MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– Menyambut Robbun Ghofur –

Kembali ke tema, Mas Agus yang baru saja menyulut rokok kemudian diminta oleh Mas Kasno untuk mengenalkan sedikit tentang Majlis gugurgunung dan juga memberikan pantikan-pantikan tema untuk didiskusikan dalam sinau bareng kali ini.Mas Agus sangat bersyukur bahwa keinginan bersama untuk berkegiatan Sinau Bareng malam ini bisa digelar di Gintungan. Malam ini menjadi sangat indah, sebab dihadiri oleh banyak pihak. Bukan hanya Mas Sabrang tetapi juga Mas Aniq, Pak As’ad, Mas Kafi, juga semua tamu-tamu pada malam hari ini bisa jadi juga merupakan tamu istimewa. Memang dalam lingkaran Majlis gugurgunung biasanya hanya sedikit namun malam hari ini cukup banyak pula yang turut melingkar.Terima kasih turut dihaturkan oleh Mas Agus kepada pihak-pihak Gintungan yang sudah repot untuk “menggelar tikar”, hal ini merupakan tanda bahwa sebuah keluarga tidak mungkin untuk tidak merepotkan satu sama lain, yang penting tidak membebani.

Sebuah penyampaian dari Pak Kiai Mahrun di depan merupakan sebuah pantikan yang sangat baik bahwa kita harus ibroh kepada ciptaan Allah yang bernama lebah. Dimana rumah lebah tidak pernah merusak yang lainnya bahkan di dahan yang kecil, di gunung-gunung, pepohonan, rumah-rumah.Menurut Mas Agus pribadi bahwa ini merupakan tanda yang diberikan oleh Allah pada kita semua. Manusia bisa bersociety seperti lebah atau semut, sebab An Naml dan An Nahl diberikan ruang khusus di Al qur’an.Mukadimmah malam hari ini diberi judul Masyarakat Lebah Me-Madu, berawal dari tulisan Tahaduts bin Ni’mah yang awalnya diberi judul peradaban robbun ghofur. Jika mau menjadi tatanan sosial masyarakat jangan hanya mengejar thoyib. Jangan pula hanya mengejar gemah ripah loh jinawi tetapi juga pengampunan dari Allah. Hal inilah yang biasa dikesampingkan. Pandangan umum tentang thoyib biasanya otomatis robbun ghofur. Padahal belum tentu ketika banyak gedung-gedung indah, segalanya menjadi mudah ialah robbun ghofur.

Sebab peradaban masa lampau di era Fir’aun persoalannya bukan hanya pada infrastruktur tetapi dia menuhankan dirinya. Hal ini lah yang menjadi persoalan berat. Maka di Gambang Syafaat diberikan ruang khusus untuk mendiskusikan tentang haman. Haman ini juga merupakan kawannya Fir’aun. Sehingga menjadi tengara bahwa mestinya manusia tidak hanya mengejar bangunan yang seolah itu sekedar rumah singgah, tetapi juga menganggap bahwa di dalamnya terdapat generasi kita yang harus kita isi dengan kemakmuran yang disengkuyung bersama-sama. Ada yang berposisi sebagai pekerja, ratu, prajurit dlsb.

 

Andhika Hedryawan

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– Rahasia Tuhan dibalik Sinau Bareng –

Pak Carik malam ini turut membersamai pula, dan oleh Mas Kasno seketika diberi kesempatan untuk menyampaikan sesuatu. Pak Carik menceritakan bahwa baru pertama kali di Gintungan diadakan majlisan dengan kemasan seperti ini. “Biasanya ya ngaji pake peci, sarung, gak ada yang gondrong-gondrong” demikian salah satu respon beliau terkait sinau bareng di maiyah. Pak Carik dulunya merupakan murid dari Pak Kiai Mahrun. Di Mushola yang sama pula, meskipun bentuknya kali ini sudah lebih modern. Pak Carik juga sedikit penasaran tentang alasan pemilihan tempat ini. Menurutnya banyak tempat yang lebih bagus, “apakah akan ada rahasia yang terbuka?” Demikian sambil tertawa. Namun beliau juga penuh harap bahwa apapun yang akan terkuak atau terjadi setelah ini senantiasa mendapat barokah dari Allah SWT. Sedikit bercerita bahwa semenjak dahulu Pak Kiai Mahrun selalu berharap mushola ini menjadi sebuah tempat yang bermanfaat dengan berbagai kegiatan. Mungkin kegiatan ini menjadi salah satu bentuk doa yang dahulu terucap itu.

Putra Pak Kiai Mahrun yakni Ust. Shobirin juga sedang merintis sebuah pondok pesantren berbasis tahfidzul qur’an. Namun dengan konsep yang sedikit berbeda. Sebab diajarkan pula skill yang mampu mendukung tingkat kreatifitas santri untuk diterapkan kelak usai menjadi hafidz qur’an dan hidup di tengah-tengah jaman yang semakin sulit ini. Harapan-harapan yang tentu di-amin-i oleh semua yang hadir.Kemudian ada pula Mas Kafi yang diminta untuk turut merespon. Terpantik dari pertanyaan Pak Carik tentang rahasia apakah yang akan terkuak juga menimbulkan rasa penasaran bagi pribadi Mas Kafi.

