MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– Rahasia Tuhan dibalik Sinau Bareng –

Pak Carik malam ini turut membersamai pula, dan oleh Mas Kasno seketika diberi kesempatan untuk menyampaikan sesuatu. Pak Carik menceritakan bahwa baru pertama kali di Gintungan diadakan majlisan dengan kemasan seperti ini. “Biasanya ya ngaji pake peci, sarung, gak ada yang gondrong-gondrong” demikian salah satu respon beliau terkait sinau bareng di maiyah. Pak Carik dulunya merupakan murid dari Pak Kiai Mahrun. Di Mushola yang sama pula, meskipun bentuknya kali ini sudah lebih modern. Pak Carik juga sedikit penasaran tentang alasan pemilihan tempat ini. Menurutnya banyak tempat yang lebih bagus, “apakah akan ada rahasia yang terbuka?” Demikian sambil tertawa. Namun beliau juga penuh harap bahwa apapun yang akan terkuak atau terjadi setelah ini senantiasa mendapat barokah dari Allah SWT. Sedikit bercerita bahwa semenjak dahulu Pak Kiai Mahrun selalu berharap mushola ini menjadi sebuah tempat yang bermanfaat dengan berbagai kegiatan. Mungkin kegiatan ini menjadi salah satu bentuk doa yang dahulu terucap itu.

Putra Pak Kiai Mahrun yakni Ust. Shobirin juga sedang merintis sebuah pondok pesantren berbasis tahfidzul qur’an. Namun dengan konsep yang sedikit berbeda. Sebab diajarkan pula skill yang mampu mendukung tingkat kreatifitas santri untuk diterapkan kelak usai menjadi hafidz qur’an dan hidup di tengah-tengah jaman yang semakin sulit ini. Harapan-harapan yang tentu di-amin-i oleh semua yang hadir.Kemudian ada pula Mas Kafi yang diminta untuk turut merespon. Terpantik dari pertanyaan Pak Carik tentang rahasia apakah yang akan terkuak juga menimbulkan rasa penasaran bagi pribadi Mas Kafi.

Sedikit merefresh sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut. Mas Yoga seorang performer dari Majlis gugurgunung membawakan sebuah lagu. Lagu dari Baraswara yang berjudul Pancarona dipilih untuk dibawakan.Hanya sejarak lima jengkal dari Mas Sabrang, Mas Yoga nampak sangat canggung. Namun di ruang pemakluman ini baik, benar memang bukan hal utama sebab keindahan lebih diapresiasi oleh dulur-dulur yang merasa bungah dan terhibur.

 

Andhika Hedryawan

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– Anteng Meneng Manfaat –

Usai pembacaan doa wasilah dan munajat, Mas Kasno memperkenalkan sekilas tentang Majlis gugurgunung kepada jamaah. Sebab cukup banyak jamaah yang baru hadir pada malam ini. Dilanjut pula dengan pembacaan mukadimmah, yang dipersilahkan oleh Mas Kasno kepada mas Satrio. Mukadimmah tersebut merupakan bentuk tadabbur oleh Mas Agus terhadap surat An Nahl. Mukadimmah ini nantinya dapat dikaji bersama lebih meluas sebab konteks majlisan ini adalah sinau bareng, dimana semua bisa memberikan kontribusi berupa respon untuk tema malam hari ini. Menariknya tema malam ini juga akan sedikit diulas oleh Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh. Sebuah kebahagiaan yang lama dirindukan bagi kami yang menanti kehadiran beliau secara jasadiah di sini. Ada pula Pak As’ad dari Suluk Surakartan Solo, Mas Aniq dari Ponpes RKSS Semarang yang juga seorang penggiat di simpul Gambang Syafaat, kemudian Mas Kafi sekeluarga bersama sedulur-sedulur Majlis Alternatif Jepara, juga Pak Kiai Mahrun dan Ust. Shobirin.

Pak Kiai Mahrun kemudian diminta untuk sedikit menyampaikan tentang gelaran acara pada malam hari ini. Pak Kiai Mahrun menyampaikan bahwa sekitar 40 hari yang lalu beberapa sedulur dari Majlis gugurgunung mengadakan acara disini, namun bertepatan dengan meninggalnya orang tua dari Pak Mahrun sehingga tidak bisa mengikuti kegiatan tersebut. Bahkan anaknya yakni Ust. Shobirin baru pulang dari Lampung tadi pagi dan baru menyampaikan tentang kegiatan malam hari ini. Beliau merasa bahagia, bangga, bersyukur serta mengucapkan selamat datang kepada semua yang hadir. Beliau meminta maaf bahwa tempat yang disediakan hanya ala kadarnya saja. Kemudian beliau merasa senang dengan majlisan “pengajian” seperti ini meskipun tidak ada yang sarungan, pecian namun yang terpenting ialah niat dan hatinya.

