LARAS

Gelaran rutinitas majlis gugurgunung pasca dorman. Pembaharuan niat, langkah menjadi bahasan yang perlu untuk menata segala sesuatunya agar menjadi lebih baik. Hampir serba baru, selain niat baru juga malam tahun baru, karena bertepatan dengan malam pergantian tahun hijriah, malam satu Muharram 1441 H, dan tanggal masehi pada 31 Agustus 2019. Lokasi yang dipilih pun baru, bukan karena baru digunakan gugurgunungan pertama kali, namun memang Musholla ini bangunan baru yang dibangun dari wakaf seorang mulia bernama Mbah Mus, salah seorang warga setempat. Kemudian musholla ini dinamakan: Darussalam, berada di Dusun Gembongan – Lemah abang, Ungaran Kab. Semarang.


Kegiatan dimulai kisaran pukul 21.00 WIB. Langsung saja malam ini memperbarui niat bertepatan pergantian tahun baru Hijriah, Mas Sokhib diminta untuk memimpin doa awal tahun dan akhir tahun ini. Turut didoakan putra Mas Mif yang kebetulan malam itu sedang sakit. Doa tawasul yang indah dan ayem oleh Mas Azam, Munajat Maiyah oleh Mas Tyo yang berpembawaan kalem sehingga suasana makin khidmat. Kemudian doa oleh Mas Ari, dimana satu bagian doa ini merupakan wasiat Mbah Nun yang selalu dibaca sebelum Majlisan. Rangkaian kloso penentraman hati sudah digelar masuklah sesi sinau bareng cangkruk budi doyo maiyah Ungaran ini. Tak perlu menunggu komando mas Kasno segera mengambil peran. Berpijak dari tajuk yang ditulis Mbah Nun, bersama Pak Toto Rahardjo menjadi bahan penulisan untuk mukadimmah yang ditulis oleh Mas Agus, “Selamat bangun kembali dari masa dorman” demikian ungkap Mas Kasno untuk mengawali cangkruk, diskusi sekaligus workshop pada malam hari ini.

Pada momentum Muharram/Haruma, seakan kita dibangunkan oleh Mbah Nun untuk ber-Tajdidun-n-niyaat. Mari bersama-sama mensyukuri momentum ini. Momentum yang satu tahun lalu tepatnya pada Paseban Muharram, telah disepakati, diantaranya adalah, bahwa tiap memasuki bulan Muharram Majlis gugurgunung hendaknya mempunyai tradisi untuk berkumpul atau melakukan Paseban. Menentukan apa-apa saja yang perlu atau tidak perlu untuk dilanjutkan. Atau apa-apa yang perlu atau tidak perlu untuk dilakukan.

“Tajdidu-n-niyaat”, merupakan dhawuh dari Mbah Nun yang merujuk pada Tulisan Pak Kyai Toto tentang “Perjuangan Menemukan Jati Diri”. Hal tersebut kemudian sejenak me-remind beberapa hal dalam tema yang pernah diangkat dalam rutinan Majlis gugurgunung. Diantaranya adalah tema “Tandur Kusuma Jati Wijaya”, momentum yang ditengarai dengan fenomena kegembiraan bersama keluarga gugurgunung nandur kembang Wijaya Kusuma yang dipelopori oleh Mas Yudi Rohmad. Yang kemudian juga mentadaburi istilah (Tandur, Tandzur = merawat, Memperhatikan). Juga istilah kata ( Niat, Nawaitu ), kata yang juga terbentuk dari huruf Alif-Lam-Nun-Wawu-Ya, yaitu huruf yang selalu ada dalam semua surat dalam Al Qur’an, yang apabila dirangkai akan membentuk kata Annawai yang artinya adalah benih.

Mas Kasno juga kemudian teringat dengan apa yang pernah disampaikan oleh Mbah Nun, dan mengajak atau menawarkan pada dulur-dulur semua untuk masuk melalui kalimat yang disampaikan beliau tersebut terkait dengan niat. Kurang lebih demikian, “Setiap niat baik, Tuhan sendiri yang akan bertanggung jawab akan hasilnya” Maka pada malam ini, sebagai respon atas dhawuh tersebut, kita mengangkat Tema “LARAS”. Sebuah metode yang akan kita sinauni bareng, dengan membangun semangat Hafidz (Menjaga). Semoga niat yang kita teguhkan ini, senantiasa seLARAS dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT. Amin…

Mas Agus kemudian diminta untuk memberi preambule untuk memantik diskusi. Ini adalah gugurgunungan pertama usai dorman. Ada yang perlu diperbaharui seperti anjuran Mbah Nun untuk memperbarui niat. Bahwa apa yang menjadi hambatan kemarin, segala sesuatunya sudah selesai. Termasuk beberapa hutang dokumentasi serta reportase. Alhamdulillah Mas Aji yang jauh-jauh dari Prambanan malam ini turut hadir. Kemudian oleh mas Agus, mas Ajik dimintai “oleh-oleh” yang diperoleh ketika kemarin Mocopat Syafaat.

Mas Aji mengungkapkan bahwa di Mocopat Syafaat sama dengan simpul-simpul lain yang memberi respon tentang manusia nilai, manusia pasar dan manusia istana. Yang perlu digaris-bawahi pembagian tersebut bukan pembagian secara hirarki tetapi lebih kepada sifat bahwa semua ada di dalam diri kita. Dalam pada itu sebenarnyalah manusia merupakan manusia nilai. Dimana pasar dan istana menjadi sub, semacam wahana “bermain”nya saja. Semua masih dalam rangkaian sebab akibat. Bukan hanya dengan menguras tenaga untuk mendapat rejeki, tetapi masih ada seribu jalan lainnya. Ketika di Mocopat Syafaat waktu itu diminta masing-masing 3 orang dari tiap jenis manusia untuk naik ke panggung.

Manusia pasar memang lebih pada urusan transaksi. Pedagang atau penjual, koperasi dll.
Manusia nilai waktu itu diwakili oleh seorang Guru dan Guru TPA, dan manusia istana ialah beberapa mahasiswa. Manusia istana dipilih berdasarkan pengaruhnya terhadap lingkup masyarakat yang lebih luas. Baik itu mahasiswa, kepala bagian, kepala asosiasi dll. Semua hal tersebut masih dalam bingkai kewaspadaan. Salah satu dari 4 tajuk bahwa Mbah Nun khawatir kalau ada tekanan hari-hari yang mana sampai merasa lelah, sakit, marah dll. Tajuk ini berangkat dari empati simbah terhadap jamaah maiyah di lingkungan luar yang serba materialisme, transaksi dll yg dialami tiap hari. Sehingga disana membutuhkan kewaspadaan dan membaca diri agar lebih waspada dalam bersikap. Alat tukar kita dengan Allah SWT adalah ketakwaan.

Menurut tadabbur Mas Aji yang jelas ada fase-fase dimana kita memilih dirimu atau selamat dengan nilai, milih berhala atau Allah, anakmu atau Allah lulus terus. Momentum-momentum tersebut jika dinilai dengan transaksi maka sangat kontekstual terhadap kehidupan. Apakah kita memilih nilai atau memilih di luar itu. Sekali lagi bahwa antara manusia nilai, pasar dan istana maka semua adalah manusia nilai. Sedangkan pasar dan istana hanyalah wahana bermain. Keputusan memilih tersebut ketika terpeleset maka justru menjadi goalnya dimana semestinya hanya sebagai sarana atau alat untuk menuju nilai yang lebih besar.

Mas Agus menambahkan bahwa untuk memegang nilai pasti akan berhadapan dengan arus. Apakah arus tersebut akan membuat kita kalah? Jika alat tukar dengan Allah  SWT adalah takwa. Dimana dalam Al Qur’an Nabi Ibrahim sudah distempel sebagai imamnya umat manusia. Pastilah itu bukan sekedar mitos, legenda, dongeng dll. Itu adalah kenyataan yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim. Tidak bisa kita hanya mengatakan “kan dia itu nabi..”. Kita harus bersyukur bahwa Nabi Ibrahim mencontohkan bahwa dirinya adalah seorang manusia pilih tanding. Yang memang dikabarkan dalam Al Qur’an bahwa ia adalah seorang pembawa berita (nubuah, nabi) dan kita memang tidak akan sanggup menjangkaunya. Dalam beberapa ungkapan Mas Aji di depan, diharap bisa menjadi bahan pertanyaan agar diskusi nanti bisa berkembang.