Sedikit merefresh sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut. Mas Yoga seorang performer dari Majlis gugurgunung membawakan sebuah lagu. Lagu dari Baraswara yang berjudul Pancarona dipilih untuk dibawakan.Hanya sejarak lima jengkal dari Mas Sabrang, Mas Yoga nampak sangat canggung. Namun di ruang pemakluman ini baik, benar memang bukan hal utama sebab keindahan lebih diapresiasi oleh dulur-dulur yang merasa bungah dan terhibur.

 

Andhika Hedryawan

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– Anteng Meneng Manfaat –

Usai pembacaan doa wasilah dan munajat, Mas Kasno memperkenalkan sekilas tentang Majlis gugurgunung kepada jamaah. Sebab cukup banyak jamaah yang baru hadir pada malam ini. Dilanjut pula dengan pembacaan mukadimmah, yang dipersilahkan oleh Mas Kasno kepada mas Satrio. Mukadimmah tersebut merupakan bentuk tadabbur oleh Mas Agus terhadap surat An Nahl. Mukadimmah ini nantinya dapat dikaji bersama lebih meluas sebab konteks majlisan ini adalah sinau bareng, dimana semua bisa memberikan kontribusi berupa respon untuk tema malam hari ini. Menariknya tema malam ini juga akan sedikit diulas oleh Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh. Sebuah kebahagiaan yang lama dirindukan bagi kami yang menanti kehadiran beliau secara jasadiah di sini. Ada pula Pak As’ad dari Suluk Surakartan Solo, Mas Aniq dari Ponpes RKSS Semarang yang juga seorang penggiat di simpul Gambang Syafaat, kemudian Mas Kafi sekeluarga bersama sedulur-sedulur Majlis Alternatif Jepara, juga Pak Kiai Mahrun dan Ust. Shobirin.

Pak Kiai Mahrun kemudian diminta untuk sedikit menyampaikan tentang gelaran acara pada malam hari ini. Pak Kiai Mahrun menyampaikan bahwa sekitar 40 hari yang lalu beberapa sedulur dari Majlis gugurgunung mengadakan acara disini, namun bertepatan dengan meninggalnya orang tua dari Pak Mahrun sehingga tidak bisa mengikuti kegiatan tersebut. Bahkan anaknya yakni Ust. Shobirin baru pulang dari Lampung tadi pagi dan baru menyampaikan tentang kegiatan malam hari ini. Beliau merasa bahagia, bangga, bersyukur serta mengucapkan selamat datang kepada semua yang hadir. Beliau meminta maaf bahwa tempat yang disediakan hanya ala kadarnya saja. Kemudian beliau merasa senang dengan majlisan “pengajian” seperti ini meskipun tidak ada yang sarungan, pecian namun yang terpenting ialah niat dan hatinya.

Sedikit merespon tentang tema, penuh harap agar kita semua bisa mencontoh dengan makhluk yang bernama lebah. Madunya yang memiliki banyak manfaat, kekompakan yang luar biasa juga mendiami sebuah tempat tanpa merusak lingkungan tetapi juga memiliki kewaspadaan yang tinggi dimana dapat menyengat atau ngentup apabila diganggu. Anteng, meneng, lan manfaat.

 

Andhika Hedryawan

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– Guyub Khas Keluarga –

Majlis gugurgunung di akhir bulan Juni lalu kembali menggelar rutinan. Waktu perhelatan seperti biasanya yakni malam minggu terakhir pada tanggal 29 Juni 2019 dengan tema “Masyarakat Lebah me-Madu”. Gintungan, Ungaran Kab. Semarang dipilih untuk menjadi lokasi perhelatan. Merupakan sebuah tempat yang baru pertama kali digunakan sebagai rutinitas Majlis gugurgunung. Tepatnya di pelataran kompleks Mushola Al Mazroah yang berdampingan dengan gedung Madrasah yang diampu oleh Mas Shobirin.

Segala persiapan mulai dari gelaran tikar, sound system, serta MMT sudah terpampang di tempat yang semestinya. Ruang transit, tempat parkir hingga kamar mandi pun tak luput dari perhatian masing-masing personal yang nggugurgunungi segala proses persiapan, termasuk dari tuan rumah sendiri yakni Mas Shobirin sekeluarga yang lilo serta legowo menyediakan tempat beserta kelengkapannya. Pembagian tugas baik yang berada di lokasi kegiatan, maupun di titik kumpul awal yakni kediaman Mas Agus alhamdulillah berjalan dengan baik. Memang hajatan ini hampir sama seperti biasa, semuanya berusaha untuk mengambil peran dalam hal membantu persiapan teknis maupun non teknis.

Tepat pukul 20.00, sementara Tim masih terbagi menjadi dua. Yakni di titik kumpul di kediaman Mas Agus serta di lokasi. Beberapa jamaah sudah mulai berdatangan satu demi satu. Mas Shobirin mengawali dengan sholawatan dan rebana oleh anak-anak asuhannya. Bahkan ditawarkan pula pada salah seorang jamaah yang bisa terbang-an untuk turut serta. Meskipun tanpa koordinasi, jamaah tersebut langsung bisa mengikuti irama alunan terbang yang menjadi pengiring sholawat.