Sedikit merespon tentang tema, penuh harap agar kita semua bisa mencontoh dengan makhluk yang bernama lebah. Madunya yang memiliki banyak manfaat, kekompakan yang luar biasa juga mendiami sebuah tempat tanpa merusak lingkungan tetapi juga memiliki kewaspadaan yang tinggi dimana dapat menyengat atau ngentup apabila diganggu. Anteng, meneng, lan manfaat.

 

Andhika Hedryawan

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– Guyub Khas Keluarga –

Majlis gugurgunung di akhir bulan Juni lalu kembali menggelar rutinan. Waktu perhelatan seperti biasanya yakni malam minggu terakhir pada tanggal 29 Juni 2019 dengan tema “Masyarakat Lebah me-Madu”. Gintungan, Ungaran Kab. Semarang dipilih untuk menjadi lokasi perhelatan. Merupakan sebuah tempat yang baru pertama kali digunakan sebagai rutinitas Majlis gugurgunung. Tepatnya di pelataran kompleks Mushola Al Mazroah yang berdampingan dengan gedung Madrasah yang diampu oleh Mas Shobirin.

Segala persiapan mulai dari gelaran tikar, sound system, serta MMT sudah terpampang di tempat yang semestinya. Ruang transit, tempat parkir hingga kamar mandi pun tak luput dari perhatian masing-masing personal yang nggugurgunungi segala proses persiapan, termasuk dari tuan rumah sendiri yakni Mas Shobirin sekeluarga yang lilo serta legowo menyediakan tempat beserta kelengkapannya. Pembagian tugas baik yang berada di lokasi kegiatan, maupun di titik kumpul awal yakni kediaman Mas Agus alhamdulillah berjalan dengan baik. Memang hajatan ini hampir sama seperti biasa, semuanya berusaha untuk mengambil peran dalam hal membantu persiapan teknis maupun non teknis.

Tepat pukul 20.00, sementara Tim masih terbagi menjadi dua. Yakni di titik kumpul di kediaman Mas Agus serta di lokasi. Beberapa jamaah sudah mulai berdatangan satu demi satu. Mas Shobirin mengawali dengan sholawatan dan rebana oleh anak-anak asuhannya. Bahkan ditawarkan pula pada salah seorang jamaah yang bisa terbang-an untuk turut serta. Meskipun tanpa koordinasi, jamaah tersebut langsung bisa mengikuti irama alunan terbang yang menjadi pengiring sholawat.

Malam ini, selain dari warga gugurgunung sendiri, nampak sedulur-sedulur dari luar kota pun turut merapat di lereng gunung Ungaran ini. Seperti Semarang, Demak, Solo, Jepara, Slawi, Jogja, kendal, dll. Waktu kisaran pukul 20.45 Mas Kasno sebagai moderator membuka acara seperti biasa yakni diawali dengan doa wasilah oleh Mas Azam dan Mas Tyo dengan munajat maiyah. Suasana nan khusyuk sangat terasa, diiringi semilir hawa dingin lereng gunung Ungaran.

 

Andhika Hedryawan

Masyarakat Lebah Me-Madu

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
(Peradaban Robbun Ghafur)

Semua orang memiliki keinginan untuk tinggal dan hidup dalam sebuah negeri yang menentramkan, menyamankan, menggembirakan, makmur, indah, penuh kreatifitas, saling berlomba menyuguhkan kebaikan. Namun, karena keinginan tersebut terdengar terlalu utopis maka banyak yang tetap menyimpannya sebagai keinginan terpendam dengan label ngimpi di siang bolong. Terlalu berharap dan terlalu naif. Namun, bagaimana jika sebaliknya? Justru sesungguhnya yang dilabeli ngimpi di siang bolong ini adalah informasi primer yang ditanamkan di dalam dada masing-masing orang oleh Tuhan. Agar manusia hidup bahagia dan penuh syukur.

