Mempuisikan puasa kehidupan

 

Hidup penuh hidangan, tidak semua yang bergizi tampil dengan menarik justru yang tidak bergizi sering tampil menarik. Ilmu puasa diperlukan untuk memilih dan memilah. Sehingga tiap-tiap waktu adalah pengendalian, kewaspadaan memilih, kecermatan memilah, maka konsep puasa telah diterapkan.

 

Berpuasa itu bukan fenomena kekurangan namun mengurangi. Bukan fenomena kemiskinan namun mencukupkan. Bukan fenomena menahan diri tapi mengenal porsi. Puasa juga mau memilih hal-hal tidak menarik sebab tahu bahwa itu bergizi. Pilihan tersebut menguntai. Betapa indahnya sehingga melantun sebagai bait-bait syair yang penuh makna dan pendalaman.

 

Romadhon adalah puasa wajib namun kewajiban berpuasa bisa diberlakukan selain romadhon. Sebagaimana kita selalu mengidamkan hidup dalam keseimbangan dan terkendali tidak hanya dalam satu bulan, melainkan sepanjang tahun bahkan sepanjang kehidupan.

 

Mari kita berpuisi di tengah bulan puasa ini, dimana bait-baitnya adalah perilaku, syairnya adalah cinta, lekuk dan pekikannya adalah jelmaan keindahan yang ngejawantah dalam kata dan saling menjaga. Sebab waktu berkata, angin berkata, laut berkata, langit berkata, mata kita berkata, lapar kita berkata, nikmat kita berkata, sedih kita berkata. Bahasanya berbeda, tapi caranya sama saja: bersyair.

 

Keluarga gugurgunung kembali menghelat Sinau Bareng bulan inin, berkenan menghadiri?
Monggo sugeng rawuh sugeng piranak.

Nisfu Sya’ban dan Jimat Tolak Balak

Pada Sabtu pekan terakhir di bulan Maret tepatnya 27 Maret 2021. Merupakan Sinau Bareng yang  pertama kali diadakan kembali pada malam hari di Tahun 2021 oleh Majlis gugurgunung. Persoalan pandemi yang belum kunjung usai membuat kegiatan Sinau Bareng sebelumnya diadakan pada pagi hingga siang hari, lantas dilanjutkan dengan menggarap lahan. Meskipun isu pandemi masih ada, namun proses adaptasi terhadap situasi saat ini telah jauh lebih kondusif dan tidak segenting pada awal-awal berita ini mencuat. Apalagi memang sudah terlalu lama kerinduan pada helatan Sinau Bareng malam hari sudah sangat tinggi. Hal baik lainnya adalah untuk kawasan regional Kabupaten, pada bulan Maret sudah diperbolehkan mengadakan acara dan terpenting selalu mematuhi protokol kesehatan.

Bismillahirrohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan sukacita dan memantapkan diri untuk bertempat di komplek makam Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari, Kab. Semarang untuk melaksanakan rutinan Sinau Bareng. Tema workshop malam ini adalah “Nisfu Syaban dan Jimat Tolak Balak”. Alhamdulillah  pada malam hari ini dihadiri juga oleh  Pak  Zam beserta putrinya Dek May, begitu juga dihadiri Mas Dany yang pada satu hari sebelumnya telah tiba dulu di Semarang dan satu lagi Mbak Kety teman dari Mbak Cahya yang pada malam itu mendapat kesempatan melingkar, maka diperkenankan untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan Tawasul oleh Pak Tri juga  Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan dari Mas Agus.

Mas Kasno sebagai moderator memulai acara pada pukul 20.30 dengan bacaan basmallah, kemudian mukadimah dibacakan. Tak lama kemudian turunlah hujan yang semakin deras yang menambah rahmat dan syukur di malam itu. Mas Agus membuka sesi tanggapan oleh setiap jamaah tentang persepsi kesombongan menurut pribadi sendiri-sendiri walaupun keadaan pada malam itu dipenuhi oleh gemercik hujan yang deras maka bersamailah itu dengan rasa penuh bahagia dan syukur dalam ikatan penuh kehangatan dimalam itu.

 

SESI I –
Ngudhari kesombongan diri

 

Maka diawali mas Koko, mempersepsikan bahwasannya kesombongan itu adalah “rumongso biso” padahal seharusnya “biso rumongso”. Berlanjut pada mbak Cahya, mempersepsikan bahwasannya “kesombongan itu ketika kita melihat yang lain lebih rendah daripada diri kita dan kita menyadari itu dan menghentikan kebaikan”. Disusul mas Fidhoh yang mempersepsikan bahwa “kesombongan itu tidak berarti pada orang-orang yang berpakaian bagus karena pada dasarnya itu adalah upaya untuk mengindahkan, tetapi kesombongan itu terletak pada ke-Akuan, tidak mau menerima pandangan orang lain merasa dirinya paling benar sendiri.” Berlanjut pada dek May, mempersepsikan kesombongan adalah “apapun yang dia lakukan atau bersikap merasa benar, dan lebih baik, entah dihadapan sesama manusia ataupun bahkan dihadapan Tuhan.”

