Jajah Deso Milangkori

NAWATARA

Jajah Deso Milangkori adalah kegiatan yang memiliki banyak fungsi. Jajah artinya menjelajah, Deso adalah kawasan, Milang artinya memilah, menyibak, menyeleksi, Kori dari kata Kor dengan imbuhan -i. ‘Kor’ artinya telur Tumo(kutu rambut) yang biasa ikut nangkring di kepala. Jadi, ‘jajah deso milang kori’adalah kegiatan penjelajahan dari satu kawasan ke kawasan berikutnya untuk memunguti “kor kor (telur-telur tumo)” untuk diletakkan pada tempat yang semestinya dan tidak mengganggu keseimbangan. Pilihan kata ‘Kor’ sebagai perumpamaan bukan tanpa alasan, Kor yang merupakan telur kecil dan tersembunyi ini perlu ketelatenan dan ketelitian dalam menyibak dan menelusurinya.Continue reading

Abstrak Jaman

Abstrak Jaman ii

Di dunia ini terdapat dua wangsa besar yakni Wangsa Candra dan Wangsa Surya. Masing-masing bersama mengkontribusi kehidupan dengan cara yang berbeda.

Wuku adalah perhitungan dalam segala sudut pertimbangan. Sudut pertimbangan jasad sebagai tanda, sudut pertimbangan jiwa sebagai khazanah pengetahuan, sudut pertimbangan ruhani sebagai satu-satunya penyambung kepada segala titah

Pasaran adalah ruang berkumpul secara meriah untuk tujuan pertukaran barang kebutuhan, menimba ilmu, dan bersosialisasi antar masyarakat dari 4 penjuru mata angin. Barang yang dibawa untuk ditukarkan disebut dagang (nyuda pepegang/mengurangi bawaan). Pasaran ini sekaligus meningkatkan kualitas pengetahuan teknis, seperti mutu metalurgi, penyepuhan logam, penambangan tanpa merusak, ekstraksi tanaman menjadi makanan dan minuman, membuat kain lebih halus, pengolahan emas, perak, perunggu, tembaga. Ilmu kelautan dan perkapalan, perbintangan dan navigasi, pertahanan keamanan, seni budaya, tata bahasa dan sastra lesan maupun tulisan, dlsb.

Kawi adalah masyarakat yang memiliki ciri penyair, intektual, cerdas, cerdik, bijaksana, pintar, orang suci, hingga arti-arti lain seperti : burung hantu, planet venus, dan matahari.

Sejak hasta janma menguat dan mengakar sebagai jenis identifikasi besar, maka setiap lini hampir dipimpin/dikuasai oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. Perkembangan masyarakat menuju Nabi Nuh, pengetahuan ini sudah semakin menghujam dan mengakar. Sehingga pencapaian-pencapaian pengetahuan dan kebudayaan terbentuk dengan sangat luar biasa maju.

Kemajuan-kemajuannya bukan hanya teknologi yang bersifat jasad seperti pesawat atau bangunan arsitektural. Namun juga teknologi internal seperti berbicara jarak jauh, berpindah secara cepat dari satu tempat ke tempat lain sekejap mata, berkomunikasi dengan binatang tertentu, memodifikasi genetika tanaman, mereka genetika hewan, dan masih banyak lagi.

Kehadiran Nabi Nuh adalah tengara jaman. Masyarakat yang saat sudah merasa sangat sempurna dengan segala pemahaman menjadi tidak menyadari perubahan jaman. Masyarakat pada saat Nabi Nuh turun adalah masyarakat yang sudah sangat menghormati pilihan dan cara hidup orang lain, sehingga tabu untuk memberi nasehat atau peringatan kepada orang lain, meski dianggap salah sekalipun. Sebab masing-masing menyadari bahwa kesalahan adalah hal yang wajar dilakukan oleh seseorang, dan setiap orang pasti akan belajar dari kesalahannya. Namun kesalahan-kesalahan yang dibiarkan tanpa peringatan akan membuat seseorang merasa diijinkan untuk lebih terbuai dalam kesalahan dan tidak hendak menuju perbaikan.

