NYUWUN JAWAH

Marja’ maiyah Syech Muhammad Nurshamad Kamba dalam tahun ini menyampaikan bulir-bulir bening ilmu yang bisa dinikmati kesegarannya bagi banyak pihak, bukan hanya kepada lingkup keluarga Maiyah saja namun juga kepada segmen sosial yang bisa jadi notabene belum cukup ‘basah’ dengan Maiyah.
Bisa dikatakan, bahwa buliran-buliran ilmu beliau laksana butir-butir kesegaran dari langit guna membasahi bumi. Buliran itu antara lain diterbitkannya “Sejarah Otentik Nabi Muhammad” yang merupakan kitab referensi penting dari tulisan Prof. Dr. Husein Mu’nis yang oleh beliau Syech Kamba telah disulih bahasakan ke Bahasa Indonesia. Kemudian juga sebelumnya, terbit pula tulisan beliau bersama Sudjiwo Tedjo dalam buku bertajuk “Tuhan Maha Asyik” dan yang paling bungsu adalah buku beliau  yang berjudul “Kids Zaman Now menemukan kembali Islam”. Bagi gugurgunung deretan tulisan-tulisan beliau sangat mengandungi muatan cinta, terlebih lagi salah satu buku pustaka gugurgunung berjudul “Desa Purwa” pun turut dihantar oleh dhawuh yang bijak dan mendalam oleh Syech Kamba.

Bulan ini, sebagai sedikit wujud cinta kami kepada Syech, kami ingin mengangkat tema berangkat dari buku-buku atau tulisan-tulisan beliau. Bahwa tulisan beliau tentu tidak akan cukup satu malam saja diurai dan diserap maka dipilihlah satu bab dalam buku “Kids Zaman Now …” yang berjudul “Mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan”. Kami tetap tahu bahwa untuk satu tema ini saja tak bisa rampung disinaoni dalam semalam. Perjalanan untuk terus memahami kearifan dan kebijaksanaan ini akan terus berlanjut dalam setiap langkah kehidupan dalam pergantian siang malam dan pada putaran musim. Memang demikianlah sepertinya cara belajar, hujan semalam tak lantas menjadi jawaban kesuburan bagi keseluruhan sisa rentang masa. Akan tetapi harus ada guyuran hujan lagi dan lagi pada periode-periode hidup selanjutnya, sabab pasti akan mengalami kekeringan lagi dan kekerontangan kembali. Sebab itulah kami menempatkan diri bagai tanah kerontang yang sinau rindu untuk disapa kerinduan sang hujan yang menghantarkan basah. Nyuwun jawah melalui salah satunya buliran-buliran bening dalam tulisan Syech Kamba.

Dalam Bahasa Jawa disebut sebagai “Nyuwun Jawah” arti bebasnya adalah : “meminta hujan”. Bahwa tidak ada fenomena pertumbuhan di bumi tanpa melibatkan langit. Hal ini bisa diartikan secara jasadiah sebagai hujan yang harfiah yang kemudian menumbuhkan bebijian. Atau bisa juga dimaknai non harfiah bahwa uluran langit kepada bumi bisa berupa ilmu, keteladanan, utusan, pencerah, pemandhu, penuntun, ataupun pamomong.

Mukadimah Majlis gugurgunung,

Edisi Oktober 2018 “NYUWUN JAWAH”

PASEBAN MUHARRAM

Majlis Gugurgunung pada akhir bulan September ini kembali menggelar rutinan Maiyahan pasca melebur pada edisi bulan Agustus lalu di Gambang Syafa’at. Kegiatan ini dihelat pada tanggal 29 September 2018, bertempat di kediaman Mas Mundari yakni di Ngempon, Ungaran, Kab. Semarang.

“Paseban Muharram” menjadi tema yang dipilih pada diskusi malam hari ini. Berkesesuaian pula dengan bulan ini, yakni bulan Muharram atau Suro di kalender Jawa.

Pembacaan do’a wasilah, Wirid Gugurgunung, tembang Gugurgunung, dan Munajat Maiyah.