Berlanjut lagi pada mas Dhani, mempersepsikan kesombongan adalah “segala yang manusia perbuat tak dia sadari bahwa itu semua berasal dari Tuhan”. Berlanjut mas Dhidit mengajukan sudut pandang bahwa kesombongan itu adalah “merasa lebih tinggi dari siapapun dan singkatnya tidak memanusiakan manusia” mas Dhidit memberikan contoh tentang seseorang yang mendaki gunung dia menganggap dirinya sendiri hebat karena sudah menakklukkan gunung yang tinggi padahal yang dia takklukan seharusnya adalah dirinya sendiri. Disusul oleh Mas Tri, yang mengajukan pula pandangan dan persepsinya bahwasannya kesombongan itu dirasakan dari rasa dan visual, seseorang yang berpenampilan biasa saja namun cara berbicaranya sedikit meninggi dan dalam hal berperilaku tulus atau tidak bisa dinilai itulah letak kesombongan, namun beliau mengungkapkan lagi bahwa kesombongan bisa dilihat juga walaupun belum bertemu bagaimana orang itu sebenarnya meremehkan atau tidak entah disengaja atau tidak mendatangkan kemudlaratan.

 

Mas Nardi menambahkan pula persepsinya bahwasannya kesombongan itu adalah “disaat kebanyakan orang tidak menyadari dan hanya tergantung oleh yang menilai, dari sifat sombong itu sendiri entah itu dari sifat pembawaan atau pun diluar sifat itu”. Berlanjut lagi pada mas Kasno, mempersepsikan kesombongan itu sering muncul dan berdampingan dengan perilaku baik, indah, luhur, keunggulan dlsb. Dan kebalikannya atau lawan dari itu adalah putus-asa karena sering berdampingan dengan perbuatan buruk atau keadaan dimana manusia merasa hidupnya tidak berjalan dengan indah. Setelah mas Kasno, pak Zam menyampaikan pula pandangannya bahwa kesombongan adalah “sesuatu yang hanya menyertakan salah satu sisi saja, entah itu, teknologi, budaya ekonomi dll, dan dapat dianalogikan seperti menomor satukan tangan kanan saja dan tidak menyadari keberadaan tangan kiri, dan kesombongan itu dekat sekali dengan kebodohan dan mengingkari peradaban”. Terakhir pada mbak Kety, peserta baru yang hadir bersama mbak Cahya, tak cuma mau diam, dia juga menyumbangkan pandangannya tentang kesombongan. Persepsinya: “kesombongan itu adalah disaat manusia merasa selalu benar dan tidak mau menerima nasihat dari yang lainnya”.

Mas Agus merasa sangat senang atas pendapat-pendapat yang disampaikan. Diibaratkan sebagai mutiara-mutiara yang satu dengan yang lainnya akan bisa saling belajar dan melengkapi pandangannya tentang kesombongan. Apa yang dipersepsikan tentang kesombongan dari keluarga gugurgunung yang sangat menarik dan otentik. Ini membuktikan bahwa point-point tentang kesombongan telah dipahami dalam diri setiap orang. Semua orang telah memahami sebagai pandangan Ilmu bawah sadar untuk menganalisis kesombongan. Di dalam al-Quran, Allah berfirman untuk tidak memusuhi malaikat Jibril, sebab malaikat Jibril sudah diutus Allah untuk menanamkan Al-kitab dalam dada setiap manusia. Demikian maka pemahaman tentang kesombongan pun sudah diperoleh oleh setiap manusia. Dengan bekal ilmu itu kita memerlukan media yang dinamakan dunia untuk menguraikan ayat demi ayat dari al-Quran yang berada di dalam dada kita tersebut.

 

Kesombongan itu sudah ada sejak Zaman Nabi Adam kalau memang Allah tidak menyukai kesombongan, maka tidak akan pernah menciptakan kesombongan itu, dan jika kesombongan bisa dihentikan oleh Nabi-nabi dan Rasul maka tidak ada lagi orang yang sombong, tapi nyatanya masih saja ada orang yang bersikap sombong. Jadi kesombongan tidak bisa dihentikan sekalipun oleh Malaikat, melainkan oleh dirinya sendiri. Argumen apapun akan tetap bisa dibantah dan dilemahkan apabila manusia selalu eman-eman, nguri-nguri, nglelithing sifat sombong, dan maka timbullah sikap melebih-lebihkan, kalau orang jawa memberi ungkapan “kumo”, kumo ayu jadi “kumayu”, kumo pinter jadi “keminter”, kumo laki jadi “Kumaki”, dlsb.

 

Sebagai contoh, bahwa pandangan yang sudah benar dan baik akan mengalami proses reduksi dengan bantahan yang melemahkan pandangan tentang kesombongan. Mengeruhkan pandangan yang jernih. Orang dibuat lemah dan rendah hati bahkan putus asa jika merasa salah pandangannya. Atau justru orang menjadi semakin bersikeras dan keras hati dengan pandangannya sehingga tak ingin mempedulikan pandangan oranglain. Kedua efek ini sama-sama merugikan. Misal merespon perspektif dari Mas Koko, bahwa kesombongan itu “merasa bisa” padahal seharusnya “bisa merasa”, lantas dibantah kalau “memang bisa” mengapa mengatakan “tidak bisa”? bukankah “merasa bisa” ini juga baik jika yang bersangkutan memang benar-benar bisa? Justru akan lebih buruk jika mengatakan “masih belum bisa” dengan alasan mengakui bahwa kemampuannya masih rendah sementara dan banyak yang jauh lebih baik di dunia ini. Pengakuan yang “masih belum bisa” ini bisa menjadi lebih sombong karena mengabaikan kemampuannya sendiri yang tengah dibutuhkan oranglain.

