GUGUR GUNUNG DAN GUNUNGAN WAYANG

Sebenarnya sulit bagi saya untuk menuliskan tentang majelis gugur gunung, karena terlalu luas dan mendalam keilmuan dan laku keilmuan nya. Dan apalagi saya sejak tahun akhir tahun 2015an hingga sekarang saya,  tidak jangkep/intens  berkumpul mengikuti acara majelisan gugur gunung, namun kerinduan itu menghantarkan nginguk-inguk tulisan atau sekadar gambar khasanah khas majelis gugur gunung.

 

Setidaknya perkenankan saya lewat tulisan ini menulis tentang majelis gugur gunung., nuwun sewu.

 

Gugur gunung itu unik, berisi orang orang yang pandai dalam bidangnya masing-masing, mereka punya wilayahnya masing-masing sehingga terumuskan 5 teori bermasyarakat maiyah gugur gunung; tidak merasa paling benar, merasa diri dalam kegelapan, menabung kerelaan, saling mencahayai, dan yang satu lupa, hehehe…..  karena menyadari adanya perbedaan maka tergali lah kesadaran titah manusia setidaknya ada 8 golongan manusia, yaitu janma/padepokan tani, prajurit, ujam dhudhukan, baruna, panyarikan, mitro, dan  pandita/kawi. Atau mungkin dalam jagat alitnya  disebut (cupu manik asto gino; dewaruci) yaitu kori muladhara, kori wilata, kori wilata, kori annahata, sabdo, ajna, sahasrara, dan kori attala dwipa. Mereka mempunyai tugas masing masing untuk keselarasan jagat alit sampai jagat gedhe.

Seiring dengan perjalanan waktu, gugur gunung menjadi gunungan tancap kolo atau waktu sebagaimana dalam gunungan wayang, belajar dari  gerbang yang dijaga dua penjaga, yang loro-lorone atunggal dualitas yang bersifat maskulin dan feminim, sebagaimana gunungan wayang, ada pintu, air prawitosari, pohon kala, namun yang menarik adalah pohon waktu ini bukan lagi berbentuk sosok hewan, melainkan simbolis cahaya –  cahaya sebagai simbolis sifat dan karakter hidup. Sungguh menarik, gunungan ini sesuai zamannya (ilmu sains berkembang). Zaman mitos  yang yang terlogikakan oleh ilmu energi, jaman yang sebenarnya manusia akan mengenal dirinya lewat keajaiban keajaban cipta, rasa, karsa, karyanya. Memahami pemikiran pemikiran, perasaan, pengalaman empiris dan perilaku keselarasan. Dan yang tak kalah menariknya lagi meminjam istilah pertumbuhan buah kelapa, kini blulok sudah menjadi kelapa (sempurna, bersari, berhakikat). Pintunya gunungan tidak hanya blulok/ satu, melainkan lima. Blulok, cengkir, degan, kendo, tuo).

 

Amri, kawimudho, mantri sholawat majlis gugurgunung, juru mitra.

GUYUP RUKUN

Sebuah kebanggaan bisa jadi bagian kawulowargo Gugur Gunung simpul maiyah Ungaran. Sengaja saya cari ketika jadi warga Ungaran, Alhamdulillah ketemu Gugur Gunung. Matur nuwun saget nderek sinau.  Sinau di GG pengalaman baru bagi saya karena semua rasa terlibat.  Mugi tansah guyup rukun, matur nuwun sederek sedoyo sampun sabar ngajari kulo 🙏🙏🙏

 

Satrio, anggota keluarga gugurgunung, janma mitra, juru boga.

Tetembungan

Manusia adalah makhluk komunal yang memiliki naluri berkumpul sebagaimana makhluk komunal lain seperti lebah ataupun semut, dan jembatan untuk berkumpul, berserikat adalah komunikasi. Dalam term Jawa, berkomunikasi disebut sebagai tetembungan. Dari kata ‘tembung’ yang berarti ‘bilang’ atau ‘menyampaikan’. Konon lebah berkomunikasi dengan kode-kode tarian untuk menunjukkan koordinat nektar yang bisa diambil. Semut mungkin dengan frekuensi khusus yang setelah ada salah satu yang menemukan makanan, tanpa ia pulang ke rombongannya tiba-tiba sekelompok bala semut datang berbondong. Sedangkan manusia berkomunikasi secara berbeda yakni dengan keduanya. Dengan ‘tarian’ atau gestur dan juga dengan frekuensi yang dititipkan dalam intonasi, dan ada salah satu lagi yakni bahasa. Bahasa ini tidak selalu menjadi syarat utama jika syarat pertama dan kedua telah terpenuhi.

