Pertemuan rutin Majlis gugurgunung edisi April dihelat pada tanggal 28 April 2018. Bertemakan Sambung Rohso “salam salim sulam” dan alhamdulillah dirawuhi oleh Mbah Eko Tunas.
Kegiatan dimulai pada pukul 21.00 WIB, bertempat di Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi’in, Bodean, Klepu, Pringapus Kabupaten Semarang. Sebuah tempat yang baru bagi Majlis Gugurgunung dikarenakan tempat yang biasanya sedang tidak dapat dipergunakan sebab bersamaan dengan kegiatan lain yang telah memesan tempat terlebih dahulu.
Lantunan Munajat Maiyah yang dipimpin oleh Mas Jion
Diawali dengan Do’a Wasilah yang dipimpin oleh Mas Ari, dilanjutkan Munajat Maiyah oleh Mas Jion. Selaku moderator yakni Mas Dian memimpin jalannya diskusi. Perwakilan dari Tim Tema yakni Mas Kasno memaparkan awalnya muncul tema ini ialah berawal dari diskusi tentang nyadran, sebuah kegiatan yang banyak digelar di berbagai daerah namun banyak pula yang belum mengetahui maknanya. Nyadran ialah sebuah kegiatan yang sering diadakan pada bulan-bulan Rajab dan atau bulan Ruwah. Pembahasan berikutnya banyak terdapat dalam mukadimmah.
Perwakilan dari Tim Tema yakni Mas Kasno memaparkan tentang Tema Majlis Gugurgunung malam ini; Sambung Rohso
Kemudian Pak Zamroni yang akrab disapa Pak Zam, kali ini juga oleh Mas Dian diminta untuk membagi kisahnya tentang kehidupannya yang pernah menjadi pemimpin sebuah perusahaan yang cukup mapan dan akhirnya ditinggalkannya secara perlahan justru menekuni dalam bidang pertanian. Beliau terjun langsung dalam setiap proses bercocok tanam mulai dari langkah-langkah awal. Hal ini diawali Pak Zam karena ingin menyapa alam dengan mengakomodir bagian ke-aku-an beliau. Alam sekarang sudah diperkosa untuk dieksploitasi, sedangkan menurut Pak Zam jika ada manusia menyakiti alam sama halnya dengan menyakiti dirinya sendiri. Bukan hanya mempelajari alam namun juga belajar kepada alam. Seolah-olah banyak manusia yang tidak mengakomodir tumbuhan, hewan, tanah, batu, pasir dll juga bagian dari semesta yang harus dijaga. Maka jangan disalahkan apabila ketidakramahan manusia dibalas pula dengan ketidakramahan alam, dimana manusia tidak lagi menjalankan proses Rahmatan Lil Alamin. Dalam kegiatan bertani, Pak Zam tiap hari disempatkan untuk uluk salam terhadap apapun yang terjangkau di sekitarnya, dimana hal ini juga diperkenalkannya pada putra-putri beliau. Menanggapi tema tentang Nyadran, mungkin bisa menjadi salah satu cara untuk dekat dengan alam. Seperti halnya sekarang menekuni tani, bermaksud untuk mencukupi kebutuhan bukan sekedar ego diri sendiri. Asalkan ada sambung rasa di dalamnya maka dengan sendirinya muncul kenyamanan asalkan dalam setiap kegiatan senantiasa melibatkan Allah.
Beberapa yang hadir malam ini merupakan kehadiran pertama untuk melingkar di Majlis Gugurgunung bahkan satu dua baru mengenal Maiyah, diminta berkenalan juga menanggapi tentang tema. Seperti Mas Yoga seorang mahasiswa dari Undip yang menggemari teater serta kepo terhadap Maiyah karena baru mengenalinya, ada pula Mas Angling yang merupakan pemuda Karang Taruna setempat, juga Mas Bram seorang pejabat di Dinas Kebudayaan yang juga salah seorang kawan Mbah Eko Tunas, juga Mas Ihda yang dulu sempat tidak simpatik bahkan meng”haramkan”nya terhadap kegiatan seperti Nyadran namun, sekarang berkata sudah “tobat” bahkan ingin mempelajari kegiatan-kegiatan yang hampir ditinggalkan, bahkan memperkenalkannya pula pada anak beliau. Lanjut Mas Ihda, bahwa sekarang banyak pihak dari luar ingin melakukan pemisahan terhadap tradisi, namun hal tersebut tidak mudah karena rasa merupakan urusan dari dalam hati.