 

Maka disitulah dikatakan kesombongan itu amatlah lembut hingga kita tidak bisa memahami apa itu kesombongan secara detail. Kemudian sebagai contoh lain respon terhadap perspektif Pak Zam sudah sangat baik dalam pandangannya tentang kesombongan. Tiba-tiba pandangan ini ditentang oleh sebuah pendapat tentang contoh penggunaan tangan kanan tadi dibenturkan dengan adab makan. Seolah ada dialektika baru yang memposisikan seolah pendapat awal tadi memerlukan koreksi. Kita masih banyak punya counter jawaban sehingga kesombongan itu tidak akan pernah hilang.

 

Mekanika pandangan tentang kesombongan itu tidak akan selesai kita akan terus bergulir di posisi salah atau benar. Tidak ada orang lain yang bisa menyadarkan diri kita karena kita selalu punya cara untuk membantahnya. Hanya ada dua pihak yang bisa menyadarkan yang pertama adalah diri sendiri yang mau dan yang kedua anjuran dari yang kita anut. Setiap orang punya anutan, ada yang menjadi panutan. Ciri-cirinya adalah pikiran, perkataan, dan perbuatan berusaha selaras mungkin terhadap apa yang dianutnya.

bahwasannya mereka yang kita anut hanyalah seberkas percikan keindahan yang berasal dari Tuhan, maka hanya pada Tuhan lah sebaiknya meminta petunjuk itu. Membaik sangkai perilakunya maka akan paham tujuannya. kita memiliki kesempatan untuk menggunakan fasilitas yang Allah berikan dan fasilitas itu bisa bermanfaat untuk orang banyak. Cara bersyukur bisa dengan mengaplikasikan apa yang kita bisa untuk memberi manfaat pada orang banyak.

 

Cinta tidak membuktikan pengorbanan, tapi cinta itu membuktikan cinta dengan rela berkorban. Disetiap pribadi, sombong itu pasti ada dan tergantung bagaimana mengontrol dan menyadarinya. Jika tidak menyadari atau mengingat maka ‘biji sawi’ kesombongan itu akan tumbuh secara cepat dan masif. Perbanyaklah perbuatan mulia dan tepat ukuran sebagai perimbangan ‘biji sawi’ yang baik sebagaimana yang tertulis dalam Al Qur’an  Surat Al Anbiyaa ayat 7 dan Surat Luqman ayat 16

 

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا ۗ وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفٰى بِنَا حَاسِبِيْنَ ﴿الأنبياء : ۴۷

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan. (QS. Al-Anbiya’: 47)

يٰبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ ﴿لقمان : ۱۶

(Lukman berkata), ”Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti. (QS. Luqman: 16)

SESI II –
Tanya-jawab

 

Setelah dibahas tentang kesombongan, kini tiba waktunya untuk mengutarakan unek-unek dan hal apapun saja yang bisa digelar bareng sebagai bahan pasinaon. Malam Nisfu Sya’ban ini bagi keluarga gugunung dianggap sebagai malam yang sakral dan istimewa karena dipercaya sebagai karunia tertaburnya cahaya langit yang menerpa bagi siapapun yang masih terjaga.

Pak Zam kemudian mengajukan pertanyaan, beliau merasa sedikit gelisah atas permintaan putrinya. “Bagaimana saya bersikap saat saya merasa takut pada anak saya yang ingin masuk pondok, padahal disana anak saya pasti mengalami tekanan-tekanan oleh kebijakan pondok, bagaimana saya bisa menghilangkan kebimbangan dan noktah-noktah itu?”. Mas Agus merespon pertanyaan Pak Zam, untuk meminta kemantaban pada Allah, dengan sholat Istikharah. Jika memang mantab maka bersamailah dengan doa dan pasrah. Bahwasannya sebagai orang tua pasti tidak bisa selalu 24 jam hadir untuk menjamin atas apapun yang hendak menimpa anak. Sedangkan Allah akan memiliki penjagaan yang tak sedikitpun lepas. Apalagi mungkin, si anak justru ingin menguji mental dan kehandalannya dengan jauh dari orangtua meskipun akan merasakan penderitaan dan tekanan. Dia tidak akan bersikap lembut kepada yang hatinya lembut dan akan bersikap keras kepada yang perangainya keras. Proses ini menjadi mental yang juga akan meruntuhkan kesombongan orang lain. Sehingga kita sebagai orangtua yang mungkin merasa cemas dan khawatir benar-benar perlu berkeyakinan atas peran Al Hafidz, Allah Yang Maha Menjaga. Posisi cemas, khawatir dikonversi menjadi ketulusan doa maka semakin hal-hal yang mencemaskan dan mengkhawatirkan itu hadir semakin pula pengharapan dan penyerahan diri kepada Allah ini tersampaikan secara sungguh-sungguh dan tulus.

 

Lalu mas Kasno sebagai moderator menyampaikan pada topik selanjutnya, bagaimanakah upaya pada diri untuk menemukan jimat tolak balak terhadap kesombongan itu sendiri. Dimulai dari Mas Tri, mengutarakan bahwa belum ada upaya dan memilih diam jika ada sesuatu yang mengganggu dan bahkan memilih lari dari masalah atau memilih untuk mencoba tidak untuk bersinggungan, agar tidak terjadi perdebatan yang akan berlarut larut.

