HEMBUSAN DOMESTIKASI

Andaikata ada seseorang menggambar seekor zebra tanpa corak belangnya, maka sebagian besar orang akan menganggap bahwa gambar tersebut adalah gambar seekor kuda putih. Lantaran secara fisik, antara zebra dan kuda memiliki kemiripan hingga hampir seratus persen. Perbedaan keduanya dalam kehidupan nyata ialah, kuda berhasil menjadi partner dalam menopang aktivitas manusia. Sedangkan zebra tetap bertahan sebagai binatang rimba. Lantas, apakah jinaknya kuda lantaran kepandaian manusia menjinakkannya? Ataukah sesungguhnya atas kehendak Gusti Allah yang memang menitahkan kuda untuk berkontribusi dalam kehidupan manusia, sehingga sesungguhnya Allah sendiri yang berkehendak untuk memrogram kuda untuk jinak.

Sehingga keberadaan zebra seolah menjadi alat pengingat kepada peradaban manusia bahwa jika Allah berkehendak sesungguhnya kuda pun bisa dibuat untuk terus liar, sebagaimana Allah melakukannya kepada zebra. Manusia merasa mampu menjinakkan sapi dan kerbau, namun nyatanya tak piawai menjinakkan banteng atau bison yang mungkin punya kekuatan lebih tinggi daripada sapi atau kerbau. Manusia bisa menjinakkan kambing, tapi nyatanya tak cukup mampu menjinakkan kijang atau menjangan yang konon dagingnya lebih enak daripada kambing. Manusia merasa mampu menjinakkan lebah namun ternyata tetap tak mampu membuat seluruh spesies lebah tunduk  dan kooperatif pada kepentingan manusia. Manusia menganggap berhasil menjinakkan kucing tapi tak umum menjinakkan singa, cheetah, atau macan, atau sekedar blacan/macan akar, atau lynx yang berukuran lebih kecil daripada macan. Pun ayam kampung yang sejinak itu berkeliaran di tengah pemukiman manusia, ada versi ‘alas’-nya: ayam alas (ayam hutan) yang tak bisa sejinak ayam piaraan.

Manusia bahkan yakin bahwa jinaknya anjing adalah kesuksesannya mendomestikasi hewan tersebut untuk terlibat dalam hajat kehidupan manusia, namun nyatanya tak lazim manusia memelihara serigala, atau rubah dalam kehidupan sehari-hari. Serigala dan Rubah menjalankan program sesuai default system yang tertanam padanya, yakni tetap menjadi makhluk yang liar. Satu dua kasus ada juga kasus bahwa binatang-binatang alas itu bisa dipiara dan tetap jinak. Namun tentu itu bukan domestikasi, melainkan kondisi khusus yang biasanya dilakukan oleh perseorangan. Peradaban janma alias manusia merasa mampu melakukan domestikasi pada binatang tertentu, tapi setelah ditelusur lebih dalam, ternyata tidak. Allah-lah yang memperlihatkan karunia-Nya kepada manusia agar hidup manusia menjadi lebih mudah. Dalam salah satu karunia itu ada pada binatang yang diperintah Allah untuk urun kemanfaatan kepada manusia berupa tenaga, kulit, tanduk, bulu, daging, susu, telor, dan lain sebagainya atau hasil produksi komunalnya sebagaimana komunal lebah yang menghasilkan madu. Ada yang dipetik manfaatnya oleh manusia dari sisi kelincahan, agresivitas, untuk tujuan menjaga teritori atau aset, contohnya anjing. Manusia memang diberi ruang perjuangan dan usaha untuk beradegan menaklukkan para binatang itu, semata sebagai bobot perjuangannya dalam rangka menemukan solusi untuk meringankan kesulitan dengan memanfaatkan kelebihan beberapa binatang. Usaha ini telah dianggap sebagai bentuk konkret upaya manusia, sedangkan untuk membuat binatang-binatang tersebut jinak, mutlak dalam otoritas Rahmat Allah.

 

LIAR DAN JINAK

Semua yang berhasil bersanding dan berdamping di tengah kehidupan manusia dianggap telah menjadi binatang yang terdomestikasi sehingga disebut binatang domestik. Sedangkan yang tetap di belantara rimba adalah binatang liar. Keliaran binatang pun sesungguhnya sesuatu yang lazim, karena memang sudah sepatutnya jika binatang berkeliaran, baik yang terdomestikasi maupun yang belum.