 

 

Rasa Terburu-buru dan Etos Hasil

Karakter dasar secara general manusia adalah rasa ingin segera terjadi. Ingin agar segera terlaksana, ingin segera menikmati hasil dan menjadi bagian dari kegembiraan. Yah, mungkin semacam hari Raya, dimana yang merayakan tidak selalu bersedia untuk berpuasa sebelumnya. Oleh sebab itu, penting bagi tiap manusia memahami karakter dasar ini. Sehingga punya kewaspadaan dan penjagaan diri agar tidak mudah terhasut sikap terburu-buru. Dalam istilah Jawa disebut “Nggege Mongso”. Segala sudah ada ketentuan waktunya dan itu dalam kuasa Allah SWT, oleh sebab itu manusia secara mendasar harus meletakkan ini sebagai sikap fundamental, bahwa terjadinya segala sesuatu bukan wilayah kerja manusia melainkan mutlak Hak Allah SWT.

Manusia hanya dalam posisi menjalankan dan berproses sejauh yang bisa dijangkau. Cara yang tampak pasif dan narimo ini sesungguhnya justru proses dinamis dan progresif. Tentunya ini mudah dipahami kenapa justru menjadi sikap yang dinamis dan progresif, sebab manusia diwajibkan berbuat baik maka harus berbuat sesuatu yang produktif. Sedangkan Tuhan Pencipta langit dan Bumi, maka kejadian yang ada di langit dan di bumi adalah Ciptaan Allah termasuk berarti segala gerak-gerik dan aktifitas apapun dilangit dan bumi. Sedangkan manusia ketika membikin sesuatu saja memiliki maksud dan tujuan, apakah mungkin Allah tak memiliki maksud dan tujuan terhadap CipatanNya? Allah pasti punya kehendak, jika manusia yakin bahwa ia ciptaan Allah maka kesadaran utamanya pada proses menyelaraskan kehendaknya dengan Kehendak Allah SWT. Allah sudah memiliki waktu yang mutlak di bawah KuasaNya. Sehingga wajar jika manusia dianjurkan untuk tidak terburu-buru, agar proses bisa berjalan lancar dan selaras sesuai kehendak Allah SWT. Kehendak pribadi manusia yang tidak selaras justru bisa menambah hambatan kehendak Allah SWT yang mau segera menurunkan karuniaNya.

Rasa khawatir dari manusia yang sering menyangka sikap terburu-buru merupakan upaya yang berguna demi memastikan hasil cepat teraih. Takut kehilangan dan cemas jika sesuatu yang diidam-idamkan itu tiba-tiba terlepas. Rasa khawatir, takut kehilangan, dan cemas itu sebagai tanda bahwa manusia masih lebih meyakini dirinya sendiri, lebih mempercayai pikiran dan imajinasi kesuksesannya sendiri daripada mempercayai kekuasaan dan Rancangan Tuhan Yang Maha Adil yang Maha Penyantun yang tak pernah berhenti memberikan karunia dengan penuh Kemurahan. Diam-diam manusia menjadi pembantah padahal tadinya dia kecil tersembunyi tak terhitung, hanya sekedar titik mani. Kemudian pada akhirnya diperkenankan Tuhan untuk menjadi manusia, lantas merasa menjadi pengatur dan pencipta segala hal sehingga malah mencemaskan kinerja Allah, mengkhawatirkan kehendak Allah, meragukan Keadilan Allah, dan merisaukan kebijakanNya seolah-olah Tuhan pelupa kepada semua rancangan dan ciptaanNya yang Agung sehingga butuh bantuan dari dirinya.

Generasi Maiyah telah mendapat pembekalan sikap untuk tidak terburu-buru ini sejak lama bahkan jauh sebelum Maiyah ada. Dalam salah satu tulisan pada kurang-lebih tahun 1983-an, Mbah Nun menyampaikan sbb:

“Dalam dimensi yang lebih mendalam kita juga bisa kehilangan ruhani sebagai bangsa. Kita menjadi rangka-rangka patung, robot-robot yang rakus uang dan segala materi. Yang terpenting dari semua: bahwa dengan mendominasikan etos hasil, sesungguhnya hasil yang kita capai juga tidak maksimal. Etos kerja justru yang menawarkan berbagai kemungkinan hasil. Kita jangan dulu memperdebatkan hal itu, tapi silahkan buktikan dalam suatu jangka waktu.”

Tulisan Mbah Nun ini jelas sangat futuristik, masih begitu relevan, mengandung kilatan anjuran dan kunci. Demi menjaga ruhani sebagai bangsa, manusia tidak disarankan untuk menenggelamkan diri pada hasil dan hasil, sementara hasil-hasil itu tidak berimbang dengan sejarah proses kerja yang ia tempuh. Orang yang berhasil mendapat fasilitas kemudahan nan melimpah sesungguhnya tidak lantas bisa dipastikan sebagai tanda keberhasilannya sebagai manusia. Justru bisa jadi yang berhasil adalah yang membangun fasilitas kemudahan berangkat dengan rasa syukur, presisi menggunakan akal dan memiliki ketangguhan mental sehingga mampu bertafakur mengkhidmati kesulitan dan kemudahan sebagai paket yang mendewasakan pengetahuan pengabdiannya kepada Tuhan.