Berlanjut pada mas Nardi mengutarakan bahwa upayanya adalah pasrah pada Allah karena semua kesombongan terkadang tidak dapat disadari dan tidak ada petunjuk. Mas Agus sepakat dengan pasrah kepada Allah. Sebab itu tindakan paling dianjurkan sebagai seorang muslim. Sedangkan tentang petunjuk, mas Agus merespon bahwa tak jarang ketidak-hadiran petunjuk itu karena semua ukuran datangnya petunjuk tersebut telah dibuat sendiri patokannya. Misalnya kita minta petunjuk melalui shalat istikharah, justru petunjuk itu hadir dalam bentuk antitesis nya. Sebagai contoh seorang pemuda meminta petunjuk pada Tuhan dengan istikharah untuk mendapat kemantapan hati apakah benar si gadis yang ditaksirnya adalah jodohnya sementara gadis tersebut sudah bertunangan. Si pemuda ini kemudian bermimpi bahwa dalam mimpi di berjodoh dengan wanita itu, saat itu pasti senang dengan mimpi itu dan amat yakin kalau wanita itu jodohnya, namun apakah kesenangan itu lantas membuat hatinya mantab? Ternyata tidak, sebab ia berfikir apakah pantas demi kebahagiaan sendiri harus menyakiti hati orang lain. Ia mungkin mendapat jawaban yang gamblang tapi yang memantapkan hatinya justru menjauh dari gadis tersebut. Maka disitulah kemantaban jawabannya, sesungguhnya saat-saat Tuhan memberi petunjuk, bersama itu juga diberi rangsangan nurani pada hati dan akal.

 

Mas Dhidit mengaku bahwa belum ada upaya dalam hal tolak balak ini, sementara yang bisa dilakukan hanya mencoba untuk terus memanusiakan manusia dan tidak untuk merendahkan untuk memgoptimalkannya, sebenarnya manusia lebih mudah daripada hewan. Mas Agus menyepakati upaya yang tampaknya sederhana ini. Padahal itu adalah sikap yang tidak mudah. Sebab dalam kenyataannya manusia yang kita jumpai tak selalu bersikap sama. Oleh sebab demikian, perlu kiranya untuk memiliki ukuran dan kategori tentang manusia, jangan hanya sekadar yang berwujud manusia namun yang masih memiliki sikap dan perilaku yang mengindikasikan adanya rasa kemanusiaan pada dirinya. Jaman sekarang telah melahirkan kembali raksasa, buta, denawa, yang sekarang dalam rupa manusia. Bentuknya, bahasanya, sama persis hanya keserakahan, kekejian, ketidak-pedulian, grusah-grusuh, kesewenang-wenangannya, masih bertahan dan ingin diluap-luapkan pada dirinya. Muliakan yang layak dimuliakan, dan jangan muliakan orang yang hanya paham kehinaan, sebab jika engkau memaksakan diri untuk memuliakan pada pihak yang tak mampu menghargainya maka upayamu hanya akan dihinakan dan menjadi percuma. Dan jangan pula menjadi grusa-grusu mengambil sikap sebelum mendapat kesimpulan yang valid secara nurani.

 

Fidhoh mengutarakan bahwa upayanya adalah mencoba jangan terlena untuk terus membangun benteng untuk orang lain yang berusaha untuk mengajaknya berdebat. Mas Agus merespon, upaya itu perlu dimutakhirkan sebab jenis perdebatan itu tak selalu hadir secara konfrontatif dari luar namun bisa juga hadir secara konfrontatif dari dalam diri sendiri. Dihimbau agar selalu mencoba memahami debat, supaya bisa mengetahui baik itu secara implisit atau eksplisit, baik secara eksternal maupun internal. Hal utama pada fenomena perdebatan adalah bukan menang dan kalah namun tentang tesis dan antitesis untuk menemukan sintesa. Jika perdebatan hanya untuk mencari menang kalah maka benar buatlah benteng yang tinggi. Namun apabila perdebatan itu terjadi di dalam dirimu sendiri, kamu tak bisa menang separo dan mengalahkan separo dirimu yang lain. Dengan demikian sintesanya adalah membuat keduanya sepakat pada ukuran kemenangan yang dijunjung bersama. Apapun yang dilakukan mengandung resiko tapi jangan mengambil resiko yang merendahkan yang lainnya. Ada perdebatan yang tampak, ada pula pedebatan yang tak tampak. Perdebatan yang tidak tampak ini hadir melalui kondisi yang sama sekali tidak berupa perdebatan namun kondisi tersebut menjadikan polemik dan perdebatan dalam dirimu sendiri. Maka benteng diri untuk mengatasi perdebatan itu adalah sikap tenang dan nalar yang berpegang teguh pada al-biiru (kebaikan).

 

Dek May mengemukakan pendapat bahwa upayanya adalah mencoba sadar jika itu kesombongan dan mencoba untuk tidak mengulanginya lagi. Mas Agus menaruh apresiasi untuk dek May untuk seusia itu sudah mampu mengemukakan pandangannya secara berwawasan, dan berpesan agar tetap terikat cinta pada Nabi dan Allah.

