MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– KOMUNITAS TADABBUR –

Malam yang semakin mesra dan hangat dilanjutkan oleh Pak As’ad. Berbicara tentang kerumunan, ekonomi masyarakat, potluck sudah dialami langsung oleh beliau. Seorang pengusaha yang juga memandegani Suluk Surakartan hingga tiap hari berkawan dengan kerumunan.Pak As’ad mengawali dengan ketertarikan beliau terhadap gagasan Pak Kiai Mahrun tentang pembikinan pondok tahfidz namun berbeda dengan umumnya. Dimana pondok tersebut terdapat sebuah kegiatan yang berujung ekonomi. Dalam pada itu bertepatan pula dengan lokasi ini yang dipilih dengan tema “Masyarakat Lebah me-Madu”.

Jika kita sedikit tarik mundur ke belakang. Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW, ketika sedang memerangi pasar yahudi sudah jarang kita melakoninya. Biasanya umat Islam ketika melakoni sesuatu pasti akan mencari pembenaran dari ayat Al Qur’an dan hadist. Tetapi ada satu hal yang terlupakan yakni mengevaluasi secara terus menerus langkah apa yang keliru.Nabi Muhammad memerangi pasar yahudi dengan sistem ekonomi serta teknologi yang lebih baik bukan sekedar mengangkat sentimen suku, ras dan agama. Sehingga dalam waktu singkat, pasar yahudi kukutan (gulung tikar). Perlu diketahui bahwa Kanjeng Nabi melakukan hal demikian sudah sangat terencana. Dimulai dari julukan yang disandang oleh beliau yakni Al Amin jauh sebelum beliau menerima wahyu. Nampaknya satu hal yang penting diajarkan ialah untuk menjadi manusia sepenuhnya bukan karena menerima wahyunya tetapi proses pertumbuhannya tidak terlalu jauh dari realitas sehari-hari. Berdagang misalnya, maka bukan hanya sekedar berdagang namun juga harus mengerti intinya berdagang yakni manajemen resiko.

Seseorang yang bisa mengelola sesuatu dengan perhitungan meminimalkan resiko sebenarnya sesuatu yang lumrah. Tetapi sering luput oleh kita dikarenakan pola pengenalan Al Qur’an kepada kita nampaknya tidak pernah masuk pada wilayah tadabbur.Menurut Pak As’ad yang diperintahkan kepada kita ialah afala tadabbarunal qur’an. Sedangkan tentang tafsir yang perlu kita pahami bahwa sebaik-baik penafsir ialah Allah itu sendiri.Pernah ketika berdikusi dengan Syekh Nursamad Kamba, bahwa ketika bertadabbur maka sudah tidak terikat tata bahasa asalkan outputnya kemanfaatan dan tidak pula dipaksakan kepada orang lain.Sederhana saja, ketika membicarakan khamr dan maysir. Pandangan kita khamr tidak jauh dari minuman keras, sedangkan maysir tidak jauh dari kartu. Jika pengertian judi ialah tentang mengundi nasib, maka bukankah kita dalam hidup hanya berkutat soal mengundi nasib saja? Papar Pak As’ad melempar wacana.Khamr, diartikan sesuatu yang membingungkan dan dalam Al Qur’an diperintahkan pada kita untuk menjauhinya.

Seperti dalam QS Al Ma’idah ayat 90 yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah :90)

Dan dipertegas lagi pada ayat berikutnya yang berbunyi, “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). ” (QS. Al-Ma’idah :91)

Sebuah permisalan, ketika kita berada di sebuah kota yang baru pertama kita datangi pasti kita akan kebingungan. Maka harus kita “jauhi” dengan mengambil jarak, mempelajari informasinya sehingga ketika kita memasuki kota tersebut sudah terdapat gambaran.Mengapa khamr dipasangkan dengan maysir?Sesuatu yang kita lakukan tanpa perhitungan, tanpa analogi maka sesungguhnya itu judi. Berarti itu berlaku kepada apapun. Dalam mencari ilmu, bekerja atau apapun harus ada perhitungannya dahulu meskipun tidak terlalu banyak perhitungan juga. Tetapi minimal harus ada gambaran dasar. Seakan sudah “setor” pada Allah bahwa kita sudah berpikir sehingga kita terhindarkan status dari khamr dan maysir.

