KAWI – MADINAH – PP

Majlisgugurgunung:: Bangsa Nusantara memiliki sebuah tempat sakral yang dipercaya sebagai tempat asal. Tempat sakral itu disebut kawah, kava, havai’i, hawaiki, havakiki. Tempat tersebut diyakini sebagai tempat berkumpulnya para dewata. Ciri-ciri tempat tersebut banyak kawah api, dikelilingi kesuburan dan dikaruniai ketentraman. Dalam kebudayaan Jawa tempat yang digambarkan tersebut adalah era Kawi yakni era para pujangga dan kaum ruhaniawan bersama-sama membangun dan menata kehidupan dengan indah. Dan tempat itu tidak di mana-mana, melainkan di sini. Sebab di sini sejak semula dikaruniai kesuburan, dihiasi dengan berserinya tetumbuhan. Maka karakter manusianya pun berciri serupa yakni gemar menumbuhkan (menanam) dan menggemari kesuburan, sebagai sikap seimbang dari cara Tuhan memberi bacaan kepada mereka melalui kondisi alamnya yang makmur. Sikap tetandur dan menyuburkan ini tak hanya berlaku dalam lingkup dunia pertanian, namun berlaku pula sebagai patron dalam bebrayan antar manusia.

WAHYU, PIDHITA, TATU, LELAKU

NEGERI Kawi dibangun dengan mekanisme menyerap informasi langit dan menterjemahkan menjadi bahasa Bumi. Bahkan struktur masyarakat dibangun berdasar pada kadar ruhani sebagai tolok ukur kualitas manusianya. Membangunnya dengan kendaraan untuk mempercantik (wahananing hyu, atau bisa disingkat sebagai Wahyu). Wahananing Hyu langsung ditangkap dari langit-langit jiwa yang jernih, kemudian diolah dan dipilah kemudian diperankan dalam kehidupan insaniah di Bumi. Siapa saja berkemungkinan menangkap wahana ini? Setiap orang akan mendapat kendaraan ini dengan porsi masing-masing yang sangat beragam. Ada yang banyak ada pula yang sedikit. Yang ingin memperbanyak porsi wahyu ini, masing-masing menyadari caranya adalah menempa jiwa raga dengan membiasakan olah laku dalam kondisi sepresisi mungkin dengan cara-cara keilahian. Maka, peradaban tersebut banyak melahirkan jiwa-jiwa berserah, jiwa-jiwa mengamankan, dan jiwa-jiwa ikhlas. Sebab pada masa itu, setiap orang hidup telah menyadari bahwa di dunia adalah laku pidhita, laku penggemblengan, sehingga tatu/luka dan prihatin menjadi menu sehari-hari yang ingin ditemui sebagai hidangan ilmu yang disikapi dengan kedewasaan bathin yang matang. Banyak manusia yang lebih sanggup menjadi wadah kenikmatan dan menghindar sebagai wadah kesengsaraan. Padahal bagi diri yang menjejali diri dengan kenikmatan, dia akan menyangga dan membiayainya dengan penuh derita. Sedangkan pada diri yang sanggup menyangga kesengsaraan dia akan menjadi wadah kenikmatan yang hakiki. Wadah-wadah itu berada pada diri masing-masing orang yang melakukan upaya pendekatan diri secara ilahiah melalui metode prihatin, nenepi, tirakat, hingga tapa brata. Cara-cara prihatin ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Dekat hingga nyawiji pada Tuhan Yang Maha Tunggal. Setahap demi setahap maka bangsa Kawi makin mengukuhkan diri sebagai bangsa teladan, kecepatan pikir dan visi-nya jauh melampaui rata-rata manusia pada masa itu. Semua dikarenakan oleh ketersediaaan wadah yang begitu melimpah untuk turunnya karunia ilham yang bening dan terang. Ilham-ilham tersebut berperan sebagai sarana pepadhang ing ngaurip, memayu hayuning bawono (red: penerang kehidupan, mempercantik semesta yang cantik). Efek dari kelimpahan karunia ini, membuat yang di kejauhan menunduk dan yang berada di dekat merunduk. Sepanjang garis pantai hingga di puncak-puncak gunung tertata terkelola tentram semarak dan sejahtera. Murah sandang pangan, banyak orang berdatangan mencari penghidupan, tanah subur dan bermacam-macam jenis tanaman tumbuh. Panjang Punjung Pasir Wukir, Toto Titi Tentrem Kerta Raharjo, Gemah Ripah Loh Jinawi. Manusia-manusia Kawi menjelma bagai koloni para dewa yang ngejowantah di dunia. Kawi yang sedemikian besar dan kuat pun tak lantas hebat dalam hal bathin semata, mereka memperkuat pula implementasi lahiriah untuk menyeimbangkan antara alam pikir dengan alam ukir. Alam cipta dengan alam ripta. Alam arupadatu dengan alam rupadatu.