Malam ini, selain dari warga gugurgunung sendiri, nampak sedulur-sedulur dari luar kota pun turut merapat di lereng gunung Ungaran ini. Seperti Semarang, Demak, Solo, Jepara, Slawi, Jogja, kendal, dll. Waktu kisaran pukul 20.45 Mas Kasno sebagai moderator membuka acara seperti biasa yakni diawali dengan doa wasilah oleh Mas Azam dan Mas Tyo dengan munajat maiyah. Suasana nan khusyuk sangat terasa, diiringi semilir hawa dingin lereng gunung Ungaran.

 

Andhika Hedryawan

PASAR DAN KESEJAHTERAAN EKONOMI MODEL DESA

EKONOMI PASAR

Dari beberapa paparan di awal-awal tulisan, diharapkan terbangun sebuah bingkai konsep kawasan pemukiman (Desa) dalam struktur yang terinspirasi dengan Firdaus, Paradesa. Masyarakat ini tidak akan menjadi masyarakat yang solid jika ketahanan mental, edukasi, kemandirian, etos kerja, hingga visi tidak dibangun dari bagian terkecil dalam sebuah sosial kawasan yakni KELUARGA.

Peran orangtua untuk membangun semangat menjadi manusia bermartabat adalah hal yang ditanamkan secara general, kompak, dan turun-temurun. Orangtua, berposisi sebagai semacam miniatur Hasta Janma yang memberikan ruang selengkap-lengkapnya bagi kebutuhan jawaban dari rasa ingin tahu sang anak. Pada kawasan sosial lebih luas, yakni Padusunan kelompok sosial dengan usia lebih tua akan menjadi mentor dan pengasuh bagi seluruh generasi di dalam kawasan tersebut.

Kini kita akan membahas sebentar tentang sistem ekonomi yang dibangun antar kawasan, yakni antar Padusunan dalam naungan Kaluhurahan. Disini saya akan membaginya dalam beberapa termin.

  1. Syarat Pengadaan Pasar
  2. Tugas-tugas ‘panitia’ pasar
  3. Lokasi Pasar
  4. Prinsip Dasar Pasar
  5. Arti Dagang dan Pasar
  6. Barang yang dipasarkan

SYARAT PENGADAAN PASAR

Setap Kalurahan seyogyanya memiliki pasar sendiri untuk menggulirkan pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder masyarakatnya. Arus perguliran ini harus dibangun bersama seluruh masyarakat dalam sebuah kawasan. Berikut syarat yang diperlukan untuk mengadakan Pasar yakni : Begawan, Tuha Dagang, Pamong Dagang, Pangurun Rembag, Panyarik, dan yang paling penting lagi adalah Lokasi.

FUNGSI DAN TUGAS PANITIA PASAR

FUNGSI DAN TUGAS BEGAWAN

Begawan adalah Janma Kawi yang dinisbatkan oleh masyarakat sebagai orang suci. Begawan pula sesungguhnya yang sejak awal mula menginisiasi adanya Pasar. Yakni metode berkumpul dari sebanyak-banyak orang dan saling memberikan manfaat satu dengan lainnya. Begawan akan diletakkan sebagai pihak yang akan membuka perhelatan Pasar dengan beberapa nasehat dan petuah-petuah singkat untuk kemudian dilanjutkan pada proses Masar.

Setiap Pekan Ageng / Pasar Agung pada setiap Kliwon, Sang Begawan senantiasa mengingatkan untuk saling meningkatkan pengamatan diri (eling) dan selalu waspada pada tipu daya. Baik tipu daya dari luar diri, mapun tipu daya dari dalam diri. Kemudian Sang Begawan melanjutkan bertutur tentan makna kekayaan, kesejahteraan, dan konteks terkait lain yang relevan aktual dengan kondisi yang tengah terjadi.

FUNGSI TUGAS TUHA DAGANG

Adalah seseorang yang berposisi saling menghubungkan dan membantu penebaran, penaburan. Menebarkan atau mendistribusikan barang kepada yang berkesesuaian. Menaburkan ke masing-masing tempat secara merata. ‘Tuha Dagang’ atau juga ‘Tuwa’ atau ‘Tetua Dagang’ adalah orang yang dipilih oleh masyarakat yang percaya akan kehandalan dalam menjaga dan ketelitiaanya dalam memetakan. Maka Tuha Dagang ini bukan profesi namun sebuah tugas yang dibebankan kepadanya oleh sebuah kesepakatan bersama. Tuha Dagang bisa dari Dhukun, Dhukuh, atau Dhusun yang dituakan dan disepakati oleh lintas antar padusunan. Meski demikian ada pula Tuha Dagang yang memang ditunjuk dan dipilih dengan cara lain. Misalnya ditunjuk oleh Begawan, diutus oleh Adipati atau bahkan Ratu, ini hanya soal teknis pengambilan keputusan yang harus semakin ringkas disaat melibatkan kuantiti masyarakat lebih luas.

