Makin hari makin manusia tetap akan memilih mekanisme yang Tuhan sudah tetapkan sebagai hukumNya. Jaman ke jaman mungkin asyik memperkaya dan memutakhirkan terus tekhnologi kebohongan, muslihat, tipu daya. Hingga seakan-akan puncak hukum yang diketahui secara umum adalah yang seperti itu. Kebudayaan jujur hanya terletak di pinggiran atau di etalase peradaban. Bahkan ada yang telah memuseumkannya akibat terlalu jauh meninggalkan kejujuran dan singgah di kamar ketidakjujuran yang dihidangkan kue-kue lezat sehingga lupa jalan pulang kembali pada kejujuran.
Namun, betatapun demikian hukum natural akan lebih tangguh menghadapi perguliran masa. Ketidakjujuran hanya akan berkarat dan rungkat. Sedangkan berbondong-bondong orang kemudian tumbuh dengan kebudayaan yang menjunjung kejujuran. Sekarang hal seperti ini tengah terjadi dan akan semakin subur. Fenomena kejujuran pada fenomena jual beli online misalnya adalah tawaran utama yang membuat pihak-pihak yang bertransaksi di dalamnya merasa aman, nyaman dan saling percaya, kemudian imbasnya akan saling memuji satu kepada yang lain sebab merasa puas dengan hasil transaksinya. Dan pula akan saling menegur mengingatkan pada hasil transaksi yang tidak sesuai.
Berapa banyak biaya yang kemudian dipangkas hanya dengan menjunjung kejujuran. Sangat banyak, hitung saja sendiri di saat senggang. Metode transaksional yang berusaha mengacu pada hukum natural yang manusiawi sesungguhnya telah dibidik sejak lama untuk menarik simpati khalayak. Ada yang sangat ramah, murah senyum, menegur pelanggan yang datang dengan greetings seperti mantra, ada yang menawarkan suasana yang homy. Yang paling banyak dengan metode promo, diskon, hadiah, surprise, door prize, karena pada dasarnya manusia secara umum menyukai hadiah dari kejadian yang tak terduga-duga. Ini apa kalau bukan naluri tunduk menjalankan hukum Tuhan yang sudah ditetapkanNya sejak semula. Namun, semua yang terjadi oleh tangan-tangan manusia itu bisa kamuflase, bisa lips service, bisa tipu daya, untuk mengecoh pelanggan yang memang sangat nyaman jika disambut dan dilayani dengan hukum Tuhan yang adil. Senyuman bisa dipalsukan, keramahan bisa disetting, diskon dan hadiah bisa dikalkulasi keuntungannya. Namun bagaimana memalsukan kejujuran? Berbeda dengan kejujuran, kejujuran bukan ungkapan, kejujuran adalah bukti. Seseorang akan langsung terbukti ketidakjujurannya ketika lancung meskipun predikat sebelumya sebagai sosok yang tak mungkin menipu. Orang terbukti jujur bukan pada seberapa besar dan banyak ia ngasih hadiah. Bukan pada seberapa ramah ia menyapa banyak orang dengan tutur yang santun. Bukan pada gesture dan wajahnya yang ndeso dan lugu, bukan semua itu. Tapi pada bukti, seseorang atau sesuatu akan terbukti bohong dan terbukti jujur pada bukti yang berkesesuaian atau tidak terhadap ucapan dan hal-hal yang ia tawarkan ataupun ia janjikan.
Maka betapa pentingnya ingat. Ingat pada hukum Tuhan yang ternyata memang selama ini terus bekerja dan berjalan dengan suci namun tersingkir oleh silau kemolekan nafsu yang saling menerkam dan berebut memperoleh terbaik dan jatah terbanyak. Cobalah mengingat ketika kamu bercermin sebagai aktifitas yang paling mungkin terjadi secara akumulatif sehingga ketika kamu bercermin menjadi ingat siapa yang membentukmu dengan akhsan. Jika kamu masih lebih terpukau pada kegantengan atau kecantikanmu saja sehingga engkau tak cukup berhasil mengingat siapa yang membentukmu maka cari metode lain. Cobalah mengingat ketika engkau minum, jika kamu tak sanggup mengingat karena kamu lebih mengingat kepentingan rasa hausmu cobalah cara lain. Ingatlah ketika makan, sehingga pada saat kamu makan kamu ingat siapa yang sesungguhnya menyuguhkan hidangan itu di depanmu. Jika kamu juga kesulitan untuk mengingat karena kamu terlanjur tertambat pada tuntutan mengenyangkan diri akibat rasa lapar dan ingatanmu dipenuhi suasana ingin menyantap segala hal di depanmu maka cobalah cari cara lain.
Cobalah ketika hendak tidur, cobalah ketika bangun. Ingatlah sebelum masuk kamar mandi. Ingatlah ketika terasa mau pipis, semua punya siklus yang bisa menjadi remindermu. Kalau itu semua masih menyusahkan, ingatlah ketika susah, ia punya masa putarnya sendiri pula. Ingatlah ketika sakit, ingatlah ketika sehat, ingatlah ketika hidup dan ingatlah akan ada kematian memungkasi hidupmu. Jangan mati dalam keadaan susah karena hidupnya susah. Ingatlah apa saja salah satu yang paling mudah yang menjadi rutinitasmu sebagai butiran dzikir (indikator mengingat), pilihan itu niscaya tetap menuntun pada perilaku yang makin ikhsan, mukhsin.
Agus Wibowo