Suluk Surakartan kemarin mengambil tema satu banding sebelas berawal dari uraian Mbah Nun ketika halal bihalal di sebuah perguruan tinggi. Maksudnya ialah di dalam 12 bulan terdapat 1 bulan training yakni bulan puasa, dan seharusnya 11 bulan yang lain menjadi bentuk realitas dari puasa kita selama satu bulan. Kita tahu pada bulan puasa tidak memakan dan meminum sesuatu yang sebenarnya halal. Tetapi mengapa hal itu tidak diperbolehkan?Sesungguhnya dalam seseorang bekerja juga isinya hanya demikian. Yakni tidak mengeluarkan untuk sesuatu yang sebenarnya halal-halal saja namun tidak dilakukan sebab lebih menghitung prioritas.

Sedikit bercerita Pak As’ad ketika berada di dalam ruangan ketika Mocopat Syafa’at. Ada seseorang yang mengajukan pertanyaan tentang kunci sukses. Dengan canda beliau mengatakan bahwa tidak bisa menjawabnya.Namun tentang sukses itu sendiri kita pun rancu. Tergambar secara sederhana orang sukses adalah orang dengan mobil baru, uang banyak, tidak punya hutang, tagihan lancar, bahkan ingin membeli apapun bisa meskipun kredit.Padahal itu hanyalah daun, bunga dan buah tetapi sesungguhnya kita tidak pernah mencermati bahwa itu adalah hasil dari sebuah pertumbuhan. Jika kita membicarakan pertumbuhan maka kita semua adalah tanaman-tanaman tetapi tidak sama maka berbeda pula cara pengukuran kesuksesannya tinggal dikembalikan saja pada kesadaran dirimu.

Kembali pada manajemen resiko satu banding sebelas. Ketika itu pula ada fenomena MK, Solo-Jogja, juga anjloknya harga ayam hingga dibagikan secara gratis. Hampir berlaku di semua wilayah Islam Jawa bahwa sesuatu berjalan dengan gebyar lalu setelah itu anyep. Seperti berpuasa maka gebyarnya hanya di awal-awal ramadhan saja dengan munculnya banyak quote, kata mutiara, kajian hikmah, kultum dlsb dan di akhir ramadhan menangis dimana konon dahulu kanjeng nabi menangis ketika ditinggalkan bulan ramadhan.Sesungguhnya yang kita perlu renungkan ialah bahwa banyak dari sekian peristiwa tidak kita pelajari.

Fenomena harga ayam potong anjlok sudah pernah terjadi ketika era 70an. Bapak dari Pak As’ad ketika itu sudah memiliki peternakan dengan ribuan ayam sehingga sudah sangat familiar dengan perusahaan pokphan. Perbedaannya dengan kita saat ini mengapa menjadi sangat terasa ialah kita selalu kalah dalam beberapa medan karena kita tidak pernah melakukan beberapa evaluasi tadi. Sedangkan orang yahudi pun mereka belajar dan melakukan strategi jangka pendek, menengah dan panjang jauh sebelum Nabi berhijrah tentang apa yang ditanamkan oleh nabi di Yastrib.Segala sesuatu yang kita lakukan harus ada perhitungan. Ada rencana pendek, menengah dan panjang. Ini semua yang tidak pernah kita lakukan.

Coba kita tengok di Bali. Mengapa sedemikian terjaga juga dengan angka kriminalitas cenderung minim. Sebab mereka dikenalkan tentang dosa secara lebih nyata yang disebut dengan karma. Tetapi dalam pandangan cendekia agama hanya dikatakan bahwa ngapusi dosa, korupsi dosa, zina dosa. Sebenarnya apa ukuran dosa? Meter? Kubik? Bulan? Atau tahun?Sehingga dosa seakan seperti ilusi, maka orang melanggar pun dengan begitu mudahnya sebab tidak ada perhitungan yang jelas. Sementara tidak mungkin bahwa suatu ajaran yang datang dari Tuhan yang menguasai semua keilmuan tidak memberikan deskripsi yang jelas.

