Paradesa Adinirwana
Kupas 7 Perangan Diri

Paradesa Adi Nirwana bukan sekadar gambaran tentang suatu tempat, melainkan keadaan sebuah peradaban asal yang penuh dengan suasana kesadaran Eling, Waspodo, dan Bungah — dimana manusia pertama ditata, ditatah, dan dituntun untuk mengenali dirinya. Di sanalah Adam, manusia cahaya yang dibentuk dari sari tanah bumi, menjalani fase pertama kesadarannya: kesadaran batin murni. Belum dibebani oleh beban lahir, belum terlerai oleh gelombang syahwat dan nafsu, belum terpecah oleh hiruk pikuk jagad rendah. 

Pada Paradesa Adi Nirwana,  manusia berdiri sebagai ruh yang mengenali akar nur, sebagai khalifah yang dimuliakan bahkan oleh makhluk surga, sebelum ia diutus turun ke bumi untuk memikul amanahnya. Itulah ruang hening tempat Jalur Shirotunnubuwah mulai ditorehkan – garis terang yang menghubungkan manusia dengan sumber asalnya. 

Pada Paradesa Adi Nirwana itu, manusia hanya dihidupkan oleh empat perangan yang bersemayam di wilayah batin, yaitu: Iman, Akal, Akhlak, dan Adab. Keempatnya bersemayam di ruang dalam yang hening, teratur, dan selaras dengan cahaya titah. Sedangkan tiga yang lain, hanya diaktifkan tapi untuk menjadi bekal hidup di alam amanah kekhalifahan. 

Tiga perangan yang lain bersemayam pada ruang lahir, yaitu : Pikir, Nafsu, dan Jasad. Perangan ini telah diaktifkan dalam Semesta Tunduk  (Paradesa), untuk kelak bisa mengenal cara kembali dengan mudah ketika diturunkan sebagai perangkat kerja, karena ingat kesalahan diri akan lebih menumbuhkan daripada ingat kebaikan diri. Penugasan sebagai Khalifah menuntut manusia untuk menghidupkan ketujuh lapisan ini sekaligus. Dan aktivasi itu melewati peristiwa besar : Buah Kuldi.  

Buah Kuldi bukan semata “kesalahan”, melainkan dimulainya peristiwa laku selanjutnya. Tanda bahwa ketujuhnya telah aktif dan siap berjalan pada amanat utamanya, jalan turunnya manusia dari Paradesa Adi Nirwana menuju jagad lantip, tempat ia ditempa, diuji, untuk kelak diangkat kembali. 

Jalur perjalanan Paradesa ke Bumi, seolah juga membentuk jalur aktivasi 7 perangan diri secara utuh. Bagaimana batin yang luhur dapat menuntun lahir yang kasar. Dan bagaimana jalur Shirotunnubuwah tetap terang, sekalipun Shirotuttalbis selalu berusaha mengaburkan pandangan. Tema ini bukan sekadar kajian; ia adalah penelusuran peta pulang, tuntunan untuk memahami dari mana kita berasal, dengan apa kita dilengkapi, dan bagaimana kembali ke kesadaran asal: Paradesa Adi Nirwana. 

Simulakra II
Bejo, eling, lan waspodo

Sebagai landasan informasi, bahwa tema ini merupakan sesi ke dua Simulakra yang pada awal tahun Muharram kemarin menjadi tema bahasan demi bekal menjalani tahun baru dengan kondisi yang tentu akan berkembang. Perkembangan baik ‘hanya’ menyiapkan syukur. Sedangkan perkembangan ‘tidak baik’ perlu menyiapkan bukan hanya syukur, namun juga sabar, tangguh, mawas diri, dan terlebih lagi adalah terus bersambung kepada Allah SWT dan meneladani Rasulullah SAW.  

  

Simulakra II ini bukan seri kedua dari tema simulakra sebelumnya, ini adalah tema yang menebalkan, mengurai kembali, mengingat kembali, agar hal yang terjadi dan akan terjadi bisa tetap membawa hati kita menetap dalam keadaan taqwa (waspada) dan dzikir (ingat). 

