TETES-AN BERKAH HIJRIAH

Pertemuan rutin Majlis Gugur Gunung yang rutin diadakan pada malam minggu terakhir ini pada bulan september jatuh pada tanggal 30 September 2017 dan bertempat di Art Cafe Ungaran. Kegiatan dimulai sekitar hampir pukul 10 malam. Bertepatan pula dengan hujan yang cukup deras dan dalam waktu yang cukup lama pula. Sehingga beberapa sedulur yang akan merapat harus berhenti berteduh sambil membaca sholawat karena berharap malam ini terdapat berkah yang berlimpah seperti halnya hujan yang berlimpah malam ini.

Kegiatan dimulai dengan dibuka oleh moderator yakni mas Dian lalu dilanjutkan wasilah dan munajat oleh mas Tyo. Kemudian mas Dian memberikan prolog seputar tema serta mukadimmah malam hari ini yakni “Tetes-an Berkah Hijriah”.

Mas Agus menambahkan bahwa masing-masing dari kita disini merasa sumringah bungah dengan membagi oleh-oleh berkah yang dibawa sendiri-sendiri.

Juga tambahan dari mas Agus bahwa masing-masing dari kita disini merasa sumringah bungah dengan membagi oleh-oleh berkah yang dibawa sendiri-sendiri. Wujud tetes-an tidaklah harus  selalu air, tetesan air hanya merupakan simbol tentang “rupa” tetesan agar mudah untuk dipahami. Dimana tetesan memiliki prinsip dari atas langsung ke bawah. Jika ada perantaranya maka bukan netes tapi ndlewer. Tetes nanti akan kita coba urai lagi lebih teliti agar mampu melihat fenomena-fenomena seperti tetesan air menjadi tetesan berkah. Oleh karena itu baik tema, mukadimah, poster bahkan sampai waktu acara pun penuh dengan tetes-an.

Mas Ari juga memberikan komentar terkait tema, dimana tetesan-tetesan yang dimaksud tadi sebenarnya sudah ada. Bagaikan embun pagi yang kata mas Sabrang bersahaja. Tetesan berkah ini bersahaja. Berkah itu sudah ada tinggal bagaimana kita mengolahnya. Menurut mas Ari, hijriah itu juga dapat diartikan hijrah, dimana dengan tetesan berkah itu mari kita gunakan untuk berhijrah. Dapat juga kita pergunakan untuk berhijrah dari diri yang kita sadari sebagai gelap dapat berhijrah menuju cahaya keberkahan.

Respon pertama muncul dari Mas Vino, yang mempertanyakan tentang metode yang dapat digunakan untuk memahami bahwa setiap peristiwa itu adalah berkah yang harus disyukuri. Ditanggapi oleh mas Agus bahwa berkah memiliki kesamaan akar kata dengan barokah. Pada awalnya dapat kita menilik pada salam.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Assalamuberarti bahwa salamku untukmu. Serta jaminan bahwa aku akan menegakkan kedamaian, tidak mengusik hatimu juga akan menjadi pihak yang teguh dalam membangun keselamatan. Menebar salam tanpa harus dilafadzkan merupakan peristiwa yang tanpa sadar namun sering terjadi. Misalkan kita bertemu orang lain pada waktu yang pertama kalinya namun merasa aman, damai namun ada juga yang sebaliknya sehingga membuat kita menjadi waspada. Hal ini dimungkinkan dapat terjadi karena memiliki fenomena yang jenis gelombangnya berbeda.

Wa rahmatullahi- dapat kita pahami bahwa rahmat Allah subhanahuwata’ala itu sangat beraneka ragam. Contohlah matahari, yang merupakan salah satu rahmat Allah SWT yang sangat dibutuhkan oleh setiap makhluk hidup. Matahari yang diberikan tidak pernah pilih-pilih kepada siapa saja akan menerpakan hangat dan cahayanya. Namun kepada seisi muka bumi, matahari itu diberikan. Juga hujan, yang diberikan merata dalam suatu wilayah. Bukan hanya milik orang muslim saja namun rahmat Allah SWT diberikan kepada semua ciptaannya. Dalam pada itu tergantung oleh kita, apakah mampu kita menangkap rahmat tersebut atau tidak. Jika “ya” maka akan menjadi berkah begitupun sebaliknya.

