membantu orang lain. Disini kita sama-sama belajar dengan mengakomodir kebenaran terus-menerus untuk memprioritaskan kebenaran. Demikian beberapa pemaparan dari mas Agus yang setelah itu ia memberikan kepada Mas Aniq untuk membagi kawruh dan paparan-paparannya kepada para wadyobolo gugurgunung.

MANAJEMEN BHINNEKA TUNGGAL IKA – Meruwat dan Merawat keanekaan

Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan Bhineka Tunggal Ika sebenarnya? Dan bagaimana langkah untuk mengolahnya?

Disini kita akan belajar dari yang paling dekat, yakni tubuh kita sendiri. Ada salah satu organ tubuh kita yakni tulang punggung. Tersusun atas 33 ruas tulang yang bekerja sebagai penopang tubuh atau bisa dikatakan sebagai penopang keberagaman organ tubuh agar tetap berjalan sebagaimana fungsinya masing-masing dengan tugas masing-masing dan karakteristik masing-masing dengan tujuan yang sama, yakni saling bekerjasama menopang hajat hidup manusia dalam menegakkan pengabdian.

Data medis menyebutkan, bahwa susunan tulang belakang sudah terbentuk pada fase pertama, yaitu fase Nutfah/Sulalah. Adapun rincian fase Nutfah adalah sebagai berikut:Continue reading

Sambung Rohso – Salam salim sulam

Pertemuan rutin Majlis gugurgunung edisi April dihelat pada tanggal 28 April 2018. Bertemakan Sambung Rohso “salam salim sulam” dan alhamdulillah dirawuhi oleh Mbah Eko Tunas.

Kegiatan dimulai pada pukul 21.00 WIB, bertempat di Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi’in, Bodean, Klepu, Pringapus Kabupaten Semarang. Sebuah tempat yang baru bagi Majlis Gugurgunung dikarenakan tempat yang biasanya sedang tidak dapat dipergunakan sebab bersamaan dengan kegiatan lain yang telah memesan tempat terlebih dahulu.

Lantunan Munajat Maiyah yang dipimpin oleh Mas Jion

Diawali dengan Do’a Wasilah yang dipimpin oleh Mas Ari, dilanjutkan Munajat Maiyah oleh Mas Jion. Selaku moderator yakni Mas Dian memimpin jalannya diskusi. Perwakilan dari Tim Tema yakni Mas Kasno memaparkan awalnya muncul tema ini ialah berawal dari diskusi tentang nyadran, sebuah kegiatan yang banyak digelar di berbagai daerah namun banyak pula yang belum mengetahui maknanya. Nyadran ialah sebuah kegiatan yang sering diadakan pada bulan-bulan Rajab dan atau bulan Ruwah. Pembahasan berikutnya banyak terdapat dalam mukadimmah.

Perwakilan dari Tim Tema yakni Mas Kasno memaparkan tentang Tema Majlis Gugurgunung malam ini; Sambung Rohso

Kemudian Pak Zamroni yang akrab disapa Pak Zam, kali ini juga oleh Mas Dian diminta untuk membagi kisahnya tentang kehidupannya yang pernah menjadi pemimpin sebuah perusahaan yang cukup mapan dan akhirnya ditinggalkannya secara perlahan justru menekuni dalam bidang pertanian. Beliau terjun langsung dalam setiap proses bercocok tanam mulai dari langkah-langkah awal. Hal ini diawali Pak Zam karena ingin menyapa alam dengan mengakomodir bagian ke-aku-an beliau. Alam sekarang sudah diperkosa untuk dieksploitasi, sedangkan menurut Pak Zam jika ada manusia menyakiti alam sama halnya dengan menyakiti dirinya sendiri. Bukan hanya mempelajari alam namun juga belajar kepada alam. Seolah-olah banyak manusia yang tidak mengakomodir tumbuhan, hewan, tanah, batu, pasir dll juga bagian dari semesta yang harus dijaga. Maka jangan disalahkan apabila ketidakramahan manusia dibalas pula dengan ketidakramahan alam, dimana manusia tidak lagi menjalankan proses Rahmatan Lil Alamin. Dalam kegiatan bertani, Pak Zam tiap hari disempatkan untuk uluk salam terhadap apapun yang terjangkau di sekitarnya, dimana hal ini juga diperkenalkannya pada putra-putri beliau. Menanggapi tema tentang Nyadran, mungkin bisa menjadi salah satu cara untuk dekat dengan alam. Seperti halnya sekarang menekuni tani, bermaksud untuk mencukupi kebutuhan bukan sekedar ego diri sendiri. Asalkan ada sambung rasa di dalamnya maka dengan sendirinya muncul kenyamanan asalkan dalam setiap kegiatan senantiasa melibatkan Allah.