Membidik point dari Pak Totok tentang Al Qasas  bahwa kita harus menentukan peran kita di dunia. Kebetulan memang jauh sebelum ada tajuk tersebut sudah dibuat tema diskusi malam hari ini yakni Laras. Maka tema ini tetap dipertahankan. Kita ibarat gamelan yang memiliki tone nya sendiri-sendiri. Gamelan ini memiliki keunikan yang perlu distem supaya mapan suaranya. Gamelan memiliki dua ciri ketika bahannya bagus tidak pernah dilaras maka nada akan meninggi. Kalau bahan kurang bagus tidak pernah dilaras atau distem maka nada merendah. Ini perlambang yang sangat indah untuk melihat diri sendiri. Ketika kita manusia tidak bagus, lalu terhasut nilai dalam kehidupan maka merendah mudah patah dll. Kalau bahan kita bagus maka kita meninggi yakni sombong demikian efek jika tidak pernah dilaras. Berikutnya, bagaimana kita menyelaraskan kehidupan kita secara nilai terhadap Al Qur’an. Gamelan akan selesai menjadi tidak perlu dilaras ketika usianya 25 tahun. Sudah mapan, mateng dan tidak perlu dilaras lagi.

Ketika disambungkan dengan hafidz yakni merupakan fenomena memelihara. Laras sangat dekat dengan hafidz. Bahwasanya tidak perlu menyelarasakan dalam seluruh Al Qur’an. Minimal mampu menyelaraskan dengan ayat apa yang bisa kita ambil dan selaraskan untuk kehidupan kita masing-masing. Laras bukan sekedar diingat tetapi juga dilakukan terus menerus. Andaikan usia aqil baligh ialah 15 tahun. Jika dihitung 25 tahun setelahnya maka akan menjadi usia 40 tahun. Itulah usia dimana Rasulullah mendapat wahyu dan diangkat menjadi nabi. Mengapa aqil baligh diletakkan 15 tahun? Menurut Mas Agus bahwa kita diberi bonus hidup manusia sebanyak dua windu awal untuk tidak dihitung. Baik untuk recalling, reminding dan lain-lain yakni sampai pada usia 15 tahun.

Setelah melewati usia 2 windu akan menjadi dihitung, dan harus menjadi laras. Kita sudah memiliki tone tetapi belum final dan harus berproses melaras dengan Al Qur’an. Tidak harus dengan seperangkat gamelan atau 30 juz. Sebab 30 juz merupakan pengembangan dari induk alquran yakni Al Fatihah. Bahkan minimal selaras dengan Bismillah. Minimal pengucapan dalam setiap laku. Pertama hingga bertemu Ba, lalu nanti pada partikel yg lebih kecil bertemu titiknya. Seperti pada tahap belajar salam. Tidak perlu  mengucap salam kepada satu-satu. Asalkan kita tidak mengancam harta, darah, orang lain berarti kita sudah salam. Seperti halnya laras. Ini tadi pembahasan secara mayor. Berikutnya kita nanti akan pada tahap personal.

Jeda sejenak untuk menikmati untaian kata oleh keluarga gugurgunung berupa karya-karya puisi yang apik. Penampilan sebuah puisi oleh Mas Angling, sebuah puisi karyanya sendiri berjudul ‘Sambal’. Puisi sederhana dengan racikan kata nan istimewa. Senantiasa mendapat apresiasi, meskipun oleh Mas Agus sedikit memberi input tentang cara pembacaan. Puisi berikutnya dari Mas Fajar yang juga membawakan puisi karyanya sendiri berjudul “Temanku yang dewasa”. Mas Sokhib tidak ketinggalan untuk memberi suguhan puisi yang indah dan romantis gubahannya sendiri tentang seorang istri, puisi berjudul “Bidadari”. Tak seperti biasa, untaian kata yang terangkai dalam puisi-puisi ini seolah menggugah kegembiraan berkata-kata dengan laras dan bermakna. Bahkan Mbak Dewi yang sudah lama tidak tampil, malam itu membawakan juga sebuah puisi karya mas Angling yang bertema tentang ibu. Puisi demi puisi tersajikan dengan apik dan menambah syahdu suasana.

Berlanjut lagi ke diskusi. Mas Sokhib merespon tentang tema dengan sebuah pertanyaan, tentang manusia nilai bahwa kita sebenarnya adalah manusia nilai. Sejak dulu TK hingga bekerja selalu terdengar kata nilai. Apapun yg dilakukan selalu berfokus seputar nilai termasuk kegiatan bermasyarakat. Maksudnya nilai seperti apa? Mas Anjar tak ketinggalan untuk mengembangkan sayap diskusi dengan sebuah pertanyaan tentang pencarian jatidiri apakah terkait dengan janma? Bagaimana jika menjalani tidak sesuai titah apakah akan tidak sesuai pula dengan jatidiri.

Mas Agus, merespon tentang manusia nilai maka memerlukan beberapa piranti. Nilai adalah value atau bobot bukan sekedar angka. Dimana jika kita tarik lagi dalam etimologi bahwa bobot juga tersambung dengan bibit. Benih inti disebut culture. Nilai juga dikonfirmasi pada bobot bukan sekedar angka-angka. Apakah kemudian kita mampu meletakkannya pada letak abdi dan khalifah. Apakah kita membangun kesemestaan dalam kehidupan kita sendiri dalam bobot kehidupan. Apakah Allah SWT ridho atau tidak terletak di sana. Bahwa sekarang terjadi fenomena penilaian, di maiyah kerap didengar bahwa sesama murid tidak boleh mengisi rapor murid lainnya. Indikator-indikator pencapaian yang lebih pada bobot ialah sejauh mana kita bermanfaat bagi orang lain. Bagaimana kita membangun proses dengan grafik yang menaik bukan malah menurun.

Letak value disini ialah kita menjalankan sebuah perilaku sesuai dengan kehendak Tuhan kepada kita bukan dari atasan, guru dll. Kita tetap bisa menjalankan kehendak guru atau atasan ketika tidak melenceng dari koridor yang diletakkan Tuhan. Sebab kita memiliki keterbatasan untuk menyerap informasi dari Tuhan secara langsung.

Mbah Nun ingin mempertahankan sebuah kesemestaan tanpa pretensi atau tanpa motif. Manusia pasar tidak selalu buruk sebab ada anjuran untuk berniaga. Maka tata aturan di islam sangat jelas. Seperti tentang aturan dilarang mengurangi timbangan. Bahkan masa muda rasul pun berniaga tetapi tetap dengan memegang teguh nilai. Baik pasar dan istana (pemimpin) hanyalah sebuah instrumen. Hewan-hewan pun ada yang menjadi pemimpin dengan persyaratan yang cukup banyak pula. Apakah kita sebagai manusia juga melakukan penyeleksian yang sama. Misal ada policy tertentu yang sebenarnya kita enggan. Banyak ketidaksepakatan tetapi kita tidak mempunyai kekuasaan untuk membantah. Sebab kita memilih manusia istana yang tidak sesuai.

Sebenarnya tidak masalah apakah menjadi manusia pasar dan istana. Asalkan masih menjadi manusia nilai. Nilai terbesar ialah kemanusiaan. Jika itu tergadaikan dengan angka maka kemanusiaan akan menjadi rendah. Bukan sekedar angka tetapi pengabdian pada Tuhan. Tidak masalah manusia nilai memasar dan mengistana. Oleh karenanya di Jawa tidak menggunakan kata “aku”, yang dipakai ialah “ingsun”. Ing sajroning pisungsunan dalam sebuah tatanan dimana dalam susunan, Allah menjadi ratunya. Manusia pemimpin pun teta tunduk kepada Allah sebagai Raja atau Ratu yang utama, Malikinnas.

Merespon pertanyaan Mas Anjar. Bahwasannya janma prajurit tidak harus menjadi tentara. Andaipun dia sebagai petani tetapi turut berperan mengamankan maka juga ia seorang janma prajurit. Hasta janma adalah profesi kita dihadapan Tuhan. Gajinya berupa efek sosial. Janma tani mendapat bayaran berupa masyarakat yang ayem tentrem, janma ujam dudukan bayarannya masyarakat yang sehat bagas waras, prajurit gajinya berupa masyarakat yang hidup dalam rasa aman dan seterusnya. Setiap pihak menjadi orkestra yang sudah terintegrasi. Kondisi saat ini petugas-petugas Allah sudah sangat sedikit. Sekarang masih hidup dalam kerukunan, kenyamanan tetapi merupakan sisa gaji dari leluhur. Jika kita tidak pula melakukan hal yang sama hingga menjadi ahli dalam bidangnya masing-masing maka tunggulah kehancurannya. Sebelum hancur maka kita harus segera menemukan peran kita untuk menjadi ahla dimana masing-masing memiliki keahlian untuk saling menopang satu sama lain.