Tuha Dagang menjadi pihak penentu Kerto Aji (nilai) akan sebuah barang. Ia memiliki pengetahuan yang komperehansif tentang sejarah pengadaan barang tersebut sehingga bisa memutuskan kertoaji barang tersebut. Apakah barang tersebut di tanam, atau tumbuh alami, atau benda-benda yang dibuat. Jika dibuat dengan bahan apa, berapa lama pembuatannya, hingga berapa jauh jarak pembuatan barang tersebut dibawa hingga ke pasar, dlsb. Sehingga tidak terjadi seekor Kuda ditukar dengan seekor kambing atau seikat sayuran. Seekor Kudai sering ditukar dengan beberapa ekor Kerbau atau Sapi. Seperangkat Gebyok yang terbuat dari Kayu Jati dan berukir-ukir tidak akan ditukar dengan Sapu lidi atau Rempeyek. Gebyok akan di kertoaji sepadan dengan proses sejarah pengadaan barang tersebut, bisa dengan sekian kilo beras, atau sekian gulung tenun.

Dengan demikian, Seorang Tuha Dagang memiliki tim konsultan yang bisa memberinya pertimbangan dan masukan untuk menentukan Kerto Aji sebuah barang. Ada konsultan di bidang pertanian dan peternakan, ada yang di bidang Pakriyan, ada konsultan di bidang sosiologi. Sebab penentuan Kerto Aji sebisa mungkin bulat (tidak sepenggal kesan) dan personal (disesuaikan dengan kerja keras di belakangnya), tidak boleh meletakkan Kerto Aji sebuah barang atau benda tanpa melihat kondisi di belakangnya, ini adalah upaya bersikap adil pada manusia.

LOKASI PASAR

TATA LETAK PASAR DAN PLANOLOGINYA

Untuk menentukan letak pasar, yang pertama kali dilakukan adalah menemukan terlebih dahulu pasar kliwonnya. Pasar Kliwon sebagai pusat yang kemudian bisa menjadi acuan penetuan letak 4 pasar yang lain. Penentuan pasar kliwon didasari sistem mata angin, yakni ditengah-tengah arah mata angin Timur, Utara, Barat, Selatan.

Utamanya, sebuah pasar harus berada pada tempat yang lapang dan datar dan mudah dijangkau. Pilihan ini sangat luwes sehingga patokan khusus hampir tidak ada karena benar-benar meletakkan pada kemudahan saling berkumpul dan bertukar pepegang /Bawaan.

PRINSIP DASAR PASAR

Jika untuk urusan mendasar yakni tentang Sandang, Pangan, dan Papan tidak mampu dijawab oleh keluarga kawasan sendiri, bagaimana hendak mengatakan merdeka? Sedangkan keluarga sendiri dalam satu kawasan saja tak bisa membantu, bagaimana bisa berharap bantuan tanpa pamrih dari luar keluarga? Maka, Pasar adalah upaya kerjasama yang meletakkan keutamaaan kesejahteraan bersama dengan cara tetap bermatabat dan melahirkan lipatan-lipatan manfaat.

Tentang wayah/ waktu dulu diatur dengan kolomongso, masyarakat umumnya sudah tau pathokan ini. Juga petuah tetua kampung yang menjadi hukum sektoral sebagai patokan yang lain. Pasar itu ada lima yakni : Pasar Legi, Pasar Paing, Pasar Pon, Pasar Wage, Pasar Kliwon. Per lima itu yang paling besar pada pasar Kliwon dimana semua barang berkumpul jadi satu. Penentuan pasar utamanya menemukan koordinat pasa Kliwonnya dulu, titik kasihnya dulu. Baru penentuan arah pasar yang lain dengan patokan koordinat Kliwon. Sebagai pancer adalah Kliwon. Dalam tata kelola pasar, ada “Tuha Dagang” yang mengatur distribusi dan penyebaran barang. Juga mengelola untuk barang-barang yang belum tertukar agar bisa memperoleh penukaran di saat Kliwon. Pasar harus dipertahankan keramaiannya  sebagai upaya saling bertemu dan bertukar informasi.  Juga ada faktor penting terkait larangan menimbun “emas dan perak”  menyimpan uang. Larangan penimbunan emas dan perak (alat tukar/uang kwartal) menjadikan kearifan terhadap keberadaan bahan baku sebagai simpanan pangan akan cepat bergulir. Pasar riil era industri sekarang ini sangat ditentukan oleh pasar valas dan pasar bursa.  “pasar ilang kumandhange”. Tentang larangan penyimpanan emas perak, pemahamannya bukan wujud emas dan peraknya.  Tapi orientasi menimbun Kapital. (visa berbagai bentuk,  salah satunya uang)

Emas dan perak mulai dilihat sebagai aset kekayaan setelah bangsa kita menggunakan ‘mata’ dan persepsi kolonial yang menghausi emas. Di era Swarnadwipa, jaman yang sudah sangat lama, emas sudah kita kenal dan berhasil dikelola menjadi berbagai macam hal. Utamanya sebagai alat peribadatan dan simbol-simbol kemuliaan yang tidak dimiliki secara personal namun substansi (Keratuan, Kadipaten, dlsb). Koin-koin emas adalah simbol peribadatan yang masing banyak ditemukan hingga sekarang. Sehingga lebih kepada makna filosofis spiritual daripada alat transaksional. Kepeng Luang (tengah bolong), sebagai simbol hidup menuju ketiadaan. Dimana tengah yang bolong melambangkan “tan kiniro tan keno kinoyo ngopo”.