Kemudian, Mas Kasno sedikit menanggapi tentang rasa, bahwa rasa merupakan bentuk persentuhan dari indrawi berdasar pengalaman tentang kegeramannya menanam bunga sebagai kegiatan di rumah. Dimana menurut Mas Kasno hal ini cukup lucu pada awalnya yang notabene bertubuh gagah, besar, berambut gondrong namun menggemari bunga. Namun ada hal yang dipelajarinya yakni, biji atau benih terkadang bisa mengalami masa dormant atau tertidur dimana jika ingin ditanam maka harus seperti dikejutkan.
Dalam proses menanam, benih biasanya diletakkan di tempat dahulu di tempat yang gelap dimana berfungsi untuk menumbuhkan dan menguatkan akar serta di dalam prosesnya yang berkondisikan gelap maka ketika sudah tumbuh nanti akan terjadi kerinduan terhadap cahaya.
satu dua nomor oleh Mas Wakijo dengan membawakan Sholawat dan lagunya sendiri yang berjudul “Mencari Kehadiran”
Memasuki sesi kedua, satu dua nomor dahulu oleh Mas Wakijo dengan membawakan Sholawat dan lagunya sendiri yang berjudul “Mencari Kehadiran” yang bisa dilihat juga videonya pada akun youtube.nya. Lantunan suara yang enak tuk dinikmati, tembang sarat makna, juga petikan-petikan gitar nan elok mampu membawa sedulur-sedulur yang hadir dalam suasana hangat dibawah sinar rembulan yang cerah serta berhembuskan angin malam yang cukup dingin. Sebuah suasana yang pasti dirindukan juga ditambah kopi hitam dan wedang uwuh yang siap dinikmati.
Waktu terus bergulir, hingga menunjukkan pukul 22.40. Mas Agus mempersilahkan kepada Mbah Eko Tunas untuk menampilkan monolognya yang menceritakan kisah tentang seorang koruptor dan burung beonya yang terus mengatainya dengan sebutan “maling, begal, rampok”. Pengalaman Mbah Eko Tunas tercermin dalam penampilan monolognya. Dibawakan dengan sangat apik, dengan gaya khas beliau, bermakna dalam namun dikemas dalam sebuah panggung hiburan. Sorak-sorai tepuk tangan sedulur-sedulur yang hadir dirasa masih kurang dalam mengapresiasi budayawan yang juga sahabat dari Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib yang juga sempat memberikan sebuah pesan pribadi via WA kepada Mas Agus untuk disampaikan kepada Majlis Gugurgunung yakni; “Literasi akademis, kurikulum, ilmu opo wae sing diwakili kata, koma, dan titik — Ora iso nyonggah menungso lan kamanungsan. Mulo ilmu njaluk ewang kesenian, sastra, teater, lan sakpiturute. Mulo AlQur’an dibahasakan sangat sastrawi, kisah kisah sejarah dituturkan sangat teatrikal oleh Allah”. ( Literasi akademis, kurikulum, ilmu apa saja yang diwakili kata, koma, dan titik – Tak sanggup menggapai manusia serta kemanusiaan. Maka ilmu meminta dukungan kesenian, sastra, teater, dan lain-lainnya. Maka Al-Qur’an dibahasakan sangat sastrawi, kisah-kisah sejarah dituturkan sangat teatrikal oleh Allah).
Monolog oleh Mbah Eko Tunas yang menceritakan kisah tentang seorang koruptor dan burung beonya yang terus mengatainya dengan sebutan “maling, begal, rampok”
Kemudian tiba Mas Agus yang memberikan informasi tentang Nyadran yakni merupakan sebuah nilai yang berkualitas pohon kayu jati, maka yang akan memanen ialah anak turunnya. Maka tugas kita sebagai anak turun ialah meng”uri-uri”nya. Ketika kita mampu meluaskan waktu maka juga berarti tubuh kita menjadi lebih besar. Contohnya, ketika masih kanak-kanak maka setiap hal yang didapatkan pasti adalah yang terbaik dan nomor satu entah itu barang, perhatian maupun kesempatan karena sangkaan kita hal-hal baik tersebut adalah milik kita. Ketika waktu terus berjalan, tubuh semakin membesar maka akan mampu dipergunakan untuk menampung orang lain sehingga menyangka bahwa kebahagiaan itu bukan hanya untuk dirinya. Ketika seseorang mampu menggapai seluruh kejadian dalam tiap alam semesta ialah sebuah rangkaian yang ada pula dalam diri manusia, maka berarti memiliki keluasan dan kebijaksanaan yang baik. Di dalam bermaiyah diharapkan diri kita bukan berposisi menjadi anak-anak yang menyangka kebaikan itu hanya untuk diri kita dan yang buruk ialah hal di luar diri kita. Mungkin saja seseorang yang mengkonversi keburukan dalam dirinya menjadi sebuah kebaikan merupakan fenomena yang sangat luar biasa.
Mas Agus memberikan informasi tentang Nyadran yakni merupakan sebuah nilai yang berkualitas pohon kayu jati, maka yang akan memanen ialah anak turunnya.