 

Mas Koko mengutarakan upayanya dalam hal tolak balak kesombongan ini adalah mencoba untuk terus bersyukur tidak membandingkan dengan yang lain, dan selalu menyikapi sombong di era milenial. Mas Agus membenarkan pendapat ini dan memberikan sedikit tanggapan bahwa terkadang kita tidak memiliki kecakapan untuk memindai kesombongan di era milenial ini. Motivasinya akan terbaca ketika ada pola berulang yang tampak, apakah pamer? mencoba menginspirasi? atau lalai? atau memang niat untuk memperlihatkan citra kebaikan. Sombong sudah ada sejak Zaman Nabi Adam hingga Rasulullah Muhammad SAW. Semua Nabi akan berhadapan dengan orang-orang yang sombong. Lantas apakah setelah wafatnya Rasullah maka kita tak lagi menemui orang sombong? Ternyata masih. Dengan demikian apakah berarti nabi dan rasul tidak berhasil menjalankan tugasnya? Sama sekali tidak demikian.

 

Para Nabi dan Rasul telah berhasil dengan gemilang mencontohkan hidupnya yang penuh perjuangan tanpa terpengaruh kesombongan, karena memang tugasnya para nabi dan rasul bukanlah menghapus kesombongan oranglain, melainkan menyempurnakan akhlak dengan contoh perilaku yang tidak mengakomodir kesombongan dalam hidupnya. Sedangkan apakah nubawwah atau risalah ini diterima atau ditentang adalah pilihan masing-masing pihak yang menelaahnya. Oleh sebab itulah maka perlu disadari bahwa tiap-tiap kita ini memilki tugas untuk memperbaiki akhlak kita masing-masing dengan berbagai fasilitas yang Allah telah berikan. Inilah upaya syukur demi terhindar dari sikap kufur. Katakanlah bahwa salah satu fasilitasnya adalah benih kesombongan, akan kita bisa gunakan sebagai apa benih kesombingan itu? Apakah bisa sebagai sikap pengabdian yang menghindarkan kekufuran?  Apabila memang benih itu tak dapat kita hapus maka baik-sangkailah bahwa adanya benih itu bukan untuk digunakan sebagai alat menyombongkan diri melainkan sebagai alat untuk mampu mengindentifikasi secara akurat getaran-getaran kesombongan. Syukur merupakan sikap memimpin diri yang bisa mengeliminasi potensi kekufuran. Pengaturan porsi dan kewaspadaan diri sangat diperlukan. Kufur bisa terjadi lantaran merasa kuasa, dan juga bisa terjadi lantaran merasa tak berarti.

 

Gambaran kesombongan yang disampaikan Pak Zam di awal tadi mengandung maksud yang telah benar, bahwa jika sebuah tindakan atau perbuatan hanya menggunakan satu sisi saja. Menyertakan satu tangan bukan berarti sombong, tapi selalu menggunakan tangan kanan saja tanpa peduli pada fungsi tangan kiri adalah kesombongan. Dalam hidup ada akhlak dan adab. Ada yang memang dianjurkan menggunakan tangan kanan pada satu pekerjaan khusus ada pula yang dianjurkan melakukan dengan tangan kiri pada suatu pekerjaan tertentu, keduanya punya fungsi yang ditata secara apik pada letak yang baik, tak ubahnya manner dalam penggunaan sendok dan garpu.

 

Dalam kehidupan, tema benar dan salah akan terus berputar. Hari ini benar tapi besok salah, dan lusa ternyata benar lagi. Kebenaran absolut sebagai makhluk adalah mengedepankan akhlak. Sebab pada akhlak itu ada niat, tanggung-jawab, kesadaran tindakan, perhitungan dampak, dan keberserahan diri pada Sang Khalik yang Maha Benar. Karena mengawal diri berjalan pada kebenaran adalah tindakan utama pempimpin, pemimpin yang baik bukan hanya mengajak pada jalan yang indah, halus, dan menyenangkan, namun juga perjalanan yang mendaki dan terjal. Sebab perjalanan yang lurus bukan pada bentuk jalannya, namun pada kondisi hati dan mental para pejalan yang tetap teguh tidak mau berbelok dari kebenaran Allah SWT untuk kehidupannya.

 

Tidak boleh melebihi porsinya sebagai pemimpin, mantra pemimpin adalah syahadat. Gamelan menemukan tone-nya secara stabil setelah usianya duapuluhlima tahun dan selama itu pun terus di-laras atau dimainkan, jika gamelan itu berasal dari bahan yang kurang bagus dan tak pernah di-laras (dimainkan) maka notasinya akan lebih rendah dari yang seharusnya. Pada diri manusia bisa jadi terekspresikan sebagai sikap inferior, rendah diri hingga putus asa. Sedangkan apabila gamelan terbuat dari bahan yang bagus yang tak di-laras maka notasi akan terlalu tinggi dari yang seharusnya. Pada diri manusia terekspresikan sebagai sikap superior yang menghantarkan kesombongan. Sedangkan laras pada diri manusia adalah ketukan demi ketukan terus-menerus dalam hidupnya baik berupa kesulitan, sedikit rasa sakit, sedikit kekurangan makanan, dan lain sebagainya demi menemukan kestabilan tone kepribadian dan mentalnya.

