Azimat ojo Maghdhub
pager urip nikmat pitulungan, pitung turunan

Di setiap zaman, manusia selalu berjalan di antara dua jalur, keluarga gugurgunung menyebutnya: Shirathun Nubuwwah dan shirothut talbis. Sejak manusia pertama diturunkan, Allah telah membekali mereka dengan jalur cahaya. Bukan manusia setengah monyet, bukan makhluk liar yang buta arah, tapi makhluk berakal dan beradab, perintis peradaban awal yang mewarisi Wahyu langsung dari An Nuur. Nabi Adam, Nabi Syits, Nabi Idris, Nabi Nuh, hingga Nabi Ibrahim AS. Pewarisan ini terus berlangsung hingga Rasulullah Muhammad SAW. Para Nabi dan Rasul adalah pelopor yang menjaga titian cahaya agar manusia tetap terhubung pada sumber asalnya. 

 

Namun, seiring peradaban berkembang, tumbuh pula nafsu, akal, dan hasrat yang menuntut kebebasan. Dari kebebasan itu lahirlah kelompok Maghdhub — golongan yang tahu kebenaran Shirathal Mustaqiim, tapi sengaja menyeleweng demi kepentingan nista. Mereka membangun Talbis, sistem ilusi yang membungkus kebatilan dalam kemasan suci. Samiri, Firaun, Haman, hingga Bal’am bin Baura adalah contoh pengkhianat cahaya yang bertransformasi menjadi arsitek kegelapan di zamannya. 

 

Ketika Talbis makin kuat, mayoritas manusia yang tak paham hakikat terseret arus. Mereka menjadi kaum Dhaliin — orang-orang yang tersesat bukan karena niat buruk, tapi karena disorientasi dan ketidaktahuan akan jalur cahaya. Mereka hidup dalam Simulakra, ilusi yang didandani sebagai kebenaran, dipropagandakan lewat pemuka opini, tokoh sosial, atau ritual-ritual kosong yang memutuskan hubungan mereka dengan An Nuur. 

 

Di sinilah letak pentingnya Azimat Ojo Maghdub. Sebuah pagar hidup yang bukan sekadar mantra, melainkan kesadaran aktif menjaga diri, keluarga, dan keturunan dari keruhnya arus ilusi zaman. Karena ketika manusia terputus dari jalur cahaya, maka hidupnya akan dipenuhi keraguan, ketakutan, dan kebingungan. Mereka jadi boneka di tangan Talbis, dipermainkan dalam permainan nista yang tak pernah mereka pahami. 

 

Pitulungan — pertolongan dari An Nuur — hanya turun kepada mereka yang tetap menjaga jalur cahaya di hatinya. Sedang pitung turunan bukan sekadar soal darah keturunan, tapi soal warisan resonansi nilai yang jernih dan terang, yang kelak menjadi benteng bagi anak-cucu agar tak mudah hanyut dalam kegelapan arus. Itulah azimat sejati: menjaga garis cahaya hingga tujuh keturunan, bukan hanya hidup untuk hari ini. 

 

Di akhir zaman, manusia yang bertahan bukanlah yang paling kuat, bukan yang paling kaya, apalagi yang paling terkenal. Tapi mereka yang tetap jernih pikirannya, bening hatinya, dan kokoh pijakannya di atas jalur cahaya. Mereka ini yang akan tetap bisa membedakan mana titian cahaya, mana ilusi Simulakra. Mana pertolongan An Nuur, mana bujukan nista Talbis. 

 

Azimat Ojo Maghdub adalah wasiat tua, pesan leluhur yang terjaga. Pager urip, pagar hidup. Nikmat pitulungan, pertolongan yang jernih. Pitung turunan, keturunan yang selamat dari keruhnya kegelapan zaman. Karena sejatinya, hidup bukan soal seberapa lama kita bertahan, tapi seberapa lurus kita menjaga jalur cahaya di tengah keruhnya dunia. 

Simulakra
Menyingkap Ilusi Realitas

Hari ini kita sedang hidup dalam medan peperangan paling tua sekaligus paling modern dalam sejarah keberadaan manusia yaitu : Perang Kesadaran 

 

Perang kesadaran ini berlapis dan bersusun dimensi. Yang dirancang agar manusia : 

– Sibuk dengan dunia fisik 

– Terkunci pada kebanggaan lencana palsu 

– Terhipnotis oleh ilusi sukses dan kebahagiaan busuk. 