Beberapa yang hadir malam ini merupakan kehadiran pertama untuk melingkar di Majlis Gugurgunung bahkan satu dua baru mengenal Maiyah, diminta berkenalan juga menanggapi tentang tema. Seperti Mas Yoga seorang mahasiswa dari Undip yang menggemari teater serta kepo terhadap Maiyah karena baru mengenalinya, ada pula Mas Angling yang merupakan pemuda Karang Taruna setempat, juga Mas Bram seorang pejabat di Dinas Kebudayaan yang juga salah seorang kawan Mbah Eko Tunas, juga Mas Ihda yang dulu sempat tidak simpatik bahkan meng”haramkan”nya terhadap kegiatan seperti Nyadran namun, sekarang berkata sudah “tobat” bahkan ingin mempelajari kegiatan-kegiatan yang hampir ditinggalkan, bahkan memperkenalkannya pula pada anak beliau. Lanjut Mas Ihda, bahwa sekarang banyak pihak dari luar ingin melakukan pemisahan terhadap tradisi, namun hal tersebut tidak mudah karena rasa merupakan urusan dari dalam hati.

Kemudian, Mas Kasno sedikit menanggapi tentang rasa, bahwa rasa merupakan bentuk persentuhan dari indrawi berdasar pengalaman tentang kegeramannya menanam bunga sebagai kegiatan di rumah. Dimana menurut Mas Kasno hal ini cukup lucu pada awalnya yang notabene bertubuh gagah, besar, berambut gondrong namun menggemari bunga. Namun ada hal yang dipelajarinya yakni, biji atau benih terkadang bisa mengalami masa dormant atau tertidur dimana jika ingin ditanam maka harus seperti dikejutkan.

Dalam proses menanam, benih biasanya diletakkan di tempat dahulu di tempat yang gelap dimana berfungsi untuk menumbuhkan dan menguatkan akar serta di dalam prosesnya yang berkondisikan gelap maka ketika sudah tumbuh nanti akan terjadi kerinduan terhadap cahaya.

satu dua nomor oleh Mas Wakijo dengan membawakan Sholawat dan lagunya sendiri yang berjudul “Mencari Kehadiran”

Memasuki sesi kedua, satu dua nomor dahulu oleh Mas Wakijo dengan membawakan Sholawat dan lagunya sendiri yang berjudul “Mencari Kehadiran” yang bisa dilihat juga videonya pada akun youtube.nya. Lantunan suara yang enak tuk dinikmati, tembang sarat makna, juga petikan-petikan gitar nan elok mampu membawa sedulur-sedulur yang hadir dalam suasana hangat dibawah sinar rembulan yang cerah serta berhembuskan angin malam yang cukup dingin. Sebuah suasana yang pasti dirindukan juga ditambah kopi hitam dan wedang uwuh yang siap dinikmati.

Waktu terus bergulir, hingga menunjukkan pukul 22.40. Mas Agus mempersilahkan kepada Mbah Eko Tunas untuk menampilkan monolognya yang menceritakan kisah tentang seorang koruptor dan burung beonya yang terus mengatainya dengan sebutan “maling, begal, rampok”. Pengalaman Mbah Eko Tunas tercermin dalam penampilan monolognya. Dibawakan dengan sangat apik, dengan gaya khas beliau, bermakna dalam namun dikemas dalam sebuah panggung hiburan. Sorak-sorai tepuk tangan sedulur-sedulur yang hadir dirasa masih kurang dalam mengapresiasi budayawan yang juga sahabat dari Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib yang juga sempat memberikan sebuah pesan pribadi via WA kepada Mas Agus untuk disampaikan kepada Majlis Gugurgunung yakni; “Literasi akademis, kurikulum, ilmu opo wae sing diwakili kata, koma, dan titik — Ora iso nyonggah menungso lan kamanungsan. Mulo ilmu njaluk ewang kesenian, sastra, teater, lan sakpiturute. Mulo AlQur’an dibahasakan sangat sastrawi, kisah kisah sejarah dituturkan sangat teatrikal oleh Allah”. ( Literasi akademis, kurikulum, ilmu apa saja yang diwakili kata, koma, dan titik – Tak sanggup menggapai manusia serta kemanusiaan. Maka ilmu meminta dukungan kesenian, sastra, teater, dan lain-lainnya. Maka Al-Qur’an dibahasakan sangat sastrawi, kisah-kisah sejarah dituturkan sangat teatrikal oleh Allah).

