WUNGU

Masih dalam rangka netepi dhawuh Mbah Nun, yang setiap simpul diharapkan mengadakan workshop dalam rentang Agustus – Oktober, masih dalam rangka merespon berbagai fenomena dan informasi informasi yang beruntun dan berkelindan, dan juga masih dalam rangka terus melakukan pengembaraan diri. Oktober 2019 ini merupakan workshop ke tiga dari tiga workshop yang direncanakan. Dua workshop sebelumnya Majlis gugurgunung menggelar tema “LARAS” di bulan Agustus, dan tema “PADHANG PRANATAN” di bulan September.

 

 

 

Sedikit remind,

LARAS, tema yang membahas tentang :

  • Mengingat kembali amanat utama dan gol utama dalam hidup dengan merunut jauh peradaban demi peradaban sejak sebelum era risalah Kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga terus di ujung mula peradaban Nabi Adam AS.
  • Keluwarga Majlis gugurgunung mencoba membuat penegasan bahwa hidup di dunia ini sangat komplek dan serius, dan kehadiran para utusan itu untuk membuat yang komplek tersebut menjadi tertata dan membenderangi keadaan.
  • Betapa perlunya menyambungkan diri secara LARAS posisi diri kita sekarang dengan sejarah panjang dan serius alasan kita diciptakan.

 

PADHANG PRANATAN, tema yang membahas tentang :

  • Mengupas makna Negeri, sebuah kawasan nilai yang dipenduduki oleh manusia manusia yang menjaga nilai.
  • Memahami tugas dan peran yang perlu dirintis, dijalankan, dan dibangun dengan semangat menggapai suatu penataan yang berpendar cahaya rahmat Allah SWT.
  • Tadabur QS. Al Balad, untuk menemukan jawaban jawaban tentang Rahmatan Lil Bilad, serta rumusan rumusan menuju kembali pada Al Balad Al Amin.

 

Kemudian bulan Oktober ini akan menggelar tema “WUNGU”,  tema yang thukul dari semaian tema tema sebelumnya, diantaranya : MASYARAKAT LEBAH MEMADU, sebagai respon “TAHADDUTS BIN –  NI’MAH”, serta “LARAS” dan “PADHANG PRANATAN”, sebagai respon “TAJDIDUN-N- NIAT” yang Alhamdulillah dipertemukan dengan momentum cahaya “WIRID AKHIR ZAMAN” dan “DJD”.

 

WUNGU, mengandung arti bangun atau bangkit. Kondisi yang mencoba untuk terus terjaga:

“Ngambrukke roso wegah, Nungkulke roso pasrah, numungkul kanthi lilah”.
“Merubuhkan rasa malas, menundukkan rasa pasrah, menunduk dengan lilah”

Dan pengembaraan diri yang mencoba ditelusuri adalah “Diri yang ‘Ain atau Kifayah”. Jika seseorang punya prioritas pada satu peran kontributif bagi kehidupan bermasyarakat itu adalah ‘ain. Dia menemukan kewajibannya dalam hidup ini. Sedangkan Kifayah bahwa tidak lagi diharuskan jika suatu peran telah ada yang menjalankan/mendirikan kecuali memang ingin makmum dan menggabungkan diri pada hal/bidang tersebut. Seseorang akan segera mengenali ‘ain-nya jika melek terhadap kahanan. Apa dari keadaan sekarang yang memerlukan kontribusinya, apa yang menggelisahkannya, dan kegiatan apa yang bisa ia selami untuk njegur pada kemanfaatan. Maka menjadi betapa penting untuk memahami peran, amanat, dan tanggung-jawab kembali dengan tetap aman dalam menjaga amanat tersebut. Apakah yang dimaksud melek hanya dengan tanda mata terbuka? Apakah dengan badan beranjak dari baring itu sudah bangkit? Adakah perangan atau bilahan-bilahan dalam diri yang lain yang perlu juga bangun dan bangkit? yang karena kita tak mengenalnya, tak memahaminya, sehingga mereka masih dengan lelap ‘tertidur’ karena merasa tak bertugas. Apakah takut itu bilahan diri?

 

Wirid Akhir Zaman sebagai Converter

 

Wirid Akhir Zaman mengandung do’a berisi kepasrahan dan keperwiraan, Pasrah atas segala kehendak dan karunia kekuatan dari Allah, bahwa hanya Allah saja yang pantas untuk disebut sebagai Tuhan, permohonan Maghfrah dan Kasih Sayang Allah sebagai sebaik-baik Pemberi Rahmat, tentang ketidak-berdayaan apapun dan siapapun tatkala berhadapan dengan firman Allah, hingga pertolongan Allah yang akan mengkaruniakan Kebun yang lebih baik dari kebun-kebun lain yang dipupuk dengan mempersekutukan Allah swt. Sehingga segala proses hingga dhawuh Mbah Nun melalui Tajuk DJD seolah menjadi penegasan dan penetapan agar semua pihak yang akan merawat kebun baru ini tidak perlu memperpanjang ilusi dengan hantu-hantu peristiwa yang seolah menjadi alasan untuk mundur. Tidak untuk merasa kuat, tidak untuk merasa hebat, tak pula untuk merasa sangar. Semua tidak ada gunanya di hadapan Allah yang memiliki ketentuan. Jika ada penolong maka itu memang benar-benar dari Tuhan bukan dari hantu yang karena ditakuti lantas dianggap sebagai tuhan.

 

Lebur dan pecah dulu diri gunung-gunung diri agar tak menghantui kepasrahan kita kepada Tuhan yang sudah memberikan amanat kebun-kebun Maiyah yang tumbuh dengan keberserahan diri, yang tak mempersekutukan-Nya, yang saling bertalian kasih sayang karena Allah swt. Yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dimana amanat Tuhan ini disanggupi oleh manusia yang bodoh dan jahul, yang berpotensi berkhianat atas amanat tersebut. Oleh sebab demikian maka amanat Tuhan tak akan mampu disandang oleh seorang manusia pun, kecuali manusia telah mentransformasi dirinya lebur menjadi ayat Allah sendiri, menjadi Firman Allah sendiri. Yakni manusia yang sadar akan potensi dholim dan jahul-nya sehingga sanggup menjadi nol untuk manunggal dalam kehendak Tuhan Yang Maha Suci dan Tiada Ingkar Janji. Apabila dholuman jahula itu dianggap tidak konstruktif maka harus dhedhel (lepas) agar menjadi konstruktif. Atau jika justru dengan dholuman jahula itu manusia menjadi konstruktif maka tentunya sudah ada formula konversi (converter) agar potensi bahaya yang bisa merubah amanat menjadi produk khianat kelak terhindarkan. Amanatnya adalah menata dan mempercantik, bukan merusak dan mencederai. Wirid Akhir Zaman perlu dihayati dan dirasuk dalam diri, siapa tahu bahwa itu adalah conveter-nya.

 

Mari bangun untuk melingkar bersama, mengkonversi energi untuk membangun kesadaran tanggung jawab atas peran kita, wungu di kedalaman merah putihnya, dipandu oleh irama Irodah-Nya.

 

 

Tim Pawon Tema MGG, 23 Oktober 2019

Facebooktwittertumblr
Posted in Mukadimah.