NGUNDUH KARUNIA

Karena pasar berkaitan dengan berbaur, menyebar, memanusiakan manusia dan menjunjung martabat bersama dalam spirit kerelaan dan bukan kepemikikan, maka Konsep Pasar adalah proses mengunduh karunia. Berkah akan semakin terkucur dengan terlibatnya banyak pihak yang beraneka latar belakang namun satu dalam hal kesantunan dan pijakan bebrayan. Semuanya berbahagia sejak berangkat dari rumah, saat saling bertemu, hingga saat kembali berpisah. Sebab utama mereka rela melakukan itu semua karena didorong oleh rasa ingin senantiasa menjadi bagian dari proses pengunduhan karunia tersebut. Pertimbangan utama dari pasar adalah berkah. Apa yang menyebabkan ini menjadi berkah, adalah :

  • Semua yan berkumpul saling mengamankan satu dengan yang lain, tidak mengganggu harta, darah, dan martabat oranglain.
  • Semua yang berkumpul membawa sesuatu dari tempatnya sebagai bawaan (pepegang) yang perlu dikurangi karena dianggap melimpah (Suda)
  • Semua yang berkumpul menjunjung kerelaan dan memprioritaskan kebahagiaan bersama dengan cara mengorbankan sedikit kebahagiaan pribadi.
  • Semua yang berkumpul mengakurasi sikap penuh rela
  • Semua yang berkumpul membangun interaksi bukan hanya seputar bawaan yang mereka bawa, namun juga tentang pengalaman hidup, tentang kebijakan dan kearifan
  • Yang mereka sunggi di atas kepala, dan yang mereka pikul di pundak mereka bukanlah barang dagangan untuk di transaksikan guna memperoleh alat tukar jual-beli berupa uang. Yang mereka junjung di atas kepala mereka adalah persaudaraan atas nama Tuhan. Dan yang mereka pikul di pundak adalah beban dunia yang merasa harus diletakkan dan dikurangi agar tidak menjadi beban akhiratnya.

QS : 62 Al Jumuah ayat 9 – 11

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.

Pasar adalah bentuk kebudayaan yang mengusung semangat kebersamaan dengan konsep ‘Salam’  ‘Silaturahim’. Menebarkan salam melalui perilaku, bukan sebatas pada kata-kata. Esensi pasar = Ruang Silaturahmi dan membersamakan diri untuk mendapatkan karunia. Membeli kepada yang kita kenali. Mekanisme pasarnya seperti omah. Semua bisa berposisi tamu dan semua bisa berpososisi tuan rumah. Dengan kerendahan hatian bukan merendahkan.

Memperlalukan orang lain sebagai bagian dari kesatuan kesadaran diri. Dengan silaturahim seperti omah, Ombo lan Mahanani (OMAH). Tuan rumah menerima dengan kebahagiaan sebagai berkah dan mencawisi apa yang dia punya. Tanpa ada saling merendahkan.

” Siapa yang hendak dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari Muslim)              

SPIRIT PASAR

PASAR DAN BERKAH

Bangsa kita sesungguhnya sangat mengerti siapa orang yang pantas mengajarkan ilmu dan kebijakan, ini akan mereka dapatkan dan cari dari para Brahmana, Resi, Begawan, Pandhito, dlsb. Bukan kepada pedagang. Pedagang merupakan pihak yang tidak cukup memiliki kadar dan kompetensi untuk menyampaikan. Bahkan masih dianggap sebagai kasta yang cukup rendah, apalagi jika pedagang tersebut adalah orang asing atau manca, secara kasta bahkan dianggap lebih rendah lagi. Rendah disini terletak pada keberdayaannya yang lemah dalam hal keamanan, policy, regulasi, dlsb. Oleh sebab demikian maka bagi yang dianggap demikian justru perlu mendapat perlindungan, dijaga, dan dibantu agar lebih mudah urusannya. Yang lain, Pasar Purwa tidak meletakkan etos keuntungan sebagai spirit utama, namun menebar dan saling berbagi kasih sayang dengan cara saling memberi dan menerima. Spirit utama pasar ‘dipawangi’ oleh seorang Resi atau Begawan yang konsentrasi utamanya bukan mengajak untuk sibuk mendapatkan keuntungan-keuntungan duniawi, melainkan pengkondisian masyarakat untuk menggembirai dan sibuk dengan aktifitas apapun yang memberikan keuntungan-keuntungan ukhrowi. Saya sepakat dengan Pak Agus Sunyoto dalam bukunya ATLAS WALISONGO, setelah pembawa agama diperankan oleh para alim yang memenuhi standar kebegawanan atau dari kasta brahmana maka berbondong-bondong masyarakat menaruh hormat dan mengikutinya dengan tulus.

Pasar yang dibangun oleh para leluhur kita sejak era purwa, saya menganggapnya bahkan mirip Jum’atan pada saat ini. Setiap orang berkumpul dan menggapai keberkahan bersama, namun Jum’atan saat ini pun masih cenderung formal dan belum cukup efektif menyentuh kondisi interaksi yang menggairahkan. Peran pasar bukan sebagai transaksional, tapi ada muatan pertemuan dan pembelajaran.