Wa barakatuh- tidak berhenti sampai di rahmat saja namun ditingkatkan lagi menjadi kesadaran berkah. Sehingga rahmat itu nanti tidak berubah menjadi adzab atau laknat hanya karena kita salah memahaminya. Tidak perlu tergesa-gesa menganggap sebuah peristiwa yang tidak disukai ialah adzab atau laknat namun lebih kepada diterima dulu secara batin dengan harapan mendapat hudan atau hidayah.

Demikianlah rumusan serta urutannya, dari salam menjadi kesadaran rahmat lalu menyadari hal tersebut ialah salah satu cara Allah subhanahuwata’ala untuk memberi kita petunjuj sehingga dapat menjadi berkah.

Cak Rudd bercerita tentang pengalamannya kemarin sewaktu di Bogor mengenai kondisi pertanian di Kota tersebut

Dibersamai pula majlisan malam ini oleh sedulur-sedulur dari Blora yakni Cak Rudd dan Mas Bayu, Mas Bambang, dan Mas Jumali, dari Jogja. Cak Rudd yang bercerita tentang pengalamannya kemarin sewaktu di Bogor yang notabene memiliki sebutan kota hujan, menceritakan bahwa kondisi pertanian disana cukup memprihatinkan karena hampir semua memakai bahan kimia. Namun masih terdapat seorang kawan disana yang menggunakan pupuk serta pestisida organik sehingga menjadi dikenal baik oleh masyarakat sekitar yang hanya dimulai dari supir-supir para orang menengah ke atas.  Kemudian usahanya menjadi besar meskipun tanpa memasang papan nama dan pintu masuk hanya seperti gazebo kecil. Sehingga dapat juga memberi kemanfaatan untuk sekitar dengan menggunakan jasa beberapa pemuda kampung yang tidak bekerja menjadi mampu untuk bekerja.

Sedangkan dari mas Bayu bersama dua orang sedulur yang lain yang telah berkebut-kebutan untuk sampai di majlisan malam ini menyampaikan bahwa hadir disini untuk mendengarkan, menimba ilmu serta menyambung silaturahmi.

Untuk mengisi jeda waktu kisaran pukul setengah sebelas malam, mas Vino membawakan sebuah lagu dengan gitar akustiknya dilanjutkan oleh mas Chafid dengan puisinya yang berjudul “Sekuntum Bait Mawar”.

Kemudian ada pula Pak Yono yang mempertanyakan tentang, berkah itu seperti apa? Dengan beberapa pengalaman yang dibagi oleh Pak Yono yang secara garis besar ialah merasa setiap keinginaannya (misalkan melamar pekerjaan) tidak pernah diterima namun ketika tidak berkeinginan (melamar pekerjaan) justru malah didapatkannya.

Mas Boyeng (Bayu) merespon tema malam hari ini yang memisalkan berkah itu adalah tata kelola dari rahmat Allah SWT.

Mas Boyeng yang pada malam ini merasa “diperkosa” untuk berbicara entah merespon atau memberi tanggapan pada akhirnya beranjak juga dari diamnya. Pertama merespon tema malam hari ini yang memisalkan berkah itu adalah tata kelola dari rahmat Allah SWT. Apabila tidak dikelola laksana rumah yang tidak diberi atap. Bisa dimasuki namun tidak melindungi dari panas dan hujan. Setiap diri kita harus bisa merasakan terlebih dahulu. Rasa yang dapat menggapai bahwa semua ini adalah rahmat dari Allah SWT. Dalam setiap perjalanan, pasti banyak yang akan mengatakan pada setiap kejadian buruk menjadi suatu hikmah. Padahal setiap perjalanan kita itu sudah merupakan bagian dari hikmah serta rahmat Allah SWT.

Menanggapi Pak Yono, mas Boyeng pernah mengalaminya dalam hal pekerjaan. Setiap kali melamar selalu ditolak sehingga sampai-sampai menemui salah seorang preman yang cukup ternama di daerahnya untuk ditantang minta jatah supaya punya penghasilan. Berbekal pengalaman itu pada sekitar 2004 menemui mbah Muhaimin di daerah Parakan untuk meminta pekerjaan namun justru malah dianggap anak olehnya. Merasa ada yang kurang mas Boyeng justru tetap bersikeras untuk meminta pekerjaan hingga akhirnya di”lemparkan” mas Boyeng ke salah seorang lurah di Solo. Hingga pada suatu masa tidak ada lagi yang bisa disambati oleh mas Boyeng  kemudian berinisiatif untuk berpuasa mutih selama 40 hari yang pada waktu itu bobotnya mencapai 35kg saja. Dengan berlaku demikian mas Boyeng menjadi berpikir bahwa ternyata tidak makan pun tidak mati. Oleh karena itu jangan sampai kita ini terjebak oleh suatu keadaan yang memaksa kita untuk beranggapan bahwa “nyambut gawe dadi mukti” akan sangat disayangkan ketika itu terjadi.