  

Remind,  

Simulakra: Dunia Bayangan yang Menjadi Nyata 

  

Istilah simulakra mengacu pada realitas tiruan dunia di mana representasi menggantikan kenyataan itu sendiri. 

Kita hidup di tengah banjir citra, algoritma, dan narasi buatan: 

  

Manusia lebih percaya pada simbol daripada substansi, nilai digantikan oleh citra, kepalsuan direpetisi sampai orang percaya namun kebenaran dikubur sampai orang lupa. 

 

Bejo, Eling lan Wadpodo 

  

Bejo:  

Dalam konteks simulakra, Bejo bukan sekadar nasib baik, tapi kemampuan menyelaraskan diri dengan irama semesta yang sesungguhnya,  bukan irama buatan algoritma. 

  

Ia bukan kebetulan, tapi buah dari harmoni dengan hukum ilahi yang bekerja di balik segala fenomena. 

  

Orang yang bejo tidak tertipu oleh ilusi dunia, sebab ia membaca tanda-tanda dengan intuisi, bukan asumsi. 

Ia berjalan dengan takdir, bukan terseret arus simulasi. 

  

Eling:  

Kesadaran Asal dan Tujuan. 

Dari mana asal diri ini ? 

Untuk apa diri ini berjalan? 

Ke mana arah tujuan diri ? 

Kepada siapa kita mengabdi — Tuhan, ego, atau sistem? 

  

Waspodo:  

Dalam era simulakra, waspodo menjadi kemampuan membaca motif di balik narasi, melihat niat di balik informasi, dan mengenali perbedaan antara energi yang murni dan yang manipulatif. 

  

Orang waspodo tidak sinis, tapi jernih. Ia tak menolak dunia, tapi menjaga diri untuk tidak kehilangan kompas. 

  

Mari melingkar, merubah keresahan menjadi rumusan tindakan tindakan  antisipatif. Sama sama mengaktivasi kepekaan dan kewaspadaan terhadap hati kita, pikiran kita, segala fenomena atau peristiwa yang kita alami, terutama kewaspadaan terhadap posisi kita di hadapan Allah SWT. 

Makanan dan Kalimat Thoyibah

Sejak awal mula sejarah manusia, peristiwa monumental yang menandai hijrah Nabi Adam ‘alaihissalam dari surga ke bumi tidak bisa dilepaskan dari persoalan makanan. Bukan sekadar kisah “makan buah terlarang”, tetapi lebih dalam lagi—ia adalah simbol pilihan, kesadaran, dan arah hidup manusia. Di titik itu, makanan tidak hanya berfungsi sebagai pengisi perut, tetapi menjadi pintu pembuka bagi dimensi tanggung jawab, hukum, dan konsekuensi peradaban. Dari buah quldi itu, manusia belajar bahwa makan bukan sekadar aktivitas biologis, melainkan keputusan spiritual yang menyingkap tabir antara ketaatan dan pelanggaran, antara kelestarian hidup dan awal “penderitaan”. 

  

(Makanan adalah Pendidikan utama di Bumi. Bumi adalah Madrasah besar. Tatanan Pangan berupa pertanian dan peternakan adalah ihtiar besar Nabi Adam dalam rangka upaya membersihkan jasad sebagai wadah  Ruh, dan mengaktivasi  Potensial Diri yaitu Kalimat Thoyibah, yang Allah sendiri menyematkannya dalam diri manusia, sebagai “kunci” untuk kembali “pulang”)  

  

Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali menyinggung soal ṭa‘ām (makanan) dan rizq (rezeki), bahkan mengaitkannya dengan kalimat yang disebut ṭayyibah—suci, bersih, penuh berkah. Sebagaimana firman-Nya dalam QS Ibrahim: 24 

 

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا كَلِمَةٗ طَيِّبَةٗ كَشَجَرَةٖ طَيِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتٞ وَفَرۡعُهَا فِي ٱلسَّمَآءِ  

  

A lam tara kaifa ḍaraba-llāhu mathalan kalimatan ṭayyibatan kashajaratin ṭayyibah aṣluhā thābitun wafar‘uhā fis-samā’ 

  

“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimah ṭayyibah) seperti pohon yang baik, akarnya menghujam kuat dan cabangnya menjulang ke langit.” 

