Silaturahim Majelis Gugurgunung ke Suluk Surakartan

Hari jumat tanggal 22 September 2017, Majelis Gugurgunung diundang untuk menghadiri kegiatan Maiyah Suluk Surakartan di Solo. Dibersamai juga dengan pak Budi Maryono yang berangan-angan berkeliling untuk menghadiahkan bacaan cerpennya di tiap-tiap simpul Maiyah. Ba’da Ashar beberapa sedulur Gugurgunung sudah ada yang merapat di tempat berkumpul yakni Art Cafe Ungaran. Mas Agus langsung mempersilahkan sedulur-sedulur untuk bersantap bersama terlebih dahulu sebelum menempuh perjalanan ke Solo. Usai sholat Maghrib berjama’ah langsung rombongan memasuki dua buah mobil yang akan digunakan untuk ngombyongi keluarga Maiyah di Solo ini yang notabene memang memiliki kedekatan dengan keluarga Gugurgunung.

Lebih dari dua jam perjalanan atau hampir pukul sembilan malam rombongan tiba di lokasi kegiatan Maiyah Suluk Surakartan. Kehangatan sudah terasa semenjak turun dari mobil, sambutan di luar gedung lokasi dimana sudah ada juga beberapa sedulur Gugurgunung yang berangkat dari Sragen yakni Mas Ari dan juga Mas Leo dan mas Anis yang berangkat dari Jogja. Sudah menunggu di dalam yakni Pak As’ad sekeluarga beserta para penggiat Maiyah Suluk Surakartan. Sudah tersaji pula makanan untuk disantap bersama usai dipersilahkan oleh tuan rumah.

Kisaran pukul setengah sebelas, acara mulai memasuki sesi kedua sehingga Mas Agus Wibowo, Pak Budi Maryono, pak As’ad dan Mas Wasis dipersilahkan untuk menjadi pembicara malam ini dengan ber-tema-kan “Suro Muharram”. Dimulai dengan Pak As’ad yang mengatakan bahwa Ada kecendrungan Islam dan Jawa yang saat ini berada dalam posisi yang dipertaruhkan padahal semestinya dari dulu sudah berjalan berdampingan. Hal ini menjadi salah satu ciri bahwa distorsi semakin tebal. Jawa sudah mulai semakin terkikis secara rohani, contohlah Sinden. Dimana pada jaman dahulu ada lakunya yang prihatin jadi bukan hanya kompeten dalam hal suara saja apalagi bentuk tubuh yang menggoda namun juga memiliki mental yang terbentuk dari laku prihatin yang dijalaninya.

Selanjutnya Mas Agus Wibowo yang memberi tanggapan terkait tema malam ini. Dimulai dengan nama Jawa sendiri yang telah mendapat beberapa perubahan atau modifikasi peradaban. Dari dahulu yang bernama Kawi lalu berubah menjadi kawah, jawi hingga saat ini menjadi Jawa. Dalam Islam setiap Muharram ada 10 Muharram yang disebut Assyuro. Di Jawa istilah syuro sudah ada sejak lama yang memiliki arti hiu, namun selain itu juga memiliki makna lain yakni keilahian/ dewa/ nuansa surgawi.

Pada sejarah Islam bulan Muharam memiliki beberapa kisah-kisah para Nabi yang mengharukan disebabkan diturunkannya kasih Sayang Allah berupa pengampunan, pembebasan, perlindungan, dan lain sebagainya. Namun, rentetan intan berlian kisah yang sangat agung itu ‘terluka’ dengan sebuah kisah di suatu jaman beberapa periode setelah Rasulullah wafat. Yakni kisah peristiwa Karbala, dimana Sayyidina Husein cucu kesayangan Rasulullah salallahu alaihi wassalam dibunuh dengan keji, dipenggal kepalanya lalu tubuhnya diinjak-injak, beliaupun syahid. Peristiwa ini sungguh menyesakkan. Oleh karena itu dalam tradisi Jawa tidak ada yang bersenang-senang dengan menggelar hajatan pada bulan Syuro ini. Masyarakat Jawa disini bukan bermaksud men”sakral”kan suatu bulan, namun disini dalam rangka berempati terhadap para pepundhen atau leluhur. Hingga bagi orang Jawa setiap kali memasuki 1 Muharram bukanlah peristiwa tahun barunya yang terlekat dalam benak, melainkan peristiwanya yakni Asyuro yang bagi lidah Jawa menjadi Suro. Menurut Mas Agus Harram disini memiliki kesamaan makna dengan Ha-ru-ma yang berarti mencegah atau tercegah dari perbuatan buruk. Demikian pula sikap yang dipilih oleh Jawa yakni mencegah diri dari hingar bingar apalagi pesta pora di bulan Suro.