Kemudian ada Mas Santoso, seorang manusia pasar yang juga seorang manusia nilai. Ia adalah seorang peternak yang lama tak ikut merapat, dan rindu melingkar di majlisan kali ini. Berbagi kisah dan pengalamannya seputar beternak. Niat bekerja untuk menggugurkan kewajiban dalam berkeluarga. “Obaho sakmampumu, nyambut gawe sak isomu”, demikian sedikit yang menjadi ungkapannya. Ia memulai peternakan karena menurut Mas Santoso merasa hanya bisa melakukan hal itu.  Memulai dari telur ayam kampung lalu ditetaskannya sendiri namun tingkat resiko tidak berbanding lurus dengan keuntungan. Sekarang merambah menuju telur entog, daging entog hingga kalkun.

Waktu sudah lewat tengah malam, kisaran 00.15 WIB Mas Yoga menampilkan perform dua lagu. Sedikit membantu untuk mencairkan suasana dalam diskusi pembahasan yang cukup mendalam. Waktu menunjukkan pukul 00.40 WIB Mas Agus meminta kepada semua yang hadir untuk masuk ke ruangan dalam musholla agar gumpalan energi yang hadir pun menjadi lebih besar. Kemudian Mas Sokhib diminta untuk membaca surah At-Tin. Dan semua diminta untuk mengirim Al Fatihah untuk beberapa Nabi yang akan nanti dipelajari kisah-kisahnya dan korelasinya dengan diri kita semua dalam workshop yang diagramnya sudah diunggah di website dan akun sosmed gugurgunung. Workshop Laras ini merupakan tahap 1 (satu) yang akan diadakan hingga Oktober ke depan dengan waktu yang dibersamakan pada saat reguler Sinau bareng setiap malam Minggu terakhir.

Sekian reportase edisi Agustus 2019 dengan tema Laras. Semoga bermanfaat.

 

Andhika Hendryawan
Yoga
Angling tri
Cahya

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– HUKUM KERUMUNAN, HUKUM TUHAN –

Mas Kasno kemudian mengajukan pertanyaan kepada Mas Sabrang. Jika sedang melingkar dapat diartikan sebagai kerumunan lebah, lalu bagaimana maksud melingkar ke dalam dan melingkar keluar seperti yang pernah diucapkan Mas Sabrang ketika workshop di Semarang yang kala itu dipanitiai oleh Mas Yunan dkk yang kebetulan juga hadir malam ini. Kemudian akan dijawab oleh Mas Sabrang namun tidak langsung kesana. Sebab menurut beliau ada sesuatu yang krusial untuk direspon, sebab tadabbur Mas Sabrang tak dikira sampai ke pembahasan ini namun karena “pintu”nya masuk kesana jadi alangkah lebih baik untuk direspon dahulu. Secara analogi paralel, apa yang diajarkan oleh sistem lebah justru lebih mendekat ke arah “komunisme”. Tetapi ada juga perbedaannya.

Komunisme juga merupakan salah satu hasil tadabburnya manusia. Kemudian Mas Sabrang mengajak untuk menganalisa terlebih dahulu. Untuk menjadi bermanfaat maka syarat pertama ialah surplus komoditi dan akan menghasilkan manfaat. Bagaimanakah untuk menjadi surplus? ialah kerja sama yang tertata rapi. Untuk mencapai kerja sama yang tertata maka paling mudah ialah dengan dipaksa dan kedua ialah sukarela.

Antara manusia dan hewan menurut Mas Sabrang bahwa hewan mereaksi sebuah kejadian sedangkan manusia mestinya merespon kejadian bukan bereaksi. Kemudian Mas Sabrang memaparkan perbedaan antara reaksi dan respon. Reaksi dilakukan secara langsung tanpa berpikir, sedangkan respon dilakukan dengan cara diserap dan dipelajari terlebih dahulu.

Di awal dikatakan oleh Mas Sabrang bahwa lebah menerima wahyu. Sebab tidak mungkin menata lebah sedemikian rupa dengan menggunakan konsep ketakutan. Lebah pekerja berangkat pagi dan pulang sore, jika tak dilakukannya maka tidak ada pula yang menghukumnya. Lalu sebenarnya apakah yang membuat mereka berbuat demikian. Sebab lebah mereaksi, maka harus ditanamkan pada dirinya tentang apa yang mesti dilakukan.

Mas Sabrang memang tidak mempelajari lebah, yang dipelajarinya adalah semut. Tapi ada satu persamaannya yakni kerumunan, sebab dengan adanya kerumunan maka akan menghasilkan surplus. Semut juga hampir sama. Tidak ada menteri tenaga kerja disana, namun semua mengerjakan sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

Mereka hanya menjalankan peraturan sederhana yang kemudian menghasilkan kepandaian yang lebih tinggi. Menurut pengalaman Mas Sabrang, di semut ada beberapa peraturan sederhana. Pertama yakni mau bersilaturahmi terbukti setiap semut bertemu pasti bersalaman dan yang kedua ialah berani untuk menjadi. Setiap bersalaman maka semut akan mendapat data. Misalkan sudah bersalaman sejumlah berapa kali kok tidak bertemu semut tentara maka ia akan menjadi semut tentara. Atau sudah bersalaman berkali-kali kok tidak bertemu semut pekerja maka ia akan menjadi semut pekerja.

Hanya dua hal yang dijalankan namun menjadi kerumunan dengan sistem yang sangat rapi, sebab mereka hanya bereaksi. Mesin reaksi ditanamkan dalam sistem biologi. Demikian halnya dengan lebah, meskipun pada lebah terjadi sistem yang lebih kompleks lagi. Mereka bisa menemukan lokasi bunga berjarak 100 meter tanpa berbicara, tanpa internet apalagi sosmed. Cara tersebut sudah mereka miliki sejak lahir, meskipun dalam sebuah penelitian disebut dengan sebuah tarian untuk menunjukkan jalan menuju sebuah lokasi. Jika hanya berhenti pada sistem tersebut maka akan menjadi sistem komunis. Agar tidak berhenti pada komunis, maka sistem penataan tersebut bukan berdasar pada paksaan namun pada kerumunan yang menyadari perannya.

Membicarakan tentang peran merupakan hal yang abadi pada setiap kumpulan. Peran akan mengikuti zaman. Dalam kumpulan yang kecil maka pecahan perannya pun akan lebih sederhana demikian sebaliknya. Dalam dunia internet saat ini muncul lebih banyak lagi jenis-jenis peran atau pekerjaan baru yang belum ada sebelumnya seperti programmer. Tidak mungkin akan muncul pekerjaan tersebut pada tahun 1945. Peran akan terus berkembang meskipun core atau intinya sama klasifikasinya dengan yang diungkapkan Mas Agus.

Pada sebuah contoh fenomena misalkan kita sangat tertarik pada sesuatu hal lalu seketika kita ubah menjadi sesuatu yang lain. Pasti akan sangat sulit. Ada sebuah pertanyaan dalam fenomena tersebut, sebenarnya siapakah yang mengontrol ketertarikan tersebut? Sebuah tadabbur Mas Sabrang terkait hal tersebut. Pada intinya setiap manusia memiliki akal dan kompleksitas yang melebihi orang lain. Setiap manusia sebenarnya ingin menjadi diri sendiri sebagaimana sejatinya yang telah diciptakan oleh Tuhan. Tetapi setiap manusia tidak paham sebab belum memiliki ilmu. Maka kita diberi ketertarikan, dengan demikian kita akan mempelajari ketertarikan tersebut hingga kita memiliki kesempatan menggali ilmu. Sebuah ilmu diperlukan untuk mempelajari dan membuka diri kita yang sejati. Demikianlah cara mengajari diri sendiri tanpa disadari untuk menemukan peran.

Namun sebuah ketertarikan masih terikat dengan nafsu dan amarah. Maka kita diajarkan untuk berpuasa. Dari puasa ada yang dipelajari oleh Mas Sabrang yakni ketika belum waktunya berbuka maka menginginkan untuk memakan banyak hal. Tetapi apa yang terjadi ketika sudah waktunya berbuka? Apakah dimakan semua atau hanya sekian persen saja dari keinginan tersebut? Berarti mimpi yang datangnya dari nafsu ternyata menipu. Keinginan datang dari ketidakmampuan atau ketidakbolehan tadi. Ketika nafsu ditahan maka menjadi nesu-nesu atau amarah yang keluar. Ketika nafsu dan amarah ditahan maka menjadi malas untuk berbuat sesuatu hingga ingin tidur saja ketika berpuasa. Ternyata mesin bergerak kita selama ini hanyalah nafsu dan amarah. Namun melihat gojek yang tetep rajin narik, ada yang bekerja lain tetep rajin pula. Berarti ternyata ada mesin yang lain juga yakni mesin tanggung jawab. Sebuah mesin yang bertanggung jawab untuk memenuhi perannya. Dan menggali ilmu dari kesalahan sebuah tanggung jawab akan menjadi tahap kedewasaan berikutnya.