Tambahan respon dari mas Agus untuk Pak Yono ialah bahwa ketika kita meminta, maka akan ada target disana. Dimana kita sendiri yang memasang tolok ukur. Hal ini seakan-akan menjadikan kita merasa bahwa kita sanggup mengatur Allah SWT, disinilah letak kesalahannya. Baiknya kita mengubah tujuannya menjadi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Menyadari bahwa semua itu sudah diatur olehnya dan kita mencari cara untuk lebih dekat kepadaNya.

Berkah menurut mas Agus, setiap orang memiliki rasa yang masing-masing berbeda. Seperti halnya rasa lombok . Dimana ada seorang yang makan satu sudah kepedasan namun ada yang makan banyak belum merasakan pedas. Demikian halnya dengan rasa cinta, contohlah cinta kepada lawan kelamin, itu saja sudah berbeda dari tiap-tiap orang. Belajar dari kenduren, pada jaman dahulu pulang untuk membawa berkat yang dibawa pulang untuk membagi kebahagiaan dengan keluarga dirumah. Di tempat kenduren semuanya duduk bersama dengan niatan yang berbeda-beda. Namun ketika pulang mengambil sedikit jatah untuk dibagi kebahagiaan yang dirasakan ditempat kenduren untuk keeluarga dirumah. Namun apakah niat ini cukup untuk dibawa pulang dan dibagikan kebahagiaan dirumah. Dalam do’a makan pun dikatakan bahwa makan pun menjadi ingat neraka, yang dipentingkan ialah mendapat cahaya (pepadhang) pada makanan itu jadi bukan hanya dari kenyangnya saja oleh karena itu orang jawa mengatakan makan adalah madhang (menerangi). Sebagai tanda bahwa makan adalah peristiwa mengkonsumsi berkah cahaya dalam hidangan bukan sekadar jasadiahnya makanan atau minuman.

Pertanyaan berikutnya muncul dari mas Vino untuk mas Boyeng, jika berkah dimisalkan dengan tata kelola dari rahmat Allah subhanahuwata’ala lalu bagaimana ketika ingin melakukan penata kelolaan secara kelompok atau lingkup yang lebih besar.

Direspon oleh mas Boyeng, bahwa tidak perlu hidup itu memiliki ambisi. Cukup itu katanya sambil tertawa. Namun mas Boyeng menceritakan pengalamannya ketika diberi wewenang untuk menjadi koordinator UMKM di Jakarta dan dipasrahi suatu gedung perbelanjaan supaya menjadi ramai. Seiring berjalannya waktu ketika semua dirasa lancar, kesalahan yang dilakukan oleh mas Boyeng ialah memilih seorang penasihat dimana orang tersebut memanfaatkan kegiatan ini untuk kepentingannya sendiri. Pertama ialah menggunakan surat ijin UMKM ini untuk jaminan hutang, namun uangnya dipergunakan untuk kepentingan pribadi. Mengetahui hal tersebut justru mas Boyeng malahan dengan leluasa semakin memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk semakin menumpuk harta. Hingga pada suatu waktu terkuaklah sendiri perbuatan orang tersebut di mata hukum. Itu sedikit cerita tentang ambisi dari pengalaman mas Boyeng.