Semua yang hadir telah duduk melingkar, hingga dimulailah kegiatan malam itu pada pukul 21.00 WIB. Diawali dengan pembacaan do’a wasilah oleh mas Ari, juga dengan Wirid Gugurgunung dan memimpin tembang Gugurgunung anggitan mbah Narto Sabdo. Lanjut dengan Pembacaan Munajat Maiyah oleh mas Jion.

Diskusi dimulai dengan pembacaan Mukadimmah oleh mas Kasno selaku moderator yang juga dibersamai oleh mas Dian untuk memandu jalannya diskusi. Semua yang hadir menyimak pembacaan mukadimmah dengan seksama. Beberapa yang hadir yakni sedulur dari Majlis Alternatif Jepara, juga sedulur dari Semarang, serta Master Zain Zamatera bersama dua kerabat dari Pagarnusa Salatiga. Namun Master Zain pada kesempatan kali ini menyampaikan permintaan maaf yang sebesarnya karena beberapa hal, baik karena beliau yang meminta maaf atas kedatangannya yang terlambat, lalu meminta do’a untuk Zamatera yang akan mendapatkan surat pengesahan dari Kementerian Kesehatan sebagai Badan Terapist resmi di Indonesia, serta beliau mohon izin untuk pulang lebih awal sebab secara mendadak harus mengejar jadwal pesawat di Surabaya untuk menghadiri kegiatan di Batam esok pagi, dimana sesungguhnya berat pula bagi beliau yang sebenarnya rindu untuk melingkar bersama Majlis Gugurgunung.

Usai sepatah dua patah kalimat disampaikan oleh Master Zain, tiba waktunya untuk mas Yoga membawakan sebuah lagu untuk menghibur sedulur yang hadir. Sebuah puisi karya Chairil Anwar berjudul “Sia-Sia” yang diaransemenkan menjadi sebuah lagu mendapatkan apresiasi yang cukup baik. Kemudian mas Dian selaku moderator kembali membuka sesi diskusi. Mas Ajik menjadi yang pertama ditunjuk olehnya untuk memantik bahasan diskusi yang dapat dikembangkan lebih luas dan dalam.

Mas Ajik menjadi yang pertama ditunjuk oleh moderator untuk memantik bahasan diskusi

Tentang kata pada tema ini, yakni Paseban dimana diartikan sebagai pertemuan. Setiap hari kita mengalami proses pertemuan-pertemuan. Baik dengan alam, yakni bertemu dengan pagi ataupun malam. Juga pertemuan dengan manusia-manusia lain. Sedari bangun tidur hingga menuju kembali tidur, sebenarnya sangat banyak pertemuan yang terjadi. Namun itu semua juga tergantung pada kesadaran kita. Apakah diri kita ini menyadarinya atau tidak. Ketika dihadapkan pada sebuah pertemuan, banyak kemungkinan pada pikiran kita yang terseret ke belakang yakni masa lalu seperti sedang ada masalah hutang dlsb. Atau bahkan pikiran melompat ke depan dimana hal itu masih belum jelas, seperti besok makan apa? dlsb.

Kemudian pak Zam juga melanjutkan pembahasan. Terkait mukadimmah, muncul sebuah pertanyaan. Tercantum dalam mukadimmah bahwa, terkait pula tema ini dengan terjadinya salah musim. Manusia berperan penting dalam pengrusakan alam hingga berujung musim yang sering tidak jelas. Namun, ketika alam nanti semakin rusak hingga ujung kerusakan apakah justru akan menemukan keasliannya?

Salah seorang sedulur dari Jepara, yakni mas Anang. Juga memiliki sebuah pertanyaan untuk memantik diskusi. Bahwa alam yang baik sudah dirusak oleh manusia, sehingga alam seakan memberontak ataupun marah. Namun bagaimana cara agar alam dapat kembali sesrawungan dengan kita manusia?