Monolog oleh Mbah Eko Tunas yang menceritakan kisah tentang seorang koruptor dan burung beonya yang terus mengatainya dengan sebutan “maling, begal, rampok”

Kemudian tiba Mas Agus yang memberikan informasi tentang Nyadran yakni merupakan sebuah nilai yang berkualitas pohon kayu jati, maka yang akan memanen ialah anak turunnya. Maka tugas kita sebagai anak turun ialah meng”uri-uri”nya. Ketika kita mampu meluaskan waktu maka juga berarti tubuh kita menjadi lebih besar. Contohnya, ketika masih kanak-kanak maka setiap hal yang didapatkan pasti adalah yang terbaik dan nomor satu entah itu barang, perhatian maupun kesempatan karena sangkaan kita hal-hal baik tersebut adalah milik kita. Ketika waktu terus berjalan, tubuh semakin membesar maka akan mampu dipergunakan untuk menampung orang lain sehingga menyangka bahwa kebahagiaan itu bukan hanya untuk dirinya. Ketika seseorang mampu menggapai seluruh kejadian dalam tiap alam semesta ialah sebuah rangkaian yang ada pula dalam diri manusia, maka berarti memiliki keluasan dan kebijaksanaan yang baik. Di dalam bermaiyah diharapkan diri kita bukan berposisi menjadi anak-anak yang menyangka kebaikan itu hanya untuk diri kita dan yang buruk ialah hal di luar diri kita. Mungkin saja seseorang yang mengkonversi keburukan dalam dirinya menjadi sebuah kebaikan merupakan fenomena yang sangat luar biasa.

Mas Agus memberikan informasi tentang Nyadran yakni merupakan sebuah nilai yang berkualitas pohon kayu jati, maka yang akan memanen ialah anak turunnya.

Maka anjuran untuk berjamaah ialah untuk mampu mengenali tubuh yang lebih besar, sehingga apabila hati dan pikirannya belum kumpul menjadi satu maka belum bisa disebut sebagai satu tubuh. Di dalam Agama sendiri, berjamaah maka derajatnya dilipatkan menjadi berkali lipat. Disana bukan hanya jumlah yang digandengnya saja namun juga fenomena sambung rohso di dalamnya. Di Jawa ada istilah nepaake sarira, nepaake roso kemudian menjadi tepo sliro. Dengan mampu tepo sliro maka akan mampu merasakan fenomena-fenomena diluar diri kita seakan ada dalam diri.  Sholat yang sudah diperintahkan Allah membuat kita mampu bercermin terhadap api yang ada di dalam diri kita, dimana api dalam diri kita itu bersifat tegak. Api tersebut ingin menampakkan wajah sehingga mampu dilihat orang tentang keberadaannya, inni wajahtu… namun dilanjutkan lagi kalimat berikutnya wajhiya lilladzi fathorosamawati wal ardl, Sadar dengan wajahnya namun juga harus sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan wajah Allah yang menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada diantara keduanya.

Setelah seseorang bercermin terhadap wajahnya, lalu menghadap wajah Allah maka yang ada hanyalah kesaksian akan keagunganNya. Dengan demikian ia merundukkan kepalanya, menyesuaikan dengan hatinya serta kesadaran dan mulai bercermin kepada angin. Angin, terus bekerja, bergerak dan membantu kehidupan tanpa harus menampakkan dirinya. Inilah salah satu keagungan yang ditampakkan Allah pada sebuah ciptaannya yang disebut angin. Itulah rukuk yang menyatakan “Ya Allah maha agungnya engkau”. Keagungan itu harus dinaikkan lagi sebagai sebuah puji-pujian, agar tercermin keluar dari diri kita, I’tidal. Kemudian dari berdiri kemudian turun kebawah dengan bersujud. Hal itu adalah sebuah representasi dari air dengan kebeningannya, kejernihannya dan kesejukannya. Mampu untuk tinggi namun justru merendah, andhap asor. Dibawah, pada gerakan sujud kita dianjurkan untuk bercermin terhadap tanah yang rela untuk diabaikan tetapi selalu diperlukan. Tetapi tanah dengan istiqomahnya memberikan sesuatu tanpa ada yang dikurangi, seperti benih cabai yang ditanam maka akan tumbuh cabai pula lengkap dengan pedasnya.

Kita masing-masing memiliki ranah api, air, angin dan tanah. Namun ketika kita tidak menyadarinya maka seolah-olah itu tidak ada. Maka air diracuni, tanah diberi pupuk kimia, hutan dibakar banyak yang tidak mempermasalahkan karena itu bukan diri kita.