Di jaman sekarang bentuk komunal menjadi semakin meluas namun juga semakin mengarah pada perubahan pola. Itu disebabkan oleh model komunikasi yang berbeda pula, yakni melalui tulisan. Tidak ada gestur dan tidak ada frekuensi yang terbangun secara tepat. Pola komunikasi ini sesungguhnya telah ada sejak lama dengan sebutan ‘serat’ adalah alternatif komunikasi yang berguna untuk menautkan yang terentang jarak dan menjalin yang terpisah waktu seperti yang digunakan dalam Kitabullah. Namun, hebatnya kitabullah tetap mampu mempertahankan produk frekuensi yang indah, ajeg, dan langgeng, ini yang susah digapai oleh serat manusia. Akhir-akhir ini justru model serat ini yang lebih primer dipilih sebagai alat komunikasi. Dalam serat sesungguhnya pun masih mengeluarkan frekuensi namun tak jarang antara pembicara dan pendengar melahirkan frekuensi yang tidak sinkron. Antara yang disampaikan oleh penyampai atau ‘pembicara’ ditangkap secara berbeda oleh pendengar / pembacanya. Jika manusia lantas menggunakannya secara paten sebagai pengganti komunikasi utama, ada efek ketidak-pekaan karena tak lagi mengenal bahasa ‘tarian’ dan frekuensi yang sinkron. Bentuk komunalnya juga bisa berbeda, orang tidak lagi memiliki kesempatan untuk menyelami ragam kemanusiaan yang berlimpah keunikan. Ini bukan ranah skeptis, justru ada kemungkinan manusia akan lebih menemui kemanusiannya dengan pola komunikasi baru setelah beradaptasi. Hanya saja tidak pula over optimis sehingga tak perlu membuat langkah pertahanan dan antisipasi yang memungkinkan manusia tetap mengenal pola tetembungan yang bermuwajahah dan saling menyelami sanubari rasa kemanusiaan secara kaya dan intim.

Berdasarkan dengan pandangan di atas betapa pentingnya tetembungan maka tema ini dipilih sebagai bahan sinau bareng edisi bulan ini. Apakah hanya faktor bahasa saja? Tentunya tidak. Sebab manusia tak boleh melepaskan adab berkomunikasi dan akhlak sebagai bagian penting mengindahkan pergaulan, perkumpulan, perhimpunan. Ada cara tetembungan yang tidak hanya benar atau baik, namun juga indah baik secara gestur dan intonasi, tak merendahkan martabat orang lain dan menjunjung kenyamanan sanubari masing-masing.

Mari melingkar sebagai salah satu bentuk ikhtiar. Saling Tetembungan, tetembangan, menari, dan atau apapun untuk saling menyampaikan dx informasi, frekwensi, baik yang tersurat maupun yang tersirat.

Tansah nyuwun tambahing pangestu.

HULU – HILIR

Hulu – Hilir sesungguhnya adalah kemelekatan. Senantiasa terhubung oleh jaringan jaringan yang komplek dan detail. Juga personal personal yang bertanggung jawab merawat dan mengelola bangunan atau jaringan jaringan tersebut dengan baik. Sehingga kebutuhan kebutuhan hilir bisa sedemikian terpenuhi secara merata dan aman.

 

Realitas di lapangan tentunya akan sangat variatif. Berkurangnya debit atau kapasitas, dan ketidak merataan distribusi, adalah hal hal yang berkemungkinan terjadi. Penyebabnya juga sangat variatif dan bisa dilacak. Misal, kebocoran jaringan, kerusakan bangunan bangunan, kelalaian personil yang bertugas, dan lain lain. Bila sudah ketemu penyebabnya, lantas dilakukan normalisasi. Hingga normal kembali.

 

Narasi ini ditulis dengan membayangkan proses aliran air dari hulu hingga hilir. Tentunya sangat dipersilahkan untuk menggeser analogi tersebut pada kasus lainnya. Semisal kasus minyak goreng, dan kasus pangan lainnya. Monggo.

 

Leuit/Lumbung

Adalah hal yang kemudian kami lacak informasinya. Sebuah teknologi leluhur yang kini masih diterapkan oleh saudara saudara Badui, Cipta Gelar, dan beberapa daerah di Jawa Barat. Bangunan kecil yang sederhana namun terukur segala sesuatunya ini sangat diterapkan di masing masing keluarga. Teknologi yang mampu menyimpan pangan sampai rentang  waktu puluhan tahun bahkan hingga ratus tahun. Sebuah peradaban yang tekun memproduksi dengan cara menanam, jeli memanagemen dan canggih dalam menyimpan, tidak gairah menjual, namun juga tidak kelabakan membeli, apalagi mengantri, dan termanipulasi harga.

 

Keluwarga gugurgunung sedang dalam rangka membangun miniatur tersebut. Senyandaknya sesuai dengan kemampuannya. Dibersamai dengan dulur dulur sesuai dengan kompetensinya masing masing.

 

Beberapa yang sudah terintis antara lain :

– Produksi Beras Suegerr

Berupa depot penggilingan gabah, yang diimami oleh Mas Edi, yang menghasilkan beras, sekam, dan bekatul. Untuk dibeli oleh keluwarga gugurnunung sendiri sebagai kebutuhan pangan, ternak, dan kebun.

 

– Konsep teknologi pengering dan penyimpanan

Sebuah konsep gudang yang dilengkapi dengan mesin pengering. Ide ini dicetuskan oleh Pak Ibnu Asngadi yang juga merupakan Begawan Undhagi Maiyah.

 

-Tanam Padi

Sebuah kegiatan tani gugurgunung di lahan Mbodro Pakaryan, setelah sekian periode melaksanakan kegiatan menanam sayur dan buah, kini berlanjut menanam Padi. Diimami oleh Om Nardi.

 

Tanam Padi sendiri, disimpan sendiri, diproduksi sendiri, lalu dikonsumsi sendiri.

 

Beras – Teknolgi Pengering – Tanam Padi. Sebuah peristiwa alamiah yang kami alami, yang semoga dalam rangka diperjalankan menelusuri informasi dari Hilir sampai ke Hulu. Harapannya, kelak kian membentuk jaringan Hulu – Hilir yang lekat, yang Mulad.

 

Nyuwun tambahing pangestu. 🙏🏼