Di sinilah peran yang diemban Nabi Nuh menjadi sangat kompleks. Bukan hanya memperingatkan kaumnya kepada ketauhidan, yang secara kebudayaan menentang arus. Tapi juga peringatan ‘tersembunyi’ yang tidak bisa dibuktikan yakni dimulainya pengurangan usia manusia seiring perkembangan peradaban. Jika di jaman Nabi Nuh, rata-rata setiap orang berumur 900 tahun maka jikapun dia menumpuk kesalahan selama 100 tahun, dia masih berkesempatan menambahnya lagi selama 100 tahun lagi, dan jika masih ingin menambahnya lagi dia bisa gunakan 100 tahun lagi usianya untuk merasakan kebosanan, sehingga di 600 tahun berikutnya dia menjadi seseorang yang punya pengalaman akurat atas kesalahan sehingga lebih teguh memegang kebaikan. Namun, cara itu tidak bisa selamanya digunakan. Ketika nanti usia manusia makin singkat maka yang harus dilatih adalah kewaspadaan, mawas diri, kesabaran, dan keikhlasan. Dan itu harus dimulai jauh-jauh hari. Sehingga ketika saat itu tiba manusia sudah punya bekal untuk menyesuaikan diri.

PADEPOKAN HASTA JANMA

  1. Janma Tani
  2. Janma undagi
  3. Janma ujam dudukan
  4. Janma prajurit
  5. Janma pangniarik
  6. Janma baruna
  7. Janma mitra
  8. Janma pandito/kawi

Pemaparan tentang Hasta Janma : tulisan 01tulisan 02

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU

Struktur kerajaan yang beraneka warna daulat janma memiliki muara ilmu dari ajaran resi. Resi tidak bisa dilepaskan dalam struktur kerajaan yang kemudian disebut sebagai Janma Pandito atau Janma Kawi yang bertugas memberi nasehat ‘langit’.

Kedaulatan manusia disebut sebagai Empu, dan kedaulatan Raseksa disebut Denawa. Stereotip yang terbangun adalah Denawa sebagai bangsa kurang beradap dan Empu sebagai penyelaras dan mengatur dalam tatanan lebih mulia. Pada prakteknya sering terjadi kasus-kasus sebaliknya, meski demikian baik Denawa maupun Empu sepakat terhadap stereotip itu. Denawa menyetujui karena banyak golongan raseksa yang bernaluri memakan daging manusia sebagai penghangat tubuh, sehingga stereotip itu membantunya terasa legal dengan kebiasaannya. Namun secara mental spiritual, manusia janma lebih beruntung posisinya justru karena terinspirasi berbuat baik dengan bercermin pada prilaku para raseksa yang susah sekali beranjak menjadi bermartabat.

Bencana membuat perpindahan besar-besaran para empu ke berbagai penjuru.

-BANJIR BESAR & WARISAN-

Jawa tenggelam dan tampak terpecah menjadi kepulauan kecil-kecil. Para pengungsi yang berpindah jauh di daerah-daerah (kepulauan) terpencil mengabadikan nama Jawa dalam berbagai sebutan[1].

Dua gunung es raksasa di utara dan selatan terpapar hujan badai yang juga berkekuatan raksasa. Dua kutub ini bagai dapur air yang menunggu perintah untuk melelehkan diri. Benarlah, di saat perintah itu datang, lelehannya menciptakan arus air yang besar, ditambah hujan dan badai angin yang dahsyat. Kehadiran arus air menggulung-gulung bagai ombak dalam ukuran tidak wajar, sangat besar dan menakutkan. Langit menghitam dan kilatan-kilatan petir berpijaran dalam kejap-kejap yang menyilaukan. Gemuruh suara ombak, angin, guntur, menggetarkan bagai melepaskan sendi. Kapal Nabi Nuh tampak sangat kecil di tengah lautan gunung air. Hewan-hewan yang terbawa ikut tercekam ngeri. Tasbih, dan Takbir tanpa henti bergaung di dalam dada Nabi Nuh.