Seperti orang berhaji. Orang musyrik dilarang pergi haji, sementara tidak boleh menuding orang lain musyrik. Lalu bagaimana untuk melakukan pelarangan? Sementara berhaji merupakan sesuatu yang bersifat material, jelas visa nya, pintu masuknya, naik pesawatnya dll. Lalu bentuk pelarangannya berstandar sesuatu yang tidak boleh menyalahkan orang lain. Maka apakah sebenarnya musyrik itu?

Di dalam QS Ar Ruum terdapat sesuatu penggambaran yang bisa kita cermati. Musyrik atau menyekutukan Tuhan menurut Pak As’ad ialah seseorang yang meninggalkan partnership dan merasa mampu melakukan segala sesuatunya sendiri. Padahal apa yang diciptakan Tuhan pasti dualitas dan berpasangan. Begitu juga kita di Maiyah. Jika mengatakan di dalam Maiyah itu cair maka juga harus percaya bahwa di dalam Maiyah ada sesuatu yang padat. Berarti ada yang musyawarah dan ada yang tidak musyawarah, ada yang hirarkis ada pula yang tidak.

Mencermati surat An Nahl, jelas bahwa satu-satunya hewan yang diberi wahyu ialah lebah. Dan jelas dikatakan bahwa lebah membuat sarang di bukit-bukit dan di pohon-pohon. Di rumah Pak As’ad terdapat tawon jenis lanceng. Tawon lanceng memiliki manajemen yang luar biasa yakni memisahkan kotoran, lilin dan madu.

Kembali pada pondok tahfidz yang akan dibentuk maka menjadi tambahan “tanggung jawab” bagi Mas Agus untuk menginisiasi. Sebab di Maiyah sudah sepakat untuk bertadabbur. Padahal kunci berkembang dalam hal perekonomian atau apapun maka tidak ada jalan lain selain tadabbur. Lepaskan segala standarisasi yang telah ditanamkan pada kita dan bikin standarisasi sendiri. Kita mengenal orang Jawa dulu, kita mengenal Nabi Muhammad. Hampir setiap benda diberi nama untuk apa? Yakni standarisasi. Hampir di setiap negara industri pasti memiliki standarisasi sendiri. Ada standarisasi teknologi dll untuk berdaulat pada sesuatu yang diyakini.Pahami Al Qur’an dengan tadabbur realitas kehidupan sehari-hari. Ketika kita yakin pada dualitas yang diciptakan Tuhan maka tidak mungkin Tuhan hanya membicarakan langit di sana.Kembali pada An Nahl, jika kita perhatikan lebah seperti profil orang-orang yang melakukan industrialisasi sendiri secara personal. Mereka mengolah putik bunga di dalam dirinya sendiri dan keluar menjadi madu. Hubungannya dengan kerumunan ialah, kerumunan yang paling baik ialah kerumunan lebah. Masyarakat lebah tidak pernah ngomong saja tetapi terus berproduksi.

Masyarakat lebah juga merupakan masyarakat yang sangat hirarkis, menjalankan langsung perintah yang bersifat top down. Jika kita mencoba melihat China sebagai raksasa yang luar biasa, maka dapat pula kita lihat penanaman kepatuhan yang luar biasa dari pemimpinnya untuk rakyatnya. Pemimpinnya mengatur semua lini kehidupan sampai hal terkecil sekalipun. Contoh kecil ketika membeli barang yang sangat murah pun bisa diantar sampai depan rumah tanpa ongkos kirim. Disana tidak ada kekayaan pribadi tanpa adanya acuan kemanfaatan bersama.Demikan halnya dengan Iran. Negara yang sudah diembargo bertahun-tahun lamanya namun masih bisa tetap eksis. Setiap jajaran masyarakat tahu diri. Jika dia adalah karyawan maka hanya menjalankan perintah tanpa banyak bertanya. Entah disuruh menanam apa, membersihkan apa namun jelas kemanfaatannya. Hal ini yang dilakoni Kiai-Kiai sepuh jaman dulu.Metode demikian sangat cocok untuk dikembangkan di pondok, asalkan visi Kiai nya jelas. Bagai negara “China kecil” atau “Iran kecil” menurut Pak As’ad.