Selanjutnya ada Pak Budi yang menceritakan kisah ketika kelahiran anak pertamanya. Dimana proses kelahirannya cukup lama di rumah sakit karena si janin tak kunjung keluar. Hingga pada suatu waktu berkunjunglah salah seorang kawan Pak Budi yang datang pula ke rumah sakit. Kawannya bertanya bagaimana kondisi rumah Pak Budi. DiJawab oleh Pak Budi bahwa rumah sudah aman tertutup dan terkunci semua. Sehingga dimintalah kunci rumah Pak Budi oleh kawannya tersebut. Sesampai dirumah langsung dibuka lebar-lebar semua pintu rumah Pak Budi oleh kawannya. Ketika kawannya kembali ke rumah sakit tidak menunggu lama si janin pun keluar. Dalam hal ini bukan dengan maksud mempercayai atau tidak mempercayai suatu mitos di Jawa. Namun ditanggapi oleh Pak Budi bahwa doa dapat dilakukan dengan beberapa cara. Sementara Pak Budi berdoa dengan mengucap atau ndremimil ditambah pula berdoa yang bergerak seperti yaang dilakukan oleh kawannya. Secara tersirat mungkin kawannya pun juga berdoa dengan cara membuka pintu-pintu dan jendela dirumah Pak Budi.

Untuk mengisi jeda agar tidak terlalu jenuh Maiyah Suluk Surakartan menyuguhkan penampilan kelompok musik yang divokali oleh 2orang yakni pria dan waanita. Si pria memukau hadirin dengan nyanyiannya yang berjudul “Titi Kala Mangsa” yang dipopulerkan mbah Sudjiwo Tedjo dan si wanita pun tak kalah mempesona dengan menyanyikan “Ayat-Ayat Cinta” yang dipopulerkan oleh Rossa. Dalam pada itu Mas Jion juga menyumbangkan suara emasnya dengan meenyanyikan “Pangkur Kerinduan”. Masih dibidang vokal , si kecil Enstin putra Pak As’ad Munir yang ketiduran pada saat waktunya menyanyi tersebut menyanyikan “Kidung Kolosebo” karangan habib Asyari yang mengampu pondok Sunan Gunung Jati yang turut juga hadir meski hanya sebentar.

Waktu menunjukkan hampir pukul 2 pagi. Telah disiapkan sebuah stand mic diperuntukkan Pak Budi membaca puisi. Sebelum Pak Budi membaca puisi, ada bingkisan kecil yakni kitab puisi zikir kita dari Pak Budi yang diberikan untuk Pak As’ad. Dengan serius, Pak Budi membacakan puisi yang bertemakan puisi cinta yang berjumlah 33. Bahasa yang ringan namun perlu dimaknai dalam-dalam. Sebab bukan hanya cinta kepada sesama yang dimaksud namun lebih kepada kesejatian cinta. Sorak sorai membahana usai puisi dibacakan.

Tiba di penghujung waktu dengan sebuah kesimpulan dari Mas Agus Wibowo, Tidak perlu terlalu sibuk memperbandingkan kebaikan-kebaikan Jawa. Ketika kita thau itu baik, ya sudah tinggal kita lakukan sebagai amal kehidupan. Apalagi memperbandingkan Jawa dengan Islam seperti yan ramai di luar sana. Itu lucu, sebagai manusia kita semua memiliki satu garis ilmu yang sama. Yang dibawa sebagai nubuwah dan risalah kepada ummat manusia yaitu ajaran yan dibawa oleh Nabi Adam AS. Jika kita yakini Nabi Adam sebagai utusan Allah swt. Maka siapa yang hendak membantah bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Adam itu bukan Islam? Oleh sebab itu bahwa kemudian menjelma menjadi beberapa tangkai susut pandang dan cara peribadatan yang kemudian menjadi Jawa, India, China, Yunani, dan lain sebagainnya. Entah itu Jawa, Hindhu, Budha, yang pasti sejak jaman Nabi Adam terlahir dengan Islam begitupun pula berarti segala acuan ajaran yang terbentang di penjuru bumi. Dan satu yang pasti bahwa ketauhidan pasti akan tetap terjaga dengan cara terbungkus oleh berbagai macam jenis kemasan dan kesalahpahaman. Sampai kemudian akan terkuak dan dipahami bersama isi dari kemasan yang bermacam-macam itu. Pada saatnya nanti, pemahaman manusia yang paripurna adalah yang mampu meleburkan dirinya dalam jamaah semesta yang tunduk, sujud, dan rukuk, dan akan tertib berjalan pada manzilah-manzilahnya. Bukan terkungkung pada kotak-kotak yang kita bikin sendiri dan kita asumsikan sendiri sambil kita tiba-tiba mudah bertengkar satu sama lain hanya gara-gara berbicara tentang kotak. Demikian sekelumit kalimat penutup dari mas Agus untuk memungkasi rangkaian diskusi di Majlis Suluk Surakartan edisi September 2017.

Mas Wasis kemudian mempersilahkan hadirin untuk berdiri, merapat untuk bersama-sama memperdengarkan lagu “Shohibu Baiti” kemudian ditutup dengan do’a oleh satu Jamaah dari Suluk Surakrtan, agar supaya setiap ilmu pengajaran yang didapat menjadi bermanfaat dan bagi yang masih harus kembali pulang diberikan keselamatan. Aamiin.

Facebooktwittertumblr
Posted in reportase.