 

Fasilitas Kemudahan Dari Tuhan dan KehendakNya

Pada dasarnya manusia hanya mau mengabdi kepada Tuhan, baik secara sadar maupun bawah sadar. Meskipun pikiran dan artikulasi kata tidak sempat tersemat namun kenangan Cinta Tuhan kepada dirinya seolah senantiasa tertambat. Orang ingin menjadi pemurah karena Tuhan Maha Pemurah. Orang ingin menjadi pemudah karena Tuhan Maha Memudahkan. Orang ingin bermanfaat bagi oranglain karena Tuhan Maha Penyantun. Inspirasi terbesar manusia adalah Tuhan sendiri. Jadi segala perbuatan baik manusia adalah manifestasi kerinduan hamba kepada Tuhan. Namun, manifestasi rindu kepada Tuhan ini bisa berkelok dan malah berputar arah pada saat kombinasi dalam diri mansuia berupa ‘kepasrahan’ dan ‘kepemilikan’ lebih didominasi kepemilikan.

Dari rasa kepemilikan munculah keinginan untuk berkuasa. Setelah berkuasa akan menimbulkan hasrat menguasai. Dengan kekuasaan dan hasrat menguasai menimbulkan sikap merendahkan, merasa superior. Dari sikap merendahkan dan perasaan superior itu muncul kecenderungan untuk mudah meremehkan dan mengabaikan, terdapat pohon kesombongan yang terus tumbuh dan beranting, meninggi dan membesar dari sikap abai dan tak acuh.

Dengan demikian betapa pentingnya menjaga kepasrahan diri. Salah satu metode kepasrahan adalah dengan menghitung kepemilikan dan fasilitas kemudahan dari Tuhan. Manusia bernalar pasti akan memahami kerapuhannya. Ia lebih banyak memiliki ketidaksanggupan daripada kesanggupan. Manusia memerlukan punggung kuda karena punggung dan kakinya tak cukup sanggup membawa beban berat dengan tangguh. Dan pernahkan manusia menciptakan kuda? Tuhan-lah yang menciptakan. Manusia kedinginan dan kelaparan, Allah memberikan binatang yang bisa diambil kulitnya sebagai pakaian dan menggunakan dagingnya untuk dimakan. Rapuh, ringkih, lapar, rentan, yang disangga manusia adalah Rahmat Allah. Karenanya Allah juga mengkaruniakan akal, pikiran, panca indera, dan perasaan sebagai jalan keluar bagi manusia untuk berjuang menemukan Rahmat Allah yang lain yang menjawab peristiwa kerapuhan, keringkihan, rasa lapar dan kerentanan hidupnya tersebut.

Kepasrahan diri akan membuat manusia menggunakan karunia fasilitas kemurahan Tuhan untuk mengabdi dan merias kehidupan dengan cinta yang terus meluap-luap kepadaNya. Kepada Tuhan Yang Maha Esa sesembahannya. Sedangkan hasrat kepemilikan akan membuat manusia menggunakan karunia fasiitas kemudahan Tuhan untuk ditundukkan, ditakhlukkan, sebagai sarana memenuhi kecintaan-kecintaannya sendiri. Yakni kepada hal yang ia puja dan ia sanjung sebagai sesembahan yang seolah memberinya kebahagiaan dunia akhirat.

Padahal fasilitas kemudahan dari Tuhan sesungguhnya sebagai tanda “kehadiranNya” secara mawujud. Allah menghadiahkan binatang-binatang dan tetumbuhan. Bukan sekadar Ia hendak hadir menjadi jawaban lapar dan dingin saja, namun juga hadir sebagai pelipur hati dengan keindahan visualnya. Keindahan yang Allah Ciptakan akan mengindahkan pandangan mata, mengindahkan bathin, dan mengindahkan pikiran manusia yang makin tak merelai kerusakan dan tak berselera terhadap penyimpangan.

