Imanitas Imunitas

Tema ini kami sampaikan sebagai oleh-oleh acara Silaturrahmi Penggiat Maiyah 2021, dari Mbah Nun untuk kulawarga gugurgunung. Kemudian kami tadaburi untuk kami angkat sebagai bahan sinau bareng dalam rangka merespon beberapa peristiwa luar biasa yang sedang terjadi saat ini. Sekaligus sebagai bentuk upaya kami dalam rangka beradaptasi dengan kondisi tersebut.

 

Pandemi sudah masuk pada gelombang ke dua, yang ombaknya kian bergulung gulung, hempasannya kian memporak porandakan banyak hal. Varian virus, tingkat penyebaran, angka kematian, dan sebagainya, menyerupa gelombang besar yang berpadu dengan hempasan angin dan sambaran sambaran petir. Berdampak hampir menyeluruh pada hampir semua aspek keberlangsungan hidup. Rasa takut yang mencekam sampai kepada garis putus asa.

 

Pemerintah dengan segala perangkatnya, dalam satu tahun ini terus berjuang mengupayakan banyak hal. Satu simpulan universalnya adalah peningkatan Imunitas.

 

Dalam lingkaran Maiyah sendiri, Mbah Nun juga merasa khawatir, belas kasih, dan tidak tega dengan kondisi anak cucunya. Beliau menyampaikan, bahwa bekal hidup Beliau yang nomer satu adalah “rasa tidak tega”. Pijakannya adalah QS : Attaubah 128-129.

 

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ

عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

 

Terjemah Arti: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. — Quran Surat At-Taubah Ayat 128

 

فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُلْ حَسْبِىَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ

 

Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung”.

 

Yang kemudian Beliau sendiri sebagai inisiator untuk diadakannya silaturrahim dengan anak cucu Maiyah yang diselenggarakan di beberapa wilayah. Salah satunya untuk memastikan bahwa anak cucunya tidak dalam kondisi yang putus asa.

 

Memang banyak peristiwa yang sungguh mengantarkan kita pada kondisi yang sungguh tidak berdaya. “Tidak Berdaya”, ini bisa jadi pintu penting atau justru menjadi salah satu rumus penting manusia yang mengantarkan manusia pada bangunan kesadaran “lahaula walakuata illabillah”

 

Hal hal lain lagi yang disampailan Beliau adalah :

– Bahasa apa yang digunakan dalam Alqur’an?

– Apa itu ayat Muhtasyabihat?

 

Kita tidak dituntut untuk memahami atau mengerti sesuatu, namun kita diharuskan untuk meyakini sesuatu. Contoh, Alif Lam Mim… Ayat yang hanya Allah sendiri yang tahu artinya, namun kita diwajibkan untuk meyakininya. Bahkan boleh, Alif Lam Mim kita jadikan wirid, dalam rangka

 

ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ

 

Terjemah Arti: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

 

– kita senantiasa dijaga oleh Malaikat Allah, namun sejauh mana kesadaran ini tertanam dalam diri kita. Maka juga boleh, setiap bangun tidur pagi, kita menyampaikan salam kepada Malaikat Allah, sebagai akurasi kesadaran dan keyakinan kita kepada Malaikat Allah.

 

Serta hal hal lain yang mengantarkan kami untuk kembali nyinauni tentang Iman, tentang Rukun Iman, yaitu :

  1. Iman kepada Allah
  2. Iman kepada Malaikat Allah
  3. Iman kepada Kitab Allah
  4. Iman kepada Nabi dan Rasul
  5. Iman kepada Hari Kiamat/hari akhir
  6. Iman kepada Qada dan Qadar.

 

 

 

Maka,

Bismillahirrohmaanirrohiim…

 

Iman+Imun = Aman

 

Aamiin, Aamiin, InsyaAllah

Aamiin, Aamiin, InsyaAllah

Aamiin, Aamiin, InsyaAllah

InsyaAllah, Aamiin, Aamiin

Sinau Bareng Majlis Gugurgunung edisi Mei 2021

Pada Sabtu pekan terakhir di bulan Mei tepatnya 29 Mei 2021. Merupakan Sinau Bareng yang ketiga kalinya diadakan kembali pada malam hari di tahun 2021 oleh Majlis gugurgunung. Meskipun isu pandemi masih ada pasca lebaran 2021, namun proses adaptasi terhadap situasi saat ini telah jauh lebih kondusif. Apalagi memang euforia terhadap sinau bareng begitu membahagiakan karena bertepatan setelah diadakan panen hasil dari kebun Mbodro pakaryan yang berupa semangka dan melon, dan merupakan menu utama dalam suguhan malam itu.

 

 

Bismillahirrohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan sukacita dan memantapkan diri untuk bertempat di komplek makam Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari, Kab. Semarang untuk melaksanakan rutinan Sinau Bareng. Tema workshop malam ini merupakan sebuah topik yang muncul dikala euforia setelah dilaksakannya panen semangka dan melon yang diadakan beberapa hari yang lalu dan setelah mengombyongi berkunjung kerumah mas Sabrang yang berada di Timoho Jogja pada hari rabu kemarin. Saking banyaknya fenomena yang berlangsung selama bulan Mei ini, tak satupun yang tak penting. Maka justru bulan Mei ini tidak mengangkat tema spesifik, kami hanya berangkat dari puisi Mbah Nun yang berjudul “berdekatankah kita” yang diharapkan bisa bersambung kepada seluruh peristiwa tema yang ingin kita bahas.

 

Berdekatankah kita

Sedang rasa begini dekat

Tapi berdekatankah kita

Sedang rasa teramat jauh

Seperti langit dan warna biru

Seperti sepi menyeru

O, kekasih, kau kandung aku

Kukandung engkau

Seperti memendam mimpi

Terendam di kepala

Namun sayup tak terkira

Hanya sunyi mengajari kita

Untuk tak mendua

Alhamdulillah pada malam hari ini dihadiri juga oleh mas Imam sahili, begitu juga dihadiri Mas Ihda beserta Mas Rizal yang datang dari Semarang yang membuat suasana makin hangat dan meriah yang pada satu hari sebelumnya telah tiba dulu di Semarang. Kemudian dilanjutkan dengan Tawasul oleh Pak Tri juga Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan oleh mas Agus.