  

Peradaban manusia, dari sejak Nabi Adam hingga dunia modern hari ini, selalu berputar pada urusan “Pangan dan Kalimat”. Dari pangan lahirlah kekuatan ekonomi dan kelestarian hidup; dari kalimat lahirlah arah budaya, agama, bahkan politik. Jika makanan tercemar, lahir penyakit. Jika kalimat tercemar, lahir fitnah, permusuhan, dan kehancuran sosial. 

  

Oleh karena itu, membicarakan Makanan dan Kalimat Toyyibah bukan sekadar wacana normatif agama, melainkan jalan napak tilas peradaban. Ia mengajak kita menyadari bahwa makanan adalah cermin peradaban lahiriah, sedangkan kalimat toyyibah adalah cermin peradaban batiniah. Dan keduanya bertemu di dalam diri manusia, di mulut yang sama: tempat masuknya makanan, dan tempat keluarnya kalimat. Maka, barang siapa menjaga apa yang masuk dan menjaga apa yang keluar, ia akan menemukan dirinya dalam keseimbangan antara bumi dan langit, antara sejarah dan masa depan, antara jasad dan ruh. 

BASYIRAN WA NADZIRAN

Sejarah telah bersaksi,  

Pada saat kelahiran Beliau : 

  • ⁠  ⁠Semesta menyambut dengan Gembira akan datangnya Nabi akhir zaman. Sekaligus sebagai ijabah atas do’a Nabi Nabi sebelumnya.
  • ⁠  ⁠Ditemukan dan dibukanya kembali Sumur Zam Zam yang telah terkubur ratusan tahun oleh kabilah sebelumnya. Juga pengambil alihan pengelolaan Ka’bah dan Mekah, dengan pengelolaan yang lebih adil dan bijaksana oleh Sang Kakek Abdul Muthollib.
  • ⁠  ⁠Ka’bah kembali menjadi pusat tauhid dunia.

: Bukti bahwa telah datangnya solusi alternatif sebuah peradaban yang Rahmatan lil aaamiin. 

  

juga kemudian,  

  • ⁠  ⁠Berhala berhala runtuh.
  • ⁠  ⁠Api Majusi yang menyala ribuan tahun kemudian padam. 
  • ⁠  ⁠Istana Kisra retak.
  • ⁠  ⁠Danau Sawa kering.
  • ⁠  ⁠Awal ditutupnya jalur sabotase oleh Iblis dan Jin atas informasi langit.

: Bukti bahwa peradaban jahiliyah klasik terguncang dari akarnya. Baik dibidang Spiritual, Kekuasaan dan kekuatan Global, Ekonomi, Sosial, dst. 

  

Mengapa? Karena kehadiran Nabi bukan hanya kelahiran seorang manusia, tetapi lahirnya resonansi baru: getar cahaya nubuwah yang menembus semesta, menyalakan harapan, sekaligus menjadi genderang kematian bagi kebatilan. 

  

Sejarah telah  terulang : 

Hari ini, kita hidup di zaman jahiliyah modern : 

  • ⁠  ⁠Berhala telah berubah wujud: bukan lagi batu dan patung, melainkan kekuasaan, harta, nafsu, simulacra, dan syahwat yang diagungkan.
  • ⁠  ⁠Penjajahan dan perbudakan di segala bidang

  

Namun jangan lupa, sehebat apapun jahiliyah, ia rapuh! Ia hanya menunggu dua hal:  

  • ⁠ ⁠Runtuh oleh chaos dari dalam, 
  • ⁠  ⁠Dihantam resonansi spirit  Maulid Nabi .

  

Di sinilah kita berdiri, sebagai pewaris estafet  Basyiran wa Nadziran. Tugas kita bukan sekadar memperingati, tapi menghidupkan maulid sebagai Spirit dan  Napas Peradaban Menjadi kabar gembira yang menghidupkan dunia dengan rahmat, ilmu, dan menjalankan titah janma,  sekaligus menjadi peringatan keras yang mengguncang singgasana batil. 

