Reportase 2 : Keluarga Al Fatihah

Hari Raya Alhamdulillah

 

“Mana kala kita bisa menemukan (Arrahmaan Arrahiim) atau perwujudan kasih sayang pada setiap peristiwa, maka tidak ada hari yang bukan Hari Rayya Alhamdulillah. Setidaknya ini adalah salah satu kesimpulan pada Reportase 1 yang berjudul “Semesta Anggara Kasih”.

 

 

Keterlibatan seluruh unsur lengkap dengan fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing sudah absah disebut sebagai Kulawarga dengan modal Kasih Sayang. Langkah terdekat selanjutnya adalah perayaan rasa syukur. Kata Hari Rayya Alhamdulillah sengaja kami pilih untuk menggambarkan perayaan rasa syukur kami anak cucu Maiyah Ungaran yang sedang disambangi Mbah Nun.

Senja tiba sebagaimana biasanya. Kabut tipis terbawa semilir angin perlahan turun dari Gunung Munggut (Komplek Pesarean Mbah Benawa dan Syekh Basyaruddin), ke Pendopo Paseban Wijaya Kusuma, tempat akan digelarnya acara. Sejuk khas senja musim kemarau. Menyeka apa saja dan siapa saja. Persentuhan yang sedemikian menyegarkan segala Indera. Pendopo Paseban Wijaya Kusuma dengan segala perlengkapannya telah siap. Kelasa sudah digelar. Aneka kudapan dan minuman tertata di berbagai titik lokasi. Petugas siaga pada tugasnya masing-masing.

Selepas Maghrib Mbah Nun beserta rombongan tiba di Art Cafe, rumah Ibuknya Mas Agus Wibowo yang memang sudah dipersiapkan untuk transit. Kulawarga gugurgunung yang dibersamai oleh para Kyai dan Sesepuh desa yang memang sudah turut menunggu di tempat transit, turut menyambut kedatangan Beliau beserta rombongan. Haru nggak bisa dibendung. Tumpah, namun tetap kondusif. Tak ketinggalan pula anak anak kecil turut berbaur. Alamiah sekali sebagaimana anak-cucu yang sedang karawuhan Simbahnya. Duduk bersama, makan bersama, dilanjutkan ngopi dan ngudud bersama, dan tentunya alam alaman saling melepas kangen. Mengalir sangat langsam dan santai.

 

Jam 20:00, pengunjung mulai berduyun-duyun menuju lokasi acara. Kulawarga gugurgunung menyambut dan mempersilahkan hidangan lalu nyumanggakake untuk duduk di Pendopo. Acara pun dimulai, dibuka dengan menyapa hadirin yang sudah datang, kemudian bersama sama membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan pembacaan Gema Wahyu Ilahi, yang dilantunkan oleh Mas Agus Khamid. Mendayu, syahdu, dan suasana mendadak meruang hening.

 

Tak berjeda lama, Gus Arul beserta Tim Rebana MMA-nya melanjutkan mengambil alih acara. Gus Arul sendiri yang memimpin membacakan Tawashshulan, dan dilanjutkan dengan rangkaian Munajat dan Sholawat. Beberapa nomor Sholawat dilantunkan oleh 3 vokalis, yang lainnya makmum. Rebana genjring  dipilih sebagai instrumen pengiring. Tabuhan yang sederhana namun sedemikian ritmis dan sangat harmonis. Suasana mendadak meruang romantis.

 

Mas Wahid dan dulur-dulur Gambang Syafaat yang terlibat dalam tim penyambutan dan pengawalan Mbah Nun mengabarkan, bahwa rombongan telah budhal dari transit. Tampak iring-iringan mobil dan motor mengawal Mbah Nun. Belasan menit kemudian tiba di lokasi, tepat saat satu nomor Sholawat menjelang Mahalul Qiyam. Semua jama’ah berdiri. Gus Arul melanjutkan Mahalul Qiyam. Seperti sebelumnya Imam dan Makmum bersahutan berurutan. Dimulai dengan nada rendah namun mandhes. Sampai pada nada tinggi membuncah sampai beberapa pecah, ajur, ajer. Suasana mendadak meruang haru.