Uraian Pak As’ad ini kemudian disambung dengan tanggapan oleh Mas Sabrang. Menurut Mas Sabrang, meskipun negara China bisa menjadi salah satu protipe berkomunitas, namun ada hal yang boleh jadi menjadi PR bersama yakni tidak seperti China maupun seperti Iran melainkan seperti lebah yang seolah meletakkan kepemimpan dalam standar hirarki abdi dan Tuhan. Selengkapnya nantikan bagian berikutnya.

 

 

Andhika Hendryawan

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– MANUSIA –

Kemudian Mas Aniq diminta untuk urun roso tentang tema malam hari ini. Menurut Mas Aniq, mengelaborasi tentang lebah juga merupakan hal yang tidak mudah. Namun dicoba untuk sedikit menguruni cuplikan-cuplikan.Melihat lebah ada satu kata yang terwakili yakni kerumunan yang membawa manfaat. Berkumpul, membuat rumah lalu menghasilkan madu yang bermanfaat. Sebagai salah satu miniatur ciptaan Allah dapat menjadi ibroh untuk manusia. Ketika manusia berkerumun apakah membawa manfaat atau tidak. Ketika menjadi kerumunan, komunitas, atau publik kita sebut apakah akan menjadi publik yang bermanfaat atau tidak. Maka kerumunan manusia di dalam Al Qur’an disebut An Nas. Di dalam Al Qur’an pula juga terdapat manusia yang bermacam-macam. Ada yang disebut Al Anam, Al Basyar, Al Waro, Al Bariyah, dan Al Insan. Bentuk jamak untuk mewakili semuanya disebut An Nas. Menurut pandangan Mas Aniq, Al Anam merupakan manusia yang dilihat dari segi biologis. Misalkan manusia membutuhkan sandang, pangan dan papan. Membutuhkan asupan raga seperti makan, minum, tidur dll.

 

     Al Basyar merupakan manusia yang dilihat dari sosiologis atau bebrayan. Al Basyar bisa diartikan menumbuhkan kegembiraan, kebahagiaan. Maka kanjeng nabi disebut khoirul basyar. Nabi Muhammad merupakan sebaik-baik manusia yang menumbuhkan kebahagiaan, kegembiraan dan bebrayan yang baik. Seperti ketika di pondok ketika seorang santri memberikan sesuatu maka disebut gisyaroh, atau aweh bebungah (membagikan sesuatu untuk kegembiraan orang lain).

 

     Al Waro. Manusia yang dilihat dari sisi psikologis. Apakah seseorang mampu memotivasi, menumbuhkan jiwanya atau tidak.

 

     Al Bariyah, manusia yang dipandang dari segi intelektualitas. Dalam An Nahl terdapat beberapa pokok pemikiran misalkan tadzakkarun. Alladzikri ialah orang-orang yang dititipi “dokumen-dokumen keilahian”, mereka mampu menangkap realitas, atau apapun tajalli Allah masuk ke dalam frekuensi dirinya. Ada yang namanya gelombang pemahaman. Maka di Al Qur’an tertulis, jika ingin bertanya maka bertanyalah pada Alladzikri. Fas’alu alladzikri in kuntum la ta’lamun. File rohani yang paling penting ialah yang berhubungan dengan Allah, maka waladzikrullahiakbar.

Apapun yang berhubungan dengan realitas maka puncaknya adalah Allah. Dalam sangkan paraning dumadi, maka dumadinya adalah Allah. Allah sendiri pun realitas meskipun tak bisa dilihat, dibayangkan dll. Tan keno kinoyo sopo, tan keno kinoyo ngopo. Maka dalam Al Ikhlas, qul huallahu ahad. Hu sebagai simbol yang tidak tampak dan tidak terdefinisikan. Karena jika terdefinisikan maka akan menjadi terbatas. Maka jangan terpaku pada sebuah definisi. Tetapi untuk mempermudah maka disebut ahad dan shomad. Dia yang tunggal dan mengisi ruang, yang mampu memasuki ruang-ruang kejiwaan dalam diri manusia. Berasal dari kata wallahu, atau zat yang menghenyakkan (semacam terkejut).