Diskusi masih terus berlanjut hingga tengah malam, untaian pertanyaan tersimpan dan tersampaikan terus dirangkai terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yamg tentunya bermanfaat untuk sedulur yang hadir pada malam itu. Pada intinya kita dituntut untuk selalu jujur pada diri kita sendiri, waspada pada perbaikan ataupun ketimpangan akhkak. Disitulah kita akan bisa memindai setiap perilaku kita dalam keseharian yang dapat digunakan dalam rangka mengupayakan jimat tolak balak yang bermanfaat untuk orang banyak. Keluarga gugurgunung memungkasi acara dan dilanjutkan dengan makan bersama. Sebelum masing-masing pulang, kami masih sempatkan untuk berkunjung ke Makam Eyang Benowo sambil bermaksud melihat bulan. Namun kabut masih cukup tebal sehingga bulan Nisfu yang kami nantikan tidak terlihat. Dalam perjalanan pulang, kami sempatkan singgah lagi sebentar untuk menikmati sebatang rokok dan kemudian saling bersalaman untuk pamit ke rumah masing-masing. Alhamdulillah, saat menghampiri motor, langit di atas sangat cerah dan bulan menampakkan bulat purnamanya dengan jernih dan terang. Alhamdulillah.

 

Fidhoh Akmal & Cahya
Juru Panyarik Majlis gugurgunung
.

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Pada bulan Maret ini kulawarga Gugurgunung mencoba merekonstruksi lagi beberapa komponen penting bangunan “rumah”nya. Dari beberapa personil yang masih aktif, menopang kembali peran-peran penting atau mengaktifkan kembali peran-peran yang sempat kurang optimal. Salah satu referensi pola yang teranyam adalah Sya’ban atau Ruwah. Yakni bulan penting yang sejak 2018 disepakati sebagai momentum “Tunas”.

 

Pawon kini kembali menyala, memasak bahan-bahan oleh tangan-tangan terampil berdasar potensi masing-masing, dengan dasar ilmu Candra (panyandra). Ringkasnya yaitu, setiap personal kulawarga Gugurgunung menjalankan perannya masing-masing sebagai upaya memberikan konstribusi “cahaya rembulannya”. untuk terkumpul sebagai himpunan cahaya yang “Purnama”.

 

Dasar pijakan lainnya adalah sikap utama kulawarga gugurgunung yakni, “menggugurkan diri”. Sebisa mungkin menghindari umuk dan sombong. Tak minat pada pameran kesaktian, kepandaian, kekayaan, kepopuleran, dslb. Terus teguh tak peduli dan kagum pada hal-hal tersebut, yang seringkali hanya untuk meningkatkan mutu kesombongan seseorang secara laten. Memilih sikap lebih tegas kepada potensi-potensi meremehkan, baik ke dalam maupun ke luar.

 

 

قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

 

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim).

 

Mengutip hadist di atas, tentulah kita sudah tidak asing dengan salah satu bentuk ungkapan nafsu, yakni sifat sombong. Tak seorang pun yang membaca ini termasuk yang sedang menulis ingin menjadi pihak yang masuk dalam golongan orang-orang sombong. Namun dalam kenyataan hidup, apa yang tidak kita maui terkadang bebas hinggap dalam diri seperti ketombe atau jamur kulit.

 

Sadar atau tidak sadar kita semua pasti pernah atau bahkan sedang melakukan perilaku sombong tersebut. Apakah kesombongan hanya sebatas bangga atas apa yang dia punya dengan meremehkan hal lain di luar dirinya dengan jumawa? atau barangkali ada varian lainnya? Bagaimana pula setitik kesombongan mampu menghambat seorang hamba memasuki surga? Mengapa setitik ini menjadi begitu serius? Bagaimana pula cara mengelola sifat sombong tersebut? atau bahkan barangkali ada jimat  tolak balak (menolak efek destruksi) yang timbul akibat kesombongan.

 

Monggo silakan melingkar bertikar bersama kami jika berkenan bergabung dalam kebersahajaan silaturahmi. Kami menyambut baik setiap kebaikan dan tak punya cukup kecakapan untuk menyambut kebaikan secara sempurna, baik dari sisi tempat, suguhan hiburan, dan hal lain. Namun, kami tetap berusaha menyambut secara patut. Katuran pinarak, melingkar, meluruhkan diri dalam rindu, saling membahagiakan satu dengan yang lain untuk sinau bareng di malam menjelang Nisfu Sya’ban yang penuh makna.

 

Bismillah, terpinta dengan tengadah. Gusti Allah dan Kanjeng Nabi membersamai kita Aamiin.

 

 

 

-Tim Pawon Sinau Bareng MGG-

MADU LUMEBER TUMETES

Sabtu terakhir bulan ini jatuh pada 27 Februari 2021. Pasca hujan deras pada malam yang sesungguhnya Purnama, esoknya semesta benar benar cerah parasnya.

 

Gunung Ungaran tampak gagah diantara bentangan langit biru dan barisan awan-awan putih seperti arak arakan para Pitara.

 

Gelaran acara rutinan pada Februari yang bertepatan dengan wulan Rajab ini telah menyiapkan 3 rancangan konsep acara :

  1. Edisi khusus Rajab berupa pembacaan Tawasul, lengkap dengan Dzikir, Munajat, Sholawat, serta pembacaan hizib.

: sebagai respon atas semakin maraknya sebaran fitnah, hujatan, adu domba, dan sejenisnya, oleh beberapa akun sosial media, yang secara serampangan menyertakan nama Mbah Nun.