Allah telah ‘hadir’ dengan segala kebaikan sehingga manusia yang berserah dan waspada akan menunaikan kebaikan sebagai pilihan sikap hidupnya. Sebagai suatu pengibaratan, Allah menciptakan pohon mangga, apakah Allah mengharapkan buah mangganya? Ataukah Allah mengharap perjuangan optimal sang pohon mangga sehingga Dia akan memeluk dengan belas-kasih kepada sang pohon mangga yang meskipun belum kunjung berbuah namun berjerih payah tumbuh dan meneduhi sekitarnya padahal sebelumnya ditumbuhkan pada tanah tandus. Dengan belas kasih sayang Allah, sangat mudah bagiNya mengkaruniakan bunga dan melebatkan buahnya. Bunga dan Buah itu bukan untuk Allah, namun untuk membahagiakan makhluknya yang berdedikasi menjaga cintanya kepada Tuhan melalui prosesnya dalam menjaga amanah.

Masyarakat Maiyah di-deder Mbah Nun untuk menerapkan sikap demikian dalam menjalani kehidupan. Melakukan segala pekerjaan sebagai ibadah. Ibadah Mahdhah dan Ibadah Muamalah. Dalam banyak kesempatan sering disampaikan kepada anak-cucu Maiyah untuk menyadari keringkihan kita di hadapan Tuhan namun berjiwa besar dan ksatria dalam menghadapi kehidupan dunia. Manusia tak boleh merasa mampu menjamin keselamatannya, karena keselamatan datang dari Tuhan, manusia itu ringkih sehingga butuh pertolonganNya secara terus menerus. Maka perlu pengabdian terus-menerus demi tegaknya keselamatan ini yang salah satu bentuknya adalah dengan menjamin kehadiran dan keberadaan dirinya tidak untuk menjadi ancaman bagi oranglain, tidak mengancam martabat oranglain, tak mengancam harta benda oranglain, dan tak mengancam darah oranglain.

Benar bahwa seseorang tak mampu menjamin keselamatan dirinya apalagi orang lain, namun tiap-tiap manusia bisa berpihak pada kedamaian yang sanggup diperjuangkan sehingga menjamin kehadirannya tak muncul sebagai ancaman keselamatan. Hal ini sering dianjurkan oleh mbah Nun kepada anak-cucu Maiyah dalam banyak kesempatan Sinau bareng. Anjuran tentang ibadah Mahdhah dan Muamalah ini begitu deras seolah tadris agar terus dideres anak cucu Maiyah hingga menjadi ilmu dan pemahaman mendasar. Dalam satu tulisan Mbah Nun menyampaikan sbb:

“Maka, bagaimana jalan keluarnya sebab manusia tidak boleh hidup kecuali untuk ibadah? Jawabnya: semua pekerjaan di luar ibadah Mahdhoh direkrut menjadi ibadah. Jadi apapun saja diniati sebagai ibadah. Caranya? Caranya adalah semua laku diarahkan ke pekerjaan-pekerjaan yang kira-kira diterima Allah. Dan, agar supaya diterima Allah maka jangan sampai pekerjaan itu melanggar aturan Allah“

 

Keselamatan Peradaban

Pada sub bahasan ini maka mulai beranjak kepada bahasan masyarakat Robbun Ghofur. Mbah Nun sudah menyampaikan tentang  Tadris, Ta’lim, Tafhim, Ta’rif, Tarbiyatul Islam, Ta’dibul Islam, yang bagi masyarakat maiyah merupakan kunci penting untuk menata dan menapaki fase peradaban. Tidak untuk skala peradaban dengan terlibatnya masyarakat dunia yang luas. Sebab, istilah peradaban tampaknya paling pokok adalah: disangganya adab. Bisa skala luas masyarakat dunia, bisa cukup skala sedang kelas regional, atau sekadar skala mikro level personal, dlsb. Adab tetap adab meskipun hanya dijunjung oleh seorang saja, penjunjung adab akan tampil sebagai orang yang beradab dan memiliki peradaban dalam kesemestaan hidupnya.

Apa kira-kira adab yang dimaui oleh Allah pada diri seseorang? Atau jika seseorang ini berjumlah banyak maka apa kira-kira yang dimaui oleh Allah pada diri suatu kaum? kaum yang seperti apa yang dikehendaki oleh Allah? Mungkin beberapa ayat dalam Surah An-Nahl bisa ditadabburi. Pada ayat kedua disampaikan bahwa “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku”.