Makin lama, hujan badai kian reda. Kilatan-kilatan sesekali masih nampak dibalik mendung hitam. Laut pun mulai tenang. Tapi yang benar-benar tidak pernah disangka adalah, peristiwa itu membuat wajah bumi yang lama terendam air dari lelehan kutub. Kota-kota yang gemilang dengan segala pencapaiannya bukan dibuat untuk mampu menahan ombak setinggi gunung. Manusia-manusianya hampir tak punya tempat berlindung dan menyelamatkan diri. Mungkin ada yang dikecualikan atas nama Kasih Sayang Allah.

Kemudian air mulai surut terserap bumi. Hamparan darat mulai tampak lebih jelas. Kapal Nabi Nuh tertambat di Gunung. Hewan-hewan yang terbawa banyak yang kondisinya tidak sehat, beberapa ada yang sangat lemah. Namun banyak juga yang tetap sehat. Namun Nabi Nuh yang dianggap tidak berpengetahuan oleh umatnya ketika itu, sesungguhnya benar-benar utusan Allah yang diberikan karunia pengetahuan yang sepadan dan bahkan lebih dari pengetahuan umatnya waktu itu. Yang dilakukan Nabi Nuh kemudian salah satunya adalah kembali ke pembiakan atau pembuahan benih-benih yang telah sebelumnya disimpan. Setelah berhasil dibuahkan, binatang-binatang itu dikembalikan ke habitat aslinya meskipun banyak wilayah yang kini telah terendam lautan.

Dalam kondisi habitat yang semakin menyempit, Nabi Nuh melakukan penyesuaian dengan kondisi yang baru ini. Yakni binatang-binatang dibuat jauh lebih kecil dari ukuran aslinya. Sedangkan dalam perkembangan zaman, pasca banjir juga sebuah transisi dimana manusia pun semakin kecil ukuran tubuhnya dan semakin pendek usianya.

Para pengikut Nabi Nuh yang tersisa menggunakan hewan-hewan yang dibawa dari kapal menjadi santapan. Karena kondisi pendaratan pasca banjir besar ini tidak memungkinkan tersedianya pangan. Dari titik pendaratan ini kemudian bermukim sementara, menata diri, membangun kehidupan dan mulailah terjadi penyebaran ke beberapa penjuru Eropa dimulai dari Turki. Ada yang ke Mesir, Persia, India, China, Yunani, Irlandia, dan Amerika. Sekian lagi kembali ke tanah asal usul bersama Nabi Nuh yakni ke Jawadwipa.

Kisah serupa bisa pula dibaca di : Nabi NuhBahtera & SatwaBanjir Besar.

-ERA BARU, TIKAR SUDAH DIGELAR-

Smoro berbahagia karena kini kekuatan terasa tampak seimbang bahkan berpotensi lebih kuat. Peristiwa banjir Nuh ibarat perekrutan masal besar-besaran  _seperti halnya Banujan yang tidak menunjukkan mutu kekhalifahan karena tertambat pada keterterikan hal-hal yang menutupi kebenaran_ sebab ruhani mereka tidak mau menguak hijabnya sendiri, dan justru terus-menerus menutupi peringatan yang benar maka mereka menjalani hukuman untuk membantu pihak-pihak positif sebagai katalisator yang bergabung di bawah pengawasan Smoro. Kekuatan gabungan ini menjadi makin ‘sempurna’ karena ditambah kedunguan dan kedangkalan para raseksa rakus. Mereka mudah diprovokasi dan segera melakukan tindakan brutal, bombongan, gegabah, dan merusak. Dalam beberapa hal kemunculan para raseksa efektif sebagai bentuk teror atau penciptaan disharmoni terus menerus atas upaya penyelarasan.

Smoro dan pasukannya tinggal di salah satu titik koordinat bumi yang tidak terduga oleh manusia. Tempat itu bagaikan benua kecil yang tidak mampu dideteksi dengan kemampuan teknologi jaman sekarang, yakni ketika teknologi telah makin condong ke jasad daripada batin.

Benua kecil itu tidak hanya dihuni Smoro dan pasukannya. Akan tetapi juga didiami pihak-pihak yang diselamatkan karena pencapaian pengetahuan keikhlasannya. Disana mereka tidak berseteru sebab wilayah itu wilayah netral yang telah ‘diijinkan’ terlepas dari permainan bumi. Mereka semacam pengawas dan penyelaras. Mengapa kondisi seperti ini bisa terjadi? Ini uraian singkatnya :

Pengetahuan Hasta Jalma membuat hirarki kualitas yang dekat representasinya dengan tahapan-tahapan fitrah ruhani. Jalma – Janma – Datu – Ratu – Resi – Bagawan – Kawi. Rekaman proses ini tercatat dalam permainan Caturangga.