Namun tampaknya manusia terganggu oleh berbagai model ke-liar-an, karena liar dianggap tidak bisa dikontrol, susah diajak berkompromi dan susah dibujuk-rayu. Keliaran dianggap noda dalam tata kepentingan manusia pada umumnya. Sedangkan _bisa jadi_ yang liar itu sesungguhnya justru pengemban amanah Tuhan untuk menjadi pengingat manusia. Ia tidak mudah terhasut trending dan tak mudah dipengaruhi kecenderungan umum. Dia otentik dan berdaulat namun dihiperinterpretasi oleh khalayak sebagai menjadi ganas, buas, dan mengancam. Jika suatu kali seekor macan masuk kampung, para warga akan geger dan kalang kabut. Masuknya seekor macan adalah ancaman dan bisa berpotensi melukai bahkan menerkam seseorang. Orang-orang akan lari tunggang-langgang dan ada pula yang berkoordinasi untuk keroyokan menangkap si macan dalam keadaan hidup maupun mati. Itulah tanda manusia sebagai masyarakat domestik merasa begitu nanar dengan karakter rimba.

Begitu pula ketika ada seseorang yang lantang, berani menyuarakan aspirasi fitrah, ia tetap mahir menggunakan ‘taring’ dan ‘cakar’nya, yang mana cakar dan taring itu sesungguhnya bukan untuk menerkam orang lain, ia akan dijauhi, diwaspadai, dipantau, dicurigai sepak-terjangnya. Sementara, jika ia memiliki ‘taring’ dan ‘cakar’ sesungguhnya tidak untuk melukai orang lain. Bahkan untuk menjalankan fungsi keseimbangan pada semesta yang dihamparkan Tuhan. Namun, jika macan itu datang bersama satu rombongan sirkus yang akan menampilkan atraksi macan dan singa, orang-orang tidak lari tunggang-langgang. Mereka justru berbondong-bondong membeli tiket untuk bisa melihat dari dekat macan-macan itu.

Manusia terancam dan resah oleh keliaran macan, namun saat berhasil menjinakkannya dengan berbagai trik licik, binatang garang itu diletakkan bersanding dengan para badut. Inilah tabiat culas dan picik kalangan manusia, saat hidupnya tenteram figur pahlawan adalah sosok yang mengganggu stabilitas, dia rendahkan sebagai obyek kelucuan dan pergunjingan. Sementara saat hidupnya tertindas, ia menjilat-jilat kaki pahlawan sebagai satu-satunya yang patut menolong nasibnya.

Manusia tidak akan bangga jika berhasil membelai kucing namun akan merasa begitu bangga jika bisa bukan hanya membelai singa tanpa perlawanan, namun bisa memerintah dan menunjukkan superioritasnya di hadapan khalayak betapa sang garang itu tunduk pada perintahnya. Inilah kenyataan yang menjangkit dan sering terjadi dalam hati manusia. Ia tak pernah merasa rela pada autentisitas suatu pihak, kecuali jika pihak tersebut mau diajak kompromi, lebih-lebih jika mau mbatur, mbabu pada kepentingannya. Padahal manusia tak sekalipun mampu membuat binatang jinak, mereka mau jinak karena perintah rahasia dari Allah yang dijalankan dengan teguh oleh para binatang tersebut. Adalah semata-mata demi mempermudah pengabdian manusia kepada Tuhan. Bukan untuk memupuk kesombongan, kepongahan, superioritas, atau peneguhan kekuasaan manusia. Manusia tak pernah kuasa dalam hal apapun, perbandingan telah diperlihatkan agar manusia mau berkaca diri.

 

Default dan Customize

Kini, apakah domestikasi itu kita jadikan bahan perenungan lebih jauh. Binatang yang mempertahankan naluri rimbanya sesungguhnya menjaga fitrah dan naluri alamiahnya sesuai program yang tertanam pada dirinya. Begitu pula binatang yang terdomestikasi, mereka juga bekerja atas nama menjalankan program yang ditanamkan Gusti Allah padanya.

Yang tetap merimba adalah bentuk default, mengingatkan kepada model orisinal yang sesungguhnya, agar manusia tetap mengenal asal-usul dan memetik pelajaran. Sedangkan yang terdomestikasi merupakan bentuk yang telah di custom oleh manusia sehingga fungsi-fungsi bawaannya bisa dipetik manfaatnya oleh manusia. Semua dalam rangka mengabdi kepada Tuhan.

Kini, diam-diam manusia tidak menyadari bahwa kian waktu bergulir, manusia yang sesungguhnya dulu juga akrab dengan kehidupan rimba, akrab dengan jiwa tanding, akrab dengan naluri survival, akrab dengan tantangan mengarungi kesulitan, kian hari kian merumah. Makin bermukim, kian mendomestik, kian kompromis terhadap kemudahan dan kenyamanan dan kian menjauh dengan perjuangan hidup.