  

Maka mari kita terus berhimpun, agar majlis ini menjadi bagian dari akselerasi atau  mempercepat runtuhnya jahiliyah modern, dan memberikan  solusi alternatif berupa peradaban yang rahmatan lil ‘alamin. 

Azimat ojo Maghdhub
pager urip nikmat pitulungan, pitung turunan

Di setiap zaman, manusia selalu berjalan di antara dua jalur, keluarga gugurgunung menyebutnya: Shirathun Nubuwwah dan shirothut talbis. Sejak manusia pertama diturunkan, Allah telah membekali mereka dengan jalur cahaya. Bukan manusia setengah monyet, bukan makhluk liar yang buta arah, tapi makhluk berakal dan beradab, perintis peradaban awal yang mewarisi Wahyu langsung dari An Nuur. Nabi Adam, Nabi Syits, Nabi Idris, Nabi Nuh, hingga Nabi Ibrahim AS. Pewarisan ini terus berlangsung hingga Rasulullah Muhammad SAW. Para Nabi dan Rasul adalah pelopor yang menjaga titian cahaya agar manusia tetap terhubung pada sumber asalnya. 

 

Namun, seiring peradaban berkembang, tumbuh pula nafsu, akal, dan hasrat yang menuntut kebebasan. Dari kebebasan itu lahirlah kelompok Maghdhub — golongan yang tahu kebenaran Shirathal Mustaqiim, tapi sengaja menyeleweng demi kepentingan nista. Mereka membangun Talbis, sistem ilusi yang membungkus kebatilan dalam kemasan suci. Samiri, Firaun, Haman, hingga Bal’am bin Baura adalah contoh pengkhianat cahaya yang bertransformasi menjadi arsitek kegelapan di zamannya. 

 

Ketika Talbis makin kuat, mayoritas manusia yang tak paham hakikat terseret arus. Mereka menjadi kaum Dhaliin — orang-orang yang tersesat bukan karena niat buruk, tapi karena disorientasi dan ketidaktahuan akan jalur cahaya. Mereka hidup dalam Simulakra, ilusi yang didandani sebagai kebenaran, dipropagandakan lewat pemuka opini, tokoh sosial, atau ritual-ritual kosong yang memutuskan hubungan mereka dengan An Nuur. 

 

Di sinilah letak pentingnya Azimat Ojo Maghdub. Sebuah pagar hidup yang bukan sekadar mantra, melainkan kesadaran aktif menjaga diri, keluarga, dan keturunan dari keruhnya arus ilusi zaman. Karena ketika manusia terputus dari jalur cahaya, maka hidupnya akan dipenuhi keraguan, ketakutan, dan kebingungan. Mereka jadi boneka di tangan Talbis, dipermainkan dalam permainan nista yang tak pernah mereka pahami. 

 

Pitulungan — pertolongan dari An Nuur — hanya turun kepada mereka yang tetap menjaga jalur cahaya di hatinya. Sedang pitung turunan bukan sekadar soal darah keturunan, tapi soal warisan resonansi nilai yang jernih dan terang, yang kelak menjadi benteng bagi anak-cucu agar tak mudah hanyut dalam kegelapan arus. Itulah azimat sejati: menjaga garis cahaya hingga tujuh keturunan, bukan hanya hidup untuk hari ini. 

 

Di akhir zaman, manusia yang bertahan bukanlah yang paling kuat, bukan yang paling kaya, apalagi yang paling terkenal. Tapi mereka yang tetap jernih pikirannya, bening hatinya, dan kokoh pijakannya di atas jalur cahaya. Mereka ini yang akan tetap bisa membedakan mana titian cahaya, mana ilusi Simulakra. Mana pertolongan An Nuur, mana bujukan nista Talbis. 

 

Azimat Ojo Maghdub adalah wasiat tua, pesan leluhur yang terjaga. Pager urip, pagar hidup. Nikmat pitulungan, pertolongan yang jernih. Pitung turunan, keturunan yang selamat dari keruhnya kegelapan zaman. Karena sejatinya, hidup bukan soal seberapa lama kita bertahan, tapi seberapa lurus kita menjaga jalur cahaya di tengah keruhnya dunia.