JEJAK KONSEP PASAR PURWA

Di beberapa daerah, salah satunya di Jakarta masih lengkap istilah Pasar, dari Pasar Minggu, Pasar Senin, dan seterusnya sampai Pasar Sabtu. Dulu ia hanya pada hari itu tempatnya jadi Pasar. Tetapi detik ini tinggal nama. Karena setiap hari jadi pasar. Satu pekan = 7 hari. Pekan = peken = Pasar. Pasar Kawi yg 5 hari, muasalnya adalah pertemuan spiritual menyembah 5 dewa di 5 titik, yang dimulai oleh Jaka Sengkala dan Resi Raddi. Lalu terjadilah pasar. Misal pasar Legi, penyembahan Dewi Sri, di Timur kabuyutan, barang2 yg dipasarkan aslinya adalah bentuk/barang jamuan untuk para tamu yg datang beribadah dari selatan, barat, utara dan tengah desa, yg berkumpul di Timur. Orang2 yg ada di timur, sebagai Tuan rumah acara ibadah, menyediakan barang2/jejamuan kepada para tamu dari barang yg sifatnya Legi/manis/putih. Begitu seterusnya berlaku di arah desa yg lain. Semakin ramai, lalu orang2 yg hanya melihat duniawi, menjadikan momen ibadah itu hanya sebagai momen dagang.

Dulu di Mekkah juga begitu, istilah yg muncul dari Quran: Siqoyatul Hajj(memberi minum para jemaah haji, menjamu) adalah tugas peminpin Mekkah kepada para tamu yg hadir dari berbagai penjuru ke Mekkah. Ratusan domba, onta, dengan senang hati dijadikan jamuan untuk para tamu. Siqoyah, dari akar kata S.Q.Y, dekat dengan akar kata S.W.Q (yg dari akar ini muncul kata Suuq/pasar).

Abu Sufyan yg menjadi pemimpin politik, semakin kokoh karena didukung Abu jahal (ekonomi) dan Abu Lahab (juru kunci Ka’bah, ‘brahmana’-nya). Kombinasi Ka’bah (sebagai pancer berkumpulnya patung 360 dewa dari segala penjuru), dan mata air zamzam, menjadikan Mekkah sebagai pusat perdagangan kala itu. Religi menjadi alat utama penguasaan politik/ekonomi.

Abu Jahal dkk menentang Muhammad terutama karena Ka’bah dan Zamzam. Siapa menguasai 2 ini, dialah penguasa Mekkah dan potensi ekonominya. Harta, tahta, dan budak wanita. Itu saja yg dilihat Abu Jahal (Stupid’s Father) dkk. Maka mereka ibaratnya mau menukar bulan dan matahari (seberapapun dirham dan dinar) demi Mekkah dan Zamzam tidak jatuh ke tangan Muhammad.

Kembali ke kondisi pasar yang menjadi tradisi kita sejak masa Purwa.

‘IRUP’ SEPENGGAL KISAH BARTER DI JEPARA

Di beberapa tahun silam, di beberapa daerah terpencil di Karimun Jawa, saat Angin Baratan …. Hampir seluruh aktifitas pelayaran dihentikan, kapal kapal besarpun pada saat cuaca seperti itu sudah terbiasa singgah berlindung di pulau pulau untuk lempar jangkar sampai angin baratan reda, ini bisa berlangsung hampir satu bulan …. Praktis aktifitas penduduk setempat untuk menjual dagangan dan membeli sembako (biasanya di Jepara) juga berhenti total. Masyarakat   ttp butuh makan, awak awak kapal juga butuh untuk kelangsungan hidup, yang menarik, dari peristiwa angin baratan ini adalah, terjadinya pasar tiban. Masyarakat bermata pencaharian ikan, sayur, kelapa, buah, dll menuju ke tempat tempat kapal besar singgah atau nyandar sementara, biasanya awak kapal menyediakan minyak atau bahan bakar lain. Mereka melakukan barter pada pasar tiban tersebut. Istilahnya juga unik, …. “Irup, ben podo dene Urup, kanggo Urip” : Irup/ijol/tukar, ben podo iso Urup/nyala/kemebul pawone, ben podo dene iso Urip/memberlangsungkan kehidupan secara bersama-sama. Saat itu tahun 2006 an. Masih banyak saya jumpai di pulau pulau terpencil. Entah sekarang. Yang saya catat pada saat itu melibatkan masyarakat dari Suku Bajo (masyarakat yg hidup di atas air), suku Bugis yang hidup di hutan hutan, Jawa, Madura. Saya sepakat jika itu adalah berkah, terlihat sebagai silaturrahim tahunan, meskipun mungkin media sebagai bencana.

ARTI DAGANG DAN PASAR

DAGANG – Hanyuda Pepegang

Suda dalam Bahasa Kawi artinya tersedia melimpah, hanyuda artinya mengurangi. Saat ini dalam bahasa Jawa ‘Suda’ justru sering diartikan berkurang, atau menurun. Mungkin karena saling berkait sehingga terjadi pencampur-adukan makna.

Dagang artinya Nyuda pepegang : Mengurangi bawaan, sehingga orang yang datang membawa bawaan harus sebisa mungkin dikurangi tidak dibawa pulang lagi karena berhasil disebarkan. Ini juga yang memberangkatkan istilah oleh-oleh, sebab sebelum berangkat keluarga selalu berpesan : “bawalah oleh-oleh” bawalah perolehan, memperoleh saudara baru, ilmu baru, pengalaman baru, dan membawa perolehan barang yang bisa dinikmati atau dirasakan oleh anggota keluarga di rumah. ‘Nyuda pepegang’ dan ‘Oleh-oleh’bentuk pertukaran barang tanpa mata uang, alias barter.