 

     Al Insan. Manusia yang dipandang dari segi spiritualitas. Terdapat daya spiritualitas untuk menuju sangkan paraning dumadi.

Ketika berkumpul dari kesemuanya maka jadilah An Nas yakni perkumpulan dari individu-individu. Setiap kerumunan bisa berdampak positif ataupun negatif. Bisa bermanfaat ataupun sebaliknya. Apakah perkumpulan tersebut berjenis kehambaan waro, insan, bariyah atau anam atau tidak menjadi penting untuk diidentifikasi. Gejala seperti ini sudah berlangsung sejak jaman Nabi Adam. Di jaman nabi Musa terdapat tiga lawan. Fir’aun, Haman dan Qarun. Nabi Musa juga memiliki partner yakni Nabi Harun dan Nabi Khidlir. Nabi Harun merupakan Nabi yang lihai berdiplomasi. Nabi Khidlir melawan Qarun dengan konsep gotong-royongnya. Ketika rakyat menggunakan konsep ekonomi gotong-royong maka Qarun akan lenyap sendiri dengan hartanya. Inilah pentingnya menjadi kerumunan yang baik. Kerumunan lebah yang menghasilkan madu. Madu yang diperas dari rumah atau sarangnya. Menurut Mas Aniq maka akan menjadi wal Asr atau sebuah perasan. Maka jika manusia menjadi sari maka menjadi manusia yang baik, dan rugi jika hanya menjadi manusia ampas.

Maka belajarlah menjadi kerumunan Nas yang berdampak positif. Bahkan dalam surat An Nas, untuk menangani manusia harus menggunakan tiga potensi Allah. Robbun, Malik dan Illah. Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut berkahnya bumi kecuali ada orang yang dhalim. Jika ada kedhaliman yang terstruktur dan kesalehan yang tidak terstruktur maka kalahlah kesalehan. Jika sel-sel kesalehan tidak dirangkai secara struktur maka akan kalah dengan kedzaliman yang terstruktur.

 

 

Andhika Hedryawan

SENGKUD

Tahun 2019 menjadi sedikit berbeda untuk rutinitas Majlis gugurgunung. Dimana biasanya muncul sebuah tema untuk didiskusikan secara mendalam, namun tahun ini Majlis gugurgunung bersama-sama untuk berusaha menghasilkan sebuah produk nyata. Sesuatu produk yang bisa lebih dirasakan kemanfaatannya, baik untuk yang melingkar di dalam majlisan dan semoga dirasakan pula oleh masyarakat. Baik dalam bentuk satu produk bersama ataupun produk dari masing-masing sedulur yang nantinya akan diperkenalkan nama dan jenis produknya, disampaikan beberapa kendala yang dialami serta dirembug beberapa alternatif solusi pemecahan.

 

Tanggal 26 Januari 2019, malam minggu terakhir di kediaman Mas Mundari salah seorang sesepuh di Majlis gugurgunung menjadi waktu dan tempat digelarnya rutinitas kegiatan. Dengan tema Sengkud yang berarti cekat-ceket ditandangi atau dalam bahasa indonesia yakni dilakukan segera mungkin. Sengkud, secara tersurat berarti srempeng, cekat-ceket, disegerakan. Secara tersirat yakni sesungguhnya kita sedang akan membangun pondasi peradaban, diantaranya :

 

Adab Bebrayan

Adab Sinau Bareng

 

Sengkud merupakan perilaku yang terlatih terus menerus dalam kurun waktu yang panjang hingga terbiasa, lalu terbentuklah kebiasaan yg cekat-ceket, srempeng, dsb. Prosesnya membutuhkan teknologi mutakhir yang bernama kesabaran. Lambaran utamanya adalah Rasa Kamanungsan, karena aset utama Manusia adalah Rasa Kamanungsan. Sengkud sendiri masih sejalan dengan program dari Maiyah cluster subregion (Paradesa Ken Sengkud) yang menjadi hasil saat Silatnas 2018 lalu di Surabaya.