Sebuah kumpulan akan berjalan baik ketika menjalankan peran tersebut berdasar pada kerelaan dirinya dan kesadaran tanggung jawab bukan atas dasar paksaan. Hal ini yang ingin didorong oleh Allah meskipun harus dicontohkan melalui sebuah reaksi pada lebah dengan outputnya adalah madu dan ketertataan yang sangat baik. Dengan sistem kerajaan atau seperti China, dlsb maka segala keputusan akan diambil dengan cepat. Berbeda dengan sistem demokrasi. Namun bukan pula sistem tersebut buruk, sebab merupakan sebuah proses pendewasaan. Memang segala keputusan diambil lebih lambat namun kita semakin belajar untuk melibatkan kerumunan banyak orang dalam pengambilan sebuah keputusan. Jika raja yang mengambil keputusan, maka pada peta yang lebih besar akan menjadi tanggung jawab yang lebih berat pula. Demokrasi juga merupakan satu-satunya cara menata kerumunan dimana memungkinkan untuk melakukan pemindahan kekuasaan tanpa adanya pertumpahan darah. Ini adalah proses menuju menjadi society seperti lebah namun dengan kesadaran masing-masing bukan dengan paksaan.

Setahu Mas Sabrang pula tidak ada satupun nabi yang meninggalkan sistem kepemimpinan. Semua nabi adalah bagaimana membangunkan pribadi masing-masing. Jika kepribadian sudah terbangun maka kepatuhan akan terbangun pula bukan atas paksaan. Contoh kepatuhan yang bisa dilihat ialah malaikat. Malaikat patuh bukan karena sekedar diciptakan menjadi patuh, justru karena pengetahuan dan kesadaran yang tinggi. Hingga akhirnya mereka menjadi patuh dan “menyerah” atau pasrah pada keadaan. Bahkan ada pula yang mendefinisikan bahwa Islam adalah bagaimana seseorang “menyerah” pada hukum Tuhan.

Sebuah kerumunan jika bekerja sama maka akan menjadi makhluk yang baru lagi. Contoh sederhana ialah sel dalam tubuh memiliki pengetahuan dan independensinya. Setiap sel bekerja tanpa kita perintah, tetapi di dalam sistem yang lebih besar yakni sistem manusia maka mereka patuh terhadap akal. Ada yang disebut swarm inteligence atau kecerdasan dari sebuah kerumunan. Apa yang dilakukan oleh kecerdasan masing-masing maka akan terlihat apa yang menjadi kecerdasan suatu kerumunan. Ke depan akan menjadi apa, tergantung pada sebab akibat didalamnya.

Hukum kerumunan.

Kita semua berlaku pada hukum. Lalu sebenarnya apakah hukum itu? Hukum ialah rel dari sebab akibat. Ada rentang hukum yang paling dasar yakni hukum alam. Tanpa kita sadari kita pun sebenarnya mempercayai hukum alam berdasarkan sebab akibat. Karena kita percaya hukum alam maka dalam buang hajat misalkan, kita percaya bahwa kotoran tersebut akan jatuh ke bawah bukan malah naik mengenai badan. Itulah hukum alam yang kita percayai secara bawah sadar yakni gravitasi. Semua makhluk di bumi ini akan mempercayai hukum alam tanpa sadar. Mau tidak mau tak akan lepas dari sunatullah itu tadi.

Di ujung atau sisi yang lain ada hukum manusia. Itu adalah hukum sebab akibat. Mencuri, membunuh, merampok dll ya hukumnya dipenjara namun ini bukan hukum alam. Hukum manusia hanya menjadi pagar bukan menjadi pengatur dalam sebuah kerumunan. Karena hanya akan berlaku jika dilanggar. Karena hanya berfungsi sebagai pagar maka resolusinya rendah. Sehingga hanya berakhir pada sebatas mencuri maka dipenjara, tidak bisa dikejar sampai mengapa seseorang tersebut mencuri. Bagaimana jika mencuri karena lapar? Sementara di sekitarnya ialah orang-orang yang mampu, maka siapa yang turut salah juga sebenarnya?

Hukum manusia tidak pula salah, namun kita hidup hampir selalu berada di tengah-tengah hukum manusia dan hukum alam. Tersebutlah hukum istiadat, hukum sopan-santun dst. Seperti yang diceritakan oleh Mas Agus tadi misalkan ada orang yang membawa motornya ke cucian motor. Selesai dicucikan langsung dikencingi motor tersebut oleh yang punya dan minta untuk dicucikan lagi. Apakah orang tersebut melanggar hukum?

Menurut Mas Sabrang orang yang paling fitri ialah orang yang paling dekat berada di garis hukum alam. Sebab ia dekat dengan hukum Tuhan.

Lebah hanya bisa patuh pada hukum alam dan tidak bisa membuat hukumnya sendiri. Segala yang dilakukannya tidak bisa lepas dari hukum Tuhan. Baik hukum alam pada dirinya sampai pada hukum alam pada DNA-nya. Sementara manusia memiliki rentang dari hukum manusia sampai hukum alam. Sehingga lebih banyak pula peluang untuk mendapat kesalahan. Memang ada sisi negatif namun juga ada sisi positifnya. Yaitu hanya yang memiliki rentang demikian yang bisa untuk menjadi seorang khalifah. Yaitu hanya pihak yang bisa merespon sesuatu dan bukan sekedar reaktif yang berpotensi untuk menjadi khalifah.

Lagi-lagi Mas Sabrang mentadabburi bahwa tidak semua orang terlahir otomatis menjadi khalifah. Ia harus membuktikannya sebagai abdi terlebih dahulu. Yaitu abdi kepada hukum alam pada dirinya, jujur pada dirinya sendiri. Sebab itulah yang akan menjadi kompas untuk menuju hukum lain yang lebih “tinggi”.

Memang betul kita dapat belajar kepada penataan yang sudah jadi yakni yang disebut lebah, ia menghasilkan surplus, manfaat dll tetapi pada kepenataan itu kita harus mengintegrasi komponen yang kita miliki dan tidak dimiliki oleh lebah. Adalah Freewill, kebebasan dalam berpikir, bereaksi, melakukan sesuatu.

Hal tersebut harus kita integrasi seperti lebah bukan untuk menjadi lebah. Karena Tuhan ciptakan manusia tertata seperti lebah, tetapi menjadi lebah karena kesadaran manusia dengan ini akan menjadi khalifah yang sebenarnya. Dalam level kenegaraan mungkin tidak akan bisa pada umur kita, namun dalam sisa umur kita saat ini alangkah baiknya jika kita terus move forward lebih menjadi lebah yang sadar responsif bukan sekedar reaktif.

Sesi Tanya Jawab

Pertama ada Mas Wibisono dari Purworejo yang menanyakan wedharan dari kata bhineka tunggal ika. Kedua ada Mas Zidni dari Brebes yang menanyakan hal-hal apa sajakah yang dapat membantu untuk menemukan jati diri. Ketiga Mas Joko Sriyono dari Ungaran yang menpertanyakan tentang pencarian nafkah, bagaimanakah tentang bekerja yang tawakal namun pada akhirnya menyerah karena berkali-kali gagal.

Respon pertama dari Mas Agus yang telah di-remind oleh Mas Kasno tentang bahasan tema beberapa edisi lalu tentang Manajemen Kebhinekaan. Disini Mas Agus mencoba merespon sesuai dengan apa yang telah didiskusikan pada beberapa bulan lalu tersebut, meskipun hal ini juga kurang matching dengan apa yang kita pahami di sekolahan. Tetapi karena kalimat Bhineka Tunggal Ika sudah ada semenjak belum ada sekolahan maka Mas Agus mencoba mengulik makna lain dibalik kalimat tersebut. Bhineka berarti beraneka, Tunggal adalah satu dan Ika bisa berarti satu namun bisa juga diartikan sebagai kalimat untuk menunjuk. Dalam Jawa bisa dibaca dengan iko. Sehingga menjadi berarti “beraneka tapi yo siji kae”.

Tan Hana Dharma Mangrwa. Sebab tidak ada perilaku atau attitude yang mendua. Semuanya ingin mengemukakan hal yang sama yakni kebaikan, kebenaran dan keindahan dengan caranya masing-masing. Tidak harus manis berarti baik, pahit pun bisa jadi baik seperti halnya pare. Atau pedas pun baik seperti cabai, dan asin pun baik seperti halnya garam. Semuanya memiliki fungsinya sendiri-sendiri asalkan masing-masing pihak mengerti bahwa satu dengan yang lain mampu mengelaborasikan dharmanya menjadi satu yang tunggal. Makanya kita memerlukan satu pancer tunggal yang menjadi alat kontrol kesadaran kita untuk berperilaku di dalam kehidupan.