  1. Jalma : pengetahuan dasar naluriah. Yang didengar dan dilihat adalah yang berdasar perangkat indrawi.
  2. Janma : intensifikasi, optimalisasi sesuai jalur abiliti. Yang dilihat dan didengar adalah yang berdasar perangkat indrawi dengan pemahaman penglihatan batin.
  3. Datu : pengetahuan gabungan abiliti hasta Janma dalam seorang. Yang didengar dan dilihat keseimbangan anatara penglihatan indrawi dan batiniah.
  4. Ratu : pengetahuan gabungan paradatu dalam seorang. Penglihatan dan pendengaran adalah pandangan batiniah yang menyesuaikan dengan pandangan umum yang jasadiah
  5. Resi/Pandito : pengetahuan gabungan dari pararatu dalam seorang. Penglihatan batiniah dan melakukan kegiatan yang menjauh dari keputusan-keputusan jasadiah agar terjaga batiniahnya.
  6. Bagawan/Begawan : pengetahuan gabungan dari para resi dalam seorang. Yang didengar dan dilihat adalah seruan dan ekspresi batiniah dan menyembunyikan diri dari jalur aturan bumi yang jasadiah, tapi meranggeh informasi samawi dalam penyelarasan kehidupan bumi.
  7. Kawi : pengetahuan puncak manusia yang kembali menjadi manusia yang tidak mengetahui apapun tapi sekaligus mengetahui banyak hal, bisa melakukan apapun tapi sekaligus hanya boleh melakukan sedikit dalam batasan kemanusiaan. Menyangga kesabaran dan keikhlasan sehingga terlepas dari hukum dunia yang tersekat ruang dan waktu. Yang dilihat dan didengar hanyalah suara dan penglihatan batin sehingga makin nampak jelas ilusi bumi dan kasunyatan hakiki, tapi harus kembali menjadi manusia jasad bahkan tingkat jalma sebagai kodrat titah kehidupan dia turun/dilahirkan. Penyembunyian diri yang juga menahan diri ini ditempuh untuk mengkontribusi kehidupan dengan jalur bathiniah. Seorang Kawi yang terjaga ikhlasnya secara konstruktif menyambung karunia. Ibaratnya seribu orang jalma melakukan ingkar sehingga efeknya seharusnya membuat daun mengering, tanaman banyak hama, musim kering berkepanjangan, bunga-bunga gugur, sehingga membuat kekurangan pangan bisa dicegah dengan pengabdian batin seorang Kawi yang ikhlas.

Wallahu a’lam bishawab  

[1] A sunken land called Rutas was an immense continent far to the east of India and home to a race of sun-worshippers. Rutas was torn asunder by a volcanic upheaval and sent to the ocean depths. Fragments remained as Indonesia and the Pacific islands, and a few survivors reached India, where they allegedly became the elite Brahman caste.

 

 

Widyakartika

Brahmana Raditya memperkenalkan diri kepada masyarakat yang tinggal di sebuah negeri yang sangat subur namun dihuni keganasan dan kebuasan. Jaman ini memasuki milenium ketiga usia bumi. Yakni ketika Bumi mulai muncul sebuah ajaran yang mengoptimalisasi atau intensifikasi ilmu batin. Awal-awal ilmu Batin digunakan untuk tujuan yang mengharapkan superioritas, namun dalam perkembangannya olah batin ini digunakan untuk menembus khazanah langit yang berguna untuk meningkatkan kualitas manusia. Maka sejak pada milenium kelima Bumi, keadaan masyarakat Bumi telah mulai terlihat form arah peradabannya. Continue reading