 

 

 

 

 

 

Sesi Diskusi/Sinau Bareng

 

Mas Agus Wibowo mengambil alih acara. Memoderasi diskusi atau Sinau Bareng. Menyampaikan beberapa pantikan terkait dengan tema. Demikian :

  • Kulawarga adalah “organisasi” yang paling langgeng dan tidak mungkin terkudeta. Tiap anggota keluarga mempunyai peran, fungsi, dan tanggung jawabnya masing masing. Anak nggak mungkin mengkudeta Bapak karena ingin menjadi kepala Kulawarga. Hahaha
  • Dalam Kulawarga terdapat beberapa sektor penting dan utama yaitu, Asah, Asih, Asuh.
  • Bermodal dengan dua potensi di atas tersebut, maka dirasa sangat penting adanya formulasi sinkronisasi antara Kulawarga dengan Alfatihah. Besar harapannya, bahwa sinkronisasi tersebut bisa menjadi sebuah rintisan awal peradaban yang keren.

Narasi yang singkat, namun cukup memantik pintu berpikir. Sembari memeram pantikan untuk beberapa saat, Moderator mempersilahkan Pak Kades untuk menyampaikan sesuatu.

 

Pak Zaenal, Kades Pringsari

  • Menyampaikan atur pambagyo kepada Mbah Nun dan seluruh Jamaah. Menyampaikan rasa nggregel dan haru yang luar biasa. Kedatangan Mbah Nun yang selama ini masih berupa angan belaka, kini merealita.
  • Juga me-remind persambungan awal dengan simpul gugurgunung lewat sebuah acara besar di Desa Pringsari, dalam rangka sedekah desa sekaligus peresmian Pendopo Paseban dengan dimeriahkan pagelaran Wayang oleh Ki Dalang Sigit yang ternyata juga bagian dari Kulawarga Maiyah. Mengangkat lakon “Semar Mbangun Khayangan”, yang di dalamnya memuat cerita penting tentang Kembang Wijaya Kusuma. Sehingga pendopo tersebut diberi nama Pendopo Paseban Wijaya Kusuma. Ketersambungan demi ketersambungan yang terus terjalin hingga Pendopo tersebut menjadi salah satu lokasi utama digelarnya acara rutinan Majlis Gugurgunung. Dan tidak menyangka kalau ketersambungan selanjutnya adalah karawuhan Mbah Nun di Pendopo Paseban tersebut, dalam rangka mengunjungi anak cucu Maiyah di Ungaran.
  • Mengapresiasi tema Kulawarga Al Fatihah, karena ternyata juga menjadi persambungan penting lainnya. Yaitu, Pak Kades adalah pengamal wirid Al Fatihah dan Al Ikhlas, yang diturun-temurunkan oleh para leluhurnya.
  • Juga menjadikan komplek Pendopo Paseban Wijaya Kusuma sebagai sentral kegiatan ekonomi kerakyatan berupa Pasar Pagi, yang kegiatan utamanya adalah memasarkan seluruh produk unggulan masyarakat Desa Pringsari sebagai rintisan kegiatan ekonomi. Serta mengembangkan kegiatan pariwisata dan spiritual berupa Ziarah pada komplek Makam Mbah Benowo dan Syaikh Basyarudin, yang terletak di Puncak Gunung Munggut, sebelah atas Pendopo.

Pada kesempatan berikutnya, moderator mempersilahkan Pak Kyai Qomasyi, seorang pemuka agama dan tokoh masyarakat di Balongsari yang menjadi pimpinan Tarikah Qodiriyyah di Masjid Al-hasan yang ikut mendampingi sinau bareng kali ini, juga ada sesepuh lainnya. Namun Beliau memilih untuk dilewati dan langsung ke pembicara lain, karena konon niat dari rumah hanya ingin menyimak ngaji Mbah Nun. Sebuah pilihan sikap yang menurutku, justru sedang menyampaikan kerendah-hatian dengan cara indah.

Kesempatan selanjutnya adalah Pak Kyai Arifin,

salah satu Kyai di Mbalongsari yang memang sudah sangat erat dengan Kulawarga gugurgunung. Bahkan sempat meminjamkan salah satu gedungnya untuk majlis gugurgunung menggelar acara rutinan bulanan selama beberapa tahun. Dengan demikian beliau Pak Kyai Arifin telah sekaligus menjadi bagian dari shohibul hajat sinau bareng malam tersebut. Beliau pun mengambil waktu untuk menyampaikan dan mengulas beberapa hal, demikian :

  • Bismillah, Bi Ismi Llah, yaitu bersama atau bertemu Allah. Jalannya adalah mengabdi, dalam kontek Kulawarga berarti meniatkan secara bersama sama untuk membangun kesadaran mengabdi. Lewat cara apapun. Berbuatlah untuk jangan takut salah, Allah Maha Rohman dan Rohiim. Lalu menyudahi pantikan, lagi-lagi dalam rangka untuk tidak menyita waktu dan memberikan kesempatan yang lebih lama untuk nyimak Mbah Nun.