 

  1. Menyiapkan tema “Madu Tumetes Lumeber”, sebagai bahan diskusi atau sinau bareng.

 

  1. Menggarap kebun bersama.

 

Sampai hari H belum terpilih konsep rancangan mana yang akan kami gelar. Menjelang jam pelaksanaan, beberapa jamaah mengabarkan datang menyusul. Acara tetap dimulai tepat waktu dengan peserta sangat terbatas. Sehingga pilihan pertama yang kami ambil adalah memulai acara dengan pilihan rancangan nomer 1. Sekitar satu jam lebih acara terselesaikan dengan sangat khusuk. di Gubug Mbodro Pakaryan, di bentangan kebun atau sawah yang beberapa petak siyap dipanen, dan beberapa petakan lain siyap ditanami, dan di samping semaian bibit yang siap ditanam. Seolah kesemuanya itu menjadi satu kesatuan yang berjamaah. Ternyata kehadiran-kehadiran yang tak terbatas lagi-lagi menemani keterbatasan kami.

Satu dua dan seterusnya kemudian mulai berdatangan dan langsung melingkar. Kondisi yang pas sekali untuk menggelar rancangan acara yang nomer 2.

Masing masing mulai ngelinthing kretek, menyulutnya, lalu mencecap kopi. Mukadimah segera dibacakan untuk disimak bareng bareng. Pas satu batang kretek. Lalu disambung dengan batang kretek berikutnya untuk merespon tema tersebut. Mas Agus mengawali dengan beberapa ulasan dan sekaligus pantikan. Baru setengah batang kretek ke dua, diskusi baru pada bahasan mempelajari hitungan besaran zakat dari hasil panen kami, namun harus terhenti (atau mungkin justru tersambung) oleh adegan seorang Mbah penjual gedhek atau kepang dari anyaman Pring Apus yg dijajakan dengan cara dipikul dan berjalan kaki, melintas di kebun kami, lalu mampir menawarkan dagangannya tersebut. Kami persilahkan pinarak, ngunjuk kopi, dan ternyata masih kiyeng udut kretek. Ngobrol alakadarnya, kami serempak menyimak. Mbah, berusia 90 tahun, berdomisili di Salatiga, seorang pedagang gedhek anyaman pring apus yang menjajakan hasil karyanya sendiri, dengan cara dipikul dan berjalan kaki.

Bara tepat di hampir pangkal kretek kami, kemudian kami cecek tegesan kami masing masing. Sekaligus negesi tema pada rutinan kali ini. Kehadiran Mbah tersebut meneteskan “Madu” yang menyehatkan pada kami yang muda muda ini untuk segera kami lumeberkan.

 

Kami segera melepas sarung, dan pakaian lainnya untuk segera berganti pakaian kerja, bersepatu boot, bercaping, dan mengambil cangkul, sabit, pelubang mulsa, alat kocor, dan lain lainnya. Semua obah pada perannya masing masing.

Acara dipungkasi pada jam 17:00, sembari mengemasi hasil panen dua tandhan pisang, bebereapa unting kacang panjang, dan pare. Sebagian kami konsumsi sendiri, sisanya kami bawa ke pasar sebagai rintisan latihan dagang.

Nyuwun tambahing pangestu. 🙏🙏🙏

 

Kasno

MADU LUMEBER TUMETES

Mengartikan diam sebagai pilihan aktif dalam bersikap. Diam kan statis, sedangkan untuk aktif butuh dinamika. Seperti kita semua tahu, kondisi saat ini tengah ada anjuran tingkat dunia bahwa manusia dianjurkan untuk diam di rumah. Tentunya bukan berarti setelah berada di rumah hanya diam. Mereka tetap beraktifitas dan menjalankan fungsi lumrah kemanusiaan sebagai kegiatan sehari-hari. Oleh sebab demikian, maka diam di rumah tidak bisa disebut sebagai proses statis dan stagnasi, kecuali ketika seseorang telah kehilangan gairah perjuangan hidup, tak punya inisiatif, hingga kehilangan kreatifitas, dimana kreatifitas itu lahir proses syukur, sabar, cita-cita dan gairah mengkontribusi. Syukur dengan pengetahuan yang kita punya, maka ia melakukan percobaan. Sabar pada ketidaktahuan maka butuh menambah pengalaman. Dikarenakan ada cita-cita dengan demikian ia melangkah. Dengan adanya gairah mengkontribusi, membuat ia mengharuskan dirinya sendiri meskipun tak ada yang menharuskan.

 

Seseorang yang kreatif selalu punya peluang emas untuk berkreasi, tak jarang bahwa produk yang brilian muncul justru pada kondisi sempit dan terdesak. Maka mengertikan diam sebagai sikap aktif adalah proses pengeraman atau proses fermentasi dimana seolah tak banyak berinteraksi aktif secara luas namun justru tengah menjalankan pertapaan karya gemilang, yang justru proses pengeraman atau pun proses fermentasi tersebut akan ‘gagar’ atau batal jika tak diam atau menutup diri.

 

Telur yang kemudian hari menetas, ia memerlukan kesanggupan untuk diam dan terjaga suhunya. Ia akan berakhir sebagai telur ceplok atau dadar kalau berkeliaran di atas wajan panas berisi minyak goreng. Nektar tak akan menjadi madu jika tak didiamkan pada sebuah ruang tetap dan terjaga temperaturnya dalam kurun waktu yang lama. Keberhasilan lebah memperoleh nektar karena mereka melakukan penjelajahan dan sikap dinamis yang kentara, namun untuk menjadikan nektar menjadi madu justru harus menetap dan terjaga di rumahnya. Sehingga berkeliaran adalah mencari bahan baku dari hamparan karunia Tuhan yang ditaburkan ke bumi. Dan tinggal di rumah adalah memproses bahan-bahan dari hasil unduhan karunia tersebut menjadi produk yang berkhasiat dan dicari banyak orang.