Pak As’ad di depan telah memberikan pola berpikir yang bisa mendorong kita untuk berperilaku secara lebih proporsional dalam hidup yang tertata dan beragama. Memang dicontohkan China, juga oleh Mas Sabrang dengan penjelasan sistem “komunisme”nya. Namun ini baru sistem Malik, dan belum menyentuh pada Robb dan Illah. Namun bagaimana jika penerapan bhineka tunggal ika dari lebah ternyata menggunakan sistem malik, robb dan illah sekaligus?

Penyikapan malik terkadang bisa dipergunakan. Misalkan dalam khitan, maka harus menggunakan pola radikal dengan sekali potong dan selesai. Pola illah ialah bagaimana kita menggelembungkan vibrasi dalam diri kita secara positif untuk mengkaitkan bahwa ada kita, orang lain dan juga Tuhan yang senantiasa harus berputar siklikal di dalam hidup.

Mas Aniq turut merespon tentang pertanyaan seputar jatidiri. Manusia merupakan Makhluk ciptaan Allah. Jika Allah pasti menciptakan manusia dengan dasar logika kerahmatan, maka mengapa manusia tidak menggunakan “logika Tuhan” dimana sebenarnya manusia tercipta untuk menghamba. Hal ini berkaitan dengan sisi nubuah, risalah dan walayah.

Sisi nubuah, ibarat manusia hadir dengan hamba kerahmatan. Bagaimana manusia bisa hadir menghamba dan bisa menampilkan diri sebagai hamba. Yang mana tampilan kehambaan merupakan sesuatu yang penting. Proses penghambaan ini harus didasari cinta atau kerahmatan. Proses manusia untuk menjadi manusia yang menghamba secara individu ialah untuk menjadi pencinta harus mencintai. Minimal diawali dengan mencintai diri sendiri. Bersyukur bahwa diciptakan sebagai seorang manusia.

Nubuah, seakan diri ini menjadi wayangnya Allah. Tetapi bukan pula sampai bermaksud menganggap diri adalah Allah. Jika sudah sampai pada menghamba maka tidak cukup untuk berhenti pada nubuah namun juga berpotensi untuk risalah. Risalah merupakan duta kerahmatan. Hal ini tentang kehidupan sosial, bebrayan, gugur gunungan. Manusia yang mampu menyampaikan cinta. Potensi berikutnya yakni walayah, merupakan manusia yang mampu terus melestarikan cinta dan kerahmatan. Rasulullah selain menghamba, merisalah namun juga mewalayahi. Mewalayahi suatu keadaan, peradaban.

Tentang pertanyaan ketiga direspon langsung oleh Mas Sabrang. Menurut Mas Sabrang, tidak wajib bekerja namun karena kita berada di rel sebab-akibat maka ya ada akibatnya. Apa yang wajib dan tidak berada di pilihan kita. Demikian ialah efek samping dari sebuah tanggung jawab. Bekerja tidak wajib, namun efek samping yang harus diambil karena bertanggung jawab terhadap istri dan anak. Jika tadi dalam pertanyaan diceritakan bahwa berusaha terus dan gagal terus maka sebaliknya bagi Mas Sabrang yang merasa tidak pernah gagal. Terkesan kalimat sombong memang namun karena kegagalan dan keberhasilan juga kita sendiri yang berhak menggariskan. Jika gagal terhadap sebuah keuntungan maka berhasil urusan ilmu. Ada yang disebut profit ada pula yang disebut benefit.

Kita mengetahui istilah personality, berasal dari bahasa yunani yakni persona. Persona merupakan istilah yang digunakan dalam teater di yunani. Persona adalah topeng yang dipakai dalam sebuah keadaan tertentu. Namun permasalahannya terkadang kita lupa bahwa kita memakai topeng. Misalkan topeng kejujuran kita anggap sebagai topeng yang baik. Namun misalkan ada orang yang sedang membawa bom, lalu menanyakan di masjid sedang ramai atau tidak, maka apakah kita masih memakai topeng kejujuran ataukah harus kita langgar topeng kita tersebut. Karena kita memiliki pandangan yang lebih besar dibanding persona tersebut. Pemain bola tidak mungkin membawa personanya dalam kehidupan. Tidak mungkin ketika tidak sedang berada di lapangan melakukan sliding-sliding sembarangan.

Dalam bisnis memiliki persona jual beli yang harus untung. Berbeda dengan persona terhadap anak yang tidak bisa kita ambil keuntungannya. Setiap dunia memiliki personanya, jangan lupa untuk melepas dan menggunakan persona yang tepat. Persona bisnis seperti yang diungkap oleh Pak As’ad di depan. Semua bekisar tentang manajemen resiko. Pelajari resiko terlebih dahulu untuk dapat me manage nya. Dalam belanja online misalkan. Selalu yang kita lihat adalah penjual yang memiliki rating bintang lima. Disitu kita hanya mencari pendapat yang menguatkan. Baiknya dilihat dulu yang rating bintang satu untuk melihat resiko pada pengalaman buruk disana.

Pernah suatu ketika Mas Sabrang belajar inti bisnis pada salah seorang kaya di dunia. Dia mengajarkan bahwa setiap bisnis pasti memiliki pesaing. Yang paling menang adalah yang bekerja keras. Sesama pekerja keras yang paling menang adalah yang juga kerja efisien. Sesama pekerja keras dan efisien yang paling menang adalah yang juga bekerja secara inovatif.

Jika sama-sama melakukan tiga hal siapa yang paling menang ialah yang mampu memprediksi apa yang terjadi. Hanya sedikit pengetahuan ke depan tentang bisnis mampu mempengaruhi profit.

Bisnis sama dengan permainan. Yang paling penting ialah belajar peraturannya. Maka ada yang menganalisis secara SWOT: Strength, weakness, opportunity, dan threat. Namun jika sampai permainan itu menghalangi Tuhan maka belum lengkap permainan tersebut. Banyak pebisnis yang tidak bisa memprediksi sebab banyak min haitsu la yahtasib di dalamnya. Tapi kita harus meminimalisir ketidakpastian dengan mengetahui permainan. Untuk mencari Tuhan bukanlah pada tempat yang kita anggap ada Tuhan. Namun bagaimana kita menggunakan mata, telinga dll untuk merasakan Tuhan dalam permainan apapun. Dalam memasuki bisnis, harus total. Namun bukan sekedar gambling. Bahwa nanti ada kegagalan dulu itu pasti.

Seperti halnya ketika senang terhadap wanita. Pelajari dulu bukan asal gambling. Ketahui peraturan permainan yang dia miliki. Dan juga jangan berharap dia berubah ketika nanti sudah menikah. Itulah bhineka tunggal ika. Menjadi satu bukan untuk sama. Namun ada satu entitas tujuan yang kita tuju bersama disitu. Tentang pertanyaan seputar jatidiri turut ditambahi pula oleh Mas Sabrang. Jangan terkecoh dengan persona. Jika kita melihat nabi Ibrahim, jika kita mencari sesuatu yang kita ketahui maka akan mudah mencarinya. Lebih mudah mencari jarum dalam tumpukan jerami, pakai magnet saja kata Mas Sabrang. Namun bagaimana jika kita tidak mengetahui apa yang kita cari? Pasti akan lebih sulit. Dari Nabi Ibrahim kita belajar tentang proses pengeliminasian. Sepertinya ini namun ternyata bukan. Dan seterusnya dan seterusnya. Sampai nanti akhirnya semua tidak kecuali dia. Lailaha ilallah. Maka perjalanan ini memang tidak mudah, karena banyak faktor yang kita harus “tidak-tidak kan” dulu sampai habis. Yang kamu kumpulkan adalah milikmu, namun bukan kamu. Aku bukan lah badanku, aku bukanlah akalku. Lalu yang manakah aku? Inilah pe-er masing-masing untuk mencari kesejatian. Jalani perjalananmu dengan kegembiraan dan jujur terhadap diri sendiri.

Tentang bhineka tunggal ika juga ditambahkan oleh Mas Sabrang. Kesatuan bukanlah pada fisiknya tapi dengan menjadi sebuah kesatuan entitas.

Pak As’ad tak ketinggalan untuk merespon pertanyaan ketiga. Penanya merupakan seorang guru yang menyambi berbisnis. Hematnya dibreakdown ulang terlebih dahulu sebelum melakukan penyambian tersebut. Yang dicari apakah kualitas hidup ataukah kuantitas hidup. Yang diartikan oleh Pak As’ad seperti berikut. Banyak dari kita yang tidak tercukupi kebutuhannya bukan karena pendapatannya kurang tetapi karena cara mengalokasikan dananya terkadang kurang tepat. Amtsal sederhana dari Pak As’ad, jika kita punya uang hanya satu juta lalu hilang 100ribu maka akan menjadi beban. Namun jika ternyata misal lima bulan lagi ketemu yang tersebut maka apakah menjadi bonus atau tidak. Sebenarnya seberapa banyak pengeluaran kita untuk sesuatu yang tidak urgent. Ini berhubungan dengan puasa yang diungkapkan tadi di depan. Bahwa puasa tidak memakan sesuatu yang sebenarnya halal namun tidak prioritas. Kemampuan kita untuk menganalisa kembali pada kesadaran apakah bisa berpikir sampai sana ataukah tidak. Jika tidak bisa maka, atur kembali cara pandang terhadap Tuhanmu seperti dalam QS Ar Ruum.