Hampir senada, mas Ari juga memiliki pertanyaan. Terjadinya salah mongso dikaitkan dengan manusia sekarang yang juga sudah salah mongso. Atau salah buruan / salah yang dimakan. Manusia sekarang justru lebih memburu dunia. Namun bagaimana agar tidak terjadi “salah makan” seperti ini?

Mas Jion merespon tentang soal pranata mangsa. Dimana bumi akan menurut dengan segala cara manusia mengkhalifahinya. Sebuah kata luhur yakni Memayu Hayuning Bawana, mungkin bisa menjadi salah satu alternatif cara untuk kita sesrawungan dengan alam kembali.

Mas Agus turut merespon dari beberapa pantikan diatas. Paseban, seba diartikan sebagai sowan, mangkat, bertemu. Paseban Muharram berangkat dari bekal yang kita himpun dari setahun yang telah jalani sebelumnya. Dalam sekian rentang waktu dari lahir, senantiasa dalam rangka seba. Namun bagaimanakah seba yang baik yang perlu kita telaah lebih dalam.

Muharram, berasal dari kata Haruma, yakni tercegah. Setiap memasuki bulan Muharram harus memiliki paugeran tentang hal apakah yang perlu untuk dilanjutkan, dan apakah yang tidak perlu untuk dilanjutkan pada tahun berikutnya. Selain itu juga perlu dipilah tentang hal apakah yang perlu untuk mulai diberlakukan dan tidak lagi diberlakukan. Meskipun diluar diri kita masih ada yang masih memberlakukannya. Sebagai contoh ialah, penggunaan pupuk kimia pada tanaman baik sayuran maupun buah-buahan. Meskipun kita sedikit sesak merasakannya, sedangkan hal tersebut terus berlanjut secara kontinue. Tetapi kesadaran yang harus dimiliki ialah bumi sudah bersusah untuk menghasilkannya. Baiknya, kita memformat diri menjadi pihak yang tidak terlibat oleh sistem nafsu. Sebab ada sistem yang dibangun oleh akal. Sistem tersebut dapat dipakai hingga level kenegaraan. Ada dua negara yang disebut oleh Mbah Nun yakni China dan Iran, dimana negara tersebut sangat memikirkan rakyatnya hingga level terkecil. Meskipun hal tersebut tidak terjadi di Indonesia, apakah kita menolak Indonesia? Tentu tidak, biarkan saja hal tersebut berlanjut. Sebab manusia terkadang perlu pembuktian.

Ada beberapa hal yang terkadang bisa tertangkap oleh Akal, ada yang terserap oleh pikiran, ada pula yang harus dibaca melalui kejadian. Contoh simulasinya, ialah ketika negara memiliki regulasi khusus tentang pupuk dan biji-bijian. Ketika hanya mampu dikonsumsi dan dimainkan oleh pihak besar dan hanya menguntungkan salah satu pihak saja, dan pihak tersebut bukanlah petani.

Apakah perlu kita melakukan kudeta? Jelas tidak. Sebab itu bukanlah pilihan yang baik. Solusi yang paling berkemungkinan baik ialah memberikannya contoh, seperti yang dilakukan oleh sedulur Majlis Alternatif di Jepara dan Petani Muda di Jogja yang menggunakan pupuk organik.

Andai, selama tujuh tahun ke depan akan terjadi kesengsaraan. Bagaimana kita menghadapinya? Apakah akan kita mengkonversikannya menjadi kekebalan ataukah justru kebebalan?

Jika terjadi kerusakan secara masif, yang itu dapat menjadi pembelajaran empiris namun sebenarnya tidak perlu terjadi jika disentuh oleh akal dan pikiran. Qiyamah, juga memiliki arti kebangkitan. Ada yang dibangkitkan berarti ada pula yang ditumbangkan. Tinggal pihak mana yang akan kita pilih, pihak yang akan dibangkitkan ataupun pihak yang akan ditumbangkan.

Dari beberapa uraian tersebut, jangan pula menganggap diri kita bukan sebagai faktor dalam perusakan-perusakan. Namun tergantung perusakan mana yang kita pilih. Petani mencangkul pun juga terlihat merusak tanah, namun menghasilkan nilai fungsi yang lebih besar.