Desa – Paradesa – Paradise

Bodean – Ungaran, 7 Syawal 1438 H – 01 Juli 2017

Sebagai awal rangkaian tulisan tentang desa, maka ‘Desa’ adalah tema yang sangat tepat menurut saya untuk dikupas dan diurai. Namun sebelumnya saya mohon maaf jika atas keterbatasan pengetahuan, tema tentang desa yang saya ingin ajukan ini merujuk pada konsep Desa dalam khazanah leluhur Jawa. Selain Jawa, saya hendak menggunakan operator uraian dengan terminologi Islam sebagai bahan lain yang sama-sama akrab bagi semesta pemikiran saya. Ini bisa jadi akan tidak memuaskan bagi sedulur-sedulur yang bukan Jawa namun mudah-mudahan tidak sama sekali sia-sia sebab khazanah leluhur ini dalam hemat saya membawa nilai universalitas yang relevan bagi manusia manapun dan dari suku bangsa apapun di belahan bumi ini.

Apalagi dalam tema per tema ini diam-diam saya juga ingin menyampaikan bahwa para pendahulu kita adalah sekaligus pendahulu bangsa-bangsa di seluruh dunia. Pendapat ini bukan tanpa alasan. Ada 3 alasan untuk menengarai hal ini. Yang pertama pendekatan linguistik (Bahasa), kedua bukti arkeologis, dan ketiga kualitas manusia atau genekologi.

Pendekatan Linguistik (Rekaman Peradaban)

Pendekatan Linguistik atau penelusuran sejarah melalui fenomena Bahasa sebagai alat rekam peradaban. Perlu diketahui bahwasanya Bangsa kita menyebut diri sebagai Bangsa Kawi dengan Bahasa Kawi sebagai alat komunikasinya. Bahasa Kawi disebut demikian karena Bangsa ini merupakan Bangsa Kawitan (awal). Bangsa wiwitan (yang memulai peradaban), dimana Wiwitan ini kemudian juga menjadi Wetan, nama arah tempat mula matahari terbit yakni Timur. Jika Anda pernah mendengar istilah ‘Peradaban dimulai dari timur’ maka di sinilah Timur itu. Negeri Kawitan, Bangsa avant garde (wiwitan), dengan manusia-manusia Kawi sebagai penghuninya.

Apakah manusia Kawi itu? Kawi dalam Bahasa Kawi maupun Bahasa Sangsekerta memiliki banyak arti, antara lain : Pujangga, Penyair, Syair, Penembang, Cerdas, Cerdik, Pandai, Bijaksana, Matahari, Intelektual, yang diberi karunia, yang memiliki pengetahuan, tercahayai dan lain sebagainya yang pada intinya membawa ciri keunggulan, keindahan, dan kelebihan. Dengan arti yang sebegitu agung, tentunya tidak akan sembarang bangsa berani menamakan diri sebagai bangsa kawi jika hanya sebagai bangsa peniru apalagi pengekor. Justru Bahasa Kawi yang ketika itu hanya bisa dipahami dan digunakan oleh orang-orang Kawi menjadi kontributor besar untuk Bahasa Sangsekerta. Sebab, Bahasa Kawi ini kemudian digodok, dimasak, siap saji dengan yang kemudian lahir sebagai Bahasa Sanskrit/Sansekerta/Sangsekerta. Padahal Bahasa Sangsekerta itu sendiri menurut pada ahli sejarah sudah merupakan Bahasa paling tua yang usianya hampir seusia bahasa itu sendiri. Penjelasan ini memberi bahan konsiderasi, jangan terus beranggapan bahwa bahasa Sansekerta adalah bahasanya orang India dan kita terpengaruh olehnya. Buatlah kemungkinan lain tentang asal-usul yang kemungkinan justru sebaliknya, kitalah yang menginfluensi dan menginspirasi bahasa, tata nilai, dan lain sebagainya kepada bangsa-bangsa lain. Sedikit intermeso, boleh percaya boleh tidak : jika ingin mengetahui berapa banyak bangsa di seluruh muka bumi ini terpengaruh dari peradaban kita, lihatlah apakah bangsa itu mengenal permainan catur, jika iya maka pengaruh leluhur kita telah sampai disana. Kembali ke pendekatan linguistik.