Sesungguhnya Allah memberi tawaran pilihan surga atau neraka, masalahnya kita mampu menemukan penjaga pintunya atau tidak, pemenuhan hasrat penguasaan itu lebih mendekat kepada Malaikat Malik. Berbanding terbalik dengan sikap lilo, rela, ridho, legowo maka akan lebih mendekat pada Malaikat Ridwan.

Lima orang yang melakukan demikian (ridho) seakan menjadi 25 orang, sebab masing-masing orang memiliki 4 pembantu. Misalkan ada orang bertugas menjaga air, yang lain mencangkul tanah, dlsb. Mereka tidak terletak dalam sebuah kotak atau sebuah departemen sehingga ketika ingin meminta bantuan orang yang mengurus air maka tidak harus mengeluarkan uang, karena disana dia tidak membuat kerajaan namun lebih didasarkan pada sebuah nilai kerelaan. Jadi kekuatannya sangat berlipat ganda jika menjadika ridho sebagai landasan pergaulan, namun dalam pada itu juga harus ada bayaran atau biayanya. Kita tidak bisa memenuhi hasrat kekuasaan kita karena landasan utamanya adalah memimpin diri sendiri. Tidak untuk mengalahkan orang lain tetapi untuk mengalahkan diri sendiri, sebab untuk mengalahkan orang lain itu sangat mudah entah cara halus ataupun kasar. Contohlah membohongi orang lain sangat mudah namun sulit untuk membohongi diri sendiri. Sebuah jalan bisa ditempuh secara keras, dan tegas. Perbedaanya ketika tegas maka kita sedang menempuh nilai kemanusiaan.

Empat berhala, kisah yang sering diceritakan di Majlis gugurgunung yang paling sulit dihilangkan ialah berhala kelingking. Berhala pertama ialah merasa dirinya pemimpin maka disimbolkan dengan jari telunjuk. Berhala kedua ialah merasa dirinya paling unggul atau paling tinggi disimbolkan dengan jari tengah. Berhala ketiga ialah merasa dirinya yang paling manis, cemerlang, tampan, cantik dst disimbolkan jari manis. Berhala keempat disimbolkan kelingking sebab dia tidak merasa besar, tinggi namun dia menyembah ibadahnya sendiri, merasa paling dekat dengan Tuhan yang tidak memiliki kesalahan padahal sesungguhnya itu menjadi borgolnya sendiri. Seperti sebuah kisah yang sempat dibagikan oleh Mbah Eko Tunas saat di ruang transit, ketika seseorang memiliki handphone, dan dikatakan oleh Mbah Eko, itu adalah borgol karena setiap saat harus laporan. Ini adalah salah satu contoh, dimana sesuatu yang sering kita sangka sebagai fasilitas yang memudahkan namun sesungguhnya ialah sesuatu yang mengekang. Oleh karena itu kita diberikan fasilitas oleh Allah berupa akal dan pikiran juga karunia-karunia lain yang secara langsung dapat kita tangkap melalui panca indera agar kita mampu untuk bersyukur. Salah satunya bersyukur diberi rizki yang bukan hanya sekedar uang.

Namun sekarang rezeki hanya diartikan sama dengan uang. Ini adalah kemampuan mentajalikan yang salah karena sesuatu menjadi lebih rendah dari aslinya.

Pernah muncul sebuah pertanyaan, mengapa uang yang bedanya hanya sekian mili, dengan proses cetak yang sama namun seakan memiliki nilai yang jauh lebih besar. Berarti ini bukan tentang nilai namun lebih kepada kesepakatan sosial. Maka Rasulullah menganjurkan untuk menggunakan sesuatu yang tidak mempengaruhi nilainya seperti emas, perak atau perunggu.

Jam menunjukkan pukul 00.00, Mas Jion diminta untuk menembangkan “Lingsir Wengi” sebagai pertanda memasuki pergantian hari. Dirasakan sebelumnya oleh mas Agus bahwa angin lebih menderu dan seperti akan turun hujan. Langit memang tampak suram, tak seperti sebelumnya yang terasa sangat cemerlang.

Kemudian tibalah Mas Agus untuk mempersilahkan kepada Mbah Eko Tunas, untuk berkenan menceritakan kisah-kisahnya. Beliau sekarang tinggal di daerah Banyumanik Semarang dan berasal dari Tegal. Bersama Mbahnya dan dibelakang rumahnya adalah makam. Sejak kecil beliau sudah bermain di makam. Juga mengamati tujuan orang datang ke makam. Kemudian dalam dunia kesenian, baru-baru ini kehilangan tokoh sastra yang hebat yakni Pak Danarto yang meninggal karena tertabrak sepeda motor. Begitu ditangani polisi, tidak ditemukan identitas dan disebut gelandangan. Tidak mengetahui bahwa beliau adalah tokoh sastra. Namun diketemukan sebuah handphone jadul yang dipasangi karet. Padahal beliau memiliki sebuah karya yakni kumpulan cerpen yang hingga saat ini banyak mengilhami para sastrawan. Namun ketika meninggal, sampai ada yang mengatakan ini adalah orang bodoh, padahal beliau adalah sastrawan besar yang karyanya sampai ke manca negara.