Harapan seorang petani sebagian besar ialah, hasil panen bagus, melimpah, dan laku mahal. Namun ketika hal tersebut tidak terjadi, apakah mereka akan berhenti berdo’a? Tidak, sebab dalam pada itu sangat berkemungkinan do’a-do’a tersebut dikumpulkan dan menunggu momentum untuk memanen setiap do’a dan usaha yang sudah dijalaninya. Inilah sikap berserah, Namun tentu saja, momentum tersebut tidak akan tercapai apabila kita pasif, sebab tidak mungkin bisa hanya dengan leyeh-leyeh bisa mengunduh hasil.

Kemudian bahasan diskusi berlanjut pada gambar awan yang terpampang di poster. Bersama kita mentadaburi, bahwa semua adalah pertanda bagi orang yang berpikir. Hal tersebut ialah fenomena yang menjadi trigger akan tema Paseban Muharram kali ini.

Awan tersebut nampak terlihat jelas di puncak gunung Ungaran. Nampak beberapa awan yang hampir sama terlihat di beberapa gunung sekitaran Jawa Tengah, bahkan juga di Gunung Gede Jawa Barat serta Gunung Agung Bali. Pranata mangsa yang kerap kali berubah-ubah, bahkan terbolak balik pada sekian lama ini mungkin akan terdapat perbaikan untuk ke depannya. Sedikit hal yang mendasari ialah ada beberapa pihak yang sudah mau dandan atau memperbaiki diri, serta lingkungan. Dari lahan tandus telah mulai muncul kecambah. Meskipun hanya sebagai bidak dalam permainan catur, namun merupakan salah satu pihak yang memiliki peran utama dalam permainan tersebut sebab memiliki potensi akan harapan yang besar. Ketika satu bidak telah sampai di ujung perjalanan, ia mampu untuk memilih akan menjadi apakah dia. Bebas memilih, asal tidak menjadi “Ratu”.

Titah ataupun ilmu akan sesuatu yang dahulu mungkin pernah dimiliki leluhur tentu masih akan terjaga. Baik titah maupun ilmu semua berasal dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dimana pasti akan bernaluri kembali kepadaNya. Tubuh manusia mungkin boleh mati, hancur dan terurai. Namun titah maupun ilmu yang dimilikinya tentu akan kembali kepada Sang Maha Pemilik Ilmu dan masih berkemungkinan untuk ditransfer kembali kepada kita entah dengan bentuk mekanisme apapun.

Kisaran waktu pukul 23.30 WIB, mas Khafid diminta untuk membacakan puisi karyanya, dengan diiringi petikan gitar oleh mas Yoga.

Lirik penuh arti serta pembawaan yang mantap pun mendapat apresiasi dari sedulur-sedulur yang hadir.

Usai disela musikalisasi puisi, mas Dian turut mengajukan sebuah pertanyaan yang masih terkait dengan diskusi malam ini. Dimana dalam waktu dekat-dekat ini banyak terjadi bencana alam. Seperti gempa di Lombok serta tsunami yang menerpa saudara kita di Palu dan Donggala. Apakah hal ini juga merupakan sebuah bentuk proses perbaikan alam seperti yang dimaksud tadi? Namun direspon oleh mas Agus bahwa tidak perlu mengkaitkan hal-hal tersebut, sebab prioritas utamanya ialah menjaga kemanusiaan. Tidak mampu untuk memberikan bantuan secara fisik, namun lakukan apa yang bisa kita lakukan bahkan dalam bentuk do’a sekalipun.