Manusia juga terdomestikasi pada kepentingannya sendiri yang memberi kemungkinan dampak yang sama sebagaimana kucing yang terdomestikasi. Ketika seekor kucing buang feses, ia punya ritual untuk mengeruk-ngeruk tanah atau pasir, kemudian me-nguruk-nya kembali, kemudian mengendusnya untuk memastikan bau kotorannya tidak mengganggu lingkungan. Kini, kucing masih pandai dalam hal menjalankan ritual tersebut, ia hanya tak lagi punya analisis konteks, kadang kucing melakukan ritual itu pada aspal atau lantai keramik yang jelas-jelas tak bisa menutupi kotorannya. Namun ritual itu tetap dilakukan sebagai keabsahan dan kepatutan perilakunya sebagai seekor kucing. Padahal ia tak lagi paham makna perilakunya dan tak punya nuansa apapun kecuali hanya sekedar menjalankan tradisi keluarga yang sudah dilakukan nenek moyangnya sejak jaman baheula.

Apakah makna dari peristiwa ini, jika mau dijadikan ibroh sesungguhnya manusia kini telah makin bergeser dari yang semula kucing rimba yang kian hari kian manja dan gelendhotan dengan tanpa sadar meluruhkan jiwa rimbanya yang keren menjadi jiwa domestik yang tumpul. Bahkan semakin kucing menampilkan tradisi rimbanya yang buang feses di permukaan-permukaan keras itu, makin tampil kebodohannya. Kucing makin mahir mencuri daripada berburu, kucing makin takut mangsanya daripada menerkamnya, kucing makin menjelma menjadi makhluk lucu imut dan menggemaskan sebagaimana makhluk piaraan cantik laiknya kelinci, marmut atau hamster, atau bahkan mice. Kadar kedigdayaan kucing sebagai kucing turun level menjadi hanya sejajar bersama pihak yang dulu adalah mangsanya. Manusia zaman sekarang juga cenderung mengarah pada perilaku yang sama.

Apakah kita tidak prihatin, jika sesungguhnya apa yang terjadi pada kucing juga terjadi pada diri kita? Kita dikurung oleh kandang aktivitas kompromistis pada dinamika hidup. Bekerja, makan, tidur, buang hajat, bekerja, makan, tidur, buang hajat. Kita tetap bekerja sebagaimana kita sangka bagian dari menjalankan titah kemanusiaan dan pengabdian, kita menjalankan pula syariat ibadah untuk sekadar merasa telah melaksanakan kepatutan sebagaimana nenek moyang dulu melakukan.

 

KONTEKS IBADAH

Jika sebuah aktivitas ibadah telah diimplementasikan pada area domestik. Maka langkah antisipasi primer yang perlu dilakukan ialah memilih ‘majikan’ yang tepat. Dimana majikan itu tetap dalam suatu peran yang mengarahkan pengabdian kepada Tuhan. Sebab, peralihan dari tradisi rimba ke dalam habitat domestik sesungguhnya serta merta mengalihkan tradisi terkoneksi langsung kepada Tuhan tanpa perantara, mengabdi langsung dengan otentik sesuai Fadhilah yang dimiliki menjadi terhalang perantara.

Dalam habitat domestik ada unsur hajat bersama dimana setiap pihak perlu bersikap kooperatif menjunjung proyek kemaslahatan. Anjing menjaga rumah, kebun dan pekarangan, tak lagi repot berburu untuk mendapatkan makanan. Kucing menjaga isi rumah dari ancaman pengerat tikus dan bahkan gangguan lebih berbahaya seperti ular. Kuda kooperatif dengan tenaga yang ia punya, ia mengangkut barang dengan kuat dan akseleratif pada hampir segala medan. Sapi kooperatif dengan hampir keseluruhan hidupnya, tenaga, kulit, daging, susu, bahkan hingga urine dan kotorannya yang bisa digunakan sebagai pupuk. Semua dibebaskan dalam hal mencari makan dan tempat tinggal, sebab majikan mereka telah menyediakannya. Mereka tetap akan menjalani hidup tanpa merasa gelisah naluri kerimbaannya memudar. Sebab memudarnya naluri rimba ini bagian dari program pengabdiannya kepada Tuhan. Jika seekor binatang domestik beruntung mendapat majikan yang baik, maka ia tidak akan dieksploitasi, namun dirawat dengan perhatian yang baik. Majikan seperti ini akan menghormati jasa dan pengabdian pada binatang tersebut, akan memberinya hak yang benar, makanan, tempat tinggal, dan waktu istirahat. Binatang itu memiliki hak untuk hidup di alam rimba namun telah memilih menjadi jinak dan membantu urusan manusia, maka ia juga punya hak beristirahat pula setelah bekerja keras.

Sedangkan jika binatang ini mendapat majikan yang tak peduli pada pengabdian, maka para binatang ini akan dieksploitasi dan diperas segala hak pengabdiannya kepada Tuhan untuk mengabdi kepada kepentingannya. Ia rampas hak waktu, tenaga, dan pikiran para binatang untuk tercurah dalam tekanan yang meresahkan.