Pendekatan ini menggunakan pendekatan melalui bahasa, yang menimbulkan getaran rohani. Contoh gemericik air yang membawa suasana tentram. Ini soundscape (kita hidup di wilayah / skup suara). Suara yang terjaga dan terus senantiasa memberikan makna. Suara disini dapat di kategorikan suara yang terjasad dan tidak. Dimana suara jasad mampu diterima melalui frekuensi yang mampu diterima oleh jasad (telinga). Namun ada suara yang langsung menembus masuk di wilayah non jasad. Yang dimana peradaban tua mampu memadukan 2 jenis suara ini menjadi sebuah bahasa. Bahasa masyarakat Purwa, masyarakat pembuka, masyarakat peradaba awal. Peradaban tua.

Sebagai peradaban tua yang akan mengawal peradaban berikutnya maka ada syarat yang harus dijunjung yakni menjadi inspiration & prototype. Jadi peradaban tua itu tidak main-main, dia harus menjadi inspirasi untuk peradaban setelahnya dan menjadi prototipe bagi peradaban setelahnya. Untuk membawa itu dia harus menjadi cahaya (LIGHT) yang terdiri dari Love (membawa cinta keindahan, rasa kasih sayang, dll), Inspiration (menginspirasi, mendorong seseorang untuk tumbuh), Greatness (membawa keagungan), Highness (membawa keluhuran), Top (totally, kafah, kavi, puncak) yang dimana kesemua itu berujung atau tersambung ke istilah yang disebut “Kawi”. Our ancestors are a light society. Para leluhur kita adalah masyarakat cahaya.

Makna kawi itu sendiri salah satunya adalah inlightned yang artinya tercahayai. Karena tercahayai maka dia adalah makhluk cahaya/manusia cahaya. Manusia-manusia yang menjadi inspirator dan prototipe peradaban berikutnya adalah yang mencahaya. Jadi kesadaran utama peradaban leluhur kita adalah cahaya, adalah makhluk ruhani yang sedang diperjalankan dengan sangat sementara sebagai makhluk dengan jasad. Untuk itulah maka setiap kebijakan dilandaskan pada pertimbangan ruhani. Cara berpakaian, cara mengatur alam, cara mengemban sesrawungan, cara memperlakukan kejadian baik dan tidak baik, cara bikin rumah, cara mengelola kebutuhan pangan, semua. Bahkan cara bersenang-senang pun tetap dibatasi dengan adab spiritualitas. Semuanya dengan berpihak pada cara pandang ruhani. Termasuk bagaimana membangun kawasan pemukiman atau desa. Dimana ‘desa’ bisa untuk wilayah luas maupun wilayah kecil. Apapun yang berarti kawasan disebut sebagai ‘desa’.

Untuk bukti arkeologis, dan kualitas manusia atau genekologi diperlukan bahasan khusus dalam tulisan terpisah.

Tiga Pilar Utama Desa

– Spiritual

– Pemikiran/Jiwa/Ideologi/Pranatan – Memayu hayuning bawono

– Sandang, Pangan, Papan

Disini kesadaran yang perlu kita bangun adalah teknologi pemikiran, semuanya harus mengacu kepada spiritual. Desa akan dipimpin oleh seseorang yang mumpuni dalam mengawal masyarakat di bidang spiritualitas, yang disebut : Sesepuh, Kamituwo, Pinisepuh, Kabuyutan. Selain itu, juga akan didampingi oleh pemimpin yang mengawal di bidang teknis, ideologis, yang disebut Lurah untuk mengatur secara formal struktural. Pemimpin ini menjalankan dan menjadikan nasehat kabuyutan sebagai acuan kebijakan. Yang ketiga, pemimpin yang mengatur urusan sandang, pangan, papan, pada wilayah sektoral. Pemimpi ini disebut Dukun/Dukuh/Dusun.Ia bertugas mendampingi Lurah yang tidak selalu bisa di lapangan mendampingi masyarakat secara langsung. Kini istilah Dukun/Dukuh/Dusun sudah terdistorsi makna dan penggunaannya. Inti dari struktur pranatan ini adalah : menjelitakan alam semesta yang telah cantik, memayu hayuning bawana.