– Takut kehilangan kenyamanan sistem. 

– Tak lagi peka membaca tanda tanda Nur di sekitarnya. 

 

Ada dua jalur yang kian ditebalkan, dan terus menerus menjadi simulasi simulakra, yaitu : 

 

Kebohongan yang diulang terus menerus  sampai orang percaya 

Atau  

kebenaran yang didiamkan sampai orang lupa 

 

Dua jalur ini bukan sekadar jebakan logika, tapi peta galur penyesatan di hampir setiap zaman. Seperti kutub positif dan negatif dalam baterai, keduanya justru saling melengkapi—mengisi daya pada sistem besar bernama simulakra. Sebuah sistem yang memanipulasi persepsi, menyusun realitas semu, dan menyandera kesadaran lewat dua cara, yaitu : 

 

Membuat manusia percaya pada kabut, dan Membiarkan manusia lupa akan cahaya. 

 

Dalam dunia simulakra, yang palsu bisa lebih meyakinkan dari yang asli, dan yang nyata perlahan jadi samar karena tak pernah lagi disuarakan. Kebohongan difabrikasi lewat repetisi, kebenaran dikubur lewat diam. 

 

Maka tak heran jika layar lebih dipercaya dari nurani, dan gema lebih dipercaya dari pada sumber suara. 

 

Perang ini tidak mengenal Netral. Maka penting memahami : 

– Siapa musuh kita sebenarnya ? 

– Bagaimana mereka bekerja dalam lapis dimensi ? 

– Sejak kapan perang ini digelar ? 

– Kapan semua ini runtuh total ? 

– Siapa yang kelak bertahan di jalur Nur, dan siapa yang tenggelam dalam collapse Rancangan Sumulakra ? 

 

Namun orang-orang tua kita dulu sudah menanam rumus perlindungan yang sangat halus tapi dahsyat: 

”Eling lan waspodo.” 

Itulah firewall Nur paling tua, paling canggih. 

Eling membuat manusia sadar siapa dirinya dan dari mana asalnya. 

Waspodo membuat manusia berjaga.   Tidak mudah larut dalam arus realitas palsu yang didesain rapi oleh sistem. 

 

Di sinilah pentingnya kesadaran batin resonansi nurani, dan napak tilas pada cahaya asal. Karena selama manusia menggenggam “eling lan waspodo”, bahkan di tengah samudera ilusi sekalipun, kabut hanya akan membias pandangan — tapi takkan pernah memadamkan cahaya sejati. 

Napak Tilas
Menyusuri Jejak Pengabdi

Dalam ruang dan waktu yang terus berputar, manusia menempuh perjalanan hidup yang tak sekadar menapak tanah, tetapi menapak jejak jiwa. Inilah yang kita sebut napak tilas — menapak tilas bukan sekadar menapaki tempat dan peristiwa, melainkan juga menapak jejak kesadaran purwa yang mengalir dalam darah dan nafas kita. 

 

Manusia hadir bukan dari kehendaknya sendiri, melainkan dari takdir cinta oleh Yang Maha Rohman dan Rohim. Ayah dan Ibu bukanlah pertemuan yang kebetulan, melainkan perjodohan Ilahi. Penyatuan yang memurnikan pada peristiwa puncak bungah jiwa raga yang luhur yang bernama Sarahassemi. Letupan spiritual yang menyatukan tiga unsur semesta berupa energi, vibrasi, dan frekwensi. Perjodohan sel sperma dan sel telur yang kemudian berkembang bagai Mas Kumambang, lalu Mijil sebagai “Amanah” bagi orang tua kita, kemudian menjaga, merawat, memelihara, dst, adalah bentuk “Pengabdian” kepada Sang pemberi Amanah.  

 

“Amanah dan Pengabdian yang kemudian menjadi kesadaran memori pada peranti Iman dalam diri kita, sehingga kelak menjadi Sholeh atau Sholiha 

 

Di sinilah kita bertemu dengan bungah. Dalam bahasa Jawa, bungah bersaudara dengan kata bagja, begjo, dan bahagyo. Kata-kata ini melampaui arti kebahagiaan duniawi; ia adalah percikan suasana Surga yang Allah hadiahkan pada setiap insan yang membuka mata hati. Sebab, wong sing selamet ya iku wong sing begjo — mereka yang selamat adalah mereka yang beruntung, bukan hanya dalam materi, tapi dalam keberadaan yang utuh. 