Kisaran pukul 21.00 WIB dimulai seperti biasa yakni pembukaan, lalu pembacaan do’a wasilah serta munajat Maiyah. Kloso utami menjadi bahasan awal yang menarik untuk dirembug. Dimana ini akan menjadi salah satu produk yang akan coba dijalankan oleh Majlis gugurgunung. Sebuah matras yang terbuat dari beberapa bahan kering seperti pelepah batang pisang, eceng gondok serta jerami.

pembacaan do’a wasilah serta munajat Maiyah

Mas Anjar mempresentasikan produk berupa wi-fi RTRW

Pemaparan berikutnya yakni dari Mas Anjar dkk yang menggeluti sebuah produk berupa wi-fi RTRW. Yakni menyalurkan sinyal wi-fi ke wilayah pedesaan untuk mempermudah masyarakat desa dalam mengakses internet. Tak bisa dipungkiri bahwa internet sekarang menjadi sarana komunikasi yang tenar dipakai oleh masyarakat luas. Sebab memang penggunaan komunikasi internal alias tanpa alat bantu eksternal sekarang sangat sulit untuk dilakukan. Alih-alih memburu kemudahan namun dalam pada itu dibersamai pula dengan kesulitan. Namun tetap program wi-fi RTRW ini mendapat apresiasi yang baik bahkan sedulur-sedulur gugurgunung sendiri turut menantikan produk tersebut dapat dipraktekkan sebab malam itu belum dapat dilaksanakan.

Lanjut pada pemaparan berikutnya dari Pak Zamroni, keluarga Majlis gugurgunung yang berdomisili di  Kendal, meski tinggal di Kendal namun keberadaan Pak Zamroni tak pernah terasa jauh sebab dekat di hati. Beliau pun merupakan salah satu sesepuh di majlis gugurgunung. Beliau menyampaikan bahwa ada seorang pakar teknologi yang telah membuat penemuan alat yang mengubah bahan baku plastik menjadi bahan bakar terendah yakni solar. Pakar teknologi tersebut juga sudah memiliki kedekatan secara personal dengan Majlis gugurgunung, namun malam ini sedang berhalangan hadir. Sebuah alat yang sangat memberi gambaran kemanfaatan yang luar biasa, namun juga beberapa kendala terkait regulasi yang turut serta.

Selain alat tersebut ada pula sebuah alat untuk membuat balok-balok es dengan biaya yang lebih rendah sebab menggunakan teknologi sederhana. Alat tersebut juga besar kemungkinan untuk bermanfaat pada masyarakat wilayah pesisir utamanya nelayan yang membutuhkan es balok untuk proses pengolahan ikan. Senada dengan ungkapan Mas Agus dimana sedulur-sedulur Maiyah di Brebes yang mampu mengubah sampah-sampah plastik menjadi biji plastik baru. Hal ini menjadi harapan yang besar dalam pemberdayaan masyarakat serta perbaikan kondisi lingkungan.

Malam ini seperti karunia yang benar karena para sesepuh gugurgunung dari berbagai daerah turut berkenan membersamai majlis, selain Pak Zam dari Kendal, hadir pula Mas Bayu dari Yogyakarta. Mas Bayu yang juga diminta oleh Mas Kasno yang malam ini menjadi moderator bersama Mas Chafid. Beliau mengungkapkan beberapa hal tentang adab. Dimana setiap wilayah pasti memiliki adabnya masing-masing, dan adab untuk belajar yakni nglesot, tidak merasa bisa juga tidak merasa memiliki agar ilmu dapat tertuang dengan baik. Adab untuk bebrayan, ra seneng diapusi ojo ngapusi, ra seneng dilarani ojo ngelarani (tidak senang dibohongi ya jangan membohongi, tidak senang disakiti ya jangan menyakiti). Setiap usaha apapun dilambari dengan adab yang baik agar tercipta sambungan persaudaraan yang baik pula.

Mas Agus menambahkan bahwa semua perlu pembelajaran tentang adab yang baik, sebab dampaknya adalah pada sebuah peradaban yang baik pula. Hal tersebut yang menjadi bagian dari landasan yang akan kita bawa menuju periode berikutnya.