Menekuni sesuatu pasti akan berhasil meskipun membutuhkan waktu. Namun kesabaran kita tidak dibina dengan baik karena segala macam perhitungan kita yang menginginkan proses instan sehingga terkadang hal itu melemahkan kita untuk mencapai sesuatu. Kembali pada ukuran kesuksesan harus dibreakdown ulang. Keberhasilan nampaknya bukan harus menjadi nomor satu, tetapi kesungguhan.

Pernah ada sebuah pabrik yang melakukan PHK besar-besaran. Ada salah seorang yang terkena efeknya hingga sangat kesusahan dengan pesangon yang tidak seberapa. Hingga ia mencoba untuk bermain kayu dibentuk seperti harley davidson. Suatu ketika ada sebuah pameran yang ia ikuti di sebuah hotel. Kebetulan owner harley davidson menginap di hotel yang sama. Hingga masa berjalan, dan seorang yang terkena PHK tadi sekarang sukses dan merambah ke lainnya. Jika coba diamati, kejadian waktu terkena PHK apakah kejadian yang susah atau senang? Lalu ketika orang tersebut sukses apakah PHK tersebut menjadi kisah yang susah atau senang? Ini bagian dimana susah dan senang adalah sebatas sudut pandang.

Waktu sudah menunjukkan lingsir wengi atau kisaran jam 1 pagi. Sebelum malam ini diakhiri, Mas Sabrang menambahkan kegembiraan dengan menyumbangkan dua buah lagu yakni Ruang Rindu dan Sebelum Cahaya yang masing-masing diiringi oleh Mas Yoga dan Mas Prisa. Meskipun permintaan adalah tiga buah lagu, namun Mas Kasno berharap satu lagu disimpan sebagai sebuah kerinduan untuk pertemuan yang akan datang. Semoga…

Sedikit cuplikan doa dan harapan Mas Sabrang semoga kita semua disini menjadi seperti yang Tuhan contohkan dengan lebah-lebah dan menjadi kumpulan yang memberi madu bukan sekedar mengisap madu. Amin.. amin.. ya robbal alamin.

 

Andhika Hendryawan

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– KOMUNITAS TADABBUR –

Malam yang semakin mesra dan hangat dilanjutkan oleh Pak As’ad. Berbicara tentang kerumunan, ekonomi masyarakat, potluck sudah dialami langsung oleh beliau. Seorang pengusaha yang juga memandegani Suluk Surakartan hingga tiap hari berkawan dengan kerumunan.Pak As’ad mengawali dengan ketertarikan beliau terhadap gagasan Pak Kiai Mahrun tentang pembikinan pondok tahfidz namun berbeda dengan umumnya. Dimana pondok tersebut terdapat sebuah kegiatan yang berujung ekonomi. Dalam pada itu bertepatan pula dengan lokasi ini yang dipilih dengan tema “Masyarakat Lebah me-Madu”.

Jika kita sedikit tarik mundur ke belakang. Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW, ketika sedang memerangi pasar yahudi sudah jarang kita melakoninya. Biasanya umat Islam ketika melakoni sesuatu pasti akan mencari pembenaran dari ayat Al Qur’an dan hadist. Tetapi ada satu hal yang terlupakan yakni mengevaluasi secara terus menerus langkah apa yang keliru.Nabi Muhammad memerangi pasar yahudi dengan sistem ekonomi serta teknologi yang lebih baik bukan sekedar mengangkat sentimen suku, ras dan agama. Sehingga dalam waktu singkat, pasar yahudi kukutan (gulung tikar). Perlu diketahui bahwa Kanjeng Nabi melakukan hal demikian sudah sangat terencana. Dimulai dari julukan yang disandang oleh beliau yakni Al Amin jauh sebelum beliau menerima wahyu. Nampaknya satu hal yang penting diajarkan ialah untuk menjadi manusia sepenuhnya bukan karena menerima wahyunya tetapi proses pertumbuhannya tidak terlalu jauh dari realitas sehari-hari. Berdagang misalnya, maka bukan hanya sekedar berdagang namun juga harus mengerti intinya berdagang yakni manajemen resiko.

Seseorang yang bisa mengelola sesuatu dengan perhitungan meminimalkan resiko sebenarnya sesuatu yang lumrah. Tetapi sering luput oleh kita dikarenakan pola pengenalan Al Qur’an kepada kita nampaknya tidak pernah masuk pada wilayah tadabbur.Menurut Pak As’ad yang diperintahkan kepada kita ialah afala tadabbarunal qur’an. Sedangkan tentang tafsir yang perlu kita pahami bahwa sebaik-baik penafsir ialah Allah itu sendiri.Pernah ketika berdikusi dengan Syekh Nursamad Kamba, bahwa ketika bertadabbur maka sudah tidak terikat tata bahasa asalkan outputnya kemanfaatan dan tidak pula dipaksakan kepada orang lain.Sederhana saja, ketika membicarakan khamr dan maysir. Pandangan kita khamr tidak jauh dari minuman keras, sedangkan maysir tidak jauh dari kartu. Jika pengertian judi ialah tentang mengundi nasib, maka bukankah kita dalam hidup hanya berkutat soal mengundi nasib saja? Papar Pak As’ad melempar wacana.Khamr, diartikan sesuatu yang membingungkan dan dalam Al Qur’an diperintahkan pada kita untuk menjauhinya.

Seperti dalam QS Al Ma’idah ayat 90 yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah :90)

Dan dipertegas lagi pada ayat berikutnya yang berbunyi, “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). ” (QS. Al-Ma’idah :91)

Sebuah permisalan, ketika kita berada di sebuah kota yang baru pertama kita datangi pasti kita akan kebingungan. Maka harus kita “jauhi” dengan mengambil jarak, mempelajari informasinya sehingga ketika kita memasuki kota tersebut sudah terdapat gambaran.Mengapa khamr dipasangkan dengan maysir?Sesuatu yang kita lakukan tanpa perhitungan, tanpa analogi maka sesungguhnya itu judi. Berarti itu berlaku kepada apapun. Dalam mencari ilmu, bekerja atau apapun harus ada perhitungannya dahulu meskipun tidak terlalu banyak perhitungan juga. Tetapi minimal harus ada gambaran dasar. Seakan sudah “setor” pada Allah bahwa kita sudah berpikir sehingga kita terhindarkan status dari khamr dan maysir.

Suluk Surakartan kemarin mengambil tema satu banding sebelas berawal dari uraian Mbah Nun ketika halal bihalal di sebuah perguruan tinggi. Maksudnya ialah di dalam 12 bulan terdapat 1 bulan training yakni bulan puasa, dan seharusnya 11 bulan yang lain menjadi bentuk realitas dari puasa kita selama satu bulan. Kita tahu pada bulan puasa tidak memakan dan meminum sesuatu yang sebenarnya halal. Tetapi mengapa hal itu tidak diperbolehkan?Sesungguhnya dalam seseorang bekerja juga isinya hanya demikian. Yakni tidak mengeluarkan untuk sesuatu yang sebenarnya halal-halal saja namun tidak dilakukan sebab lebih menghitung prioritas.

Sedikit bercerita Pak As’ad ketika berada di dalam ruangan ketika Mocopat Syafa’at. Ada seseorang yang mengajukan pertanyaan tentang kunci sukses. Dengan canda beliau mengatakan bahwa tidak bisa menjawabnya.Namun tentang sukses itu sendiri kita pun rancu. Tergambar secara sederhana orang sukses adalah orang dengan mobil baru, uang banyak, tidak punya hutang, tagihan lancar, bahkan ingin membeli apapun bisa meskipun kredit.Padahal itu hanyalah daun, bunga dan buah tetapi sesungguhnya kita tidak pernah mencermati bahwa itu adalah hasil dari sebuah pertumbuhan. Jika kita membicarakan pertumbuhan maka kita semua adalah tanaman-tanaman tetapi tidak sama maka berbeda pula cara pengukuran kesuksesannya tinggal dikembalikan saja pada kesadaran dirimu.