Mas Rizal dari Semarang juga menggendong pertanyaan yang masih berkaitan dengan Muharram atau Suro. Jaman dahulu tidak ada yang menikah pada bulan suro, namun era saat ini justru banyak yang melakukannya. Direspon pula oleh mas Agus bahwa, alasan leluhur untuk tidak menikah di bulan Suro ialah bulan ini merupakan bulan berkabung Rasulullah. Dimana cucu kesayangan Rasulullah mengalami fenonena yang menyedihkan yakni dibunuh, dan dipenggal kepalanya. Para leluhur mencoba untuk mendekat dengan Rasul termasuk memahami apa yang membuat rasul bersedih, sehingga agaknya kurang pas di bulan berkabung ini justru digunakan menjadi fenomena untuk berpesta atau berbahagia.

Do’a penutup menjadi pertanda bahwa usai sudah diskusi malam hari ini. Namun cangkrukan masih belum usai, sebab menu khas gunung yang selalu dirindukan senantiasa menjadi penutup dalam tiap acara majlisan Gugurgunung. Lingkaran-lingkaran kecil masih terbentuk, dengan bahasan ringan menjadi suguhan untuk saling ditukar satu sama lain untuk menambah sekelumit informasi tentang kemanusiaan, sebab sebaik-baiknya “menjadi” ialah Menjadi Manusia.

Sekian reportase edisi September 2018 dengan Tema “Paseban Muharram”, semoga bermanfaat.

Andhika Hendriyawan

PASEBAN MUHARRAM

Paseban mempunyai arti “Pertemuan”, menengarai pertemuan dengan Tahun baru 1440 H. Konon, Paseban merupakan tradisi penting yang sering dilaksanakan oleh para Leluhur. Kesempatan tersebut biasanya digunakan untuk membahas hal hal penting yang bersifat Universal. Salah satu diantaranya adalah membahas tentang “Pranata Mangsa”.

Pranata Mangsa

Pranata = Tatanan, aturan, ketentuan

Mangsa = Masa, Musim

merupakan sistem penanggalan atau kalender yang dikaitkan dengan aktivitas khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranata Mangsa ini memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan  atau aktivitas tersebut  di atas maupun persiapan diri menghadapi fenomena (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu. Continue reading

MENGANYAM

Berawal dari sebuah ucapan yang terkesan guyonan, namun dihitung sebagai sebuah janji oleh salah seorang penggiat di Majlis Alternatif Jepara. Hingga membuat kami berdua akhirnya kesampaian juga melingkar dalam sebuah simpul di bagian utara Pulau Jawa ini.

Adzan Isya’ selesai dikumandangkan, motorpun sudah menanti di halaman untuk kami ber-tancap gas dari Semarang menuju Jepara. Waktu menunjukkan hampir pukul 21.00 WIB dan sampailah kami di sebuah rumah yang berada tepat di depan Balai Desa, sambutan hangat mulai terasa dari satu dua sedulur yang kami temui di depan rumah tersebut. Untuk sejenak kami menunggu di beranda sebab di dalam terdengar orang-orang sedang membaca Al Qur’an dimana setelah kami telusuri memang setiap kali lingkaran Majlis Alternatif diawali tepat pukul 20.00 WIB dengan kegiatan khataman Al Qur’an yang menjadi salah satu fokus kegiatan dari Majlis Alternatif.

Usai sudah khataman Al Qur’an dilanjutkan dengan sholawatan untuk mengharapkan syafa’at dari kanjeng nabi besar Rasulullah Salallahu ‘alaihi wassalam. Khidmatnya acara juga dengan harapan meng”hadir”kan Rasulullah di tengah-tengah kami semua.. amin.. ya robbal ‘alamin.

Kemudian, memasuki sesi diskusi. Kurang lebih 30an orang berada dalam ruangan tersebut. Pria wanita, baik dewasa sampai anak-anak melingkar dalam satu lingkaran paseduluran. Diskusi dengan tema “Para Pekerja Malam” yang dimoderasi oleh Mbak Dewi yang juga sambil memperkenalkan satu persatu sedulur yang baru pertama kali turut melingkar.