 

Gus Arul, selaku pemimpin dan pengasuh Majlis Majazi Alhasan (MMA) juga langsung dipersilahkan menyambung diskusi. Mbah Nun mempersilahkan Gus Arul untuk duduk di sebelah Beliau. Lalu Gus Arul menyampaikan :

  • “Mbah Nun, saya di sini hanya Wawu Zaidah, wawu yang hanya sebagai pelengkap di belakang saja. Ning insyaAllah siyap didhawuhi apa saja”

 

Demikian singkat yang disampaikan Gus Arul, dan kemudian memilih untuk kembali duduk di belakang Mbah Nun. Lagi lagi berupa pertunjukan sikap kerendah-hatian yang luar biasa.

 

Gus Aniq, pengasuh Ponpes RKSS Semarang, pendamping tetap simpul Gambang Syafaat, dan seringkali membersamai majlis gugurgunung pada momentum momentum penting. Hadir bersama para santri dan teman teman Gambang Syafaat. Datang lebih awal, dan langsung kami sambat untuk turut menyambut Mbah Nun. Nampaknya ruang diskusi sedikit memaksa Beliau untuk menyampaikan lebih banyak. Karena kerendah-hatian dengan cara menyampaikan narasi yang relatif singkat sudah diambil perannya oleh pembicara sebelumnya. Beliau memilih rendah hati dengan cara lain. Maka Beliau menyampaikan demikian :

  • Apa yang akan saya sampaikan ini saya niatkan sebagai Sorogan. Mumpung ada Mbah Nun dan para Kyai serta Sesepuh yang turut hadir untuk menyimak dan mengoreksi terhadap yang saya sampaikan. Kalimat pembuka yang menarik. (Nampak sekali Beliau sedang dalam rangka ingin nyantri).
  • Tadabbur selanjutnya adalah melalui pendekatan Ma’am Khuruf. BA, mengandung makna asal-muasal, permulaan realitas. Allah yang ada di Bismillah berati Allah secara realitas, manifestasi, tajali, ejawantah. Arrahmaan adalah wujud potensial Allah. Sedang Arrahiim adalah Wujud realitas Allah.
  • Menyambungkan dengan fenomena Nabi Khidir, bahwa Alhamdulillahirobbil ‘Aalamaiin adalah sebagai Majmaal Bahrain, yaitu bertemunya Rohmaan Rohiim yang pertama (Khalik) dengan Rohmaan Rohiim yang ke dua (Makhluk).
  • Kulawarga, dari Warga atau bisa juga Marga. Marga atau Margi dalam Jawa adalah Jalan. Dalam Alfatiha, Jalan adalah Ihdinashshiratal Mustaqim. Jadi, sungguh sangat terkait antara Kulawarga dengan kesadaran Abdi dengan Jalan. Jalan dengan sistem kerahmatan dan kenikamatan.
  • Maka An ‘amta merupakan aktifasi Gusti Allah pada diri Makhluk.

Lalu Gus Aniq memungkasi dengan informasi tentang “Sapta Mandala”, atau 7 lapisan kesadaran diri, diantara adalah :

  1. Mandala Personal
  2. Mandala Marital
  3. Mandala Sosial
  4. Mandala Komunal
  5. Mandala Global
  6. Mandala Universal
  7. Mandala Celestial.

 

 

Narasi dari beberapa pembicara seperti membentuk gelombang. Secara alamiah saling berkait paut, saling melengkapi. Suasana kian hangat. Giliran Mas Helmi melanjutkan diskusi, menyampaikan beberapa hal penting dengan cara yang santai. Demikian :