Yang dikehendaki dari hamba-hamba Allah adalah yang bersedia memberi peringatan tentang ketauhidan, tentang ke-Esa-an Allah dan anjuran untuk bertaqwa kepadaNya. Namun, apakah memberi peringatan itu lantas bermodal ucapan dan dalil-dalil saja? Tampaknya tidak, justru lebih kepada perilaku-perilaku yang dilakukan. Perilaku kemanusiaan utuh yang tidak hanya sekadar bergerak dan bernafas namun juga menggunakan akal pikir yang terindikator bahwa hamba tersebut prigel melewati proses secara aktif menggunakan karunia kemanusiaan yang telah dipasang Tuhan terhadapnya. Berikut ada sembilan indikator berdasar uraian pada Surah An-Nahl:

  1. Yatafakkaruun :Yang berfikir. Berfikir tentang tanda Kekuasaan Allah melalui fenomena lahiriah. Sepertinya berfikir adalah suatu gerakan aktif dari diri manusia dalam hal mengamati kondisi sekitarnya yang tertangkap panca indera.
  2. Ya’qiluuna :Yang menggunakan akal. Menggunakan nalar tentang Kebesaran Allah melalui fenomena bathiniah seperti bagamana Allah menundukkan siang, malam, matahari, bulan, bintang. Akal digunakan untuk memahami hal-hal yang tidak tertangkap secara konkret oleh Panca Indera.
  3. Yadzdzakkaruuna, Tadzakkaruuna :Yang mengingat dan mengambil pelajaran, Mengambil pelajaran dari suatu fenomena dengan kondisi mengingat Allah. Mengambil pelajaran dari peristiwa apa saja hendaknya dilandasi mengingat Allah sebab dengan demikian pelajaran berguna tidak hanya berhenti sebagai ilmu namun juga sebagai kebijaksanan(hakiim).
  4. Tasykuruuna :Yang bersyukur, Tidak menuntut dan tahu berterimakasih kepada Tuhan atas segala karuniaNya. Bagaimana manusia menyangka punya hasil panen dari kebun dan ladangnya sedangkan Tuhan yang punya Kuasa Menciptakan. Tanahnya, matahari, air, udara, benih, hujan yang diturunkan dari langit, tangan dan kakinya, penglihatan, pendengarannya, pikirannya, hatinya, hingga bahkan rasa gembira yang ia miliki pun adalah ciptaan Gusti Allah SWT.
  5. Tahtaduun :Tertunjuki, menyadari akan keterbatasan sehingga sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dari Tuhan. Segala aliran dan pijakan, kerlipan, merupakan petunjuk demi petunjuk untuk memahami arah mendekat secara presisi kepada dumadi.
  6. Inna Allaaha Laghafuurun Rahiimun :Tak sanggup manusia menghitung Ampunan dan Kasih Sayang Allah. Kesadaran manusia bahwa banyak sekali melakukan kesalahan, besar, kecil, halus, kasar, lembut, keras, tampak ataupun tersembunyi, sehingga memerlukan ampunan terus menerus dari Allah yang Maha Pemberi ampunan lagi Maha Pengasih.
  7. Yasma’uuna :Yang pandai mendengar, menyimak, mengindahkan karunia pendengaran. Bahwasanya orang yang tidak cukup pandai mendengarkan biasanya lebih dominan hasaratnya untuk didengarkan. Orang yang kurang mampu mengindahkan perkataan baik akan membuka risiko pada dirinya sendiri untuk makin tuli dan bisu, sebab kemampuan pendengarannya hanya untuk mendengar suaranya sendiri dan perkataannya pun hanya dia sendiri yang memahami. Oleh sebab demikian, perlu membuka peluang untuk menjadi lebih beruntung dengan cara menambah kepandaian dalam hal mendengarkan nasehat Tuhan yang diejawantahkan dalam audio visual kehidupan.
  8. Yu’minuun :Yang menjaga keimanan. Yang senantiasa merawat dan menjaga (ngeman-eman)untaian cintanya kepada Tuhan.Ia punguti dan untai sebutir demi sebutir di sepanjang jalan yang ia lalui.
  9. Khayrun Lishshaabiriina :(kondisi yng diceritakan pada kata2 sebelumnya) lebih baik bersabar. Yang bisa bersikap penuh kesabaran dan tidak terburu-buru. Kesabaran sangat berkaitan dengan waktu. Jika manusia menemui satu kebaikan dan kebaikan itu ia terapkan dengan sungguh meski menemui segala macam kondisi gelap terang, maka sepanjang itulah ia mampu buktikan kesabaran.