 

Kondisi ini perlu kiranya kita telisik, sesungguhnya rumah yang dihuni oleh masyarakat Maiyah itu apa? Dimana? Dimana ruang tamunya, ruang keluarga, kamar-kamar tidur, jedhing, dapur, pekarangan, dan halamannya? Tentunya hampir seluruh masyarakat Maiyah tahu dan oleh sebab demikian marilah kita semua tak usah terlalu peduli pada virus-virus kepentingan, hasutan, dan segala ocehan sampah yang tak pernah mampu menghasilkan manisnya kehidupan, justru mbudhet, mbulet, pahit dan saling menebarkan kegetiran. Sebaiknya kita tetap tinggal di rumah, tak berhias seperti kaum jahiliyyah, dan agar Tuhan membersihkan diri kita, sebersih-bersihnya.

 

وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا ۚ ﴿الأحزاب : ۳۳﴾

 

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab: 33)

 

 

MUMPUNG PADHANG REMBULANE, MUMPUNG JEMBAR KALANGANE.

 

Apabila orang diminta untuk menyaksikan bulan, bukankah ia perlu menunggu malam tiba? Bukan soal waktu tapi soal suasana. Pada malam menghadirkan suasana gelap, sehingga akan memperlihatkan taburan cahaya langit dan benderangnya rembulan. Dan saat malam tiba dan ternyata bulan tidak nampak, apakah mendung? Apakah akhir bulan? Atau bagaimana apabila ternyata kita lah rembulannya? Ah tentunya sama sekali tidak mungkin bukan?

 

Ummat Islam punya utusan yang kepada beliau tersemat sebagai “Syamsun”, “Badrun”, bahkan “nuurun fawqo nuurin”. Beliau matahari, karena risalah yang beliau emban membawa cahaya yang menyibak kelamnya kebodohan dunia. Dan beliau adalah rembulan, karena beliau punya ummat yang siap muncul melanjutkan cahaya pada saat kebodohan berusaha tampil kembali berniat menenggelamkan risalahnya. Lalu apakah kita sekadar qomar, sekadar rembulan? Ataukah badrun, bulan purnama? Mari kita ingat segitiga cinta yang Mbah Nun ajarkan kepada kita anak cucunya.

 

“Mumpung jembar kalangane”. Kalangan adalah cahaya melingkar yang mengelilingi rembulan, sehingga hanya tampak saat bulan berbentuk bulat. Saat bulannya sabit kemungkinan kecil untuk bisa muncul. Sehingga orang-orang membuat kalangannya sendiri. Ada kebiasaan yang rutin dimeriahkan setiap malam purnama; Pandhang mbulan. Pada saat bulan mulai bulat apalagi purnama, orang-orang keluar dari rumahnya meleburkan pada kalangan rembulan. Dengan melantunkan tetembangan, bercengkrama dengan tetangga meski hanya duduk di lincak beranda sambil berkepul asap rokok, wedang, dan panganan, ada keceriaan anak-anak yang dolanan di halaman, ada pula yang berbagi kebahagiaan lain yang pada intinya tetap ingin terlibat dan menyatu pada kemeriahan pesona Badrun tersebut.

 

Demikian pula peristiwa pada kehidupan. Keutuhan tampil sebagai rembulan adalah kebutuhan membawakan diri sebagai penerus perjuangan dari yang telah dirintis dan diperjuangkan oleh para Nabi dan dipungkasi oleh Rasulullah Muhammad SAW. Perjuangan itu memerlukan kebulatan agar tidak menghadirkan bulan-bulan sabit tidak bulat dan tak benderang. Sebagaimana bahwa kanjeng Nabi tak membuat akhlaknya menjadi baik hanya sebulan sekali, melainkan setiap saat. Saat ummat penerus ini lemah, sehingga tampilannya tidak utuh, maka keberadaannya tak benar-benar menjadi faktor yang dirindukan dan tidak menjadi toloh utama di saat kelam. Orang-orang akan berkumpul secara terpisah dan membuat kalangan sendiri-sendiri untuk tampak paling mumpuni sebagai yang paling benderang. Ada kalangan politik, ada kalangan seni budaya, ada kalangan pecinta lingkungan, ada kalangan selebritis, ada kalangan terpelajar, ada kalangan petani, ada kalangan pedagang, ada kalangan pengusaha, ada kalangan ulama, ada kalangan priyayi, ada kalangan dukun,hingga kalangan penggemar sinetron. Kalangan demi kalangan akan terus muncul dan kian tak bermutu karena tak segera berjumpa kalangan rembulan yang membenderang dari langit dimana cahaya purnamanya yang lembut tertebar indah dan ramah ke penjuru permukaan bumi, cahayanya yang indah dan ramah merasuk ke dalam setiap sanubari. Ramah dan indah pangan dan pertaniannya, ramah dan indah politiknya, ramah dan indah seni budayanya, penataan lingkungan dan alamnya, ramah dan indah perdagangannya, pendidikannya, hankamnya, teknologinya, para orangtuanya, anak-anak dan generasinya, ramah dan indah al-mutahabbina Fillah.

 

Ungaran, 27 Februari 2021