Majikan manusia tidak selalu berupa sosok manusia, namun suatu subyek yang engkau menghabiskan waktu dan segala potensimu untuk kooperatif dan kontributif pada misi subyek yang engkau ikuti. Engkau merubah alur pengabdianmu yang default menjadi alur pengabdian yang custom. Engkau mengubah ranah tradisi rimba-mu menjadi kultur domestik dengan takaran dan norma yang berbeda dari alam rimba, norma domestik terkadang jelimet dan penuh intrik. Dengan demikian kamu perlu memastikan dan menyeleksi apakah subyek tersebut makin berpotensi menjadi tuhan baru dalam hidupmu, ataukah subyek itu berpotensi makin menyempurnakan proses kedekatanmu terhadap Al Malik, Tuhan yang Maha Kuasa. Di satu sisi pengabdian dengan mode custom ini akan menjadi level pengabdian lebih menantang sebab kekayaan dinamika yang terjadi di dalamnya, namun di sisi lain juga akan menjadi ditraktor yang mengalihkan pengabdianmu kepada Yang Haq.

Manusia pun sesungguhnya memiliki ranah kerimbaan otentik, yang pada perkembangannya ada yang memilih terdomestikasi namun ada pula yang tetap mempertahankan tradisi rimbanya sebab tak ingin kehilangan koneksi langsung kepada Tuhan dan tak cukup percaya dengan orang-orang yang jika menjadi majikan, akan bisa membawanya lebih dekat kepada Tuhan. Ia tetap bisa berkompromi pada area rimba dan domestik, namun tak cukup minat untuk terdomestikasi pada alur dan arah hidup domestik yang belum tentu arahnya. Orang seperti ini akan dianggap menyimpang bahkan kontroversial yang bisa sewaktu-waktu menerkam. Orang hanya akan bergunjing dan membuat peta kekuatan untuk keroyokan menghadapi manusia yang tampak garang tersebut. Padahal ia bukan teroris namun hanya karena orang-orang merasa terteror lantas dilabeli sebagai teroris.

 

TERJAGA JIWA SURVIVAL

Kita kehilangan makna pada aktivitas yang kita lakukan, kita lebih pandai bermanja dan gelendhotan pada pihak yang kita sangka majikan. Padahal ketika kita makin tua dan tak lagi jadi kucing lucu, nasib kita terbuang, kita pulang kepada cara rimba untuk bertahan hidup, lepas dari domestikasi dan hidup menggelandang jadi kucing kuwuk. Beruntung apabila saat kita kembali, naluri survival rimba kita ikut kembali. Namun jika naluri rimba itu tak ikut serta tentu kita akan terdampar pada nasib yang nestapa.

Jiwa survival itu sesungguhnya diperoleh dari adanya karunia kesulitan yang Allah berikan, bahwa bersamaan dengan kesulitan dibersamakan dengan kemudahan, akal kita bekerja, pikiran bekerja, jiwa kita hidup, raga kita bergerak dalam aktivitas yang produktif. Maka muncullah kepandaian dalam menghadapi hidup, piawai mengantisipasi situasi, waspada dalam indikasi pembodohan dan pembudakan. Kemunculan potensi itu akan menjadi kemudahan dalam menjalani kehidupan. Jiwa hidup yang seperti itu mungkin tak dianggap asyik oleh banyak pihak, karena tampak susah diatur dan sulit diajak kompromi.

Kesulitan ini juga terjadi pada seseorang yang membawa kekurangan, misal ia kekurangan dalam hal melihat, ia dikurung dalam kesulitan mengenali visual namun seiring dengan itu, ia diberi karunia pendengaran dalam hidupnya, yang dengan pendengaran lebih tajam daripada rata-rata manusia. Ia tetap survive dengan kesulitan melihat namun tetap penuh gairah dalam melangkah karena dimudahkan adanya pendengaran yang bisa diandalkan.

Namun justru, dari yang seperti ini yang mampu mendobrak kejumudan, yang berani berseberangan apabila telah tampak adanya penyimpangan, berani berjuang tatkala tampak adanya penjajahan yang mengebiri fitrah kemanusiaan, inilah manusia yang tetap terjaga karena tak mudah hanyut pada buai kemudahan. Orang-orang cenderung menyenangi kucing-kucing jinak nan imut, dan begitu kisruh ketika berhadapan dengan macan tapi ketika semua kucing menjadi jinak tiba-tiba manusia gaduh penuh keluh-kesah saat mereka para kucing jinak itu gemar mencuri, tukang gelendhotan memohon bekas kasihan, berak sembarangan dan tak punya jiwa berburu sebagaimana mestinya. Marilah kita waspadai bersama-sama, hal ini sangat penting untuk membuat kita tetap terus terjaga.

 

Ungaran, Juli 2023

Facebooktwitteryoutubetumblrinstagram
Posted in Mukadimah.