Kembali pada manajemen resiko satu banding sebelas. Ketika itu pula ada fenomena MK, Solo-Jogja, juga anjloknya harga ayam hingga dibagikan secara gratis. Hampir berlaku di semua wilayah Islam Jawa bahwa sesuatu berjalan dengan gebyar lalu setelah itu anyep. Seperti berpuasa maka gebyarnya hanya di awal-awal ramadhan saja dengan munculnya banyak quote, kata mutiara, kajian hikmah, kultum dlsb dan di akhir ramadhan menangis dimana konon dahulu kanjeng nabi menangis ketika ditinggalkan bulan ramadhan.Sesungguhnya yang kita perlu renungkan ialah bahwa banyak dari sekian peristiwa tidak kita pelajari.

Fenomena harga ayam potong anjlok sudah pernah terjadi ketika era 70an. Bapak dari Pak As’ad ketika itu sudah memiliki peternakan dengan ribuan ayam sehingga sudah sangat familiar dengan perusahaan pokphan. Perbedaannya dengan kita saat ini mengapa menjadi sangat terasa ialah kita selalu kalah dalam beberapa medan karena kita tidak pernah melakukan beberapa evaluasi tadi. Sedangkan orang yahudi pun mereka belajar dan melakukan strategi jangka pendek, menengah dan panjang jauh sebelum Nabi berhijrah tentang apa yang ditanamkan oleh nabi di Yastrib.Segala sesuatu yang kita lakukan harus ada perhitungan. Ada rencana pendek, menengah dan panjang. Ini semua yang tidak pernah kita lakukan.

Coba kita tengok di Bali. Mengapa sedemikian terjaga juga dengan angka kriminalitas cenderung minim. Sebab mereka dikenalkan tentang dosa secara lebih nyata yang disebut dengan karma. Tetapi dalam pandangan cendekia agama hanya dikatakan bahwa ngapusi dosa, korupsi dosa, zina dosa. Sebenarnya apa ukuran dosa? Meter? Kubik? Bulan? Atau tahun?Sehingga dosa seakan seperti ilusi, maka orang melanggar pun dengan begitu mudahnya sebab tidak ada perhitungan yang jelas. Sementara tidak mungkin bahwa suatu ajaran yang datang dari Tuhan yang menguasai semua keilmuan tidak memberikan deskripsi yang jelas.

Seperti orang berhaji. Orang musyrik dilarang pergi haji, sementara tidak boleh menuding orang lain musyrik. Lalu bagaimana untuk melakukan pelarangan? Sementara berhaji merupakan sesuatu yang bersifat material, jelas visa nya, pintu masuknya, naik pesawatnya dll. Lalu bentuk pelarangannya berstandar sesuatu yang tidak boleh menyalahkan orang lain. Maka apakah sebenarnya musyrik itu?

Di dalam QS Ar Ruum terdapat sesuatu penggambaran yang bisa kita cermati. Musyrik atau menyekutukan Tuhan menurut Pak As’ad ialah seseorang yang meninggalkan partnership dan merasa mampu melakukan segala sesuatunya sendiri. Padahal apa yang diciptakan Tuhan pasti dualitas dan berpasangan. Begitu juga kita di Maiyah. Jika mengatakan di dalam Maiyah itu cair maka juga harus percaya bahwa di dalam Maiyah ada sesuatu yang padat. Berarti ada yang musyawarah dan ada yang tidak musyawarah, ada yang hirarkis ada pula yang tidak.

Mencermati surat An Nahl, jelas bahwa satu-satunya hewan yang diberi wahyu ialah lebah. Dan jelas dikatakan bahwa lebah membuat sarang di bukit-bukit dan di pohon-pohon. Di rumah Pak As’ad terdapat tawon jenis lanceng. Tawon lanceng memiliki manajemen yang luar biasa yakni memisahkan kotoran, lilin dan madu.

Kembali pada pondok tahfidz yang akan dibentuk maka menjadi tambahan “tanggung jawab” bagi Mas Agus untuk menginisiasi. Sebab di Maiyah sudah sepakat untuk bertadabbur. Padahal kunci berkembang dalam hal perekonomian atau apapun maka tidak ada jalan lain selain tadabbur. Lepaskan segala standarisasi yang telah ditanamkan pada kita dan bikin standarisasi sendiri. Kita mengenal orang Jawa dulu, kita mengenal Nabi Muhammad. Hampir setiap benda diberi nama untuk apa? Yakni standarisasi. Hampir di setiap negara industri pasti memiliki standarisasi sendiri. Ada standarisasi teknologi dll untuk berdaulat pada sesuatu yang diyakini.Pahami Al Qur’an dengan tadabbur realitas kehidupan sehari-hari. Ketika kita yakin pada dualitas yang diciptakan Tuhan maka tidak mungkin Tuhan hanya membicarakan langit di sana.Kembali pada An Nahl, jika kita perhatikan lebah seperti profil orang-orang yang melakukan industrialisasi sendiri secara personal. Mereka mengolah putik bunga di dalam dirinya sendiri dan keluar menjadi madu. Hubungannya dengan kerumunan ialah, kerumunan yang paling baik ialah kerumunan lebah. Masyarakat lebah tidak pernah ngomong saja tetapi terus berproduksi.

Masyarakat lebah juga merupakan masyarakat yang sangat hirarkis, menjalankan langsung perintah yang bersifat top down. Jika kita mencoba melihat China sebagai raksasa yang luar biasa, maka dapat pula kita lihat penanaman kepatuhan yang luar biasa dari pemimpinnya untuk rakyatnya. Pemimpinnya mengatur semua lini kehidupan sampai hal terkecil sekalipun. Contoh kecil ketika membeli barang yang sangat murah pun bisa diantar sampai depan rumah tanpa ongkos kirim. Disana tidak ada kekayaan pribadi tanpa adanya acuan kemanfaatan bersama.Demikan halnya dengan Iran. Negara yang sudah diembargo bertahun-tahun lamanya namun masih bisa tetap eksis. Setiap jajaran masyarakat tahu diri. Jika dia adalah karyawan maka hanya menjalankan perintah tanpa banyak bertanya. Entah disuruh menanam apa, membersihkan apa namun jelas kemanfaatannya. Hal ini yang dilakoni Kiai-Kiai sepuh jaman dulu.Metode demikian sangat cocok untuk dikembangkan di pondok, asalkan visi Kiai nya jelas. Bagai negara “China kecil” atau “Iran kecil” menurut Pak As’ad.

Uraian Pak As’ad ini kemudian disambung dengan tanggapan oleh Mas Sabrang. Menurut Mas Sabrang, meskipun negara China bisa menjadi salah satu protipe berkomunitas, namun ada hal yang boleh jadi menjadi PR bersama yakni tidak seperti China maupun seperti Iran melainkan seperti lebah yang seolah meletakkan kepemimpan dalam standar hirarki abdi dan Tuhan. Selengkapnya nantikan bagian berikutnya.

 

 

Andhika Hendryawan

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– MANUSIA –

Kemudian Mas Aniq diminta untuk urun roso tentang tema malam hari ini. Menurut Mas Aniq, mengelaborasi tentang lebah juga merupakan hal yang tidak mudah. Namun dicoba untuk sedikit menguruni cuplikan-cuplikan.Melihat lebah ada satu kata yang terwakili yakni kerumunan yang membawa manfaat. Berkumpul, membuat rumah lalu menghasilkan madu yang bermanfaat. Sebagai salah satu miniatur ciptaan Allah dapat menjadi ibroh untuk manusia. Ketika manusia berkerumun apakah membawa manfaat atau tidak. Ketika menjadi kerumunan, komunitas, atau publik kita sebut apakah akan menjadi publik yang bermanfaat atau tidak. Maka kerumunan manusia di dalam Al Qur’an disebut An Nas. Di dalam Al Qur’an pula juga terdapat manusia yang bermacam-macam. Ada yang disebut Al Anam, Al Basyar, Al Waro, Al Bariyah, dan Al Insan. Bentuk jamak untuk mewakili semuanya disebut An Nas. Menurut pandangan Mas Aniq, Al Anam merupakan manusia yang dilihat dari segi biologis. Misalkan manusia membutuhkan sandang, pangan dan papan. Membutuhkan asupan raga seperti makan, minum, tidur dll.

 

     Al Basyar merupakan manusia yang dilihat dari sosiologis atau bebrayan. Al Basyar bisa diartikan menumbuhkan kegembiraan, kebahagiaan. Maka kanjeng nabi disebut khoirul basyar. Nabi Muhammad merupakan sebaik-baik manusia yang menumbuhkan kebahagiaan, kegembiraan dan bebrayan yang baik. Seperti ketika di pondok ketika seorang santri memberikan sesuatu maka disebut gisyaroh, atau aweh bebungah (membagikan sesuatu untuk kegembiraan orang lain).

 

     Al Waro. Manusia yang dilihat dari sisi psikologis. Apakah seseorang mampu memotivasi, menumbuhkan jiwanya atau tidak.