Pertanyaan berikutnya muncul dari mas Dian, yang menanyakan tentang  mensyukuri berkah agar memiliki tata kelola yang lebih baik. Pertama direspon oleh mas Agus, dengan mencerna omongan mas Boyeng, tetesan majlis kita disini mengajarkan kita untuk lebih bersyukur. mas Agus disini bukan merasa seorang ahli syukur namun hanya ingin menjadi bagian dari keluarga yang bersyukur. Disini kita bersama-sama belajar. Syukur disini berterima kasih atas apa saja yang telah diberikan, oleh karena itu kita membutuhkan hijriah. Karena hijriah menjadi tengara betapa pentingnya berhijrah yang Allah SWT memberikan pengingat kejadian berupa hijrahnya masyarakat Islam dari Mekkah ke Madinah. Hal ini bersumber dari tahun yang tercatat namun sebenarnya banyak sekali peristiwa. Misalkan peristiwa 10 Muharram yakni Assyura dimana setiap nabi memiliki kisahnya masing-masing yang perlu untuk kita pelajari. Sebab yang dinamakan hijrah ialah dari mana kita berangkat, lalu bagaimana kita melangkah kemudian arah manakah yang akan kita tuju. Untuk Islam perlu dipelajari terus sebab tahun hijriah ini unik. Karena kita dianjurkan untuk tenggelam dan menyembunyikan diri serta mempelajari lebih dalam lagi. Bahwasanya Allahu Akbar bukan sekedar Allah Maha Besar namun adalah Allah Yang Maha Besar dan akan Terus Membesar. Semakin menyaksikan kebesaran Allah subhanahuwata’ala maka kita akan merasa semakin kecil. Agar mendapat kedekatan yang lebih karib,  lebih inti. Hal ini bukan untuk diri sendiri namun lebih kepada orang lain. Semoga Allah subhanahuwata’ala senantiasa memberi petunjuk dari si gelap ini. Bahwa cinta yang besar juga membutuhkan pengorbanan yang besar. Apalagi yang lebih besar dari hidup selain hidup itu sendiri. Ketika kita mampu mengorbankan kehidupan kita ibarat Nabi Ismail AS maka pasti akan terasa bahwa Allah subhanahuwata’ala lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.

Fenomena Dzabi dengan kadarnya masing-masing, bahwa “penyembelihan” itu masih ada namun tetap disesuaikan dengan takaran masing-masing. Tidak perlu mengeluh, kecuali dengan Allah subhanahuwata’ala, “Dauni”. Takaran ini sudah pasti tepat karena Allah memperjalankan kita di dalam hikmah sejak awal. Oleh karena itu ada metode gegulang patuladhan   Sehingga seolah kita berjalan, berlaku itu adalah seperti kita berkata apa yang akan kita sampaikan tersebut apakah merupaakan kalimat Allah? Atau kalimullah. Siapa kalimullah? Ialah Nabi Musa AS, dimana setiap kalimatnya sering disalah pahami sebagai sesuatu keputusan yang tergesa-gesa. Padahal Nabi Musa AS itu sedang mewakili diri kita. Sehingga kita dapat belajar darinya. Berikutnya ada Habibullah, yakni kekasih Allah subhanahuwata’ala dan Ruhullah yang tidak akan dibahas oleh mas Agus pada malam hari ini. Bersyukur ialah berterima kasih kepada Allah. Apa yang telah disampaikan ini adalah usaha mas Agus untuk menjadi sandal, untuk menghadapi kehidupan yang bermula hanya mengetahui dari satu hal sampai kepada hal-hal yang lain dan untuk semakin mendekat kepada Allah subhanahuwata’ala.

Sedikit kalimat penutup dari mas Agus dan mas Boyeng, selama ini bersyukur atas sesuatu yang nikmat dan tidak mensyukuri sesuatu yang tidak nikmat padahal itu sama-sama pemberian Allah yang harus kita syukuri. Baik buruk semua hanyalah versi kita dan semua itu pemberian dariNya. Keadaan korelasi matriks, atau keterpojokan dll menjadikan kita susah. Padahal semua itu sudah ditakar oleh Allah subhanahuwata’ala. Tidak akan dipercaya keimanan seorang hamba ketika belum diuji, dalam kondisi yang lapar, kurang pangan dibuat semakin mobat-mabit. Padahal itu semua hanyalah bungkus yang kita sangkai sebagai isi. Setelah Allah ridho maka itu hanyalah bagian dari sebuah karunia, akan tetapi jika kita terlalu sering berkeluh kesah maka akan semakin menjadikan kita tidak paham dan menyangka bungkus adalah isi. Makanan yang dibungkus daun pisang terlihat jelek namun terasa lebih enak dibanding makanan yang berbungkus plastik yang nampak mewah. Oleh karena itu kita membutuhkan Nur’aini.

Selesai sudah majlisan pada malam hari ini. Tepat pukul 1 dini hari. Seluruh jamaah berdiri dan lampu dimatikan. Bersama-sama menyanyikan Shohibu baiti yang diiringi gitar dari mas Vino, kemudian ditutup do’a oleh mas Ari. Ada beberapa sedulur yang berpamitan pulang namun ada juga yang masih melanjutkan pembahasan sambil melepas rindu antar sedulur yang lama tidak berjumpa, senantiasa berharap mendapat tetesan yang dapat dirasakan sebagai rahmat hingga menjadi berkah untuk semua. Amin.

 

Andhika Hendryawan

04 Oktober 2017

Facebooktwittertumblr
Posted in reportase.