 

Sebagai pantikan untuk mengawali sinau bareng pada malam itu, mas Kasno sebagai moderator membukanya dengan sebuah prakata, bahwa sesungguhnya moment ini adalah bebarengan dengan letupan-letupan kebahagian yang panjang, sesungguhnya sowan ke Jogja tempo hari bukan dalam rangka pamer tentang panen yang diperoleh namun sebagai ungkapan kebahagiaan telah melaksanakan PR yang telah diberikan oleh Mbah Nun. Pada awal pertama merintis pertanian, kalau dapat di dramatisir Mbodro pakaryan telah mengalami fase berdarah-darah, dan melalui mimpi ternyata digambarkan ada serombongan mobil dari Jogja dengan Plat kota nya yaitu AB, waktu itu beberapa penggiat mbodro pakaryan sedang beristirahat di gubug kecilnya, tanpa disadari ternyatata rombongan itu adalah rombongan dari Mbah Nun dan Mas Sabrang, kehadiran beliau disambut hangat oleh para penggiat, siang itu sebenarnya rombongan itu ingin mampir ke rumah mas Agus namun dalam mimpi itu mas Agus belum pulang dari kerja, akhirnya rombongan Mbah Nun beristirahat dahulu di gubug, sambil ngopi dan berbincang-bincang, dalam perbincangan tersebut Mbah Nun memberikan pesan untuk mencari seseorang yang bernama “Prayitno”, begitulah penggambaran mimpi tersebut. Sehingga memunculkan keingin tahuan dari kami untuk mencari tahu siapa sebenarnya “Prayitno” yang berada dalam mimpi, bahkan hingga bertanya pada warga sekitar namun ternyata semua nihil, dan akhirnya kita mencoba untuk mencari tahu perlambangan arti dari “Prayitno” dalam bahasa jawa, dan ternyata disebutkan bahwa makna kata “Prayitno” dalam bahasa Indonesia adalah “Kewaspadaan”, ternyata kita dituntut untuk mewaspadai segala sesuatu dalam segala situasi yang terjadi selama penggarapan lahan tersebut termasuk hama, cuaca kritikan dlsb. Dan tingkat kewaspadaan tertinggi adalah kewaspadaan terhadap diri sendiri, kelengahan, kegegabahan, kesombongan, terlalu terhanyut dalam kebahagiaan hanya karena bisa membuat sebuah bedengan dan jalan air semata. Dan dari rentetan peristiwa tersebut segala sesuatu kegagalan muncul karena kita terlalu menyepelekan, menganggap semua aman-aman saja, serta saat mengalami kegagalan tersebut kita juga dihantui juga rasa putus asa, Sehingga dapat di tarik garis besarnya kita harus mewaspadai kesombongan dan putus asa. Dan datang lagi informasi dari Mbah Nun, bahwasannya bertani dan sebagainya itu sebenarnya sebagai apa?, bahwa akar kata dari amal adalah kerja, di dalam bekerja itulah kita beramal juga, jadi kalau bertani itu merupakan bekerja dengan Allah , dari situlah semangat bertani kita tumbuh kembali dan alhamdullilah hingga mengantarkan kita pada panen. Setelah tepat malam dimana sebelum keberangkatan ke Jogja kita sempat mengobrol soal kyai Muzammil tentang panean yaitu merujuk pada kata panen, dan ternyata satu hari setelah pulang dari Jogja Kyai Muzammil dipanggil untuk menghadap kembali pada sisi-Nya, lagi-lagi kita harus berlatih kembali untuk gugur dari tema tancep kayon kemarin.

 

 

Lalu berlanjut pada Mas Agus, bahwa semua yang terjadi antara awal bulan Mei kita dihadapkan pada semua serangkaian peristiwa, panen bertepatan dengan, mulai dari bulan purnama, super moon, juga bertepatan dengan ulang tahun Mbah Nun, dan pula bertepatan dengan berpulangnya Kyai Muzammil, dan pula termasuk fenomena turunnya wahyu keprabon, dan pula turunnya wahyu keprabon bukanlah sesuatu lantas serta merta membahagiakan, bahwasannya disitulah dimulai untuk bagaimana untuk menyegerakan diri, akankah mengikuti Nabi Muhammad SAW. Ataukan menjadi seseorang yang ingkar, mau kufur atau sukur, mau tumbuh atau rubuh, nah disini kita mencoba untuk memahami bagaimana kita mencoba menumbuhkan dan bisa menjadi penyambung jiwa kita walaupun kita telah kembali, seperti menanam kita sudah dipanggil maka buah dari pohon itu masih bisa muncul menggantikan jiwa kita, daun-daun yang menuju langit dan buahnya itulah surga, surga dalam bahasa Arab bisa Furdaus, Jannah, tetapi kita menitik beratkan pada Jannah, kosakata yang tersemat bagi masyarakat Maiyah sebagai Jannatul Maiyah, kebun kebun Maiyah, itu semua karena kita hanya baru bisa melaksakan dari segi materialnya, yaitu bertani, berkebun, maka ketika sudah memulainya maka disitulah kita mengenal Jannah Dunia, Apa-apa yang kita temui di surga semua berkaitan dengan yang kita lakukan atau tanam di dunia ini. Bahwa semua yang kita tanam akan bekerja untuk kita, kelak itu akan mendapat imbalan, ketika amal dalam bentuk uang, itu menurut Mbah Nun merupakan cara transaksional, kita akan mengharap imbalan juga dalam bentuk material. Atas kepergian Kyai Muzammil maka kita maknailah itu perwujudan dari panen Maiyah, meskipun sebenarnya dalam konteks kemanusiaan kita tidak dalam seperti itu, namun ketika kita meyakini bahwa suatu kepergian itu adalah perwujudan kesempatan yang dikasih oleh Allah, maka kita benar kalau apa yang sudah di amalkan oleh Kyai muzammil itu di dunia sudah waktunya disitulah Maiyah memanennya, maka berbuahlah itu, masyarakat maiyah sedang mengalami panen yang besar karena sehubungan berpulangnya mulai dari bunda Chammana, Syech Kamba, Mbah Umbu dan disusul Kyai Muzammil.

Lalu berlanjut lah duskusi, bahwasannya pada malam itu tidak ada tema, maka dibuka pada teman-teman untuk mengungkapkan impresinya pada malam itu, dan dimulai dari Mas Imam Sahili, beliau mengungkapkan suka duka dalam menanam dahulu ketika sudah mulai berbuah kecil dan membuat hati bahagia, ternyata selang beberapa hari sudah dipetik oleh putrinya dan begitupun saat

 

 

tetangga menanam sudah berbuah juga sudah dipetik lagi, dan itu cukup membuat gemes di dalam hati walaupun pada awal sudah berdecak suka atas berbuahnya pohon yang di tanam tersebut namun disitulah kewaspadaan terhadap kesabaran diri untuk di pahami, tetapi walaupun begitu buah yang lain tetap bisa matang sampai besar. Dan yang selanjutnya dalam keluarga beliau, ternyata dalam hal menanam sudah ada perhitungan yang matang kapan waktu menanam, seberapa lama perawatan itu dilakukan dan kapan waktu yang tepat untuk memanennya dan semua sudah tepetakan melalui jenis- jenis pohon yang akan ditanam. Dari situ dapat diambil garis besar bahwasannya jika kita mewaspadai kesabaran maka akan berbuah juga, padahal sebenarnya dalam sebuah pola tanam bila salah satu dipetik buahnya otomatis suplai makanan pada buah yang belum terpetik akan juga mengalami peningkatan karena salah satu dari lainnya sudah dipetik dan akan mengalami pemusatan suplai makanan pada satu titik buah yang masih utuh.

 

 

Lalu berlanjut pada Mas Nardi selaku imam tandur di kebun Mbodro Pakaryan, dan ternyata pemilihan beliau sebagai imam tandur terkonfirmasi oleh statement mas Sabrang, bahwasannya jika kita berada di lingkaran kecil perkumpulan maka pilihlah seseorang yang bermanfaat untuk kebersamaan yang mampu mennggiring perkumpulan kecil itu pada kemajuan yang lebih baik, dan pula ternyata dedikasi Mas Nardi terhadap kebun Mbodro pakaryan amat tinggi karena beliau mau meluangkan bukan hanya waktu dan tenaganya namun semuanya dengan penuh di bidang sung dan sih demi kemajuan kebun mbodro pakaryan hingga menuju panen walau dengan rintangan yang bertubi-tubi. Dalam impresinya beliau mengungkapkan bahwasannya keberadaan beliau di sini belum pantas kalau di dapuk sebagai imam tandur, karena dari awal beliau bahagia  bisa hadir dan membersamai dan merasa terdorong untuk melaksanakan PR atas kebun maiyah dari situ maka membutuhkan referensi tanam dan itu bersumber dari medsos, sebenarnya semua metode dari medsos terkadang membuat bingung karena dari sumber satu dan lain terkadang terdapat perbedaaan, yang satu harus dari sisi yang lain dan harus miring dan yang lain bisa berbeda pula dalam praktik menyemprotnya tapi tujuannya sama, sehingga jika kita ingin menganut sebaiknya pilih salah satu saja karena tujuan dari arah penyemprotannya sama, tentukan pilihan satu saja namun harus tekunilah dan dipahami, dan sambil sedikit humor belia mengungkapkan jika diangkat sebagai imam tandur ya di syukur-in “syukurin” saja sambil tersenyum dan dari situ mengundang gelak tawa teman-teman  pada malam hari itu. Pesan mas Nardi, kita Semua initinya sama-sama belajar disini dan pula mendapatkan jawaban dari Mbah Nun bahwasannya kita semua kan seperti pohon, dalam pohon terdapat akar, batang, daun hingga buah, jika ingin menjadi tumbuhan yang berkualitas maka dimulailah dari akarnya dahulu mau merujuk kemanakah akar itu terhadap tanahnya, sehingga akar harus menuju pada tanah yang nutrisinya seimbang, kalau sudah menemukan nutrisi yang tepat barulah menuju ke daun, tempat dimana nutrisi diolah dan dihasilkannyalah buah yang berkualitas, sama hal nya juga kehidupan ini jika kita mengambil nilai kehidupan yang berkualitas maka dalam otak kita akan kita olah dan kita jalani maka hasilnya hasilnya akan berbuah kepada surga, meskipun kita belum tahu bagaimana surga itu seperti apa, tapi tetaplah kita meyakininya dan terus berpegang teguh terhadap keyakinan tersebut.

 

 

Lalu berlanjut pada Mas Ihda, beliau merespon terhadap pemilihan imam, dan baru mengetahui kalau imam yang baik itu mampu benar-benar  memberi contoh yang baik bukan hanya deri segi perkataan namun juga perbuatan yang benar-benar direalisasikan sehingga membuat makmumnya juga terdorong untuk melakukan hal tersebut, ya pemimpin yang sebenarnya mampu melayani makmumnya, konsep imam besar bukan hanya dari segi cowoknya yang banget namun juga benar-benar menjiwai dengan apa yang dilakukannya demi kemajuan pada kebaikan. Terus Mas Ihda juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap pengalaman bertaninya sudah susah menanam namun tanpa sepengetahuannya ternyata buah yang diharapkan sudah kedahuluan oleh tetangga sambil tersenyum geli mengungkapkannya. Lalu Mas Ihda mengungkapkan dalam pengalaman berkebunnya, bahwa kata orang jaman dahulu kalau bisa menanam dari bibit hingga tumbuh besar maka dikatakan termasuk pemilik “tangan adem“ kalau istilah Jawanya. Sebuah tanda bahwa pekarangan diberkahi adalah yang tadinya gersang menjadi hijau subur, kemudian naik lagi ke peringkat selanjutnya dikatakan berhasil jika dihadiri kumpulan kupu-kupu yang beterbangan di lahan tersebut dan hingga level selanjutnya yaitu munculnya ekosistem capung, dan fenomena tersebut dialami Mas Ihda ketika mencoba menanami tumbuhan disekitar perumahan yang baru ditinggali dan perumahan tersebut amat panas dan jarang ditumbuhi pohon maka berinisiatiflah untuk menanam dan diketemukan dengan fenomena tersebut, dan melalui rujukan perumpamaan surga itu hijau, maka menamlah maka disitulah surgamu. Berlanjut dari situ mas Ihda baru-baru ini menemui konsep bersedekah oksigen, oksigen akan bertambah jika keberadaan tumbuhan banyak, maka mulailah menanam untuk memulai bersedekah oksigen pada sesama.

 

Jadi kita mencoba menghadirkan sebuah ekosistem yang sudah diberikan oleh Allah yang pernah hilang karena sikap yang tak beradab, terus memunculkan ekosistem itu lagi dengan cara menanam, walaupun dengan hanya ukuran polybag, terus apa jadinya kalau keberadaan ekosistem lebah hilang, maka bahaya sekali terhadap dunia ini, karena dengan hilangnya ekosistem lebah maka akan memperburuk keadaan tanam dan berefek pada kegagalan panen tentu saja akan timbul masalah pangan, karena menurut pengamatan lebah menjadi duta utama penyerbukan dari 70% tumbuhan pangan dan sandang. Hilangnya ekosistem lebah bisa terjadi salah satunya oleh penggunaan pestisida, organ sensor pada lebah akan terganggu oleh pestisida tersebut sehingga ia kehilangan arah untuk kembali ke sarangnya. Punahnya lebah akan berdampak sangat serius sebab niscaya timbulah wabah kelaparan, terjadinya peningkatan kriminalitas dari yang sekedar ngutil sampai peperangan antar negara. Saling membunuh karena kelaparan yang terjadi dan itu bisa menjadi triger terjadinya kehancuran total, maka selain menanam akan alangkah baiknya selalu belajar tentang keseimbangan ekosistem, salah satunya mengatur juga pemakaian dosis pestisida.

 

Lalu berlanjut pada mas Rizal, beliau mengungkapkan belum pernah melakukan apa yang berhubungan dengan menanam, namun dulu suatu ketika saat PKL di suatu desa tepatnya di desa Sukolilo menemui suatu kesan pada petani disana, pertama ladang petani habis dimakan oleh tikus, hampir semua ladang rusak karena serangan tikus, namun para petani masih bersyukur walaupun tinggal sedikit yang bisa dipanen, karena perumpamaan sudah lumrah kalau tikus memakan, toh juga tikus tidak bisa menanam dan masih menyisakan juga untuk kita nikmati panennya, kita sebagai manusia masih bisa diberi kesempatan lagi untuk menanam kembali, lalu yang kedua saat mengalami gagal panen karena banjir, ladang dan sawah dipenuhi air sehingga membuat kondisi gagal panen, namun banjir itu meluas hingga di jalan raya, dan mengakibatkan sopir truk berhenti di tengah jalan raya tersebut karena mesin dari truk dan mobil hingga terendam air, para petani walau mengalami gagal panen karena banjir, mereka malah berinisiatif memasak bersama dan membagikan nasi bungkus pada sopir truk yang terjebak banjir tersebut, para petani begitu masih bersyukur, masih bejo hanya ladang yang terendam banjir, masih kasihan para sopir truk itu sudah truknya mogok tidak bisa kemana-mana dan juga lapar. Maka dari situlah sebenarnya kegigihan seorang petani dapat kita petik dan pahami sebagai pembelajaran untuk selalu “Lilo” dan ikhlas. Dan yang ketiga, bahkan petani disana enggan menggunakan urea, karena itu dapat mengganggu keadaan tanah, ya walau pemakaian urea dapat mengantisipasi tumbuhnya rumput, tapi sebenarnya dapat mempengaruhi tanaman juga, dan bahkan para petani lebih memilih mencabuti rumput tersebut ketimbang penggunaan urea.

 

 

Lalu berlanjut pada Fidhoh, tentang tananam yang didominasi dan diperlambangkan warna hijau, sebenarnya di dalam dunia medis pemakaian warna tersebut selalu ditemui pada jas operasi yang dikenakan oleh tim medis kenapa tidak menggunakana warna yang lain padahal ada banyak warna lain yang lebih cerah, itu dikarenakan warna hijau dapat memberi ketenangan pada sang pasien, panjang gelombang dari warna hijau lah yang dapat menembusnya kedalam reseptor ketenangan yang berada di saraf. Maka apa jadinya bilamana di dunia ini jika budaya menanam semakin punah maka tumbuhan yang sebagai agen pemilik warna hijau akan punah dan berefek kemana-kemaa termasuk kesehatan mental setiap manusia, dan niscayalah terjadi perselisihan antara manusia. Ternyata hijau dan biru mampu menangkal zat-zat yang tidak baik bagi tubuh manusia.

 

 

Tak ketinggalan Mas Koko membeberkan pula pengalamannya, saat dulu sewaktu di jalan tol, bahwa rumput yang berada di tepi jalan tol harus memiliki tinggi kurang lebih 3 cm dan tidak boleh dimatikan dengan roundup, karena itu termasuk keindahan bagi pengguna jalan tol nya tersebut, dan juga melalui perawatan yang intensif secara teratur, dan memang kelihatan apik dipandang terutama pada tol Daerah Jawa Tengah, sangat menenangkan bila dipandang dan tidak membuat capek mata dengan adanya warna hijau. Dan bila untuk kedepannya lahan mbodro berencana untuk melakukan hal tersebut dengan cara mengagendakan pencabutan rumput tanpa menggunakan roundup sehingga disitulah kita akan menerima tiket ke kholifahan sebagai manusia, namun bila tidak memungkinkan maka kita akan mencoba menentukan aspek lainnya agar tetap berkesesuaian dengan aspek ke kholifahan tersebut.

 

 

Dan yang terakhir pada Pak Tri, sewaktu bertemu nya beliau dengan sanak saudara terjadi perbincangan mengenai perihal pekerjaan dan keputusan beliau untuk hengkang dari pekerjaannya yang dahulu, dan menekuni usaha dagang serta bertani ini, beliau mendapat pesan bila dalam bidang bertani harus secara penuh mengupayakan tawakal terhadap hal tersebut, serta beliau mengaku bahwa dilakukannya kegitan tandur ini secara bersama-sama, mendengar hal tersebut maka hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana harus memanjemen kebersamaan agar tidak terjadi kesimpang-siuran dikemudian hari yang dapat menimbulkan perpecahan dalam kebersamaan tersebut maka harus tawakal secara penuh. Karena pernah dicontohkan mencari orang untuk memanen dan paginya telah di habiskan oleh serangan hama, jadi dinamika yang kita alami selama di mbodro kadang naik turun ada suka duka nya, kadang saat kita meremehkan semangka ternyata malah berbuah banyak, jadi semua tidak pasti dengan kita rencanakan walaupun secara matang sekalipun, kita harus selalu mewaspadai terhadap segala sesuatunya agar meminimalisir kemungkinan terburuk, walaupun memang semua keputusan berada di tangan Allah.

 

 

Diskusi masih terus berlanjut hingga tengah malam, untaian pertanyaan tersimpan dan tersampaikan terus dirangkai terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yamg tentunya bermanfaat untuk sedulur yang hadir pada malam itu. Pada intinya kita untuk kedepannya dalam menyikapi dan direncanakan dalam penggarapan kebun mbodro harus lebih intens dan selalu menambah kewaspadaan terhadap segala sesuatu yang mungkin akan berbeda dengan apa yang diharapkan, serta menambah tawakal  dalam menjalaninya. Untuk pasca panen ini kita dituntut untuk puasa dahulu sesuai dengan himbauan Imam tandur kita Mas Nardi, serta itu disambut dengan hangat dan senyum kebahagiaan. Keluarga gugurgunung memungkasi acara dan dilanjutkan dengan makan bersama. Sebelum masing-masing pulang. Acara ditutup dengan Doa penutup yang dibantu memimpin Doa oleh penggiat makam Mbah Eyang Benowo, tak lupa sebelum pulang kita membersihkan dahulu tempat yang digunakan, dan akhirnya kita bersalaman untuk pulang ke rumah masing-masing. Alhamdulillah.

 

 

 

Juru Panyarik gugurgunung
Fidhoh Rahmat Akmal

 

 

Mempuisikan Puasa Kehidupan

Back Story:

 

Gagasan tema Mempuisikan Puisi Kehidupan digulirkan di pawon gugur gunung pada 20 April. Persiapan gelaran dicicil sejak 21 April. Tema ini sebagai bentuk kecintaan kami kepada Mbah Umbu, yang laku kehidupannya adalah “Puasa”, yang kami anak cucunya pada lingkaran simpul Majlis Gugur Gunung juga mengenalnya sebagai “Puisi”.

 

Masing masing penggiat menunjuk diri atas potensi perannya. Mukadimah, poster, dan persiapan teknis lain segera diolah. Sehingga sebelum hari H kelar dan siap disajikan.

 

Pun kegiatan berkebun, yang sejak pandemi menjadi satu kesatuan rangkaian kegiatan dengan rutinan sinau bareng, juga kelar dirapel. Sehingga hari H, diharapkan bisa focus pada persiapan acara. Oh iya, sebagai informasi, kebun kami sedang kita tanami Semangka dan Melon, sebagai kelanjutan dari sinau Lombok, Kangkung, Bayam, Tomat, Pare, Terong, dan Kacang Panjang. Demikian ilustrasi progress terkini kegiatannya :

 

 

Magical Moment

 

Kegembiraan menyertai kami pada saat waktu berbuka puasa. Lewat group kami saling berkabar tentang persiapan acara, juga kabar lainnya, diantaranya berupa kabar gembira atas termuatnya 2 tulisan keluwarga gugur gunung pada “Wisdom Of Maiyah”. Yang juga kami sepakati sebagai wadah interaksi kami dengan Mbah Nun. 2 tulisan dengan nomor 117 (Pray, Bless, and Sanctuary), dan nomor 118 (Buah Pencarian). Sungguh hadiah yang indah. Kahanan kian meruang puitik.

 

 

Kami datang di lokasi acara hampir bersamaan. Paras Rembulan yang hampir bulat, taburan bintang gemintang pada bentangan langit Ramadhan, suara suara binatang malam, serta kesiur angin dari puncak Gunung Munggut yang beraroma hutan khas musim kemarau, seolah mengkonfirmasi kehadiran. Kelasa digelar, jajanan ditata, kopi diseduh, alam alaman sebentar, lalu acara dimulai. Acara dibuka oleh mas Kasno, Tawasulan oleh Mas Agus, Wirid Munajat Sholawat oleh Pak Tri, dilantunkan bersama segenap yang hadir. Pak Tri mandeg tak berkata kata saat mahalul qiyam, memberi kode dengan gerakan tangan dan kerdipan mripat. Ya sudah langsung disawut oleh mas Kasno, terjadi salah nada di sana-sini. Gayeng dan mengharukan. Berlanjut khusuk, khidmat, dan hangat, hingga akhir.

 

Mukadimah dibacakan dan disimak bareng bareng. Lalu direspon oleh semua yang hadir. Diskusi khas gugur-gunungan, seluruh yang hadir dipersilahkan memberikan pandangan terhadap tema. Masing masing secara bergantian berkisah tentang perjalanan hidup. Mengalir, asik, dinamis, dan sangat menarik. Dari perjalanan hidup tersebut banyak ditemukan momentum puasa, baik pada polaritas susah-senang, baik buruk, suka duka, dan seterusnya. Masing masing menemukan keindahan kisah yang jangkep, yang kemudian kami sepakati sebagai Puisi.

 

Oh iya, rutinan kali ini juga dihadiri oleh seorang pemuda dari Jakarta. Mas Ezra namanya. Mahasiswa semester akhir yang sengaja ke Semarang untuk merampungkan skripsi. Salah satu tempat yang disinggahinya untuk beberapa waktu adalah rumah Mas Agus, Ungaran. Langsung gandrung sama suasana pegunungan dan perkebunan yang sedang digarap dulur dulur gugur gunung. Seperti menemukan angin yang mungkin tidak seperti ” angin di Jakarta”. Padanya, dalam sinau bareng tersebut, pemandu diskusi mencoba menanyakan tentang Puasa pada ajaran Nasrani, yaitu ajaran yang dianutnya. Dan responnya :  “Mana ada kehidupan yang tidak ada puasa di dalamnya”. Sungguh jawaban yang sangat santika, sangat universal, dan clear. (Semoga Mas Ezra adalah Nasrani yang Nasrullah, doaku).

 

Jadi ingat tulisan Mbah Nun, ” Bahkan Tuhan pun berpuasa”.

 

Jam 00:30. Batas yang juga harus kami pahami untuk memungkasi acara, meskipun gairah masih terus ingin. Dan kesemuanya pun sepakat. Acara dipungkasi dengan Doa, atau tepatnya dengan Puisi Mbah Umbu yang berjudul “Doa”, yang dibacakan oleh Mbah Umbu sendiri, dengan teknik membuka rekaman Audio Puisi tersebut dengan disalurkan ke pengeras suara. Kami menyimak dengan hening, lalu mengamininya. Kemudian kami bersama sama berdo’a secara khusus untuk Mbah Umbu. Al Faatihah…

 

 

Reportase Lengkap

 

Pada Sabtu terakhir di bulan April tepatnya 25 April 2021. Merupakan Sinau Bareng yang dilakukan kedua kalinya di tahun 2021 ini oleh Majlis Gugurgunung. Walaupun isu pandemi semakin di naikkan lagi karena mendekati lebaran pada tahun ini, namun itu semua tidak mengurangi keteguhan kami untuk mengadakan acara pada malam hari itu yang bertepatan pada bulan puasa tahun ini yang sudah menginjak hampir setengah bulan pelaksanaan ibadah puasa. Tidak lupa kami selalu mengutamakan dan selalu mematuhi protokol kesehatan yang ada.

 

Bismillahirohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan suka cita dan mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan Sinau Bareng untuk kedua kalinya dan puji syukur bahwasannya kami masih diberi kesempatan untuk mengadakan perhelatan ini lagi di tempat yang sama seperti Sinau Bareng bulan lalu tepatnya bertempat di komplek makan Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari. Tema workshop malam hari ini adalah “Mempuisikan Puasa Kehidupan”. Alhamdullilah pada malam hari ini dihadiri oleh mas Padma yang sebelumnya tidak dapat hadir dan dihadiri pula oleh Mas Ezra yang datang jauh dari Jakarta. Kemudian acara dimulai dengan Tawasul oleh Pak Tri juga Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan dari Mas Agus.

 

 

Mas Kasno sebagai moderator memulai acara pada pukul 21.00 dengan bacaan Basmallah kemudian pembacaan Mukadimah tepat acara kami dibersamai oleh rintik hujan yang semakin menambah hawa kesejukan pada malam hari itu serta rahmat dan syukur. Sebelum memulai sesi tanggapan Mas Agus memberikan kesempatan pada sedulur untuk memberikan waktu pada tembakau untuk berkata-kata terlebih dahulu maka disulutlah api pada sebatang lintingan yang begitu semerbak nikmatnya sambil menunggu para sedulur untuk menggali soal tanggapan terhadap topik Sinau Bareng pada malam hari itu.

 

 

SESI 1-

Sebagai pemantik Mas Agus membuka diskusi itu dengan meng-kloso-ni bahwasanya kita itu menjajaki tahapan-tahapan bait, dimana bait itu utuhnya diawali dari sejak kita lahir hingga kita pulang di sisi-Nya itulah kumpulan bait dalam sebuah puisi. Jadi tidak berhenti hanya menjadi satu fase, tetapi semua kehidupan yang telah kita jalani dari sejak lahir hingga mati adalah satu bait puisi. Puisi itu tak harus panjang tetapi makna dari puisi tersebut dapat menjelma sebagai buku tebal apabila diurai secara meluas dan mendalam, sebagaimana hidup yang pendek. Tak harus panjang, namun apakah pada yang pendek itu puisi kita penuh arti atau hanya deretan bait kata tanpa makna. Hidup di dunia sebenarnya singkat tetapi semua terasa lama karena adanya ilusi waktu. Kita bebas torehkan pada yang singkat itu sebagai puisi, atau sebagai tulisan lain, karena kita adalah pena penulis kehidupan. Setiap pilihan masing masing orang berbeda mau menulis novel, prosa, puisi, cerpen atau bahkan hanya sekedar status medsos itu terserah pada pribadinya sendiri. Tetapi kita harus menyadari seberapa jangkauan kita, kalau kita mampu untuk berpuisi namun hanya gemar menulis celotehan konyol maka disitulah letak degradasi. Sebab kita hidup berkeluarga dengan syair, terkepung puisi dan sastra. Alam, tumbuhan, tanah dsb mereka juga berpuisi. Salah satu nilai plus pada suatu karya puisi itu, bilamana di dalamnya terdapat banyak lipatan-lipatan atau polemic. Sama halnya seperti pada Keris yang berkeluk, ada seninya. Halnya dengan hidup kita, bila hanya cuma lajur lurus saja maka hidup kita akan terasa membosankan atau datar. Hidup berada dalam satu garis, pada garis itu ada kala diatas kadang juga dibawah. Tetapi titik hubung dari awal dan titik akhir tak berubah koordinatnya. Tetap fokus sehingga gelombang naik turun itu keluk lekuk kehidupan yang nyeni. Hidup akan runyam jika titik akhir berubah-ubah. Bentuk garis hidup menjadi tidak jelas. Batal menjadi keris sebab malah melingkar-lingkar seperti per tapi bukan per. Maka kita harus memiliki tujuan fokus itu kepada siapakah kelas kita akan persembahkan puisi itu, hanyalah kepada-Nya.

 

 

Tak lama kemudian Mas Nardi merespon pantikan tersebut, dia mencoba untuk menerjemahkan judl tema Sinau Bareng edisi April 2021 ini. Ada tiga kata: “mempuisikan” ,”puisi, “kehidupan”, semua itu saling terikat dan menjadi satu makna, untuk “mempuisikan” sendiri adalah kata kerja, “puisi” tersebut adalah kata makna yang dirangkum menjadi indah, membuat makna lebih tajam, puasa sendiri itu sebenarnya kita bisa atau mampu untuk makan dan minum, tapi kita harus menundanya hingga batas waktu itu selesai atau menggantinya dengan hal yang telah ditetapkan, memperindah keindahan yang ada di kehidupan dunia, seperti contoh kita itu puasa saja sudah indah apalagi kita meluangkan waktu dengan sedikit kebaikan maka itu akan semakin memperindah puasa itu. Segala sesuatu yang bersifat duniawi kita pending dahulu lantas menggantinya dengan hal lain yang dapat semakin memperindah bersifat ukhrowi. Meskipun yang bersifat duniawi ataupun ukhrowi ini sama-sama dilakukan dengan perbuatan dunia, namun orientasi, tujuan, kegairahan, serta sikap bathin yang disiapkan sangat berbeda. Mas Kasno merespon pengamatan dan pendapat mas Nardi sebagai suguhan bait yang memperkaya makna Mempuisikan Puasa Kehidupan. Mas Kasno sangat mengapresiasi pandangan mas Nardi ini, salah satu yang digaris-bawahi adalah tentang kemampuan menunggu ‘buka’ pada saat yang tepat, meskipun kalau mau buru-buru makan juga bisa sejak pagi atau siang, hanya saja bobot kenikmatan duniawi tak bisa benar-benar menggapai kenikmatan ukhrowi. Sebab yang satu (duniawi) dengan menurutkan keinginan dengan mengabaikan kesabaran, rasa syukur, dan keteguhan hati, sedangkan yang satu (ukhrowi) dengan menguntai sabar, syukur, dan keteguhan.

 

 

Berlanjut kepada mas Fidhoh tentang respon pada topik malam hari ini, di dalam responnya  bahwasannya dahulu ketika masih kecil mendapatkan nasihat oleh mendiang ayahnya “ jangan pernah engkau torehkan tinta merah di lembaran kehidupanmu”, lalu timbulah pertanyaan lalu kalau toh kita sebagai pena penoreh tinta tersebut, apakah kita harus meniadakan keberadaan tinta merah tersebut, memilih untuk tidak menyentuhnya bahkan melupakannya, lantas dalam lukisan saja kita memerlukan warna tersebut, disini Fidhoh mengibaratkan bahwa tinta merah tersebut adalah sebuah keburukan.

 

 

Berlanjut pada tanggapan berikutnya Pak Tri, belia mencoba untuk menceritakan dan mengutarakan yang pernah beliau alami dalam kehidupan dahulu. Perjalanan hidup Pak Tri begitu puitis sekali. Sepanjang dari SD sampai SMA rapor tidak begitu dipedulikan oleh orang tua bila bahkan terdapat tinta merah. Juga ketika mendapat nilai agama yang jelek gara-gara tak mau mengarang kegiatan yang tidak ada di kampungnya. Seperti halnya kultum yang tidak selalu ada, teman-temannya kompak membuat karangan agar kolom tugas terisi. Awalnya dia melakukan hal yang sama, namun pada tahun berikutnya ia berpendapat bahwa kegiatan ramadhan itu seharusnya membuat manusia lebih jujur dan berani bertanggung-jawab. Sehingga ia tak lagi mau mengarang, meskipun dianggap pemalas dan mendapat nilai yang rendah. Lain halnya saya kuliah, pada suatu semester beliau mendapat IP 3.6 dan merasa sangat bangga. Ibunya yang sejak SD nggak pernah menanyakan nilai, kebetulan menanyakan nilai pada hari itu. Tentu saja dengan sumringah dan penuh kebanggaan, Pak Tri menjawab nilai 3.6. Yang terjadi sungguh tak seindah harapan, karena sang ibu merasa tanpak sedih, terpukul dan menangis. Bukan hanya itu, dalam beberapa hari Pak Tri didiamkan, tidak diajak bicara oleh ibunya. Untunglah ada Bapak yang bisa dituju unyuk menjelaskan kronologi kejadian dan sistem penilaian di kampus. Bapak beliau bisa mengerti dan memberi nasehat “bapak tidak bisa memberikan kamu apa-apa, yang bisa bapak upayakan adalah memberikan kamu kesempatan. Jadi selama masih ada kesempatan, gunakanlah sebaik mungkin agar kamu tidak menyesal”. Pak Tri merasa disitulah seninya kehidupan dimana setiap peristiwa mengandung syair-syair puitik. Begitupun saat beliau melaksanakan perhelatan pernikahan, beliau merasa tidak ambil pusing pada persiapan akad nikah itu, beliau pasrahkan segala sesuatunya pada kehendak Tuhan, pada akhirnya semua berlangsung begitu lancar dan indah bilamana kita selalu mempasrahkan semua pada kehendak-Nya, lebih baik kita coba untuk mengukir puisi kehidupan itu dan kita pasrahkan semua pada kehadhirat-Nya agar berkesesuaian dan menimbulkan keindahan, berkah itu juga berasal saat kita tidak mengetahui sesuatu, saat kita tahu banyak kadang disitulah muncul kekhawatiran. Mas Kasno menceritakan bahwasannya kita sering mendengar cerita berulang tentang pernikahan Pak Tri, namun kita tak pernah bosan dan merasa cerita itu amat menarik maka disitulah dapat diambil kesimpulan bahwasannnya puisi adalah kata-kata yang dapat mengalir.

 

 

Berlanjut berikutnya pada tanggapan Mas Ezra, bahwasannya memaknai “mempuisikan puisi kehidupan”, sebenarnya belum pernah mengetahui secara pasti apa makna puisi dalam ranah edukasi, namun di kepala ia berpendapat bahwa puisi ialah ekspresi jiwa yang kuat, ketika jiwa itu berekspresi maka akan mengalami kedinamisan sosial sebagai pengalaman pribadi terhadap obyek yang ada ataupun tidak. Pengalaman tersebut membentuk jiwanya, ketika jiwanya terbentuk dia semakin pandai membawakan diri secara ekspresif sehingga berbentuk puisi. Sebab ia begitu menjiwainya maka timbulah ekspresi yang tidak terbendung dan mengakui betapa indahnya puisi kehidupan ini. Kalau untuk puasa sebenarnya adalah penahanan terhadap segala sesuatu yang tidak pakem, seperti menahan untuk tidak berfikir negatif pada orang lain, menahan untuk melakukan hal yang dianggap menimbulkan kemudharotan dsb. Bagaimana hati itu menahan sementara waktu dan ajaibnya ketika puasa ternyata dalam pengalaman pribadi kita secara dinamis ternyata ada hal yang harus kita tahan serta itu saling bersangkut-paut, dalam pengalaman pribadi tidak ada yang tidak puasa. Mas Kasno langsung merespon tanggapan mas Ezra, bahwasannya mendapat satu list lagi tentang topik malam itu, bahwa puisi adalah ekspresi jiwa dari sebuah perjalanan kehidupan dan saat disampaikan dengan penuh penjiwaan otomatis menjadi bahasa universal, karena yang merespons adalah jiwa sehingga juga tersampaikan kepada jiwa. Selain itu hal menarik lagi adalah puasa dapat ditarik sebuah ke universalan yang menarik yaitu “tidak ada kehidupan yang tidak berpuasa”.

 

 

Berlanjut kepada Mas Koko, sebenarnya apa yang sudah disampaikan termasuk seperti yang ingin mas Koko sampaikan. Puisi kehidupan adalah lebih ke bahasa yang sering digunakan oleh banyak orang, baik untuk status medsos ataupun caption yaitu “Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan”, dan sepaham dengan tanggapan Mas Ezra “tidak ada kehidupan yang tidak berpuasa” kalau dilihat dari tema ramadhan ini, puasa pasti didefinisikan sebagai menahan lapar dan haus dan juga menahan emosi, tetapi dalam kehidupan itu puasa maknanya lebih luas lagi. Pada saat umur muda bahwa seringkali orang pandai merangkai kata entah merayu lawan jenis atau apalah itu tetapi ketika menginjak usia diatas 25an, lebih suka mengekspresikannya ke dalam sebuah bentuk menata diri pada bukan lagi hanya perkataan saja, melainkan perbuatan. Sehingga dorongannya adalah juga melakukan keindahan sebagaimana kata indah yang dulu gemar ia tulis. Melakukan dengan seindah dan sepuitis jangkauannya menoreh puisi. Mas Kasno merespon bahwasannya puisi itu dinamis seperti perjalanan hidup masing masing manusia yang pernah dialami, seindah apapun kata-kata yang dirangkai kalau kita belum melakukan yang kita sampaikan, mungkin yang menerima juga tidak merasa match atau klop atau cocok.

 

 

Berikutnya tiba giliran mas Padma, untuk memaknai topik malam itu, beliau mencoba bercerita tentang segala sesuatu yang dirasa tidak dapat dilaksanakan selama ini, dengan adanya tema ini sampai tidak ada yang bisa diungkapkan lagi, bahwasannya begitu indahnya bisa membersamai lagi dalam ikatan lingkaran segitiga cinta keluarga Majlis Gugurgunung ini. Mas Kasno merespon apa yang disampaikan Mas Padma bahwasannya kita tidak pernah menolak kedatangan siapapun dan juga tidak pernah menahan kepergian sedulur yang sedang menjalankan titah kegiatanntya yang lain. Sebab otomatis wirid gugurgunung yang selalu dibacakan akan selalu menjadi do’a yang menyertai kepergian sedulur yang sedang dalam proses pengembaraan di tempat lain sehingga kembali kesini membawa oleh-oleh kebaikan dari pengembaraan tersebut.

 

 

SESI 2-

Mas Kas sebagai selaku moderator, memberikan mic kepada Mas Agus untuk menanggapi apa yang sudah disampaikan para sedulur sebelumnya. Bahwasannya apa yang disampaikan para sedulur sudah mencicil apa yang akan disampaikan Mas Agus  dan  ternyata ungkapan dari perespon terakhir adalah Gong dari renteng puisi-puisi indah yang telah disampaikan. Bahwasannya ada sebuah ketulusan dan estetika, pemilihan bahasa Jawa krama halus adalah indikatornya. Meskipun ada salah satu audience kurang mengerti itu, tetapi dia tetap menghadirkan bahasa tersebut dengan alasan keindahan yang mungkin hanya bisa terwakili melalui susunan krama inggil, itu adalah sebuah puisi paling indah, bahasa yang penuh kedinamikaan, penuh kesantunan, penuh dengan pungtuasi dlsb. Itu pula yang disampaikan alam sekitar, ia bersyair dengan bahas yang tak mampu langsung kita pahami. Kita perlu watah pujangga untuk memaknai segala jenis syair, sehingga kita menjadi pihak yang kian terdewasakan melalui perkataan kehidupan yang tulus dan estetis.

 

 

Misal tadi Mas Nardi memberikan sorotan terhadap topik malam hari ini kemudian diuraikan sedemikian rupa, jadi ada satu kesimpulan yang ditarik, yakni mengindahkan pengendalian hidup di dunia, ini adalah tarikan sederhana tetapi jitu sebab dunia itu pasti ada dua kubu, sehingga ada polaritas. Ada tinggi dan rendah, ada kanan dan kiri dlsb, kalau kita memaknai indah hanya pada satu sisi berarti dapat dikatakan belum mencapai keindahan, keindahannya baru separuh. Kita memaknai kenyang saja sebagai rahmat dan melupakan lapar sama saja keindahan masih separuh, yang padahal lapar juga Rahmat Tuhan. Tanpa rasa lapar maka kita tidak akan bisa menikmati makanan itu, sama halnya seperti proses, proses itu sudah merupakan kenikmatan luar biasa, hasil dari proses itu juga kenikmatan yang berlapis ganda. Kita sering mengasumsikan kesempitan adalah hal yang tidak mengenakkan dan keluasan itu adalah kelapangan. Tiap-tiap kita pasti pernah mengalami suasana sempit, sesak, namun kita didera kesempitan itu untuk untuk mendaya gunakan keluasan cinta yang intim dan mesra, jika tak bisa mendayagunakan cinta dalam kesempitan, akankah ada peluang lebih baik jika kita dihadapkan pada keluasan, luapan kegembiraan? malah kita akan cenderung lalai, abai, dan kehilangan kewaspadaan diri.

 

 

Kita itu diberi ungkapan-ungkapan yang memang disembunyikan, persis seperti puisi bahwasannya tidak harafiah, seperti separuh jiwa, separuh hatiku, padahal kalau digambarkan itu tidak akan kelihatan indah malah menjadi menakutkan, itu semua menjadi indah karena kita semua memilik kemampuan berpuisi punya watak pujangga, begitupun Allah melimpahkan bahasa-bahasa pada kita yang seolah mengandung cacat, kadang kurang kadang lebih. Dikurangkan dan dilebihkan pada titik tertentu agar kita bisa berimbang.

 

Tak jarang Tuhan memberi pancingan berupa ujian pada kita untuk memantau apakah serpihan  Asma dan Sifat-Nya masih terjaga pada fitrahnya. Masihkah titipan-Nya berfungsi pada diri seseorang. Diuji dengan kebencian apakah benih Rahman Rahim masih terkandung. Diuji dengan kemarahan apakah masih berfungsi benih Sabar yang dititipkan-Nya. Jika benih-benih masih berfungsi berarti akan ditumbuhkan lagi agar makin intens, agar kita semakin tetap berada dalam ketetapan-Nya. Kalau semua itu masih ada berarti kita masih terkoneksi dengan apa-apa yang berada di luar dari diri kita, semua yang berada di luar itu tetap, seperti tanah tidak akan berjoget seperti api, begitupun api tidak akan meliuk mengalir ke bawah seperti air, mereka berpuisi secara tetap. Karena kita makhluk dinamis, kita membuat ketetapan itu dengan cara dinamis bukan dengan cara statis, yakni tumbuh dan beraktifitas sesuai fitrahnya, sesuai benihnya. Kalau diberi benih lombok maka tumbuhlah lombok jangan tumbuh sebagai pare dlsb, itulah cara kita untuk mengkhidmadi kehidupan. Kalau dikasih benih tomat ya sudah cukup jadi tomat yang bener, nggak perlu tumbuh sebagai tongseng.

 

 

Berlanjut pada pertanyaan Fidhoh soal nasehat mendiang ayahnya sewaktu kecil, soal jangan menorehkan tinta merah pada kehidupan, itu merupakan nasehat yang baik sekali,  soal tinta merah itu buruk atau tidak, di sekolah tinta merah itu melambangkan nilai yang dibawah standart, sehingga maksud nasihat ini agar engkau tidak jemblok di kehidupanmu. Tapi kita memiliki pemahaman yang berkembang untuk memahami makna warna merah, yaitu jalur merah atau Shirothut Talbis (jalur pengelabuan & muslihat) yang jangan kita tempuh. Tetapi jalur merah itu memang harus ada, karena itu unsur yang membantu proses pertumbuhan jiwa manusia menjadi yang lebih dewasa. Kita sendiri dianjurkan oleh para Nabi dan Rasul untuk meniti perjalanan pada jalur biru atau Shirothun Nubuwwah. Kepada jalur merah kita boleh mengenali dan memahami untuk menjadi alat kewaspadaan diri. Sedangkan kepada jalur biru harus dipahami dan ditempuh untuk menjadi jalan mustaqim.

 

 

Berlanjut kepada Pak Tri, dari semua pengalaman hidup dan kelucuan-kelucuan yang pernah dialami, itulah tanda bahwa adegan itu bisa akan terjadi dengan sempurna tanpa kita membikin skenarionya, kita tinggal melakukannya, sudah ada yang membuat skenarionya itu semua, dan kadang kita akan terperangah sendiri karena tak menyangka bahwa semua adegan berlangsung seindah itu. Yang dapat kita tarik, puisi itu akan menjadi indah ketika kita mau mengikuti alurnya Tuhan, kalau kita masih merasa pandai dan merada mampu memikirkan alur hanya sesuai pikiran kita sendiri, maka puisi itu akan menjadi kurang indah, karena ada unsur yang kita paksakan untuk ada, ada unsur yang kita hilangkan yang justru seharusnya ada. Puisi hidup kita berkata dengan masygul, menjadi kurang indah, karena kita masih belum ridho untuk pasrah sehingga merasa patur mengintervensi puisinya Allah atas hidup kita. Maka dari itu sebelum memaknai cara untuk memurnikan kembali rohani jiwa dlsb, memang diperlukan kemampuan memilih dan memilah, memang diperlukan kemampuan untuk mengenali porsi, memang kita harus mampu memahami pola-pola itu dari pengalaman-pengalaman kita alami sendiri.

 

 

Kemudian bersambung ke Mas Koko dimana rangkaian dari yang telah apa yang disampaikan itu adalah hadiah-hadiah, hidangan-hidangan, keindahan-keindahan, ada irama, tekanan, pekikan dslb, itu semua menjadi hadiah yang begitu indah, karena kedewasaanlah yang akan mengatakan bahwa semua itu adalah kenikmatan, kita tak serta merta memahami semua itu sebagai keindahan karena kita harus melalui tahap atau tingkatan-tingkatan dahulu, semua itu karena adanya ekspresi jiwa, ekspresinya jiwa itu tidak tunduk pada ekspresinya jasad, ekspresi jasad itu berupa panca indera, tetapi dengan adanya ekspresi jiwa maka akan menlengkapi panca indera itu untuk menjadi kembang-kembang yang lebih matang di dalam kehidupan, sehingga dari kembang berkembang menjadi buah, soalnya kalau hanya berhenti sampai kembang maka puncaknya hanya layu. Melalui buah-lah yang lebih memungkinkan terjadinya keberlangsungan kehidupan lagi melalui biji di dalam buah. Kenikmatan bertingkat dan berlapis seperti ini hanya akan  bisa kita kenali jika jiwa kita selalu membuka diri untuk senantiasa berekspresi, ini juga berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Ezra bahwa tidak ada satupun di kehidupan ini yang tidak berpuasa, semua berpuasa, karena kalau tanpa berpuasa, sesungguhnya manusialah yang tidak kebagian tempat. Manusia akan lantak dan rantas berhadapan dengan air, angin, tanah, dan api, yang mereka pernah menampilkan kedasyatannya untuk menggulung kepongahan manusia.

 

 

Berlanjut akhirnya pada Mas Kas sebagai moderator juga menanggapi topik malam hari ini, bahwa puasa itu pasangan nya adalah idul fitri yang berasal dari kata fitrah (fathoro), kalau kita sudah berhasil menjalani puasa satu bulan penuh maka kita kembali ke fitrah, wah hanya sebulan saja kita bisa kembali lagi, enak sekali. Tapi Wallahua’lam, sebab diamati ada hal yang menarik sebelum menuju ke perhelatan tema ini. Beberapa hari sebelumnya, mas Kasno mendapat mimpi dan diberi nasehat tentang makna berpuasa. Dimana dalam mimpinya dikatakan bahwa guna puasa itu untuk agar mempertajam kembali sensitivitas panca indera. Nyatanya memang demikia, yang kemarin es teh biasa saja kopi yg hanya begitu saja sekarang menjadi begitu enak, bahkan aromanya saja hadir lebih wangi dari biasanya bahwasannya ternyata puasa bisa mereset kita kembali ke keadaan semula, bukan hanya jasmani tetapi rohani juga.

 

 

Akhirnya tepat jam 00.03 batas yang juga kami pahami untuk memungkasi acara meskipun, gairah masih terus ingin berlanjut dan kesemuanya pun sepakat, acara dipungkasi dengan Doa , atau tepatnya dengan puisi Mbah Umbu yang berjudul Doa yang dibacakan oleh Mbah Umbu sendiri dengan teknik membuka rekaman audio puisi tersebut disalurkan ke pengeras suara, kami menyimak dengan hening lalu mengamininya. Kemudian kami berdoa secara khusus untuk Mbah Umbu. Alfatihah….

 

 

 

Reported by Kasno, Fidhoh Akmal