 

SYAIR, TEMBANG DAN TEMBUNG

Bangsa ‘dewata’ yang memang dipersiapkan untuk mengukir peradaban ini telah memiliki alat dan cara berkomunikasi dengan mempertimbangkan getaran nada. Setiap orangnya berbicara seperti bernyanyi, ada iramanya dan cermat dalam memilah kata. Pada masa kemudian, bahasa ini dimasak dan diperbaiki secara struktur menjadi bahasa Sansekerta. Hidup tak sendiri, ada titah pula untuk menyebarluaskan dan menyemarakkan hidup ke penjuru dunia yang luas. Tidak mudah bagi masyarakat Kawi memberlakukan caranya hidup kepada manusia yang latar cara hidupnya begitu berbeda. Orang-orang Kawi terbiasa menemukan beribu penjelasan pada satu jawaban. Pada wilayah lain ada kumpulan manusia yang memerlukan seribu penjelasan untuk menerangkan satu pertanyaan. Dengan demikian, bangsa Kawi harus menurunkan terus kadarnya agar lebih mudah dipahami dan memberi ruang bagi yang ‘di bawahnya’ untuk beranjak. Banyak hal-hal tegas yang berlaku untuk masyarakat Kawi sendiri, menjadi dibuat lebih lunak dan luwes ketika diberlakukan bagi manusia lain. Bangsa Kawi yang berkarakter ‘ayah’ yakni tegas dan tegak menjelma menjadi berkarakter ‘ibu’ yang welas asih, ngayomi, ngalah, dan sabar. Kawi, seiring perjalanan waktu yang panjang kini telah tersimpan jauh dibawah tumpukan buku-buku usang dan buku-buku asing. Sudah susah digali dan bahkan ingin diam-diam dilupakan. Tapi, apa saja yang dalam perkenan Allah SWT memang telah ternisbatkan sebagai ukiran kitab-Nya, tak akan ada manusia memiliki kesanggupan menutupinya. Kawi diam-diam merasuki peradaban Arab pra Rasulullah, masyarakat Arab yang marjinal ini pada masa itu adalah masyarakat yang tidak populer, masyarakat minor atau masyarakat dunia ketiga yang bukan faktor dalam kancah peradaban. Maka, lahirlah para pujangga-pujangga yang bathinnya terlecut akibat dari peniadaan yang ‘melecehkan’ ini. Lahirlah para sastrawan lisan atau ahli syair. Beberapa bahkan kemudian tak cuma lincah dalam bertutur namun juga lihai dalam membaca dan menulis. Masa-masa ini adalah masa Syu’aro (para penyair). Jika masyarakat Kawi memulai cara bertuturnya dengan Sekar/tembang dan kemudian tembung (ungkapan kata). Masyarakat Arab ini mendasari mutu peradabannya dengan seni ungkapan kata, bersyair. Berinteraksi dengan tembung, seakan melanjutkan kebudayaan Kawi yang masanya berjarak cukup jauh. Banyak orang terhanyut dalam untaian kata-kata sang penyair. Syair menjadi menu yang mencerahkan ketika sudah penat terhadap harapan yang makin kelam karena tak pernah semudah bangsa Persia atau Roma untuk menggapainya. Dengan syair, orang-orang yang patah semacam mendapat balutan. Akibatnya justru syair menjadi hidangan tambahan untuk mengiringi mabuk-mabukan dan bermaksiatan. Terjadilah kemerosotan kualitas manusia yang tadinya remang menjadi kelam dan makin menjadi pekat gelapnya. Masa ini penting sebagai tengara dan persiapan ‘menyambut’ cahaya. Hadirlah Rasulullah SAW sebagai cahaya yang memperbaiki dan menata kembali apa-apa yang menyimpang. Kitab Suci Al-Quran menjadi ‘hantaman’ keras bagi para penyair. Tidak menyeruak lagi syair sebagai selera untuk menemukan pencerahan. Maka banyak penyair kemudian merubah syair-syairnya menjadi kalimat-kalimat yang memuja pada prilaku Rasulullah. Meskipun banyak pula penyair yang merasa papan penghidupannya menjadi runtuh karena tak lagi banyak orang terbuai dengan syair-syairnya. Demikian, setahap demi setahap oleh Rasulullah, masyarakat dituntun dalam perilaku hidup penuh suluh. Pada masa setelah Hijrah, terbentuklah sebuah kota yang toto titi tentrem, yang kerto raharjo, yang gemah ripah loh jinawi, dan kota yang menjadi gapura pangaksameng Gusti. Itulah kota Madinah. Demikian hingga Rasul wafat hingga saat ini, Madinah bertahan sebagai kota, maka dimanakah negerinya? Dimanakah negeri yang dikelilingi kesuburan dan dihuni manusia-manusia berjiwa tentram? Itulah yang Insya Allah menjadi baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.
Preambule Edisi November 2014 Gambang Syafaat
Facebooktwittertumblr
Posted in Kembang Gunung.