Berkaca dari kategori kaum terpilih di atas ternyata dapat kita temui kekeliruan sistem peradaban jaman sekarang yang dikawal oleh manusia yang tidak seperti kategori di atas. Sehingga lahir pula sistem nilai dan tata aturan yang tidak bertitik tolak dari tanggung-jawab primer yakni memberi peringatan tentang ke-Esa-anTuhan. Manusia satu dengan yang lain tidak memiliki pengertian universal yang memusat. Cenderung masih terserak atau berkamar-kamar yang tiap-tiap kamar punya pengertian berbeda-beda. Sehingga peringatan yang dilontarkan hanya sebatas pemahaman kamar per kamar yang bisa saling bertolak belakang. Dengan ke-Esa-an Tuhan, maka manusia akan tertuntun pada satu rujukan yang terpusat. Konsep ini akan menghadirkan secara lebih konkret posisi sebagai hamba kepada Tuhan. Sesungguhnya Tuhan bisa saja dengan mudah membuat manusia menjadi hamba yang mengEsakan dan menyembahNya tanpa berubah, seperti halnya manusia dari manapun mengEsakan cara menangis dan tertawa. Tapi dalam urusan penghambaan manusia terhadapNya, Gusti Allah mau manusia yang sudah diberiNya pendengaran, penglihatan, akal, pikiran, dan hati bisa memperoleh kesadaran sebagai hamba dengan peranti-peranti tersebut.

Sejujurnya manusia takkan sudi menyembah selain Tuhan. Datang saja pada tukang apapun saja, bisa tukang cuci, tukang jahit, petani, montir, dlsb. Hadirlah dengan sopan-santun dan setelah selesai pekerjaannya bayar dua kali lipat tarif jasa yang ia sebutkan. Sesaat kemudian musnahkan hasil kerjanya dan pesanlah kembali dengan iming-iming akan dibayar dua kali lipat uang jasa lagi. Kalau tukang tersebut mau pastilah suasana bathinnya tidak lagi setulus dan sebahagia sebelumnya. Untuk yang kedua ini ada tekanan aneh di dadanya dimana bayaran puncak yang ia harapkan tak muncul, yakni wajah bahagia pelanggan dan senyum puas pengguna jasanya.

Pada pekerjaan yang kedua ini segera rusak lagi atau kotori hasil kerja tukang tersebut dan bayar dua kali lipat lagi. Lalu pesan lagi yang serupa. Kali ini mungkin orang itu tak akan sanggup. Ia merasa gagal dengan pekerjaannya atau diremehkan pekerjaan sepenuh hatinya itu, ia juga tak mau melayani satu orang saja yang menyia-nyiakan usahanya, tak menghormatinya meski punya uang yang mampu membayar dua kali lipat jasanya. Ia ingin waktu yang ia jalani mengandung manfaat luas dan bermartabat bagi sebanyak-banyak orang.

Pada tingkat peristiwa tertentu manusia akan lelah berpura-pura mengabdi kepada uang atau kepada apapun yang bukan Tuhan, dia akan menunjukkan diri sebagai manusia bermartabat, karena dia dan rasa kemanusiaannya tak bisa dinilai dengan harga buatan manusia, melainkan hanya Tuhan saja yang berhak berkuasa atas dirinya. Segala perilaku kebaikan yang ia lakukan pun dalam rangka mengabdi kepada Tuhan, yakni dengan cara ia bermanfaat bagi oranglain. Sehingga jika lantas proses pengabdiannya ini tak disyukuri dan direndahkan, ia tidak akan terima dengan mudah. Ada kesepakatan bawah sadar yang ‘ahad’ dalam nurani setiap manusia tentang pengabdian, yang pengabdiannya itu sebagai bentuk menghamba hanya kepada Yang Ahad.

Menyampaikan peringatan itu bukan tugas agamawan yang dipahami secara formal, namun adalah tugas hamba-hamba Allah yang terpilih atau dikehendaki. Rata-rata manusia masih enggan atau setengah hati untuk menghadirkan Tuhan sebagai puncak prioritas, puncak kebijakan, puncak inspirasi kasih-sayang, puncak atastujuan segala sepak terjangnya dalam menjalani kehidupan. Yang masih terjadi saat ini fikiran digunakan untuk hal-hal yang memusingkan. Akal dipakai untuk memanipulasi keburukan sehingga tampak sebagai keindahan. Tuhan dibiarkan kos di Masjid saja, segala perbuatan baik dan suci ada di area Tuhan, dan Tuhan ada di Masjid maka penipuan, penyelewangan, dan segala pemalsuan sah dilakukan asal tidak di Masjid, jadi ada wilayah Tuhan dan ada wilayah yang Tuhan tak berkepentingan. Tuhan diletakkan di lokasi statis dan minor, bukan di semesta yang penuh dinamika, bukan di dalam detak jantung, putaran darah dan nafasnya, yang kemanapun ia pergi selalu disertai olehNya.