 

Keberuntungan itu bukan kebetulan, melainkan buah dari eling lan waspodo — kesadaran dan kewaspadaan penuh terhadap diri, waktu, dan Tuhan. Eling bukan sekadar mengingat, tapi menyadari dengan sepenuh jiwa. Waspodo bukan sekadar berhati-hati, tetapi menjaga diri dari lupa dan lalai yang menjerumuskan. 

 

Napak tilas bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi menyusuri kembali akar jiwa untuk menemukan peta hidup yang sejati. Bahwa bahagia bukanlah tujuan sesaat atau kesenangan fana, melainkan keadaan batin yang tenang, tenteram, dan penuh rasa syukur. 

 

Dalam napak tilas, kita menapak dengan penuh kesadaran bahwa hidup adalah anugerah dan perjalanan menuju kesadaran, itulah hakikat kebahagiaan sejati. Bahwa surga tidak hanya janji di akhir zaman, atau bukan tentang di mana secara letak geografis, tetapi keadaan jiwa yang bisa kita rasakan saat kita eling lan waspodo. 

 

Dengan demikian, mari kita buka hati dan jiwa untuk menapak tilas ke dalam diri, ke dalam bungah yang purwa, agar kita senantiasa hidup dalam kesadaran dan keberuntungan hakiki. 

 

Perjalanan bukan untuk menjadi yang paling hebat, bukan yang paling kuat, bukan yang paling cepat, dst. bukan semata untuk melulu menjadi siapa. Tapi untuk tidak menjadi apa-apa atau siapa siapa, kecuali menjadi manusia yang utuh. 

 

  1. Al Ashr

 

وَالْعَصْرِ ۝ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ۝ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ 

 

“Demi masa. 

Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, 

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, 

dan saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” 

Bersih Diri
Mengenali Kepalsuan, Diyu, dan Ruwat Diri

“Tidak usah menunggu tua untuk mengerti KESEJATIAN , tidak usah menunggu hancur untuk sanggup memahami perbedaan yang PALSU dengan yang MURNI .” 

 

 (Mbah Nun) 

 

Quote lama Mbah Nun ini tiba-tiba terus berdengung dalam telinga. Sangat relevan pada kondisi yang kian se-palsu ini. 

 

Setidaknya ada beberapa point penting dari quote tersebut yang dapat kita gunakan sebagai pintu masuk sinau bareng, diantaranya adalah : 

– Kesejatian 

– Palsu 

– Murni 

Lalu kita gunakan sebagai identivikasi Diyu, dan Diri. 

 

Hidup bukanlah sekadar rangkaian peristiwa lahiriah, melainkan juga merupakan perjalanan ruhaniah.  

 

Dalam lintasan sejarah spiritual Nusantara dan dunia Islam, tema kesejatian manusia selalu menjadi inti: siapa sejatinya manusia, dari mana ia datang, dan untuk apa ia hidup? 

 

Dalam Islam, Al-Qur’an menegaskan manusia sebagai makhluk mulia, diciptakan dengan tangan-Nya, ditiupkan ruh Ilahi, dan diangkat menjadi khalifah di bumi.  

Para tokoh dunia Islam banyak menjelaskan bahwa kesejatian itu hanya bisa dicapai dengan menyucikan jiwa, meleburkan ego, dan menghidupkan sirr—rahasia ruhani dalam diri. 

 

Pemikiran ini bergaung pula dalam Spiritual Nusantara:  Menuturkan,  zaman edan yang penuh kepalsuan , dan hanya mereka yang eling lan waspada yang akan selamat.  

 

Namun, zaman terus bergulir ke arah paradoks: dunia modern dipenuhi ilusi, kepalsuan, dan kejumudan batin. Kebenaran dikerdilkan, makna dipoles menjadi citra, dan manusia makin jauh dari jati dirinya. Diri kian men-Diyu. Kebijakan-kebijkan, hukum, keadilan, keamanan,  Kesejahteraan, dst.  semuanya seolah mengakomodir keinginan dan kebutuhan Diyu. 

