APRESIASI KAWULOWARGO

Majlis Gugurgunung simpul maiyah yang berada di daerah Ungaran, kabupaten Semarang, memang bukan sebuah simpul besar yang dihadiri ratusan bahkan ribuan jamaah di setiap edisinya, bahkan di beberapa edisi yang pernah saya ikuti hanya diikuti oleh lima sampai tujuh orang saja yang melingkar, kalau jamaah di simpul maiyah lain mungkin dari rumah sudah menyimpan kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan untuk disampaikan pada saat sinau bareng, lain halnya dengan jamaah gugurgunung, di sini penggiat simpul yang juga menjadi jamaah harus mempersiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu mulai dari ruangan, tikar, makanan dan lain lain sebelum kemudian menyampaikan kegelisahan-kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan yang sudah dipersiapkan terlebih dulu di rumah masing-masing.

 

Mungkin karena jamaah yang sedikit itulah, gugurgunung punya tempat tersendiri dihati masing-masing jamaah, karena setiap jamaah di gugurgunung dapat saling mengenal dan langsung atau cepat akrab satu dengan yang lain, seperti seorang sahabat yang sekian lama berpisah dan mencari, akhirnya saling bertemu di gugurgunung untuk meluapkan rasa kangennya, oleh karena itu tidak heran walau hanya sedikit jamaahnya namun setiap edisi gugurgunung para jamaah betah untuk berlama lama duduk melingkar, bahkan ada yang sampai pagi menjelang karena merasa nyaman seperti di dalam rumah sendiri. bagi jamaah, majlis gugurgunung bukan hanya tempat untuk sianu bareng sebulan sekali saja, namun sinau bareng itu terus di lakukan setiap hari diluar rutinan di gugurgunung, masing masing mengimplementasikan dalam kehidupanya sehari hari dalam bidang yang di tekuninya. Kemudian saling membagikan apa yang ditemukannya dalam mengimplementasikan nilai nalai maiyah tersebut, sehingga setiap jamaah saling melayani dan menampung apapun itu dari sedulur yang lain.

 

Dalam jamaah gugurgunung tidak asing lagi dengan istilah wismo gugurgunung, menurut saya istilah wismo di sini bukan hanya sekadar untuk pemanis saja, namun memang benar benar ter implementasi dengan “cantik” dalam segala sapek kehidupan diantara sedulur-sedulur gugurgunung. Sependek pengetahuan saya tentang filosofi wismo ini salah satunya saya dapat dari Mas Agus, yaitu wismo dapat dimaknai sebagai “Cumawis lan Momot” atau melayani dan menampung, cumawis (tersedia, siap melayani, ngladeni ) melayani yaitu memahami bahwa posisi kita sebagai abdi yang mengabdi kepada Allah, tentunya harus siap melayani dengan sepenuh hati untuk menjalankan segala perintah-Nya, dan dengan dasar posisi Abdi Allah inilah kemudian kita sebagai manusia hendaknya saling melayani dalam rangka sama-sama tunduk dan mengabdi kepada Allah, sedangkan “Momot” adalah menampung dan menerima siapa saja tamu yang berkunjung ke wismo kita, dengan kesadaran bahwa tamu tersebut adalah abdi Allah juga yang sedang diperintah untuk datang ke wismo kita, maka hendaknyalah kita tampung untuk memberikan rasa aman dan nyaman.

 

saya teringat waktu itu tancep kayon tahun 2017 dengan tema serat pamomongan, dan kami bertiga (saya, Chafid, Dika) mencoba untuk menampilkan sebuah pertunjukan wayang kardus dengan lakon Bimo Suci, yang dimana sebenarnya kami bertiga tidak punya basic di dunia pedhalangan dan pewayangan, sempat terpikirkan oleh saya“kewanen iki nda ..?” karena kami tahu kalau pada acara tancep kayon tersebut akan dibersamai oleh Gus Aniq, Mas Muhajir, Bapak Kyai Zainal Arifin, dan Jodho Kemil, sudah tentu akan banyak sedulur sedulur yang akan datang pada edisi tancep-kayon tersebut. Tapi dengan dasar Cumawis itulah kami bertiga seakan punya kewajiban untuk ikut melayani sedulur sedulur semua, tentunya yang kami cawisaken bisa dikatakan hanya kejujuran di pentas, karena kalau mau dilihat dari segi penampilan tentunya kan jauh dari kata bagus, namun jauh sebelum pementasan itu dimulai di keluarga gugurgunung sendiri sudah terjalin saling melayani, dimana alat-alat yang kami gunakan untuk pementasan sudah dipersiapkan oleh sedulur-sedulur yang lain, mulai dari wayang kardus, Geber, Debog, lampu porot, dan lain lain sudah dipersiapkan oleh dulur dulur semua untuk kelengkapan pementasan. Dan kenapa saya katakan istilah Wismo ini ter implementasikan dengan cantik , karena di akhir pementasan yang alakadarnya itu, respon para sedulur semua diluar ekspektasi kami bertiga, sedulur semua yang hadir memberikan tepuk tangan yang meriah seperti bersedia “momot” kejujuran penampilan kami dan sangat mengapresiasi atas penampilan tersebut, dan momen-momen seperti itu juga pernah terjadi saat pementasan teater dhahar bareng kanjeng Nabi di Jepara dan pembacaan puisi di Jombang, dan banyak lagi momen momen yang lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

 

Kami di majlis gugurgunung paham bahwasanya Majlis Gugurgunung bukanlah simpul maiyah yang besar, namun majlis gugurgunung juga paham bahwasanya untuk menjadi karakter Wismo dalam melayani dan menampung tidak dipersyarati besar kecilnya kemampuan, selama kita masih dititipkan kemampuan untuk bermanfaat bagi sesama, maka sudah sepantasnyalah kita harus memberikan manfaat yang baik untuk sesama dengan dasar wujud pengabdian kita sebagai abdillah.

 

Dwi Dian, Jajar wangkerbayu, anggota keluarga gugurgunung

Facebooktwittertumblr
Posted in Windhu Sakinah.