Maka anjuran untuk berjamaah ialah untuk mampu mengenali tubuh yang lebih besar, sehingga apabila hati dan pikirannya belum kumpul menjadi satu maka belum bisa disebut sebagai satu tubuh. Di dalam Agama sendiri, berjamaah maka derajatnya dilipatkan menjadi berkali lipat. Disana bukan hanya jumlah yang digandengnya saja namun juga fenomena sambung rohso di dalamnya. Di Jawa ada istilah nepaake sarira, nepaake roso kemudian menjadi tepo sliro. Dengan mampu tepo sliro maka akan mampu merasakan fenomena-fenomena diluar diri kita seakan ada dalam diri. Sholat yang sudah diperintahkan Allah membuat kita mampu bercermin terhadap api yang ada di dalam diri kita, dimana api dalam diri kita itu bersifat tegak. Api tersebut ingin menampakkan wajah sehingga mampu dilihat orang tentang keberadaannya, inni wajahtu… namun dilanjutkan lagi kalimat berikutnya wajhiya lilladzi fathorosamawati wal ardl, Sadar dengan wajahnya namun juga harus sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan wajah Allah yang menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada diantara keduanya.
Setelah seseorang bercermin terhadap wajahnya, lalu menghadap wajah Allah maka yang ada hanyalah kesaksian akan keagunganNya. Dengan demikian ia merundukkan kepalanya, menyesuaikan dengan hatinya serta kesadaran dan mulai bercermin kepada angin. Angin, terus bekerja, bergerak dan membantu kehidupan tanpa harus menampakkan dirinya. Inilah salah satu keagungan yang ditampakkan Allah pada sebuah ciptaannya yang disebut angin. Itulah rukuk yang menyatakan “Ya Allah maha agungnya engkau”. Keagungan itu harus dinaikkan lagi sebagai sebuah puji-pujian, agar tercermin keluar dari diri kita, I’tidal. Kemudian dari berdiri kemudian turun kebawah dengan bersujud. Hal itu adalah sebuah representasi dari air dengan kebeningannya, kejernihannya dan kesejukannya. Mampu untuk tinggi namun justru merendah, andhap asor. Dibawah, pada gerakan sujud kita dianjurkan untuk bercermin terhadap tanah yang rela untuk diabaikan tetapi selalu diperlukan. Tetapi tanah dengan istiqomahnya memberikan sesuatu tanpa ada yang dikurangi, seperti benih cabai yang ditanam maka akan tumbuh cabai pula lengkap dengan pedasnya.
Kita masing-masing memiliki ranah api, air, angin dan tanah. Namun ketika kita tidak menyadarinya maka seolah-olah itu tidak ada. Maka air diracuni, tanah diberi pupuk kimia, hutan dibakar banyak yang tidak mempermasalahkan karena itu bukan diri kita.
Sesungguhnya Allah memberi tawaran pilihan surga atau neraka, masalahnya kita mampu menemukan penjaga pintunya atau tidak, pemenuhan hasrat penguasaan itu lebih mendekat kepada Malaikat Malik. Berbanding terbalik dengan sikap lilo, rela, ridho, legowo maka akan lebih mendekat pada Malaikat Ridwan.
Lima orang yang melakukan demikian (ridho) seakan menjadi 25 orang, sebab masing-masing orang memiliki 4 pembantu. Misalkan ada orang bertugas menjaga air, yang lain mencangkul tanah, dlsb. Mereka tidak terletak dalam sebuah kotak atau sebuah departemen sehingga ketika ingin meminta bantuan orang yang mengurus air maka tidak harus mengeluarkan uang, karena disana dia tidak membuat kerajaan namun lebih didasarkan pada sebuah nilai kerelaan. Jadi kekuatannya sangat berlipat ganda jika menjadika ridho sebagai landasan pergaulan, namun dalam pada itu juga harus ada bayaran atau biayanya. Kita tidak bisa memenuhi hasrat kekuasaan kita karena landasan utamanya adalah memimpin diri sendiri. Tidak untuk mengalahkan orang lain tetapi untuk mengalahkan diri sendiri, sebab untuk mengalahkan orang lain itu sangat mudah entah cara halus ataupun kasar. Contohlah membohongi orang lain sangat mudah namun sulit untuk membohongi diri sendiri. Sebuah jalan bisa ditempuh secara keras, dan tegas. Perbedaanya ketika tegas maka kita sedang menempuh nilai kemanusiaan.