 

     Al Bariyah, manusia yang dipandang dari segi intelektualitas. Dalam An Nahl terdapat beberapa pokok pemikiran misalkan tadzakkarun. Alladzikri ialah orang-orang yang dititipi “dokumen-dokumen keilahian”, mereka mampu menangkap realitas, atau apapun tajalli Allah masuk ke dalam frekuensi dirinya. Ada yang namanya gelombang pemahaman. Maka di Al Qur’an tertulis, jika ingin bertanya maka bertanyalah pada Alladzikri. Fas’alu alladzikri in kuntum la ta’lamun. File rohani yang paling penting ialah yang berhubungan dengan Allah, maka waladzikrullahiakbar.

Apapun yang berhubungan dengan realitas maka puncaknya adalah Allah. Dalam sangkan paraning dumadi, maka dumadinya adalah Allah. Allah sendiri pun realitas meskipun tak bisa dilihat, dibayangkan dll. Tan keno kinoyo sopo, tan keno kinoyo ngopo. Maka dalam Al Ikhlas, qul huallahu ahad. Hu sebagai simbol yang tidak tampak dan tidak terdefinisikan. Karena jika terdefinisikan maka akan menjadi terbatas. Maka jangan terpaku pada sebuah definisi. Tetapi untuk mempermudah maka disebut ahad dan shomad. Dia yang tunggal dan mengisi ruang, yang mampu memasuki ruang-ruang kejiwaan dalam diri manusia. Berasal dari kata wallahu, atau zat yang menghenyakkan (semacam terkejut).

 

     Al Insan. Manusia yang dipandang dari segi spiritualitas. Terdapat daya spiritualitas untuk menuju sangkan paraning dumadi.

Ketika berkumpul dari kesemuanya maka jadilah An Nas yakni perkumpulan dari individu-individu. Setiap kerumunan bisa berdampak positif ataupun negatif. Bisa bermanfaat ataupun sebaliknya. Apakah perkumpulan tersebut berjenis kehambaan waro, insan, bariyah atau anam atau tidak menjadi penting untuk diidentifikasi. Gejala seperti ini sudah berlangsung sejak jaman Nabi Adam. Di jaman nabi Musa terdapat tiga lawan. Fir’aun, Haman dan Qarun. Nabi Musa juga memiliki partner yakni Nabi Harun dan Nabi Khidlir. Nabi Harun merupakan Nabi yang lihai berdiplomasi. Nabi Khidlir melawan Qarun dengan konsep gotong-royongnya. Ketika rakyat menggunakan konsep ekonomi gotong-royong maka Qarun akan lenyap sendiri dengan hartanya. Inilah pentingnya menjadi kerumunan yang baik. Kerumunan lebah yang menghasilkan madu. Madu yang diperas dari rumah atau sarangnya. Menurut Mas Aniq maka akan menjadi wal Asr atau sebuah perasan. Maka jika manusia menjadi sari maka menjadi manusia yang baik, dan rugi jika hanya menjadi manusia ampas.

Maka belajarlah menjadi kerumunan Nas yang berdampak positif. Bahkan dalam surat An Nas, untuk menangani manusia harus menggunakan tiga potensi Allah. Robbun, Malik dan Illah. Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut berkahnya bumi kecuali ada orang yang dhalim. Jika ada kedhaliman yang terstruktur dan kesalehan yang tidak terstruktur maka kalahlah kesalehan. Jika sel-sel kesalehan tidak dirangkai secara struktur maka akan kalah dengan kedzaliman yang terstruktur.

 

 

Andhika Hedryawan

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– POTLUCK – SWABOGA –

Sebuah “puasa” yang cukup panjang untuk menghadirkan mas Sabrang. Meskipun dalam setiap rutinan Mas Sabrang berusaha dihadirkan dalam bentuk nilai namun pada malam hari ini akhirnya berbuka juga. Bukan sekedar berpuasa namun rutinan kali ini juga bagai hari raya sebab menghadirkan beberapa tokoh. Tibalah giliran Mas Sabrang untuk diminta memberikan respon tentang Tema malam hari ini. Mas Sabrang pernah memberikan sebuah kata pengantar pada salah satu pustaka gugurgunung yang ditulis oleh Mas Agus. Ialah tentang potluck. Banyak istilah lain seperti halnya kenduren.

Potluck merupakan konsep turunan dari berkumpul-kumpul, pesta dlsb namun ada peraturan khusus dimana bukan hanya satu orang yang menyediakan makanan untuk semua orang namun justru masing-masing orang datang membawa makanan lalu diletakkan diatas meja dan boleh dimakan bersama semuanya. Merupakan konsep yang sangat indah sebab semua memiliki kesempatan untuk berkontribusi dan mencicipi apa yang dipersembahkan oleh orang lain. Serta tidak ada kewajiban untuk menghabiskan, tidak ada pula kewajiban untuk menyenangi salah satu suguhan saja. Sebuah pengalaman dari Mas Sabrang ketika berada di luar Indonesia, saat ber-potluck hanya menyuguhkan nasi goreng. Dikarenakan mereka jarang memakan nasi, maka justru laris dihabiskan oleh semua yang datang. Bukan karena enaknya tetapi justru karena uniknya. Potluck bukan masalah baik, buruk tetapi lebih kepada keikhlasan dalam memberi. Jika memang sesuatu yang diberikan dirasa kurang baik namun masih bisa dinikmati keihklasan dalam pemberiannya. Jangan takut ada yang suka dan tidak suka, sebab Tuhan pun ada yang menyukai ada pula yang tidak menyukai atau tidak mempercayai. Nabi Muhammad pun ada yang tidak suka dan tidak mempercayainya.

Hampir tidak ada hal yang universal disukai oleh semua orang. Namun justru ada beberapa hal yang hampir tidak disukai secara universal. Seperti sakit, hampir setiap agama, golongan dll tidak menyukai apapun deskripsi dari sakit. Namun ada pula yang “menyukai” kesakitan karena dia memiliki konsep yang lebih besar dari kesakitan. Misalkan kesakitan dikeroki, bagaimana jika yang mengeroki adalah orang yang kita sayang. Maka akan ada pemaknaan yang berbeda dan konsep yang lebih besar dari semua tersebut. Sebab kesemua itu hanyalah sementara saja. Yang abadi bukanlah “ngeroki”nya tetapi yang abadi adalah cintanya. Potluck bukan urusan prestasi. Suguhan yang habis lebih cepat bukan berarti menjadi ranking satu, sebaliknya suguhan yang tidak termakan maka bukan pula menjadi prestasi yang buruk. Sebab yang membuat kadang kita tidak sadar ialah membuat tolok ukur dalam kehidupan kita sendiri. Sehingga menderita pun juga dalam tolok ukurnya sendiri. Tidak ada lomba motor tetapi membanding-bandingkan merk motor. Tidak dalam lomba hape tetapi iri ketika merk hape teman lebih bergengsi.

 

Potluck dipilih oleh Mas Sabrang sebab ada irisan yang besar dengan maiyah. Di maiyah memiliki konsep sinau bareng. Masing-masing membawa pengetahuannya, kerendahan hatinya namun semua tidak harus diterima dan diakui. Karena terkadang kita lupa ada garis tengah antara percaya dan tidak percaya yakni garis belum tahu. Sehingga akan susah mengakui dan mempercayai. Fenomena “belum tahu” dapat kita rekam terlebih dahulu untuk kita alami di ke depannya. Sebab segala sesuatu yang belum pernah kita alami, maka kita belum benar-benar tahu. Maka di dalam Islam menggunakan istilah bersaksi bukan hanya mempercayai, dan salah satu syarat kesaksian adalah dengan sebuah pengalaman. Seperti halnya saksi di pengadilan, maka ia harus benar-benar tahu bukan hanya sekedar “dengar-dengar”. Apakah pengalaman itu lewat indera seperti mata, telinga atau bahkan lewat jiwa dan seterusnya itu merupakan pertanyaan berikutnya. Namun yang terpenting ialah mengalaminya.

 

Mas Sabrang, seorang yang sudah sangat berpengalaman manggung di depan orang banyak. Pernah pula memiliki kegelisahan tentang baik buruk, benar salah pada awal-awal manggung. Bahkan kadang sebuah kesalahan dapat dianggap sebagai kesengajaan artistik, sehingga bukan salah tetapi merupakan sebuah percobaan dalam musik. Apapun argumentasinya asalkan yang tersampaikan ialah keindahan dan keikhlasannya. Sehingga marilah kita mulai kegiatan berkumpul ini dari banyak dimensi baik dimensi pemikiran, dimensi ilmu, dimensi keikhlasan juga dimensi kemauan mendengar dan menghargai siapapun yang menyampaikan apapun di atas panggung yang terpenting outputnya ialah kemesraan, kebahagiaan dalam kebersamaan yang panjang.

 

 

Andhika Hedryawan