  • Apresiatif terhadap gelaran acara tersebut, yang mengangkat tema Keluarga Alfatihah.
  • Merasa bahagia bisa hadir bersama Mas Ale nderekaken Mbah Nun untuk yang pertama kalinya mengunjungi Kulawarga gugurgunung. Benar-benar suasana yang sejuk, di tengah sawah, penuh dengan limpahan berkah dan rahmat. Semoga sebuah tengara bahwa ini adalah salah satu perwujudan liqo’ul adhim (perjumpaan yang Agung).
  • Agenda 2 tahun terakhir Mbah Nun untuk menyambangi anak cucunya di banyak simpul, sebagai wujud kasih sayang yang sungguh-sungguh kepada anak cucunya.
  • Mbah Nun dan Maiyah selama ini juga sungguh-sungguh menyemai nilai nilai kekeluargaan. Salah satu produk pokok dan pesan pentingnya kepada semua yang dijumpainya adalah, “kedepankan Rembug”.
  • Mengulik penyematan nama Mbah pada Mbah Nun, bahwa ‘Mbah’ adalah panggilan dalam Keluarga yang tidak ditemui di organisasi masa atau politik mana pun. Dan ternyata bila ditelusur lebih lanjut, Mbah pada struktur Kulawarga merupakan konsep dari Allah sendiri. Terbukti pada penyebutan, “Ya Bani Adam” (Wahai anak cucu Adam). Mas Agus menimpali, bahwa Nabi Adam, yaitu Mbah yang satu-satunya manusia yang pernah atau pertama kali berkeluarga di Surga.
  • Al Quran sebagai petunjuk kepada seluruh manusia (Hudan Linnas), dan yang selama ini dilakukan oleh Mbah Nun adalah merespons ayat-ayat Al-Quran tersebut. Salah satu produknya adalah tadabur Al Fatihah, serial tadabur harian yang berjudul Tadabbur Hari Ini. Dan sangat menyenangkan sekali kalau anak cucu Mbah Nun merespons atau mengapresiasi produk tersebut dengan mengangkatnya menjadi tema sinau bareng.

 

 

Sampailah pada puncak diskusi. Mbah Nun nglambari dengan bacaan “Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii.” Artinya: “Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha ayat 25-28). Dilanjutkan dengan menyapa dengan hangat seluruh yang hadir lalu melanjutkan dengan respon-respon ringan dan singkat dari beberapa pembicara sebelumnya. Demikian :

  • Mengapresiasi group rebana MMA. Nama singkatan yang menarik, sebab mengingatkan kepada Mixed Martial Art, sebuah program seni bertarung yang digemari Mbah Nun. Kefasihan dalam menarasikan MMA lengkap dengan sekian tokoh-tokohnya membuat jamaah tertawa gembira. (Sebuah intermezo yang menyegarkan ala Mbah Nun).

Kemudian masuk ke tema. Mencoba memulai bahasan tema dengan cara yang ringan pula. Demikian :

Semua yang disampaikan oleh para pembicara sebelumnya adalah komponen-komponen penting. Mari kita nggambar dengan cara menggabungkan komponen komponen tersebut. Mbah Nun kemudian mengajak “nggambar” Kulawarga terlebih dahulu.

  • Kulawarga adalah sekumpulan unsur yang mempunyai tugas, manfaat, dan tanggung jawabnya masing masing. Mempunyai struktur yang jelas, yaitu Bapak, Ibuk, anak, dan seterusnya.
  • Kulawarga seberapapun besarnya, yang perlu perhatian khusus adalah anggota Kulawarganya, bukan bangunan fisik rumahnya. Dalam skala lain yang perlu fokus Jamaahnya bukan bangunan Masjidnya bukan materialistiknya, dst, dst.
  • Ada dua unsur penting yang perlu diperhatikan dalam diri kita masing-masing untuk membangun Kulawarga, desa, peradaban, dst. Yaitu Malaikat dan Setan. Malaikat yang dimaksud di sini adalah berupa sebaran frekuensi energi yang baik yang keluar dari diri manusia. Output-nya adalah bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan setan adalah kebalikannya. Maka silakan terus belajar menemukan Malaikatnya sendiri-sendiri sesuai dengan kecenderungan potensi masing-masing.

Membangun Kulawarga, membangun desa, membangun peradaban, dst, sesuai dengan potensi, fungsi, dan tanggung jawabnya masing-masing. Jangan bermental pengemis, cegahlah diri untuk tidak menjadi pengemis, dan lanjutkan sebisa mungkin mencegah Kulawarga kita untuk tidak mengemis. Jangan mengemis dalam hal apa pun sampai pada wilayah yang lebih luas lagi. Lebih-lebih ngemis kekuasaan. Peradaban sekarang ini sedang tidak henti-hentinya secara masif memamerkan praktik mengemis kekuasaan. Padahal peringatannya sangat jelas sekali, kalau mengemis kekuasaan maka Allah tidak akan turut campur pada hidupmu.