Tiga Jalinan/Ukhuwah Desa

– Tuhan – Manusia – Alam

Manusia berada di tengah-tengah dari pendekatan ini, dengan harapan hubungan persentuhan dan perkenalan antar manusia dengan alam ini akan mengacu kepada Tuhan. Makanya di peradaban kita mengenal istilah Begawan dan Prabu. Begawan dan Prabu adalah manusia terpilih yang dianggap representatif terhadap kehendak Tuhan (kalimat, pitutur solah bowo, perilaku) itu selalu terjaga dalam adab spiritual yang suci. Karena dia terjaga, dia menjadi yang dianggap suci. Karena dianggap suci, kesucian itu bukan milik makhluk. Kesucian itu sendiri hanya milik Tuhan bukan milik makhluk. Untuk menghormati kesucian orang tersebut, orang tersebut disebut sebagai Begawan/baghwan atau juga disebut prabhu. Begawan lebih ke uluhiyah nuansanya, sedangkan Prabu lebih ke wilayah rububiyah. Jadi ada Ilah dan ada Robb. Begawan akan mendampingi masyarakat dengan Candi dan Mandira (peribadatan). Prabu mendampingi masyarakat dengan Kotapraja, Singgasana (pemerintahan).

7 Manunggal

Jalinan Tuhan-Manusia-Alam ini menuju untuk menjadi Janma atau insan. Manusia berdiri tanpa Tuhan dan alam bernama jalma (belum lahir). Ketika kita sudah menjalin Tuhan dan alam, yang berlaku di dalam prilakunnya, ini menjadi janma/lahir menjadi insan. Dimana insan ini harus meracik dirinya dari mengelola ego hingga pengabdian. Sangkan paraning dumadi.

Konsep bermula dari ‘ada’ hingga ‘mengabdi’ (7 trap) bisa juga dijumpai pada beberapa sumber. Dalam sudut pandang Islam ada, pada Hindhu pun ada. Ada juga konsep cakra ( I am, I feel, I think, I love, I speak, I see, I understand), Juga bertaut kepada konsep cahaya yang tadinya utuh, tunggal, satu, putih, memecah menjadi 7 : (Mirah, jingga, kuning, hijem, milangit, wulung, wungu). Ketika mampu menjalinkan menjadi satu kembali warna-warna cahaya yang berbeda-beda itu, maka dia akan kembali menjadi utuh (Futuh, Fatih, Fatah, Fatihah, Al Fath). Desa yang utuh adalah desa di atas desa, yakni desa yang bukan hanya subur dan kaya namun juga dihuni oleh masyarakat yang mendapat Pangapuro dari Tuhan karena senantiasa menebarkan kedamaian, kemanfaatan, dan penataan yang tidak menyimpang dari kehendak Tuhan. Inilah Paradesa : Desa di atas Desa yakni desa yang dihuni oleh manusia cahaya, saling mencahayakan, saling memancarkan keindahan, kesejukan, senang berbagi, mirip seperti yang Anda lakukan di grup ‘Kangen Desa – Rindu Kampung‘, masing-masing ingin mengabarkan keindahan dan berbagi ketentraman meskipun baru melalui foto, ini adalah kabar baik sebagai indikator bahwa Anda merupakan pewaris manusia-manusia cahaya yang selalu ingin menyuguhkan keindahan, mempersembahkan kesejukan, mengabarkan ketentraman, menebarkan suasana damai dan penuh berkah. Jika hal seperti itu bisa ditampilkan dalam hidup bermasyarakat niscaya Anda akan merasakan tinggal di Paradesa, dimana ‘Paradesa’ inilah yang dikemudian digunakan oleh bahasa Inggris menjadi paradise yang diartikan : Surga. Bahkan Paradesa ini pun terekam dalam Kitab Suci Al Qur’an[1] dan juga Hadist Nabi dengan sebutan : Firdaus. Firdaus pula yang menjadi acuan Nabi Adam dalam mengkhalifahi kehidupan di dunia. Maka konsep Paradesa merupakan konsep Bumi pada awal peradaban dan resmi bersambung kepada konsep kemasyarakatan Langit sebelum manusia diturunkan ke muka Bumi.

[1] Surah At –Tahrim 66 : 11 Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.

Surah Al Mu’minuun 23 : 8 - 11 Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.

Surah Al Kahfi 18 : 107 Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal,

TIM GUGURGUNUNG