Etos utama masyarakat adalah menjadi produsen entah produksi pangan, kerajinan, ketrampilan, atau apapun agar bisa berkontribusi dan berkesempatan ikut berbaur dengan nilai tukar produksi yang ia hasilkan. Produksi ini ada yang kadang melimpah dan lebih dari cukup untuk kebutuhan daerahnya sendiri. Kemelimpahan ini disebut sebagai ‘SUDA’.

PASAR

Produk yang melimpah baru bisa ditebarkan untuk berbagi kenikmatan kepada daerah lain. Istilah ‘MASAR’ berarti menyebar membaur, tempatnya bernama PASAR tempat berkumpul yang disepakati bersama untuk proses penyebaran  dan pembauran. Apalagi tidak semua hal yang diperlukan dalam keberlangsungan komuniti bisa dipenuhi sendiri karena harus berhubungan dengan iklim dan topograsfi khusus. Seperti misalnya Beras yang tidak cocok di pesisir atau di gunung, namun Garam tidak bisa dihasilkan di gunung atau di darat karena umumnya harus di pesisir. Juga Gula Aren, pensuplai kolang-kaling dan gula, tidak seproduktif di daerah Gunung jika tumbuh di darat ataupun pesisir. Kelimpahan produk baru dibarterkan keluar sebagai ‘alat tukar’ dan berbagi kebahagiaan.

BARANG YANG DIPASARKAN

Karena ini adalah kegiatan yang mempermudah distribusi dan bergulirnya kebutuhan primer maupun non primer masyarakat setempat. Maka barang yang dipasarkan adalah hal-hal  yang diproduksi, dipiara, dikembangkan, ditanam sendiri oleh masyarakatnya. Karena wilayah agraris maka produk utama yang dihasilkan adalah hasil bumi dari sektor pertanian. Maka dibuatlah inisiatif lumbung untuk menekan overstock di pasar. Sementara mulai dikembangkan sektor-sektor lain yang diproduksi. Dengan demikian tinggal mengkombinasi berbagai model produk selain pertanian, sehingga desa menjadi multi produk untuk mencukupi kebutuhan.

Apapun produk yang dihasilkan adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat didalam komunitinya dahulu. Maka masing-masing komuniti masyarakat harus tahu kebutuhannya terlebih dahulu. Ada beberapa daerah yang membutuhkan Kuda sebagai penunjang transportsi, ada yang tidak memerlukan.

BARANG DAGANGAN

Barang Dagangan adalah barang yang dibawa dan diniatkan untuk dikurangi. Yang datang ke pasar sudah tahu barang apa yang akan dibawa sesuai dengan pasarannya. Contoh : Pasar Legi untuk hal-hal yang berwarna putih, seperti garam, beras, dan hal-hal yang bersifat menerangi.

PASAR LEGI : Sesuatu yang memiliki warna putih, atau manis, atau membenderang. Seperti minyak Jarak, ia tidak putih tapi membenderangi. Beras tidak manis namun memiliki warna putih, maka beras merah tidak dijual di pasaran Legi. Ada pula garam, ia tidak manis tapi memiliki warna putih. Madu juga diperdagangkan di pasaran ini, meski ia tidak berwarna putih namun memiliki rasa manis.

PASAR PAING : Menjual sesuatu yang pahit, atau sepet. Artinya sesuatu yang jika dikonsumsi akan memberikan rasa pahit ataupun benda-benda yang tidak untuk dimakan. Seperti misal, Tembikar, Gebyok, aneka mebel, Gedhek, Tikar, peralatan dapur dan alat rumah tangga.

PASAR PON : Pada pasaran ini yang dipasarkan adalah segala hal yang berkaitan dengan obat-obatan. Akar-akaran, daun-daun obat, para ahli pengobatan yang memberikan pengobatan cuma-cuma, Jamu, juga binatang ternak.

PASAR WAGE : Dipasarkan benda-benda dan peralatan yang berkaitan dengan peribadatan, Tosan aji, wewangian seperti bunga-bunga, daun pandan, Kemenyan.

PASAR KLIWON : Semua jenis yang dipasarkan dari Legi hingga Pon berkumpul menjadi satu. Ini adalah formasi pasar paling lengkap.

RAJA BRANA RAJA KAYA

Kita bisa masuk pada pemaknaan rajabrana dipandang sebagai “ujian nafsu”  rajakaya menjadi kekayaan yang sesungguhnya. Yang dimaksud dengan RAJA adalah Kedaulatan, Brana / BHARANA adalah : Sarana. Kedaulatan Sarana. RAJA KAYA  : Kedaulatan Semua orang, semuanya. Kaya kemudian yang menjadi kata : Kalayak.

Pasar jaman sekarang sama sekali tereduksi dibanding konsep pasar jaman dahulu. Kita sekarang sedang beramai-ramai meminjam ‘mata’ orang lain untuk melihat segala hal. Sekelumit uraian tentang pasar jaman dahulu yang saya tulis di atas, hanya sebagai rekomendasi untuk menggunakan ‘mata’ leluhur untuk memandang kehidupan. Sehingga menjadi alat pembanding dan bisa menjadi semangat penumbuhan gebyar pasar yang seiring dengan naluri dan jiwa kita sebagai manusia.