 

Al Fatihah adalah Ummul/Ibu Quran

Lalu Mbah Nun mengajak menggambar lebih lanjut lagi. Kalau Al Fatihah adalah Ibu, lalu yang sebagai fungsi Bapak, Suami, Laki-laki, siapa? Kemudian Beliau mem-breakdown beberapa hal. Demikian :

  • Pemerintah itu fungsi Suami, pada Rakyat yang fungsinya Istri.
  • Manusia itu fungsinya suami, Alam sebagai istri.
  • Allah “suami”, manusia istri.
  • Nah, Maiyah itu sendiri adalah sebuah kesadaran Kulawarga yang “Al Ushro yang Akbar”. Kesadaran Kulawarga yang Allah ada di dalamnya atau bersamanya.

Keadaan menghangat dan hening. Lalu Mbah Nun mencoba intermeso sebentar, sembari merespon tentang Nabi Adam adalah mbah mbahnya mbah manusia yang awalnya berkeluarga di Surga. Turun ke dunia karena makan buah Khuldi, yaitu konon buah yang berasal dari Bumi dan disimpan di Museum Surga. Seluruh produk Surga tidak ada yang menghasilkan residu, semuanya akan terdaur ulang menjadi nutrisi secara terus menerus. Nah karena Nabi Adam makan buah yang berasal dari Bumi, maka dalam tubuh Nabi Adam ada residu, Beliau berasa ingin buang air besar. Dan karena di Surga tidak boleh buang air besar, maka Nabi Adam di perintahkan untuk buang air besar ke Bumi. Tentunya ini adalah sebuah guyonan segar ala Mbah Nun. Yang sontak disambut gelak tawa para jamaah. Namun bukan guyonan ala Mbah Nun kalau tidak diselipkan nilai-nilai penting yang bisa kita cermati. Salah satunya adalah tentang residu yang terdaur ulang menjadi nutrisi baru. Ini yang sesungguhnya selama kurang lebih 2 tahun belakangan menjadi konsentrasi kegiatan utama tim Tani Gugurgunung dalam rangka Revolusi Kultural, yaitu mengolah sampah organik menjadi pupuk untuk diolah dan kemudian diaplikasikan pada tanaman sebagai pengganti pupuk kimia.

Alhamdulillah, berasa tadarus atau sedang men-download salah satu informasi penting Surga untuk diaplikasikan di dunia. Hehehe.. Setelah intermeso kedua dianggap cukup, lalu Mbah Nun masuk ke Tema lagi. Dengan memaparkan Al Fatihah sebagai Format 313 (tiga ayat, 1 ayat, 3 ayat) Sebagai berikut :

  • Hidup itu rumusnya adalah Cinta. Rohman itu cinta meluas. Rohiim itu cinta mendalam.
  • Suami itu harus bersifat Al-Fatihah kepada istri.
  • Lalu apa yang pertama kali dilakukan suami kepada istri? pemerintah kepada rakyat? manusia kepada alam? Allah kepada manusia?: yang dilakukan pertama kali adalah “Bismillahirrohmaanirrohiim”
  • Bapaknya Al-Quran adalah Allah. Al-Quran bukan semata bahasa Arab, tetapi bahasa Allah menggunakan bahasa Arab.
  • Maalikiyyaumiddin adalah soko guru atau penyeimbang.
  • Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in merupakan “akad” kita pada Allah, untuk mendapatkan Ihdinas Sirotol Mustaqim.
  • Dalam khasanah Jawa Na’budu lebih kaya maknanya ketimbang bahasa Arab. Jawa mempunyai perbedaan makna antara Manembah dan Menyembah. Sedang bahasa Arab, Na’budu hanya berarti menyembah. Ini yang kemudian disalah pahami Iblis ketika turun perintah dari Allah untuk bersujud kepada Adam. Orang Jawa memahami konteks ini sebagai manembah, berbakti, dst. Tapi waktu itu Iblis hanya memahami sebagai konteks menyembah, maka menolaknya. Dalam hal ini Jawa lebih kaya pemaknaan. Jiwa manusia Jawa adalah jiwa Surga. (Demikian Mbah Nun selalu nggedhekke ati anak cucu).

Jadi ringkasnya, Keluarga Alfatihah adalah Kulawarga yang berkarakter atau berkurikulum Alfatihah. Sehingga keluarga yang dibangun bukan hanya dalam luasan kecil, namun berpeluang menjadi keluarga besar dengan segala Ciptaan Allah SWT dan berkeluarga dengan Allah sebagai Pemilik Segala hal yang ada di langit dan di bumi.