Mas Agus merespon yang sedang bergulir dalam diskusi malam ini

 

Koperasi

Mas Agus tertarik pada prinsip koperasi. Bukan semata pada angka-angka keuntungan yang diperoleh namun lebih kepada pembelajaran tentang gotong royong di dalamnya. Ditambahkan pula oleh Mas Bayu tentang koperasi, dapat dibagi menjadi produsen, konsumen dan perintis agar dapat dilaksanakan bersama. Semua hal didasarkan pada kekeluargaan, dimana rentan goyah sebab banyak ujian di dalamnya yang senantiasa membutuhkan kehati-hatian dalam proses perjalanannya. Lanjut Mas Bayu tentang konsep Baitul Mal yang mungkin nantinya dapat dijalankan. Segala pengelolaan sekian persen pemasukan serta pengeluaran, dikelola disana. Bukan sekedar bertujuan untuk menumpuk harta yang tampah WAH. Jangan sampai tergoda “WAH” sebab hanya akan menjadi “uWUH”.

Kemudian Mas Mundari yang memiliki angan tentang peternakan unggas yang dipresentasikan secara jelas, runtut, gamblang dan apik. Kami semua berharap bahwa gagasan tersebut akan segera terlaksana paling tidak pada bulan ke-lima tahun ini.

Masih tersambung dengan peternakan, Mas Kasno meminta pada Mas Dhika yang malam itu diminta oleh Mas Kasno menceritakan progres serta kendala dalam perjalanan Setyaki Farm, sebuah peternakan ayam kampung dengan pakan organik. Kendala besar masih pada kandang ayam yang beberapa waktu lalu didatangi banjir sehingga merendam telur-telur yang sedang dierami. Langkah antisipasi yang kurang, ditambah banjir kiriman serta curah hujan yang memang tinggi saat itu. Meskipun hanya dalam hitungan jam namun membuat beberapa butir telur gagal untuk menetas dan harus menunggu periode bertelur berikutnya. Sehingga dari segi jumlah kurang begitu meningkat secara signifikan. Namun satu langkah antisipasi sudah dilaksanakan yakni memindahkan kandang pengeraman diletakkan di tanah yang lebih tinggi. Selain itu terkendala pula masalah teamwork yang disampaikan pula oleh Mas Dhika.

Mas Agus kembali menyampaikan terkait beberapa usaha yang dijalankan. Yakni setiap proses yang tidak berhasil bukannya tidak menghasilkan. Namun ada hasil pembelajaran yang didapatkan dalam proses kegagalan tersebut. Orang yang berhasil adalah orang yang mampu menyerap sebanyak-banyak ilmu ke dalam dirinya sehingga ia menjadi makin terhindar pada kesulitan. Kegagalan, kesulitan, dan sejenisnya sesungguhnya merupakan makanan ruhani yang saripatinya menjadikan penyantapnya mendapatkan sel-sel kemudahan yang baru.

Manusia sebagai khalifah fil ardh dan ahsani takwim

Aset utama manusia adalah rasa kemanusiaan (rasa kamanungsan). Dalam hal apapun di bumi ini, rasa kamanungsan yang lebih tinggi dibanding lainnya akan memberikan peluang bagi akhlak untuk mendapatkan tempat lebih baik untuk menampilkan dirinya. Pada peristiwa hukum, rasa kemanusiaanakan meletakkan supremasi hukum dibawah supremasi keadilan, keadilan posisinya lebih tinggi dari hukum.

Pada peristiwa tanding, rasa kamanungsan akan menyadarkan hidup adalah sendau gurau belaka. Tanding masih di bawah nalar tenggang rasa dan tepo sariro, derajat kemenangan diri masih dibawah derajat kemenangan sosial. Pada peristiwa perdagangan, rasa kamanungsan akan menyadarkan bahwa keuntungan masih di bawah nilai kejujuran. Kejujuran lebih tinggi levelnya dibanding keuntungan. Sehingga keuntungan materi yang merugikan kejujuran adalah kerugian besar.

Dalam peristiwa penghambaan, rasa kamanungsan akan mengkhalifahi bumi bukan menyembahnya. Mengkhalifahi bumi adalah menghormati dan menjaga kecantikan luar dalam bumi. