Mempuisikan Puasa Kehidupan

Back Story:

 

Gagasan tema Mempuisikan Puisi Kehidupan digulirkan di pawon gugur gunung pada 20 April. Persiapan gelaran dicicil sejak 21 April. Tema ini sebagai bentuk kecintaan kami kepada Mbah Umbu, yang laku kehidupannya adalah “Puasa”, yang kami anak cucunya pada lingkaran simpul Majlis Gugur Gunung juga mengenalnya sebagai “Puisi”.

 

Masing masing penggiat menunjuk diri atas potensi perannya. Mukadimah, poster, dan persiapan teknis lain segera diolah. Sehingga sebelum hari H kelar dan siap disajikan.

 

Pun kegiatan berkebun, yang sejak pandemi menjadi satu kesatuan rangkaian kegiatan dengan rutinan sinau bareng, juga kelar dirapel. Sehingga hari H, diharapkan bisa focus pada persiapan acara. Oh iya, sebagai informasi, kebun kami sedang kita tanami Semangka dan Melon, sebagai kelanjutan dari sinau Lombok, Kangkung, Bayam, Tomat, Pare, Terong, dan Kacang Panjang. Demikian ilustrasi progress terkini kegiatannya :

 

 

Magical Moment

 

Kegembiraan menyertai kami pada saat waktu berbuka puasa. Lewat group kami saling berkabar tentang persiapan acara, juga kabar lainnya, diantaranya berupa kabar gembira atas termuatnya 2 tulisan keluwarga gugur gunung pada “Wisdom Of Maiyah”. Yang juga kami sepakati sebagai wadah interaksi kami dengan Mbah Nun. 2 tulisan dengan nomor 117 (Pray, Bless, and Sanctuary), dan nomor 118 (Buah Pencarian). Sungguh hadiah yang indah. Kahanan kian meruang puitik.

 

 

Kami datang di lokasi acara hampir bersamaan. Paras Rembulan yang hampir bulat, taburan bintang gemintang pada bentangan langit Ramadhan, suara suara binatang malam, serta kesiur angin dari puncak Gunung Munggut yang beraroma hutan khas musim kemarau, seolah mengkonfirmasi kehadiran. Kelasa digelar, jajanan ditata, kopi diseduh, alam alaman sebentar, lalu acara dimulai. Acara dibuka oleh mas Kasno, Tawasulan oleh Mas Agus, Wirid Munajat Sholawat oleh Pak Tri, dilantunkan bersama segenap yang hadir. Pak Tri mandeg tak berkata kata saat mahalul qiyam, memberi kode dengan gerakan tangan dan kerdipan mripat. Ya sudah langsung disawut oleh mas Kasno, terjadi salah nada di sana-sini. Gayeng dan mengharukan. Berlanjut khusuk, khidmat, dan hangat, hingga akhir.

 

Mukadimah dibacakan dan disimak bareng bareng. Lalu direspon oleh semua yang hadir. Diskusi khas gugur-gunungan, seluruh yang hadir dipersilahkan memberikan pandangan terhadap tema. Masing masing secara bergantian berkisah tentang perjalanan hidup. Mengalir, asik, dinamis, dan sangat menarik. Dari perjalanan hidup tersebut banyak ditemukan momentum puasa, baik pada polaritas susah-senang, baik buruk, suka duka, dan seterusnya. Masing masing menemukan keindahan kisah yang jangkep, yang kemudian kami sepakati sebagai Puisi.

 

Oh iya, rutinan kali ini juga dihadiri oleh seorang pemuda dari Jakarta. Mas Ezra namanya. Mahasiswa semester akhir yang sengaja ke Semarang untuk merampungkan skripsi. Salah satu tempat yang disinggahinya untuk beberapa waktu adalah rumah Mas Agus, Ungaran. Langsung gandrung sama suasana pegunungan dan perkebunan yang sedang digarap dulur dulur gugur gunung. Seperti menemukan angin yang mungkin tidak seperti ” angin di Jakarta”. Padanya, dalam sinau bareng tersebut, pemandu diskusi mencoba menanyakan tentang Puasa pada ajaran Nasrani, yaitu ajaran yang dianutnya. Dan responnya :  “Mana ada kehidupan yang tidak ada puasa di dalamnya”. Sungguh jawaban yang sangat santika, sangat universal, dan clear. (Semoga Mas Ezra adalah Nasrani yang Nasrullah, doaku).

 

Jadi ingat tulisan Mbah Nun, ” Bahkan Tuhan pun berpuasa”.

 

Jam 00:30. Batas yang juga harus kami pahami untuk memungkasi acara, meskipun gairah masih terus ingin. Dan kesemuanya pun sepakat. Acara dipungkasi dengan Doa, atau tepatnya dengan Puisi Mbah Umbu yang berjudul “Doa”, yang dibacakan oleh Mbah Umbu sendiri, dengan teknik membuka rekaman Audio Puisi tersebut dengan disalurkan ke pengeras suara. Kami menyimak dengan hening, lalu mengamininya. Kemudian kami bersama sama berdo’a secara khusus untuk Mbah Umbu. Al Faatihah…

 

 

Reportase Lengkap

 

Pada Sabtu terakhir di bulan April tepatnya 25 April 2021. Merupakan Sinau Bareng yang dilakukan kedua kalinya di tahun 2021 ini oleh Majlis Gugurgunung. Walaupun isu pandemi semakin di naikkan lagi karena mendekati lebaran pada tahun ini, namun itu semua tidak mengurangi keteguhan kami untuk mengadakan acara pada malam hari itu yang bertepatan pada bulan puasa tahun ini yang sudah menginjak hampir setengah bulan pelaksanaan ibadah puasa. Tidak lupa kami selalu mengutamakan dan selalu mematuhi protokol kesehatan yang ada.

 

Bismillahirohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan suka cita dan mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan Sinau Bareng untuk kedua kalinya dan puji syukur bahwasannya kami masih diberi kesempatan untuk mengadakan perhelatan ini lagi di tempat yang sama seperti Sinau Bareng bulan lalu tepatnya bertempat di komplek makan Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari. Tema workshop malam hari ini adalah “Mempuisikan Puasa Kehidupan”. Alhamdullilah pada malam hari ini dihadiri oleh mas Padma yang sebelumnya tidak dapat hadir dan dihadiri pula oleh Mas Ezra yang datang jauh dari Jakarta. Kemudian acara dimulai dengan Tawasul oleh Pak Tri juga Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan dari Mas Agus.

 

 

Mas Kasno sebagai moderator memulai acara pada pukul 21.00 dengan bacaan Basmallah kemudian pembacaan Mukadimah tepat acara kami dibersamai oleh rintik hujan yang semakin menambah hawa kesejukan pada malam hari itu serta rahmat dan syukur. Sebelum memulai sesi tanggapan Mas Agus memberikan kesempatan pada sedulur untuk memberikan waktu pada tembakau untuk berkata-kata terlebih dahulu maka disulutlah api pada sebatang lintingan yang begitu semerbak nikmatnya sambil menunggu para sedulur untuk menggali soal tanggapan terhadap topik Sinau Bareng pada malam hari itu.

 

 

SESI 1-

Sebagai pemantik Mas Agus membuka diskusi itu dengan meng-kloso-ni bahwasanya kita itu menjajaki tahapan-tahapan bait, dimana bait itu utuhnya diawali dari sejak kita lahir hingga kita pulang di sisi-Nya itulah kumpulan bait dalam sebuah puisi. Jadi tidak berhenti hanya menjadi satu fase, tetapi semua kehidupan yang telah kita jalani dari sejak lahir hingga mati adalah satu bait puisi. Puisi itu tak harus panjang tetapi makna dari puisi tersebut dapat menjelma sebagai buku tebal apabila diurai secara meluas dan mendalam, sebagaimana hidup yang pendek. Tak harus panjang, namun apakah pada yang pendek itu puisi kita penuh arti atau hanya deretan bait kata tanpa makna. Hidup di dunia sebenarnya singkat tetapi semua terasa lama karena adanya ilusi waktu. Kita bebas torehkan pada yang singkat itu sebagai puisi, atau sebagai tulisan lain, karena kita adalah pena penulis kehidupan. Setiap pilihan masing masing orang berbeda mau menulis novel, prosa, puisi, cerpen atau bahkan hanya sekedar status medsos itu terserah pada pribadinya sendiri. Tetapi kita harus menyadari seberapa jangkauan kita, kalau kita mampu untuk berpuisi namun hanya gemar menulis celotehan konyol maka disitulah letak degradasi. Sebab kita hidup berkeluarga dengan syair, terkepung puisi dan sastra. Alam, tumbuhan, tanah dsb mereka juga berpuisi. Salah satu nilai plus pada suatu karya puisi itu, bilamana di dalamnya terdapat banyak lipatan-lipatan atau polemic. Sama halnya seperti pada Keris yang berkeluk, ada seninya. Halnya dengan hidup kita, bila hanya cuma lajur lurus saja maka hidup kita akan terasa membosankan atau datar. Hidup berada dalam satu garis, pada garis itu ada kala diatas kadang juga dibawah. Tetapi titik hubung dari awal dan titik akhir tak berubah koordinatnya. Tetap fokus sehingga gelombang naik turun itu keluk lekuk kehidupan yang nyeni. Hidup akan runyam jika titik akhir berubah-ubah. Bentuk garis hidup menjadi tidak jelas. Batal menjadi keris sebab malah melingkar-lingkar seperti per tapi bukan per. Maka kita harus memiliki tujuan fokus itu kepada siapakah kelas kita akan persembahkan puisi itu, hanyalah kepada-Nya.

 

 

Tak lama kemudian Mas Nardi merespon pantikan tersebut, dia mencoba untuk menerjemahkan judl tema Sinau Bareng edisi April 2021 ini. Ada tiga kata: “mempuisikan” ,”puisi, “kehidupan”, semua itu saling terikat dan menjadi satu makna, untuk “mempuisikan” sendiri adalah kata kerja, “puisi” tersebut adalah kata makna yang dirangkum menjadi indah, membuat makna lebih tajam, puasa sendiri itu sebenarnya kita bisa atau mampu untuk makan dan minum, tapi kita harus menundanya hingga batas waktu itu selesai atau menggantinya dengan hal yang telah ditetapkan, memperindah keindahan yang ada di kehidupan dunia, seperti contoh kita itu puasa saja sudah indah apalagi kita meluangkan waktu dengan sedikit kebaikan maka itu akan semakin memperindah puasa itu. Segala sesuatu yang bersifat duniawi kita pending dahulu lantas menggantinya dengan hal lain yang dapat semakin memperindah bersifat ukhrowi. Meskipun yang bersifat duniawi ataupun ukhrowi ini sama-sama dilakukan dengan perbuatan dunia, namun orientasi, tujuan, kegairahan, serta sikap bathin yang disiapkan sangat berbeda. Mas Kasno merespon pengamatan dan pendapat mas Nardi sebagai suguhan bait yang memperkaya makna Mempuisikan Puasa Kehidupan. Mas Kasno sangat mengapresiasi pandangan mas Nardi ini, salah satu yang digaris-bawahi adalah tentang kemampuan menunggu ‘buka’ pada saat yang tepat, meskipun kalau mau buru-buru makan juga bisa sejak pagi atau siang, hanya saja bobot kenikmatan duniawi tak bisa benar-benar menggapai kenikmatan ukhrowi. Sebab yang satu (duniawi) dengan menurutkan keinginan dengan mengabaikan kesabaran, rasa syukur, dan keteguhan hati, sedangkan yang satu (ukhrowi) dengan menguntai sabar, syukur, dan keteguhan.

 

 

Berlanjut kepada mas Fidhoh tentang respon pada topik malam hari ini, di dalam responnya  bahwasannya dahulu ketika masih kecil mendapatkan nasihat oleh mendiang ayahnya “ jangan pernah engkau torehkan tinta merah di lembaran kehidupanmu”, lalu timbulah pertanyaan lalu kalau toh kita sebagai pena penoreh tinta tersebut, apakah kita harus meniadakan keberadaan tinta merah tersebut, memilih untuk tidak menyentuhnya bahkan melupakannya, lantas dalam lukisan saja kita memerlukan warna tersebut, disini Fidhoh mengibaratkan bahwa tinta merah tersebut adalah sebuah keburukan.

 

 

Berlanjut pada tanggapan berikutnya Pak Tri, belia mencoba untuk menceritakan dan mengutarakan yang pernah beliau alami dalam kehidupan dahulu. Perjalanan hidup Pak Tri begitu puitis sekali. Sepanjang dari SD sampai SMA rapor tidak begitu dipedulikan oleh orang tua bila bahkan terdapat tinta merah. Juga ketika mendapat nilai agama yang jelek gara-gara tak mau mengarang kegiatan yang tidak ada di kampungnya. Seperti halnya kultum yang tidak selalu ada, teman-temannya kompak membuat karangan agar kolom tugas terisi. Awalnya dia melakukan hal yang sama, namun pada tahun berikutnya ia berpendapat bahwa kegiatan ramadhan itu seharusnya membuat manusia lebih jujur dan berani bertanggung-jawab. Sehingga ia tak lagi mau mengarang, meskipun dianggap pemalas dan mendapat nilai yang rendah. Lain halnya saya kuliah, pada suatu semester beliau mendapat IP 3.6 dan merasa sangat bangga. Ibunya yang sejak SD nggak pernah menanyakan nilai, kebetulan menanyakan nilai pada hari itu. Tentu saja dengan sumringah dan penuh kebanggaan, Pak Tri menjawab nilai 3.6. Yang terjadi sungguh tak seindah harapan, karena sang ibu merasa tanpak sedih, terpukul dan menangis. Bukan hanya itu, dalam beberapa hari Pak Tri didiamkan, tidak diajak bicara oleh ibunya. Untunglah ada Bapak yang bisa dituju unyuk menjelaskan kronologi kejadian dan sistem penilaian di kampus. Bapak beliau bisa mengerti dan memberi nasehat “bapak tidak bisa memberikan kamu apa-apa, yang bisa bapak upayakan adalah memberikan kamu kesempatan. Jadi selama masih ada kesempatan, gunakanlah sebaik mungkin agar kamu tidak menyesal”. Pak Tri merasa disitulah seninya kehidupan dimana setiap peristiwa mengandung syair-syair puitik. Begitupun saat beliau melaksanakan perhelatan pernikahan, beliau merasa tidak ambil pusing pada persiapan akad nikah itu, beliau pasrahkan segala sesuatunya pada kehendak Tuhan, pada akhirnya semua berlangsung begitu lancar dan indah bilamana kita selalu mempasrahkan semua pada kehendak-Nya, lebih baik kita coba untuk mengukir puisi kehidupan itu dan kita pasrahkan semua pada kehadhirat-Nya agar berkesesuaian dan menimbulkan keindahan, berkah itu juga berasal saat kita tidak mengetahui sesuatu, saat kita tahu banyak kadang disitulah muncul kekhawatiran. Mas Kasno menceritakan bahwasannya kita sering mendengar cerita berulang tentang pernikahan Pak Tri, namun kita tak pernah bosan dan merasa cerita itu amat menarik maka disitulah dapat diambil kesimpulan bahwasannnya puisi adalah kata-kata yang dapat mengalir.

 

 

Berlanjut berikutnya pada tanggapan Mas Ezra, bahwasannya memaknai “mempuisikan puisi kehidupan”, sebenarnya belum pernah mengetahui secara pasti apa makna puisi dalam ranah edukasi, namun di kepala ia berpendapat bahwa puisi ialah ekspresi jiwa yang kuat, ketika jiwa itu berekspresi maka akan mengalami kedinamisan sosial sebagai pengalaman pribadi terhadap obyek yang ada ataupun tidak. Pengalaman tersebut membentuk jiwanya, ketika jiwanya terbentuk dia semakin pandai membawakan diri secara ekspresif sehingga berbentuk puisi. Sebab ia begitu menjiwainya maka timbulah ekspresi yang tidak terbendung dan mengakui betapa indahnya puisi kehidupan ini. Kalau untuk puasa sebenarnya adalah penahanan terhadap segala sesuatu yang tidak pakem, seperti menahan untuk tidak berfikir negatif pada orang lain, menahan untuk melakukan hal yang dianggap menimbulkan kemudharotan dsb. Bagaimana hati itu menahan sementara waktu dan ajaibnya ketika puasa ternyata dalam pengalaman pribadi kita secara dinamis ternyata ada hal yang harus kita tahan serta itu saling bersangkut-paut, dalam pengalaman pribadi tidak ada yang tidak puasa. Mas Kasno langsung merespon tanggapan mas Ezra, bahwasannya mendapat satu list lagi tentang topik malam itu, bahwa puisi adalah ekspresi jiwa dari sebuah perjalanan kehidupan dan saat disampaikan dengan penuh penjiwaan otomatis menjadi bahasa universal, karena yang merespons adalah jiwa sehingga juga tersampaikan kepada jiwa. Selain itu hal menarik lagi adalah puasa dapat ditarik sebuah ke universalan yang menarik yaitu “tidak ada kehidupan yang tidak berpuasa”.

 

 

Berlanjut kepada Mas Koko, sebenarnya apa yang sudah disampaikan termasuk seperti yang ingin mas Koko sampaikan. Puisi kehidupan adalah lebih ke bahasa yang sering digunakan oleh banyak orang, baik untuk status medsos ataupun caption yaitu “Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan”, dan sepaham dengan tanggapan Mas Ezra “tidak ada kehidupan yang tidak berpuasa” kalau dilihat dari tema ramadhan ini, puasa pasti didefinisikan sebagai menahan lapar dan haus dan juga menahan emosi, tetapi dalam kehidupan itu puasa maknanya lebih luas lagi. Pada saat umur muda bahwa seringkali orang pandai merangkai kata entah merayu lawan jenis atau apalah itu tetapi ketika menginjak usia diatas 25an, lebih suka mengekspresikannya ke dalam sebuah bentuk menata diri pada bukan lagi hanya perkataan saja, melainkan perbuatan. Sehingga dorongannya adalah juga melakukan keindahan sebagaimana kata indah yang dulu gemar ia tulis. Melakukan dengan seindah dan sepuitis jangkauannya menoreh puisi. Mas Kasno merespon bahwasannya puisi itu dinamis seperti perjalanan hidup masing masing manusia yang pernah dialami, seindah apapun kata-kata yang dirangkai kalau kita belum melakukan yang kita sampaikan, mungkin yang menerima juga tidak merasa match atau klop atau cocok.

 

 

Berikutnya tiba giliran mas Padma, untuk memaknai topik malam itu, beliau mencoba bercerita tentang segala sesuatu yang dirasa tidak dapat dilaksanakan selama ini, dengan adanya tema ini sampai tidak ada yang bisa diungkapkan lagi, bahwasannya begitu indahnya bisa membersamai lagi dalam ikatan lingkaran segitiga cinta keluarga Majlis Gugurgunung ini. Mas Kasno merespon apa yang disampaikan Mas Padma bahwasannya kita tidak pernah menolak kedatangan siapapun dan juga tidak pernah menahan kepergian sedulur yang sedang menjalankan titah kegiatanntya yang lain. Sebab otomatis wirid gugurgunung yang selalu dibacakan akan selalu menjadi do’a yang menyertai kepergian sedulur yang sedang dalam proses pengembaraan di tempat lain sehingga kembali kesini membawa oleh-oleh kebaikan dari pengembaraan tersebut.

 

 

SESI 2-

Mas Kas sebagai selaku moderator, memberikan mic kepada Mas Agus untuk menanggapi apa yang sudah disampaikan para sedulur sebelumnya. Bahwasannya apa yang disampaikan para sedulur sudah mencicil apa yang akan disampaikan Mas Agus  dan  ternyata ungkapan dari perespon terakhir adalah Gong dari renteng puisi-puisi indah yang telah disampaikan. Bahwasannya ada sebuah ketulusan dan estetika, pemilihan bahasa Jawa krama halus adalah indikatornya. Meskipun ada salah satu audience kurang mengerti itu, tetapi dia tetap menghadirkan bahasa tersebut dengan alasan keindahan yang mungkin hanya bisa terwakili melalui susunan krama inggil, itu adalah sebuah puisi paling indah, bahasa yang penuh kedinamikaan, penuh kesantunan, penuh dengan pungtuasi dlsb. Itu pula yang disampaikan alam sekitar, ia bersyair dengan bahas yang tak mampu langsung kita pahami. Kita perlu watah pujangga untuk memaknai segala jenis syair, sehingga kita menjadi pihak yang kian terdewasakan melalui perkataan kehidupan yang tulus dan estetis.

 

 

Misal tadi Mas Nardi memberikan sorotan terhadap topik malam hari ini kemudian diuraikan sedemikian rupa, jadi ada satu kesimpulan yang ditarik, yakni mengindahkan pengendalian hidup di dunia, ini adalah tarikan sederhana tetapi jitu sebab dunia itu pasti ada dua kubu, sehingga ada polaritas. Ada tinggi dan rendah, ada kanan dan kiri dlsb, kalau kita memaknai indah hanya pada satu sisi berarti dapat dikatakan belum mencapai keindahan, keindahannya baru separuh. Kita memaknai kenyang saja sebagai rahmat dan melupakan lapar sama saja keindahan masih separuh, yang padahal lapar juga Rahmat Tuhan. Tanpa rasa lapar maka kita tidak akan bisa menikmati makanan itu, sama halnya seperti proses, proses itu sudah merupakan kenikmatan luar biasa, hasil dari proses itu juga kenikmatan yang berlapis ganda. Kita sering mengasumsikan kesempitan adalah hal yang tidak mengenakkan dan keluasan itu adalah kelapangan. Tiap-tiap kita pasti pernah mengalami suasana sempit, sesak, namun kita didera kesempitan itu untuk untuk mendaya gunakan keluasan cinta yang intim dan mesra, jika tak bisa mendayagunakan cinta dalam kesempitan, akankah ada peluang lebih baik jika kita dihadapkan pada keluasan, luapan kegembiraan? malah kita akan cenderung lalai, abai, dan kehilangan kewaspadaan diri.

 

 

Kita itu diberi ungkapan-ungkapan yang memang disembunyikan, persis seperti puisi bahwasannya tidak harafiah, seperti separuh jiwa, separuh hatiku, padahal kalau digambarkan itu tidak akan kelihatan indah malah menjadi menakutkan, itu semua menjadi indah karena kita semua memilik kemampuan berpuisi punya watak pujangga, begitupun Allah melimpahkan bahasa-bahasa pada kita yang seolah mengandung cacat, kadang kurang kadang lebih. Dikurangkan dan dilebihkan pada titik tertentu agar kita bisa berimbang.

 

Tak jarang Tuhan memberi pancingan berupa ujian pada kita untuk memantau apakah serpihan  Asma dan Sifat-Nya masih terjaga pada fitrahnya. Masihkah titipan-Nya berfungsi pada diri seseorang. Diuji dengan kebencian apakah benih Rahman Rahim masih terkandung. Diuji dengan kemarahan apakah masih berfungsi benih Sabar yang dititipkan-Nya. Jika benih-benih masih berfungsi berarti akan ditumbuhkan lagi agar makin intens, agar kita semakin tetap berada dalam ketetapan-Nya. Kalau semua itu masih ada berarti kita masih terkoneksi dengan apa-apa yang berada di luar dari diri kita, semua yang berada di luar itu tetap, seperti tanah tidak akan berjoget seperti api, begitupun api tidak akan meliuk mengalir ke bawah seperti air, mereka berpuisi secara tetap. Karena kita makhluk dinamis, kita membuat ketetapan itu dengan cara dinamis bukan dengan cara statis, yakni tumbuh dan beraktifitas sesuai fitrahnya, sesuai benihnya. Kalau diberi benih lombok maka tumbuhlah lombok jangan tumbuh sebagai pare dlsb, itulah cara kita untuk mengkhidmadi kehidupan. Kalau dikasih benih tomat ya sudah cukup jadi tomat yang bener, nggak perlu tumbuh sebagai tongseng.

 

 

Berlanjut pada pertanyaan Fidhoh soal nasehat mendiang ayahnya sewaktu kecil, soal jangan menorehkan tinta merah pada kehidupan, itu merupakan nasehat yang baik sekali,  soal tinta merah itu buruk atau tidak, di sekolah tinta merah itu melambangkan nilai yang dibawah standart, sehingga maksud nasihat ini agar engkau tidak jemblok di kehidupanmu. Tapi kita memiliki pemahaman yang berkembang untuk memahami makna warna merah, yaitu jalur merah atau Shirothut Talbis (jalur pengelabuan & muslihat) yang jangan kita tempuh. Tetapi jalur merah itu memang harus ada, karena itu unsur yang membantu proses pertumbuhan jiwa manusia menjadi yang lebih dewasa. Kita sendiri dianjurkan oleh para Nabi dan Rasul untuk meniti perjalanan pada jalur biru atau Shirothun Nubuwwah. Kepada jalur merah kita boleh mengenali dan memahami untuk menjadi alat kewaspadaan diri. Sedangkan kepada jalur biru harus dipahami dan ditempuh untuk menjadi jalan mustaqim.

 

 

Berlanjut kepada Pak Tri, dari semua pengalaman hidup dan kelucuan-kelucuan yang pernah dialami, itulah tanda bahwa adegan itu bisa akan terjadi dengan sempurna tanpa kita membikin skenarionya, kita tinggal melakukannya, sudah ada yang membuat skenarionya itu semua, dan kadang kita akan terperangah sendiri karena tak menyangka bahwa semua adegan berlangsung seindah itu. Yang dapat kita tarik, puisi itu akan menjadi indah ketika kita mau mengikuti alurnya Tuhan, kalau kita masih merasa pandai dan merada mampu memikirkan alur hanya sesuai pikiran kita sendiri, maka puisi itu akan menjadi kurang indah, karena ada unsur yang kita paksakan untuk ada, ada unsur yang kita hilangkan yang justru seharusnya ada. Puisi hidup kita berkata dengan masygul, menjadi kurang indah, karena kita masih belum ridho untuk pasrah sehingga merasa patur mengintervensi puisinya Allah atas hidup kita. Maka dari itu sebelum memaknai cara untuk memurnikan kembali rohani jiwa dlsb, memang diperlukan kemampuan memilih dan memilah, memang diperlukan kemampuan untuk mengenali porsi, memang kita harus mampu memahami pola-pola itu dari pengalaman-pengalaman kita alami sendiri.

 

 

Kemudian bersambung ke Mas Koko dimana rangkaian dari yang telah apa yang disampaikan itu adalah hadiah-hadiah, hidangan-hidangan, keindahan-keindahan, ada irama, tekanan, pekikan dslb, itu semua menjadi hadiah yang begitu indah, karena kedewasaanlah yang akan mengatakan bahwa semua itu adalah kenikmatan, kita tak serta merta memahami semua itu sebagai keindahan karena kita harus melalui tahap atau tingkatan-tingkatan dahulu, semua itu karena adanya ekspresi jiwa, ekspresinya jiwa itu tidak tunduk pada ekspresinya jasad, ekspresi jasad itu berupa panca indera, tetapi dengan adanya ekspresi jiwa maka akan menlengkapi panca indera itu untuk menjadi kembang-kembang yang lebih matang di dalam kehidupan, sehingga dari kembang berkembang menjadi buah, soalnya kalau hanya berhenti sampai kembang maka puncaknya hanya layu. Melalui buah-lah yang lebih memungkinkan terjadinya keberlangsungan kehidupan lagi melalui biji di dalam buah. Kenikmatan bertingkat dan berlapis seperti ini hanya akan  bisa kita kenali jika jiwa kita selalu membuka diri untuk senantiasa berekspresi, ini juga berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Ezra bahwa tidak ada satupun di kehidupan ini yang tidak berpuasa, semua berpuasa, karena kalau tanpa berpuasa, sesungguhnya manusialah yang tidak kebagian tempat. Manusia akan lantak dan rantas berhadapan dengan air, angin, tanah, dan api, yang mereka pernah menampilkan kedasyatannya untuk menggulung kepongahan manusia.

 

 

Berlanjut akhirnya pada Mas Kas sebagai moderator juga menanggapi topik malam hari ini, bahwa puasa itu pasangan nya adalah idul fitri yang berasal dari kata fitrah (fathoro), kalau kita sudah berhasil menjalani puasa satu bulan penuh maka kita kembali ke fitrah, wah hanya sebulan saja kita bisa kembali lagi, enak sekali. Tapi Wallahua’lam, sebab diamati ada hal yang menarik sebelum menuju ke perhelatan tema ini. Beberapa hari sebelumnya, mas Kasno mendapat mimpi dan diberi nasehat tentang makna berpuasa. Dimana dalam mimpinya dikatakan bahwa guna puasa itu untuk agar mempertajam kembali sensitivitas panca indera. Nyatanya memang demikia, yang kemarin es teh biasa saja kopi yg hanya begitu saja sekarang menjadi begitu enak, bahkan aromanya saja hadir lebih wangi dari biasanya bahwasannya ternyata puasa bisa mereset kita kembali ke keadaan semula, bukan hanya jasmani tetapi rohani juga.

 

 

Akhirnya tepat jam 00.03 batas yang juga kami pahami untuk memungkasi acara meskipun, gairah masih terus ingin berlanjut dan kesemuanya pun sepakat, acara dipungkasi dengan Doa , atau tepatnya dengan puisi Mbah Umbu yang berjudul Doa yang dibacakan oleh Mbah Umbu sendiri dengan teknik membuka rekaman audio puisi tersebut disalurkan ke pengeras suara, kami menyimak dengan hening lalu mengamininya. Kemudian kami berdoa secara khusus untuk Mbah Umbu. Alfatihah….

 

 

 

Reported by Kasno, Fidhoh Akmal

 

Mempuisikan puasa kehidupan

 

Hidup penuh hidangan, tidak semua yang bergizi tampil dengan menarik justru yang tidak bergizi sering tampil menarik. Ilmu puasa diperlukan untuk memilih dan memilah. Sehingga tiap-tiap waktu adalah pengendalian, kewaspadaan memilih, kecermatan memilah, maka konsep puasa telah diterapkan.

 

Berpuasa itu bukan fenomena kekurangan namun mengurangi. Bukan fenomena kemiskinan namun mencukupkan. Bukan fenomena menahan diri tapi mengenal porsi. Puasa juga mau memilih hal-hal tidak menarik sebab tahu bahwa itu bergizi. Pilihan tersebut menguntai. Betapa indahnya sehingga melantun sebagai bait-bait syair yang penuh makna dan pendalaman.

 

Romadhon adalah puasa wajib namun kewajiban berpuasa bisa diberlakukan selain romadhon. Sebagaimana kita selalu mengidamkan hidup dalam keseimbangan dan terkendali tidak hanya dalam satu bulan, melainkan sepanjang tahun bahkan sepanjang kehidupan.

 

Mari kita berpuisi di tengah bulan puasa ini, dimana bait-baitnya adalah perilaku, syairnya adalah cinta, lekuk dan pekikannya adalah jelmaan keindahan yang ngejawantah dalam kata dan saling menjaga. Sebab waktu berkata, angin berkata, laut berkata, langit berkata, mata kita berkata, lapar kita berkata, nikmat kita berkata, sedih kita berkata. Bahasanya berbeda, tapi caranya sama saja: bersyair.

 

Keluarga gugurgunung kembali menghelat Sinau Bareng bulan inin, berkenan menghadiri?
Monggo sugeng rawuh sugeng piranak.

Nisfu Sya’ban dan Jimat Tolak Balak

Pada Sabtu pekan terakhir di bulan Maret tepatnya 27 Maret 2021. Merupakan Sinau Bareng yang  pertama kali diadakan kembali pada malam hari di Tahun 2021 oleh Majlis gugurgunung. Persoalan pandemi yang belum kunjung usai membuat kegiatan Sinau Bareng sebelumnya diadakan pada pagi hingga siang hari, lantas dilanjutkan dengan menggarap lahan. Meskipun isu pandemi masih ada, namun proses adaptasi terhadap situasi saat ini telah jauh lebih kondusif dan tidak segenting pada awal-awal berita ini mencuat. Apalagi memang sudah terlalu lama kerinduan pada helatan Sinau Bareng malam hari sudah sangat tinggi. Hal baik lainnya adalah untuk kawasan regional Kabupaten, pada bulan Maret sudah diperbolehkan mengadakan acara dan terpenting selalu mematuhi protokol kesehatan.

Bismillahirrohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan sukacita dan memantapkan diri untuk bertempat di komplek makam Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari, Kab. Semarang untuk melaksanakan rutinan Sinau Bareng. Tema workshop malam ini adalah “Nisfu Syaban dan Jimat Tolak Balak”. Alhamdulillah  pada malam hari ini dihadiri juga oleh  Pak  Zam beserta putrinya Dek May, begitu juga dihadiri Mas Dany yang pada satu hari sebelumnya telah tiba dulu di Semarang dan satu lagi Mbak Kety teman dari Mbak Cahya yang pada malam itu mendapat kesempatan melingkar, maka diperkenankan untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan Tawasul oleh Pak Tri juga  Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan dari Mas Agus.

Mas Kasno sebagai moderator memulai acara pada pukul 20.30 dengan bacaan basmallah, kemudian mukadimah dibacakan. Tak lama kemudian turunlah hujan yang semakin deras yang menambah rahmat dan syukur di malam itu. Mas Agus membuka sesi tanggapan oleh setiap jamaah tentang persepsi kesombongan menurut pribadi sendiri-sendiri walaupun keadaan pada malam itu dipenuhi oleh gemercik hujan yang deras maka bersamailah itu dengan rasa penuh bahagia dan syukur dalam ikatan penuh kehangatan dimalam itu.

 

SESI I –
Ngudhari kesombongan diri

 

Maka diawali mas Koko, mempersepsikan bahwasannya kesombongan itu adalah “rumongso biso” padahal seharusnya “biso rumongso”. Berlanjut pada mbak Cahya, mempersepsikan bahwasannya “kesombongan itu ketika kita melihat yang lain lebih rendah daripada diri kita dan kita menyadari itu dan menghentikan kebaikan”. Disusul mas Fidhoh yang mempersepsikan bahwa “kesombongan itu tidak berarti pada orang-orang yang berpakaian bagus karena pada dasarnya itu adalah upaya untuk mengindahkan, tetapi kesombongan itu terletak pada ke-Akuan, tidak mau menerima pandangan orang lain merasa dirinya paling benar sendiri.” Berlanjut pada dek May, mempersepsikan kesombongan adalah “apapun yang dia lakukan atau bersikap merasa benar, dan lebih baik, entah dihadapan sesama manusia ataupun bahkan dihadapan Tuhan.”

Berlanjut lagi pada mas Dhani, mempersepsikan kesombongan adalah “segala yang manusia perbuat tak dia sadari bahwa itu semua berasal dari Tuhan”. Berlanjut mas Dhidit mengajukan sudut pandang bahwa kesombongan itu adalah “merasa lebih tinggi dari siapapun dan singkatnya tidak memanusiakan manusia” mas Dhidit memberikan contoh tentang seseorang yang mendaki gunung dia menganggap dirinya sendiri hebat karena sudah menakklukkan gunung yang tinggi padahal yang dia takklukan seharusnya adalah dirinya sendiri. Disusul oleh Mas Tri, yang mengajukan pula pandangan dan persepsinya bahwasannya kesombongan itu dirasakan dari rasa dan visual, seseorang yang berpenampilan biasa saja namun cara berbicaranya sedikit meninggi dan dalam hal berperilaku tulus atau tidak bisa dinilai itulah letak kesombongan, namun beliau mengungkapkan lagi bahwa kesombongan bisa dilihat juga walaupun belum bertemu bagaimana orang itu sebenarnya meremehkan atau tidak entah disengaja atau tidak mendatangkan kemudlaratan.

 

Mas Nardi menambahkan pula persepsinya bahwasannya kesombongan itu adalah “disaat kebanyakan orang tidak menyadari dan hanya tergantung oleh yang menilai, dari sifat sombong itu sendiri entah itu dari sifat pembawaan atau pun diluar sifat itu”. Berlanjut lagi pada mas Kasno, mempersepsikan kesombongan itu sering muncul dan berdampingan dengan perilaku baik, indah, luhur, keunggulan dlsb. Dan kebalikannya atau lawan dari itu adalah putus-asa karena sering berdampingan dengan perbuatan buruk atau keadaan dimana manusia merasa hidupnya tidak berjalan dengan indah. Setelah mas Kasno, pak Zam menyampaikan pula pandangannya bahwa kesombongan adalah “sesuatu yang hanya menyertakan salah satu sisi saja, entah itu, teknologi, budaya ekonomi dll, dan dapat dianalogikan seperti menomor satukan tangan kanan saja dan tidak menyadari keberadaan tangan kiri, dan kesombongan itu dekat sekali dengan kebodohan dan mengingkari peradaban”. Terakhir pada mbak Kety, peserta baru yang hadir bersama mbak Cahya, tak cuma mau diam, dia juga menyumbangkan pandangannya tentang kesombongan. Persepsinya: “kesombongan itu adalah disaat manusia merasa selalu benar dan tidak mau menerima nasihat dari yang lainnya”.

Mas Agus merasa sangat senang atas pendapat-pendapat yang disampaikan. Diibaratkan sebagai mutiara-mutiara yang satu dengan yang lainnya akan bisa saling belajar dan melengkapi pandangannya tentang kesombongan. Apa yang dipersepsikan tentang kesombongan dari keluarga gugurgunung yang sangat menarik dan otentik. Ini membuktikan bahwa point-point tentang kesombongan telah dipahami dalam diri setiap orang. Semua orang telah memahami sebagai pandangan Ilmu bawah sadar untuk menganalisis kesombongan. Di dalam al-Quran, Allah berfirman untuk tidak memusuhi malaikat Jibril, sebab malaikat Jibril sudah diutus Allah untuk menanamkan Al-kitab dalam dada setiap manusia. Demikian maka pemahaman tentang kesombongan pun sudah diperoleh oleh setiap manusia. Dengan bekal ilmu itu kita memerlukan media yang dinamakan dunia untuk menguraikan ayat demi ayat dari al-Quran yang berada di dalam dada kita tersebut.

 

Kesombongan itu sudah ada sejak Zaman Nabi Adam kalau memang Allah tidak menyukai kesombongan, maka tidak akan pernah menciptakan kesombongan itu, dan jika kesombongan bisa dihentikan oleh Nabi-nabi dan Rasul maka tidak ada lagi orang yang sombong, tapi nyatanya masih saja ada orang yang bersikap sombong. Jadi kesombongan tidak bisa dihentikan sekalipun oleh Malaikat, melainkan oleh dirinya sendiri. Argumen apapun akan tetap bisa dibantah dan dilemahkan apabila manusia selalu eman-eman, nguri-nguri, nglelithing sifat sombong, dan maka timbullah sikap melebih-lebihkan, kalau orang jawa memberi ungkapan “kumo”, kumo ayu jadi “kumayu”, kumo pinter jadi “keminter”, kumo laki jadi “Kumaki”, dlsb.

 

Sebagai contoh, bahwa pandangan yang sudah benar dan baik akan mengalami proses reduksi dengan bantahan yang melemahkan pandangan tentang kesombongan. Mengeruhkan pandangan yang jernih. Orang dibuat lemah dan rendah hati bahkan putus asa jika merasa salah pandangannya. Atau justru orang menjadi semakin bersikeras dan keras hati dengan pandangannya sehingga tak ingin mempedulikan pandangan oranglain. Kedua efek ini sama-sama merugikan. Misal merespon perspektif dari Mas Koko, bahwa kesombongan itu “merasa bisa” padahal seharusnya “bisa merasa”, lantas dibantah kalau “memang bisa” mengapa mengatakan “tidak bisa”? bukankah “merasa bisa” ini juga baik jika yang bersangkutan memang benar-benar bisa? Justru akan lebih buruk jika mengatakan “masih belum bisa” dengan alasan mengakui bahwa kemampuannya masih rendah sementara dan banyak yang jauh lebih baik di dunia ini. Pengakuan yang “masih belum bisa” ini bisa menjadi lebih sombong karena mengabaikan kemampuannya sendiri yang tengah dibutuhkan oranglain.

 

Maka disitulah dikatakan kesombongan itu amatlah lembut hingga kita tidak bisa memahami apa itu kesombongan secara detail. Kemudian sebagai contoh lain respon terhadap perspektif Pak Zam sudah sangat baik dalam pandangannya tentang kesombongan. Tiba-tiba pandangan ini ditentang oleh sebuah pendapat tentang contoh penggunaan tangan kanan tadi dibenturkan dengan adab makan. Seolah ada dialektika baru yang memposisikan seolah pendapat awal tadi memerlukan koreksi. Kita masih banyak punya counter jawaban sehingga kesombongan itu tidak akan pernah hilang.

 

Mekanika pandangan tentang kesombongan itu tidak akan selesai kita akan terus bergulir di posisi salah atau benar. Tidak ada orang lain yang bisa menyadarkan diri kita karena kita selalu punya cara untuk membantahnya. Hanya ada dua pihak yang bisa menyadarkan yang pertama adalah diri sendiri yang mau dan yang kedua anjuran dari yang kita anut. Setiap orang punya anutan, ada yang menjadi panutan. Ciri-cirinya adalah pikiran, perkataan, dan perbuatan berusaha selaras mungkin terhadap apa yang dianutnya.

bahwasannya mereka yang kita anut hanyalah seberkas percikan keindahan yang berasal dari Tuhan, maka hanya pada Tuhan lah sebaiknya meminta petunjuk itu. Membaik sangkai perilakunya maka akan paham tujuannya. kita memiliki kesempatan untuk menggunakan fasilitas yang Allah berikan dan fasilitas itu bisa bermanfaat untuk orang banyak. Cara bersyukur bisa dengan mengaplikasikan apa yang kita bisa untuk memberi manfaat pada orang banyak.

 

Cinta tidak membuktikan pengorbanan, tapi cinta itu membuktikan cinta dengan rela berkorban. Disetiap pribadi, sombong itu pasti ada dan tergantung bagaimana mengontrol dan menyadarinya. Jika tidak menyadari atau mengingat maka ‘biji sawi’ kesombongan itu akan tumbuh secara cepat dan masif. Perbanyaklah perbuatan mulia dan tepat ukuran sebagai perimbangan ‘biji sawi’ yang baik sebagaimana yang tertulis dalam Al Qur’an  Surat Al Anbiyaa ayat 7 dan Surat Luqman ayat 16

 

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا ۗ وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفٰى بِنَا حَاسِبِيْنَ ﴿الأنبياء : ۴۷

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan. (QS. Al-Anbiya’: 47)

يٰبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ ﴿لقمان : ۱۶

(Lukman berkata), ”Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti. (QS. Luqman: 16)

SESI II –
Tanya-jawab

 

Setelah dibahas tentang kesombongan, kini tiba waktunya untuk mengutarakan unek-unek dan hal apapun saja yang bisa digelar bareng sebagai bahan pasinaon. Malam Nisfu Sya’ban ini bagi keluarga gugunung dianggap sebagai malam yang sakral dan istimewa karena dipercaya sebagai karunia tertaburnya cahaya langit yang menerpa bagi siapapun yang masih terjaga.

Pak Zam kemudian mengajukan pertanyaan, beliau merasa sedikit gelisah atas permintaan putrinya. “Bagaimana saya bersikap saat saya merasa takut pada anak saya yang ingin masuk pondok, padahal disana anak saya pasti mengalami tekanan-tekanan oleh kebijakan pondok, bagaimana saya bisa menghilangkan kebimbangan dan noktah-noktah itu?”. Mas Agus merespon pertanyaan Pak Zam, untuk meminta kemantaban pada Allah, dengan sholat Istikharah. Jika memang mantab maka bersamailah dengan doa dan pasrah. Bahwasannya sebagai orang tua pasti tidak bisa selalu 24 jam hadir untuk menjamin atas apapun yang hendak menimpa anak. Sedangkan Allah akan memiliki penjagaan yang tak sedikitpun lepas. Apalagi mungkin, si anak justru ingin menguji mental dan kehandalannya dengan jauh dari orangtua meskipun akan merasakan penderitaan dan tekanan. Dia tidak akan bersikap lembut kepada yang hatinya lembut dan akan bersikap keras kepada yang perangainya keras. Proses ini menjadi mental yang juga akan meruntuhkan kesombongan orang lain. Sehingga kita sebagai orangtua yang mungkin merasa cemas dan khawatir benar-benar perlu berkeyakinan atas peran Al Hafidz, Allah Yang Maha Menjaga. Posisi cemas, khawatir dikonversi menjadi ketulusan doa maka semakin hal-hal yang mencemaskan dan mengkhawatirkan itu hadir semakin pula pengharapan dan penyerahan diri kepada Allah ini tersampaikan secara sungguh-sungguh dan tulus.

 

Lalu mas Kasno sebagai moderator menyampaikan pada topik selanjutnya, bagaimanakah upaya pada diri untuk menemukan jimat tolak balak terhadap kesombongan itu sendiri. Dimulai dari Mas Tri, mengutarakan bahwa belum ada upaya dan memilih diam jika ada sesuatu yang mengganggu dan bahkan memilih lari dari masalah atau memilih untuk mencoba tidak untuk bersinggungan, agar tidak terjadi perdebatan yang akan berlarut larut.

Berlanjut pada mas Nardi mengutarakan bahwa upayanya adalah pasrah pada Allah karena semua kesombongan terkadang tidak dapat disadari dan tidak ada petunjuk. Mas Agus sepakat dengan pasrah kepada Allah. Sebab itu tindakan paling dianjurkan sebagai seorang muslim. Sedangkan tentang petunjuk, mas Agus merespon bahwa tak jarang ketidak-hadiran petunjuk itu karena semua ukuran datangnya petunjuk tersebut telah dibuat sendiri patokannya. Misalnya kita minta petunjuk melalui shalat istikharah, justru petunjuk itu hadir dalam bentuk antitesis nya. Sebagai contoh seorang pemuda meminta petunjuk pada Tuhan dengan istikharah untuk mendapat kemantapan hati apakah benar si gadis yang ditaksirnya adalah jodohnya sementara gadis tersebut sudah bertunangan. Si pemuda ini kemudian bermimpi bahwa dalam mimpi di berjodoh dengan wanita itu, saat itu pasti senang dengan mimpi itu dan amat yakin kalau wanita itu jodohnya, namun apakah kesenangan itu lantas membuat hatinya mantab? Ternyata tidak, sebab ia berfikir apakah pantas demi kebahagiaan sendiri harus menyakiti hati orang lain. Ia mungkin mendapat jawaban yang gamblang tapi yang memantapkan hatinya justru menjauh dari gadis tersebut. Maka disitulah kemantaban jawabannya, sesungguhnya saat-saat Tuhan memberi petunjuk, bersama itu juga diberi rangsangan nurani pada hati dan akal.

 

Mas Dhidit mengaku bahwa belum ada upaya dalam hal tolak balak ini, sementara yang bisa dilakukan hanya mencoba untuk terus memanusiakan manusia dan tidak untuk merendahkan untuk memgoptimalkannya, sebenarnya manusia lebih mudah daripada hewan. Mas Agus menyepakati upaya yang tampaknya sederhana ini. Padahal itu adalah sikap yang tidak mudah. Sebab dalam kenyataannya manusia yang kita jumpai tak selalu bersikap sama. Oleh sebab demikian, perlu kiranya untuk memiliki ukuran dan kategori tentang manusia, jangan hanya sekadar yang berwujud manusia namun yang masih memiliki sikap dan perilaku yang mengindikasikan adanya rasa kemanusiaan pada dirinya. Jaman sekarang telah melahirkan kembali raksasa, buta, denawa, yang sekarang dalam rupa manusia. Bentuknya, bahasanya, sama persis hanya keserakahan, kekejian, ketidak-pedulian, grusah-grusuh, kesewenang-wenangannya, masih bertahan dan ingin diluap-luapkan pada dirinya. Muliakan yang layak dimuliakan, dan jangan muliakan orang yang hanya paham kehinaan, sebab jika engkau memaksakan diri untuk memuliakan pada pihak yang tak mampu menghargainya maka upayamu hanya akan dihinakan dan menjadi percuma. Dan jangan pula menjadi grusa-grusu mengambil sikap sebelum mendapat kesimpulan yang valid secara nurani.

 

Fidhoh mengutarakan bahwa upayanya adalah mencoba jangan terlena untuk terus membangun benteng untuk orang lain yang berusaha untuk mengajaknya berdebat. Mas Agus merespon, upaya itu perlu dimutakhirkan sebab jenis perdebatan itu tak selalu hadir secara konfrontatif dari luar namun bisa juga hadir secara konfrontatif dari dalam diri sendiri. Dihimbau agar selalu mencoba memahami debat, supaya bisa mengetahui baik itu secara implisit atau eksplisit, baik secara eksternal maupun internal. Hal utama pada fenomena perdebatan adalah bukan menang dan kalah namun tentang tesis dan antitesis untuk menemukan sintesa. Jika perdebatan hanya untuk mencari menang kalah maka benar buatlah benteng yang tinggi. Namun apabila perdebatan itu terjadi di dalam dirimu sendiri, kamu tak bisa menang separo dan mengalahkan separo dirimu yang lain. Dengan demikian sintesanya adalah membuat keduanya sepakat pada ukuran kemenangan yang dijunjung bersama. Apapun yang dilakukan mengandung resiko tapi jangan mengambil resiko yang merendahkan yang lainnya. Ada perdebatan yang tampak, ada pula pedebatan yang tak tampak. Perdebatan yang tidak tampak ini hadir melalui kondisi yang sama sekali tidak berupa perdebatan namun kondisi tersebut menjadikan polemik dan perdebatan dalam dirimu sendiri. Maka benteng diri untuk mengatasi perdebatan itu adalah sikap tenang dan nalar yang berpegang teguh pada al-biiru (kebaikan).

 

Dek May mengemukakan pendapat bahwa upayanya adalah mencoba sadar jika itu kesombongan dan mencoba untuk tidak mengulanginya lagi. Mas Agus menaruh apresiasi untuk dek May untuk seusia itu sudah mampu mengemukakan pandangannya secara berwawasan, dan berpesan agar tetap terikat cinta pada Nabi dan Allah.

 

Mas Koko mengutarakan upayanya dalam hal tolak balak kesombongan ini adalah mencoba untuk terus bersyukur tidak membandingkan dengan yang lain, dan selalu menyikapi sombong di era milenial. Mas Agus membenarkan pendapat ini dan memberikan sedikit tanggapan bahwa terkadang kita tidak memiliki kecakapan untuk memindai kesombongan di era milenial ini. Motivasinya akan terbaca ketika ada pola berulang yang tampak, apakah pamer? mencoba menginspirasi? atau lalai? atau memang niat untuk memperlihatkan citra kebaikan. Sombong sudah ada sejak Zaman Nabi Adam hingga Rasulullah Muhammad SAW. Semua Nabi akan berhadapan dengan orang-orang yang sombong. Lantas apakah setelah wafatnya Rasullah maka kita tak lagi menemui orang sombong? Ternyata masih. Dengan demikian apakah berarti nabi dan rasul tidak berhasil menjalankan tugasnya? Sama sekali tidak demikian.

 

Para Nabi dan Rasul telah berhasil dengan gemilang mencontohkan hidupnya yang penuh perjuangan tanpa terpengaruh kesombongan, karena memang tugasnya para nabi dan rasul bukanlah menghapus kesombongan oranglain, melainkan menyempurnakan akhlak dengan contoh perilaku yang tidak mengakomodir kesombongan dalam hidupnya. Sedangkan apakah nubawwah atau risalah ini diterima atau ditentang adalah pilihan masing-masing pihak yang menelaahnya. Oleh sebab itulah maka perlu disadari bahwa tiap-tiap kita ini memilki tugas untuk memperbaiki akhlak kita masing-masing dengan berbagai fasilitas yang Allah telah berikan. Inilah upaya syukur demi terhindar dari sikap kufur. Katakanlah bahwa salah satu fasilitasnya adalah benih kesombongan, akan kita bisa gunakan sebagai apa benih kesombingan itu? Apakah bisa sebagai sikap pengabdian yang menghindarkan kekufuran?  Apabila memang benih itu tak dapat kita hapus maka baik-sangkailah bahwa adanya benih itu bukan untuk digunakan sebagai alat menyombongkan diri melainkan sebagai alat untuk mampu mengindentifikasi secara akurat getaran-getaran kesombongan. Syukur merupakan sikap memimpin diri yang bisa mengeliminasi potensi kekufuran. Pengaturan porsi dan kewaspadaan diri sangat diperlukan. Kufur bisa terjadi lantaran merasa kuasa, dan juga bisa terjadi lantaran merasa tak berarti.