Empat berhala, kisah yang sering diceritakan di Majlis gugurgunung yang paling sulit dihilangkan ialah berhala kelingking. Berhala pertama ialah merasa dirinya pemimpin maka disimbolkan dengan jari telunjuk. Berhala kedua ialah merasa dirinya paling unggul atau paling tinggi disimbolkan dengan jari tengah. Berhala ketiga ialah merasa dirinya yang paling manis, cemerlang, tampan, cantik dst disimbolkan jari manis. Berhala keempat disimbolkan kelingking sebab dia tidak merasa besar, tinggi namun dia menyembah ibadahnya sendiri, merasa paling dekat dengan Tuhan yang tidak memiliki kesalahan padahal sesungguhnya itu menjadi borgolnya sendiri. Seperti sebuah kisah yang sempat dibagikan oleh Mbah Eko Tunas saat di ruang transit, ketika seseorang memiliki handphone, dan dikatakan oleh Mbah Eko, itu adalah borgol karena setiap saat harus laporan. Ini adalah salah satu contoh, dimana sesuatu yang sering kita sangka sebagai fasilitas yang memudahkan namun sesungguhnya ialah sesuatu yang mengekang. Oleh karena itu kita diberikan fasilitas oleh Allah berupa akal dan pikiran juga karunia-karunia lain yang secara langsung dapat kita tangkap melalui panca indera agar kita mampu untuk bersyukur. Salah satunya bersyukur diberi rizki yang bukan hanya sekedar uang.
Namun sekarang rezeki hanya diartikan sama dengan uang. Ini adalah kemampuan mentajalikan yang salah karena sesuatu menjadi lebih rendah dari aslinya.
Pernah muncul sebuah pertanyaan, mengapa uang yang bedanya hanya sekian mili, dengan proses cetak yang sama namun seakan memiliki nilai yang jauh lebih besar. Berarti ini bukan tentang nilai namun lebih kepada kesepakatan sosial. Maka Rasulullah menganjurkan untuk menggunakan sesuatu yang tidak mempengaruhi nilainya seperti emas, perak atau perunggu.
Jam menunjukkan pukul 00.00, Mas Jion diminta untuk menembangkan “Lingsir Wengi” sebagai pertanda memasuki pergantian hari. Dirasakan sebelumnya oleh mas Agus bahwa angin lebih menderu dan seperti akan turun hujan. Langit memang tampak suram, tak seperti sebelumnya yang terasa sangat cemerlang.
Kemudian tibalah Mas Agus untuk mempersilahkan kepada Mbah Eko Tunas, untuk berkenan menceritakan kisah-kisahnya. Beliau sekarang tinggal di daerah Banyumanik Semarang dan berasal dari Tegal. Bersama Mbahnya dan dibelakang rumahnya adalah makam. Sejak kecil beliau sudah bermain di makam. Juga mengamati tujuan orang datang ke makam. Kemudian dalam dunia kesenian, baru-baru ini kehilangan tokoh sastra yang hebat yakni Pak Danarto yang meninggal karena tertabrak sepeda motor. Begitu ditangani polisi, tidak ditemukan identitas dan disebut gelandangan. Tidak mengetahui bahwa beliau adalah tokoh sastra. Namun diketemukan sebuah handphone jadul yang dipasangi karet. Padahal beliau memiliki sebuah karya yakni kumpulan cerpen yang hingga saat ini banyak mengilhami para sastrawan. Namun ketika meninggal, sampai ada yang mengatakan ini adalah orang bodoh, padahal beliau adalah sastrawan besar yang karyanya sampai ke manca negara.
Kerinduan sedulur yang hadir dengan Mbah Eko Tunas baru terobati barang sejenak, namun kerinduan ini masih harus berjalan lagi, seperti tema pada malam hari ini yakni Sambung rohso. Dikarenakan sebuah tempat yang baru pertama kali digunakan kali ini berada dalam sebuah lingkup yang tidak memperkenankan kami untuk terus menyambung kerinduan lebih lama. Makan bersama dengan hidangan menu nasi jagung menjadi penutup pada malam hari ini.
Makan bersama dengan hidangan menu nasi jagung
Kekecewaan sudah pasti dirasa, marah hampir saja tidak kuasa kami tahan, namun Insya Allah ketulusan maaf menutupi kesemua itu baik kepada Mbah Eko, juga kepada semua sedulur yang hadir. Rembulan kembali bulat, bersinar dengan terang dengan kalangan warna pelangi yang mengitarinya. Do’a penutup dari Mas Ari mengkhidmatkan suasana. Beberapa sedulur masih beristirahat barang sejenak di teras rumah Mas Agus yang tidak begitu jauh dari lokasi. Hingga hari hampir pagi dan semua berpamitan menuju ke rumah masing-masing. Sekian reportase kali ini, semoga tema Sambung Rohso ini dapat terus bersambung seperti halnya rasa kerinduan kami yang masih terus bersambung terutama kepada beliau Mbah Eko Tunas.
Andhika Hendryawan