Mbah Nun menyudahi “menggambar”. Sudah kian nampak titik yang diperpanjang menjadi garis sampai terbentuk imajinasi gambar tentang Keluarga dan tentang Alfatihah. Dan sudah sedemikian tersambungkan sinkronisasi antara Keluarga dengan Alfatihah sehingga menjadi Keluarga Alfatihah. Jamaah menyimpannya ke dalam benak masing-masing, sebagai oleh-oleh yang sangat berharga dari Mbah yang menyambangi anak cucunya. Sebelum dipungkasi dengan do’a, moderator mempersilahkan kepada jamaah untuk mengajukan pertanyaan. Dipersilahkan untuk 2 penanya.

 

Mas Udin Demak.

Seorang Guru dari Demak. Menanyakan demikian :

  • Produk produk teknologi modern seperti AI, ChatGPT, dan sejenisnya dikhawatirkan akan menelan anak anak didik Gen Z. Lalu gimana cara menghadapinya.

Mbah Nun menjawab :

  • ChatGPT, AI, dst itu adalah kecerdasan buatan. Secanggih apapun buatan manusia pasti ada limitasinya, ada batasannya, ada kelemahannya. Salah satu kelemahannya adalah tidak akan bisa membikin Al Quran atau ayat-ayat Allah. Jadi untuk tidak bisa ditelan oleh hal seperti itu, maka jalannya atau jimatnya adalah Al Quran, Al Fatihah.

 

Mas Arif Ungaran.

  • Menanyakan, arti Bismillahirrahmanirrahim itu Dengan nama Allah atau atas nama Allah.

Mbah Nun menjawab  secara ringkas dengan kembali mengingatkan fungsi metode tadabbur:

  • Terserah merdeka saja mau memakai dengan nama Allah atau atas nama Allah, yang penting selalu ada Allah, selalu bersama Allah.

 

Waktu sudah lewat tengah malam. Sebagaimana yang telah disepakati bersama di awal, dan untuk menghormati berbagai keadaan, maka moderator menyudahi acara diskusi. Acara ditutup dengan do’a oleh Mbah Nun. Serangkaian kalimah do’a yang diamini oleh seluruh jamaah. Dipungkasi dengan “Innama Amruhu Idza Aroda Syaian Ayyakulalahu”, dan jamaah secara serempak menyahutnya dengan “Kun Fayakun” dan dilapis oleh mbah Nun dengan “Fa subḥaanallazii biyadihii malakụtu kulli syai`iw wa ilaihi turja’ụn”. Mbah Nun menutup dengan salam, kemudian beranjak dari tempat duduk untuk menuju mobil dan melanjutkan perjalanan pulang ke Yogyakarta. Jamaah menghantarkan dengan salam dan berdiri dari tempatnya masing-masing dengan mengarahkan pandang ke arah Mbah Nun. Tampak beberapa jamaah ikut mengiringi mobil Mbah Nun dengan iring-iringan sepeda motor di belakangnya. Seiring Mbah Nun telah kembali ke Yogyakarta, maka acara telah usai namun panitia masih mempersembahkan satu mata acara paling pungkasan yakni makan lesehan bersama atau kembulan yang telah mentradisi di majlis gugurgunung.

Semua hadirin dipersilahkan untuk merapatkan diri dan menikmati kembulan berbagai hidangan yang sudah disediakan panitia. Ada sebagian dari para hadirin memilih langsung pamitan karena telah cukup kenyang dengan kudapan sebelumnya dan ada pula yang harus segera pulang karena ada aktivitas esok hari. Sebagian lainnya masih ingin melepas rindu, menikmati hidangan yang telah disediakan, sungguh nikmat makan bersama dengan sedulur-sedulur, sebagai seolah sedang makan bareng di dapur sendiri bersama seluruh anggota keluarga yang lain. Seusai kembulan, Gus Aniq, dulur-dulur GS, dan jamaah lainnya, kembali membentuk lingkaran kecil untuk alam-alaman. Keluarga gugurgunung mulai beres-beres tempat agar ketika ditinggalkan, tempat dalam keadaan bersih. Setelah malam semakin larut saling berpamitan saat Tarhim mulai berkumandang.

 

 

Reportase oleh: Kasno MGG
Dokumentasi: Koko Nugroho

Facebooktwittertumblr
Posted in reportase.