Kerinduan sedulur yang hadir dengan Mbah Eko Tunas baru terobati barang sejenak, namun kerinduan ini masih harus berjalan lagi, seperti tema pada malam hari ini yakni Sambung rohso. Dikarenakan sebuah tempat yang baru pertama kali digunakan kali ini berada dalam sebuah lingkup yang tidak memperkenankan kami untuk terus menyambung kerinduan lebih lama. Makan bersama dengan hidangan menu nasi jagung menjadi penutup pada malam hari ini.

Makan bersama dengan hidangan menu nasi jagung

Kekecewaan sudah pasti dirasa, marah hampir saja tidak kuasa kami tahan, namun Insya Allah ketulusan maaf menutupi kesemua itu baik kepada Mbah Eko, juga kepada semua sedulur yang hadir. Rembulan kembali bulat, bersinar dengan terang dengan kalangan warna pelangi yang mengitarinya. Do’a penutup dari Mas Ari mengkhidmatkan suasana. Beberapa sedulur masih beristirahat barang sejenak di teras rumah Mas Agus yang tidak begitu jauh dari lokasi. Hingga hari hampir pagi dan semua berpamitan menuju ke rumah masing-masing. Sekian reportase kali ini, semoga tema Sambung Rohso ini dapat terus bersambung seperti halnya rasa kerinduan kami yang masih terus bersambung terutama kepada beliau Mbah Eko Tunas.

Andhika Hendryawan

SAMBUNG ROHSO

Mendekati bulan Puasa biasanya banyak masyarakat kita melaksanakan tradisi-tradisi yang diturunkan oleh leluhur masing-masing. Salah satunya adalah Nyadran. Dimana tradisi ini biasanya diperingati di bulan Rajab atau Ruwah, atau bahkan keduanya. Rangkaian acara di dalamnya pun memiliki kesamaan di berbagai daerah yang melangsungkan tradisi ini, yakni sedekah bumi, zaroh makam leluhur, berdoa bersama, dan dilanjutkan makan bersama.

Jika dicermati dari asal kata nyadran = ny-sradan, Sradan berasal dari istilah Srada yang artinya adalah suci. Seiring berjalannya waktu, istilah sradan menjadi nyadran. Adapun kata sraddha, dalam bahasa Jawa Kuno memiliki makna sebagai perilaku suci untuk mengenang, mendoakan, ataupun memuliakan roh-roh leluhur yang sudah bersemayam di alam baka.

Apakah ini merupakan hasil elaborasi budaya (atau istilah tepatnya apa) dalam sarana dakwah, namun masih mengakomodir budaya sebelumnya? Kenapa hampir di semua daerah yang melaksanakan tradisi ini sepakat melaksanakannya di bulan rajab dan ruwah?

Marilah duduk melingkar dalam pertemuan rutin Majlis Gugurgunung yang bertempat di Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi’in Bodean RT. 02 / III Klepu Pringapus Kab. Semarang pada malam minggu tanggal 28 April 2018 pukul 20.00-selesai.

Marilah melingkar melepas rindu, marilah melingkar mengupas waktu, marilah melingkar dan bertukar.

Sinau Mulat

Pertemuan rutin majlis gugurgunung pada bulan ini jatuh pada tanggal 31 Maret 2018 bertempat di Balai Desa Klepu Ungaran, Kab. Semarang dengan tema “Sinau Mulat”. Seperti biasa, kegiatan dimulai sekitar pukul 21.00 WIB, dengan do’a pembuka dan wasilah oleh Mas Tyo, dilanjutkan Munajat Maiyah oleh Mas Jion. Sedikit kalimat pembuka dari Mas Agus untuk mengawali diskusi, yakni pada malam ini bebarengan dengan rapat pleno Maiyah di Kadipiro dan juga tepat 40 tahun usia (hijriah) Mas Sabrang. Sedikitdo’a dipanjatkan untuk kebaikan beliau. Amin.

Tenang dan menyegarkan tatkala Munajat Maiyah dibacakan oleh Mas Jion dan diikuti dulur-dulur yang hadir malam itu.

Continue reading