 

Gambaran kesombongan yang disampaikan Pak Zam di awal tadi mengandung maksud yang telah benar, bahwa jika sebuah tindakan atau perbuatan hanya menggunakan satu sisi saja. Menyertakan satu tangan bukan berarti sombong, tapi selalu menggunakan tangan kanan saja tanpa peduli pada fungsi tangan kiri adalah kesombongan. Dalam hidup ada akhlak dan adab. Ada yang memang dianjurkan menggunakan tangan kanan pada satu pekerjaan khusus ada pula yang dianjurkan melakukan dengan tangan kiri pada suatu pekerjaan tertentu, keduanya punya fungsi yang ditata secara apik pada letak yang baik, tak ubahnya manner dalam penggunaan sendok dan garpu.

 

Dalam kehidupan, tema benar dan salah akan terus berputar. Hari ini benar tapi besok salah, dan lusa ternyata benar lagi. Kebenaran absolut sebagai makhluk adalah mengedepankan akhlak. Sebab pada akhlak itu ada niat, tanggung-jawab, kesadaran tindakan, perhitungan dampak, dan keberserahan diri pada Sang Khalik yang Maha Benar. Karena mengawal diri berjalan pada kebenaran adalah tindakan utama pempimpin, pemimpin yang baik bukan hanya mengajak pada jalan yang indah, halus, dan menyenangkan, namun juga perjalanan yang mendaki dan terjal. Sebab perjalanan yang lurus bukan pada bentuk jalannya, namun pada kondisi hati dan mental para pejalan yang tetap teguh tidak mau berbelok dari kebenaran Allah SWT untuk kehidupannya.

 

Tidak boleh melebihi porsinya sebagai pemimpin, mantra pemimpin adalah syahadat. Gamelan menemukan tone-nya secara stabil setelah usianya duapuluhlima tahun dan selama itu pun terus di-laras atau dimainkan, jika gamelan itu berasal dari bahan yang kurang bagus dan tak pernah di-laras (dimainkan) maka notasinya akan lebih rendah dari yang seharusnya. Pada diri manusia bisa jadi terekspresikan sebagai sikap inferior, rendah diri hingga putus asa. Sedangkan apabila gamelan terbuat dari bahan yang bagus yang tak di-laras maka notasi akan terlalu tinggi dari yang seharusnya. Pada diri manusia terekspresikan sebagai sikap superior yang menghantarkan kesombongan. Sedangkan laras pada diri manusia adalah ketukan demi ketukan terus-menerus dalam hidupnya baik berupa kesulitan, sedikit rasa sakit, sedikit kekurangan makanan, dan lain sebagainya demi menemukan kestabilan tone kepribadian dan mentalnya.

Diskusi masih terus berlanjut hingga tengah malam, untaian pertanyaan tersimpan dan tersampaikan terus dirangkai terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yamg tentunya bermanfaat untuk sedulur yang hadir pada malam itu. Pada intinya kita dituntut untuk selalu jujur pada diri kita sendiri, waspada pada perbaikan ataupun ketimpangan akhkak. Disitulah kita akan bisa memindai setiap perilaku kita dalam keseharian yang dapat digunakan dalam rangka mengupayakan jimat tolak balak yang bermanfaat untuk orang banyak. Keluarga gugurgunung memungkasi acara dan dilanjutkan dengan makan bersama. Sebelum masing-masing pulang, kami masih sempatkan untuk berkunjung ke Makam Eyang Benowo sambil bermaksud melihat bulan. Namun kabut masih cukup tebal sehingga bulan Nisfu yang kami nantikan tidak terlihat. Dalam perjalanan pulang, kami sempatkan singgah lagi sebentar untuk menikmati sebatang rokok dan kemudian saling bersalaman untuk pamit ke rumah masing-masing. Alhamdulillah, saat menghampiri motor, langit di atas sangat cerah dan bulan menampakkan bulat purnamanya dengan jernih dan terang. Alhamdulillah.

 

Fidhoh Akmal & Cahya
Juru Panyarik Majlis gugurgunung
.

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Pada bulan Maret ini kulawarga Gugurgunung mencoba merekonstruksi lagi beberapa komponen penting bangunan “rumah”nya. Dari beberapa personil yang masih aktif, menopang kembali peran-peran penting atau mengaktifkan kembali peran-peran yang sempat kurang optimal. Salah satu referensi pola yang teranyam adalah Sya’ban atau Ruwah. Yakni bulan penting yang sejak 2018 disepakati sebagai momentum “Tunas”.

 

Pawon kini kembali menyala, memasak bahan-bahan oleh tangan-tangan terampil berdasar potensi masing-masing, dengan dasar ilmu Candra (panyandra). Ringkasnya yaitu, setiap personal kulawarga Gugurgunung menjalankan perannya masing-masing sebagai upaya memberikan konstribusi “cahaya rembulannya”. untuk terkumpul sebagai himpunan cahaya yang “Purnama”.

 

Dasar pijakan lainnya adalah sikap utama kulawarga gugurgunung yakni, “menggugurkan diri”. Sebisa mungkin menghindari umuk dan sombong. Tak minat pada pameran kesaktian, kepandaian, kekayaan, kepopuleran, dslb. Terus teguh tak peduli dan kagum pada hal-hal tersebut, yang seringkali hanya untuk meningkatkan mutu kesombongan seseorang secara laten. Memilih sikap lebih tegas kepada potensi-potensi meremehkan, baik ke dalam maupun ke luar.

 

 

قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

 

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim).

 

Mengutip hadist di atas, tentulah kita sudah tidak asing dengan salah satu bentuk ungkapan nafsu, yakni sifat sombong. Tak seorang pun yang membaca ini termasuk yang sedang menulis ingin menjadi pihak yang masuk dalam golongan orang-orang sombong. Namun dalam kenyataan hidup, apa yang tidak kita maui terkadang bebas hinggap dalam diri seperti ketombe atau jamur kulit.

 

Sadar atau tidak sadar kita semua pasti pernah atau bahkan sedang melakukan perilaku sombong tersebut. Apakah kesombongan hanya sebatas bangga atas apa yang dia punya dengan meremehkan hal lain di luar dirinya dengan jumawa? atau barangkali ada varian lainnya? Bagaimana pula setitik kesombongan mampu menghambat seorang hamba memasuki surga? Mengapa setitik ini menjadi begitu serius? Bagaimana pula cara mengelola sifat sombong tersebut? atau bahkan barangkali ada jimat  tolak balak (menolak efek destruksi) yang timbul akibat kesombongan.

 

Monggo silakan melingkar bertikar bersama kami jika berkenan bergabung dalam kebersahajaan silaturahmi. Kami menyambut baik setiap kebaikan dan tak punya cukup kecakapan untuk menyambut kebaikan secara sempurna, baik dari sisi tempat, suguhan hiburan, dan hal lain. Namun, kami tetap berusaha menyambut secara patut. Katuran pinarak, melingkar, meluruhkan diri dalam rindu, saling membahagiakan satu dengan yang lain untuk sinau bareng di malam menjelang Nisfu Sya’ban yang penuh makna.

 

Bismillah, terpinta dengan tengadah. Gusti Allah dan Kanjeng Nabi membersamai kita Aamiin.

 

 

 

-Tim Pawon Sinau Bareng MGG-