Dengan tema “Para Pekerja Malam”, memunculkan berbagai respon. Ada yang seketika berpendapat seperti kupu-kupu malam, hingga pembicaraan menjadi sedikit melebar termasuk sedikit kisah yang diceritakan oleh seorang jama’ah disana yang prihatin bahwa sempat melihat wanita malam di sekitar kampung tempat tinggalnya. Keprihatinan bahwa seorang wanita yang harusnya menjadi tiang negara/cagak negoro atau sebagai pelaku utama pembentuk generasi, justru melakukan hal seperti itu.

Keprihatinan lain juga muncul kepada pekerja dengan shift malam di pabrik-pabrik. Hingga tidak sempat atau mungkin menjadi kurang untuk memberikan perhatiannya kepada keluarga khususnya anak. Umum diketahui bahwa cuti melahirkan yang mampu didapat oleh seorang buruh wanita maksimal hanyalah 3 bulan dengan pembagian 1,5 bulan pra dan 1,5 bulan pasca melahirkan. Padahal ASI eksklusif yang harus diberikan oleh seorang ibu kepada bayi adalah 6 bulan. “Lalu sisanya menyusu kepada siapa? Sapi? Anak orang atau anak sapi?” Demikian celoteh Dian (salah seorang penggiat di Majlis Gugurgunung).

Mbak Rosa yang masih berstatus pelajar menanggapi bahwa sebagai seorang pelajar, maka pekerjaan di malam hari ialah belajar. Masih senada dengan yang disampaikan oleh Mas Rizal yang mengatakan tentang malam digunakan untuk tidur namun jika pikirannya masih bekerja maka disebutnya sebagai sebuah pekerjaan. Pak Eko juga menyebutkan di dalam Al Qur’an tertulis bahwa malam digunakan untuk beristirahat.

Menurut ilmu medis modern, dikatakan bahwa tidur yang paling baik ialah jam 10 (sepuluh) malam sampai jam 1 (satu) pagi, dimana menjaga metabolisme tetap seimbang. Bahkan Nabi pun mengajarkan hal serupa yang sudah pernah dilakukannya sejak dahulu. Dimana beliau membagi malam menjadi 3 bagian. Bagian yang pertama digunakan untuk keluarganya, bagian kedua dipergunakan untuk dirinya sendiri yakni tidur, dan bagian terakhir dipergunakannya untuk beribadah.

Lagu Indonesia Raya yg dinyanyikan bersama dan dipimpin oleh Mbak Ikrom

Di sela sesi diskusi, Mbak Ikrom diminta menyanyikan lagu “Indonesia Raya” yang diikuti oleh seluruh hadirin dengan berdiri. Kemudian dilanjutkan dengan Mbak Ikrom menyanyikan lagu “Deen Assalam”. Selain perform berupa sajian musik, Mas Hisyam juga diminta membacakan puisi buatannya. Sastra indah dalam setiap kalimat, sarat makna, serta penghayatan dalam pembacaan membawa pendengar menikmati puisi tersebut.

Memasuki diskusi sesi kedua, suasana menjadi serius. Pembahasan tetap santai namun menjadi lebih visioner, dengan memasang indikator cita-cita bersama. Beberapa kegiatan yang menjadi fokus kegiatan dari Majlis Alternatif yakni, kegiatan Andum Bebungah, sebuah kegiatan untuk membagikan kebahagiaan pada penghapal Al Qur’an. Selain itu juga dari Majlis Alternatif mengadakan rutinan khataman Al Qur’an, semoga hal ini menjadi salah satu keseriusan untuk lebih mendekat kepada pencipta Al Qur’an itu sendiri. Bahkan dianjurkan pula kepada sedulur-sedulur disana untuk membeli Al Qur’an untuk dibaca dan diwariskan kepada anak turun. Sebab menurut Mas Wahid dianggap ketika membaca Al Qur’an warisan maka juga mewarisi bacaan Al Qur’an dari pembaca sebelumnya.