 

Dalam konteks ini, Sastra Jendra Hayuning Rat Pangruwating Diyu tampil bukan sebagai dongeng, melainkan peta batin yang mengisahkan pertarungan antara keilahian dan kehewanan dalam diri manusia. 

 

“Diyu” (raksasa batin) adalah simbol nafsu angkara, kerakusan, dan ego yang membelenggu ruh sejati. Untuk menjadi manusia yang paripurna, setiap jiwa harus menjalani proses pangruwatan—pembebasan dari “diyu” di dalam dirinya. Ruwatan bukan hanya ritual, tapi laku kesadaran: proses meluruhkan PALSU-PALSU agar CAHAYA SEJATI bisa menyala.  

 

Mukadimah ini adalah ajakan untuk menyelami ulang siapa diri kita. Di tengah zaman yang edan, kepalsuan menjadi normal. Maka manusia sejati bukan yang kuat, tapi yang sadar. Bukan yang besar, tapi yang bening. 

TAN MANGROWA DHARMA
(Kebajikan Tiada Mendua)

Hidup adalah mengakurasi kesaksian. Mari kita runut,

Segala Puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, Sumber segala kebajikan.

Dalam perjalanan hidup, manusia memiliki tugas dan tanggung jawab yang telah ditetapkan sejak awal penciptaannya. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam QS Al-A’raf: 172, di mana naluri kebertuhanan ruh manusia bersaksi kepada Allah SWT atas Ketuhanan-Nya dengan kalimat:

Alastu bi Rabbikum?” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?)

Balaa syahidnaa.” (Benar, kami bersaksi.)

Pengakuan ini bukan sekadar pernyataan, tetapi sebuah janji suci yang menuntut konsekuensi besar: manusia harus hidup dalam ketaatan kepada-Nya, menjalankan perintah-Nya, dan menjaga kesucian hati serta amal perbuatan.

Manusia lahir sebagai Jalma, dikaruniai lupa, namun dilengkapi perangkat atau perangan-perangan diri yang sekaligus sebagai “gurunya”, diantaranya adalah Jasad, Nafsu, Pikir, Adab, Akhlak, Akal, Iman. Juga bersanding dengan alam semesta yang meliputi Matahari, Bulan, Bintang, Langit, Angin, Air, Api, Bumi (Hasta Brata). Lalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dirinya, untuk menjalankan tugas, titah, amanah, sebagai Janma (Hasta Janma).

Dalam tradisi spiritual Nusantara, konsep ini sejalan dengan ajaran Tan Mangrowa Dharma, yang menekankan bahwa manusia tidak boleh hidup tanpa dharma atau pegangan hidup. Setiap individu memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memahami asal-usulnya (sangkan) dan tujuan akhirnya (paran), yaitu kembali kepada Tuhan dengan jiwa yang bersih dan penuh kebajikan.

Dalam sejarah peradaban Jawa, kepemimpinan tidak hanya dipandang sebagai kekuasaan semata, tetapi juga sebagai amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Konsep Hasta Brata, yang berarti delapan laku kepemimpinan, mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus meneladani sifat-sifat alam semesta—matahari yang memberikan keadilan, bulan yang meneduhkan, bintang yang menjadi pedoman, langit yang luas dan sabar, angin yang dinamis, air yang menyejukkan, api yang berani, dan bumi yang penuh keteguhan.

 

Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi bangsa dan masyarakat kita saat ini, konsep Hasta Brata menjadi semakin penting. Seorang pemimpin, baik dalam lingkup pemerintahan, organisasi, maupun keluarga, harus mampu menjalankan tugasnya dengan kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan ketulusan hati. Tanpa nilai-nilai ini, kepemimpinan akan kehilangan esensinya dan dapat menyimpang dari prinsip utama, sebagaimana diingatkan dalam ajaran “Tan Mangroa Dharma”—bahwa dharma atau kebenaran tidak boleh menyimpang atau kebajikan tiada mendua”

Oleh karena itu, sebagai manusia yang telah mengikrarkan janji kepada Tuhan, kita dituntut untuk selalu menjaga keseimbangan antara lahir dan batin, menjalankan dharma dengan penuh kesadaran, serta menjadikan kehidupan ini sebagai jalan menuju kebenaran dan kebijaksanaan. Semoga kita senantiasa diberikan petunjuk dan kekuatan dalam menjalani perjalanan spiritual ini. Aamiin.