Rasa syukur bukan lagi kepada kesehatan mata, pendengaran, hati, namun pada kenaikan pangkat, kenaikan gaji, bonus-bonus, diskon, paket hadiah gratis, dan segala macam hingar-bingar hasut kepemilikan yang melenakan. Manusia juga masih merepetisi permohonan untuk diberikan petunjuk namun tak benar-benar mau mendapat petunjuk, kecuali petunjuk itu memberi keuntungan secara cepat dan kasatperihal yang dia maui di dunia. Petunjuk untuk menemui artis idola mungkin lebih diminati daripada petunjuk untuk menemui Pencipta langit bumi. Untunglah Gusti Allah Maha Pengampun dan Maha Belas Kasih. Setiap proses hidup manusia selalu menjadi koma, tidak menjadi titik (kecuali yang berputus asa), atau sudah sampai ajal. Artinya masih akan ada kalimat selanjutnya yang diharapkan lebih baik dari hidup orang tersebut dan menegaskan makna hidupnya.

Masyarakat Maiyah mulai perlu menjajaki diri posisi sebagai anak cucu yang sedang menyeberang dengan obor penyuluh. Perjalanan ini penuh aral, tidak mudah, disalah-pahami, difitnah, diabaikan, namun tetap berproses. Justru semakin semarak berpuluh tahun dengan tetap gembira.Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal[1].

 

Kerumunan Lebah

Jamaah dan segenap generasi Maiyah bisa jadi merupakan kawanan lebah madu yang diperintah Gusti Allah untuk memaniskan gunung-gunung, memaniskan hutan-hutan, hingga memaniskan segala bangunan yang dibuat oleh manusia. Maka bathin masyarakat Maiyah disemangati khasiat obat sehingga kemana saja tinggal akan memberi kesenangan dan penyembuhan dengan corak dan warna yang beraneka. Mudah-mudahan masyarakat Maiyah, adalah yang dikehendaki Allah SWT untuk menjadi pembawa peringatan tentang keEsaanNya. Tidak mendua apalagi menandingkan Tuhan dengan segala sesuatu yang dibuat-buat sendiri dan disembah sendiri.

Semoga masyarakat Maiyah mendapat cahaya benderang di dadanya masing-masing sehingga bisa menjadi penyibak gelap di lingkungannya, memberikan kebahagiaan, tidak mengancam siapapun, senantiasa waspada, mahir bersyukur, terkaruniai petunjuk dari Allah, pandai bertafakur, tajam menggunakan nalar. Semoga masyarakat Maiyah adalah kawanan lebah madu yang segala perilakunya dipandu oleh Gusti Allah langsung di hatinya masing-masing. Sehingga segala karunia lahir maupun bathin tidak dianggap sebagai pencapaian yang ingin dipamerkan atau dipertandingkan, melainkan sebagai bentuk konkret Kasih Sayang Tuhan yang ingin menjadikan Masyarakat Maiyah saling melengkapi dan berlomba menyuguhkan kebaikan di saji tempayan kehidupan dengan banyak pencapaian, kepandaian, kecerdasan, kebenaran, keindahan yangempan papanyang bening dan menyegarkan. Hingga apabilakelak terwujudbaldatun thayyibatun wa rabbun ghafur semogalah keluarga Maiyahmenjadi salah bagian yang telah ikut merintisnya sejak sekarang, memperjuangkannya dengan gigih, dan anak-cucu Maiyah mendiami negeri tersebut bersama orang-orang yang dalam hati dan pikirannya selalu menyertakan Allah dan RasulNya secara damai dan aman. Aamiin.

 

Tulisan mas Agus Wibowo dalam rangka tahadduts binni’mah
yang diambil sebagai mukadimah tema MGG Juni 2019
Ungaran, 11 Juni 2019

 


[1] QS An-Nahl ayat 41. Ayat yang senada ada pada QS An-Nahl ayat 110 : Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Mengarifi Jebakan

MENGARIFI JEBAKAN

Majlis Gugurgunung | “Mengarifi Jebakan” | Sabtu, 25 Mei 2019 jam 21.00WIB | Aula Madrasah Dinniyah Baburrohman, Jl. Watu lembu, RT. 05 RW. 05 Lemah abang, Bergas, Ungaran, Kab. Semarang. | #MGGMei