Selain kegiatan tersebut, ada pula sebuah program kegiatan Kampus Sawah, dengan tema “Makan Bersama Kanjeng Nabi” yang rencana akan digelar pada bulan Maulid. Sebuah kegiatan tanam-menanam bermacam-macam sayuran untuk nanti dipanen dan dikumpulkan serta dimasak dan dimakan bersama tepat pada hari kelahiran Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam. Tanaman-tanaman yang ditanam di pekarangan rumah, serta dengan tangan-tangan sendiri untuk mencoba menjadi manusia berhati petani. Diskusi terus berjalan dan dipungkasi hingga pagi menjelang.

Kami yang sengaja ingin berlama-lama di Karangrandu tak ingin segera pulang. Pergantian kelir dari gelap terus kami kawal dengan tanpa tidur. Bubur serabi terbungkus daun pisang menjadi teman mengobrol pagi ini. Kami diajak berjalan-jalan menuju lokasi Kampus Sawah.

suasana kehangatan pagi

Sesuai dengan namanya, yakni sepetak sawah dengan gubug yang berukuran cukup besar dari biasanya berada di pinggirannya. Hembusan angin, aliran sungai, dengan puluhan bebek berenang diatasnya. Kampus Sawah, kami juga berkesempatan untuk mengunjungi “Rumah Bahagia”. Dimana rumah tersebut diharapkan dapat menambahkan kebahagiaan bagi orang-orang yang memasukinya.

Makan bersama dikampus sawah

Awalnya Rumah bahagia adalah rumah pribadi Mas Kaffi. Untuk memudahkan  penyebutan lokasi, maka dipilih kata “Rumah Bahagia”. Sebuah rumah yang mengharuskan semua orang yang berada di dalamnya untuk tidak boleh susah. Salah satu yang mendasari adalah karena maraknya industri  rumah sakit/klinik kesehatan yang tersebar tiap beberapa radius kilometer saja. Kenapa harus rumah sakit, Kok tidak dikembangkan menjadi rumah bahagia saja???

Adapun kegiatan saat ini adalah sebagai sekretariat KAMPUS SAWAH dan INDOKAFF. Tiap Senin sampai Jumat pagi diadakan Sinau Bareng Kampus Sawah disini. Ketika sore dan malam biasanya untuk diskusi umum. Demikian seputar tentang “Rumah Bahagia”.

suasana hangat di rumah bahagia

Masih berlanjut di tempat ini, usai dibuka dengan pembacaan Al Fatihah dimulai dengan forum pagi. Dimana forum pagi, siang dan malam biasa diadakan di tempat ini. Beberapa kegiatan yang dibahas disini ialah Indokaff, Kelas Inspirasi, termasuk juga Majlis Alternatif dan Kampus Sawah. Indokaff ialah produk-produk seperti sabun cuci, sabun pel, parfum dll yang dibuat sendiri oleh Mas Kaffi dengan bantuan sedulur-sedulur lain.

Ketika kami bertanya tentang Kelas Inspirasi, “saat ini baru berisi 2 (dua) siswa namun 3 (tiga) tahun lagi mungkin sudah menolak siswa” kelakar Mbak Dewi. Lebih lanjut tentang kegiatan ini ialah, kegiatan tentang sekolah non-formal bagi siapa saja yang mau untuk mengikutinya.

Masih banyak hal yang sebenarnya menjadi pembahasan, bahkan hanya sangat sedikit yang tertuliskan disini. Sedikit mengambil ungkapan dari Mas Agus Wibowo, bahwasannya “Kegairahan kegiatan konstruktif yang terjadi di karangrandu benar-benar merupakan tabungan energi murni, tidak berbentuk, tidak memiliki warna, hanya terang, tidak akan busuk, awet dan bisa diunduh untuk menyingkirkan kegelapan (kesempitan berpikir), bisa diwariskan untuk anak turun yang supaya anak turun tidak sempit dalam berpikir dan pintar meneruskan menabung cahaya”.

Sekian pengalaman yang dapat kami bagi di Majlis Alternatif, dengan sejumlah distorsinya mohon dimaafkan, dimana sekian distorsi ini dapat kita kikis dengan mempelajarinya secara langsung di sana. Sekian reportase kali ini, semoga bermanfaat.

 

Andhika H