IDE PASAR TEMATIK   

Pembangunan beberapa Desa yang saling berdekatan, masing-masing desa memiliki potensi yang berbeda beda,  ada pasar tematik sesuai potensinya dan mendekatkan pasar itu dilokasi penghasil produk. Pembeli yang harus datang, bukan produk yang dibawa keluar. Keberadaan pasar tematik sekaligus bisa merancang laju produksi bahan yang akan dipasarkan. Misal : Panen kacang panjang tiap Pon,  panen Ikan tiap Wage. Tidak harus desa yang berdekatan, tapi juga bisa dirancang dalam Padukuhan yang berdekatan.

Tidak harus Dukuh,  tapi keluarga dan tetangga yg berdekatan. Cukup 5 keluarga nampaknya pasar barter bisa dimulai. Ini adalah upaya menampakkan desa yang di atas desa, PARADESA. Bukan semata karena kekayaan dan aset fisik pada kawasan tersebut, namun karena dihuni oleh keluarga-keluarga yang saling membenderangi satu dengan yang lain. Bukan para tengkulak dan bakul yang memenuhi pasar tapi antar warga sendiri yang langsung saling berinteraksi.

Contoh nyata yang bisa direvitalisasi ada di wilayah pegunungan. Bawang merah dari sana dibeli oleh tengkulak  dan pengumpul sayur untuk dibawa turun ke pasar, warga Pegunungan perlu sabun, beras, harus turun ke pasar. Kenapa tidak dibikin Pasar Tematik dimana ke Pegunungan beli sayur dengan cara bawa beras? atau orang Pegunungan bawa sayur ke pasar kampung sebelah untuk mendapatkan beras. Ini juga bisa menghubungkan desa penghasil berasnya kepada daerah penghasil sayur. Jepara tidak  menghasilkan Sayuran namun produktif dengan beras. Pedut tidak dapat menghasilkan padi namun produktif akan sayuran. Disinilah peran fasilitator, menjadi pembawa beras dan pembawa sayuran bergerak menghubungkan 2  area.

SYARAT KETENTUAN SOSIAL

Inti dari segala sistem adalah menyempurnakan akhlak dalam hal apapun. Ini sekaligus garis batas yang tegas untuk sebuah habitual, apakah perlu di lanjut atau justru penting untuk dihentikan. Ini hukum dasar untuk membuat syarat dan ketentuan, harus ada regulasi yang rapi agar tidak justru menjadi kontra produktif dalam sebuah kegiatan. Peran Begawan/ Orang Suci, Lurah, Sesepuh Desa, Kabuyutan, Dhukuh, Dhusun, Dhukun dan segenap kawula warga sangat penting. Semua bekerja dalam satu tubuh yang sama yakni Ngawula kepada Tuhan dengan fungsi dan peran masing-masing.

Hal ini akan terjadi jika pemahaman nilai dan aturan sudah ditanamkan sejak kecil pada level keluarga. Dan masing-masing keluarga satu suara dalam urusan akhlak, adab, atau paugeran hidup. Satu suara ini akibat petuah yang disuarakan secara periodik dan indah dari orang suci yang tak berpihak pada kepentingan pribadinya namun berpihak pada kepentingan Tuhan.

Kepentingan Tuhan adalah segal hal yang seharusnya terjadi dan terkuak, bukan tertutupi apalagi terkubur. Yang harusnya terkuat adalah rasa kasih sayang, kebersamaan, saling menolong, saling merengkuh, saling bersusun, saling rukun, dalam keluhuran budi dan keagungan jiwa. Kenapa orang suci yang di dengar? Karena manusia leluhur kita adalah manusia spiritual yang hakekatnya hanya mau menyembah dan tunduk kepada Tuhan, bukan kepada kekayaan, jabatan, bukan pula kepada seseorang, melainkan kepada pihak yang nyata membawa kadar Tuhan di dalam dirinya. Makin dominan kadar tersebut, makin beasr pula penghormatan kepada yang bersangkutan.

–o0o–

Majlis gugurgunung.

TIM PETAN (Perdikan Pranatan)

Terlibat sebagai kontributor dalam tulisan ; Afif Junaedi, Arif Wibowo, Dhidit, Fatma Effendi, Kasno Kirana, Norman Aks, Yudi Rohmad.

सुदा sudo adj. Menyediakan berlimpah-limpah

सुदा sudo adj. banyak sekali

सुदा sudo adj. Memberi banyak

सूद sUda m. baik

भरण bharaNa adj. Memelihara

भरण bharaNa n. Upah

भरण bharaNa n. Tindakan membawa membawa

भरण bharaNa n. bergizi

भरण bharaNa n. mendukung

भरण bharaNa n. rezeki

भरण bharaNa n. mempekerjakan

भरण bharaNa n. Mendukung

कय kaya . setiap orang

काय kAya adj. Berhubungan atau dikhususkan untuk dewa Ka

काय kAya m. orang banyak

काय kAya m. modal

काय kAya m. Ada obyek yang harus dicapai

काय kAya m. koleksi

काय kAya m. rumah

काय kAya m. himpunan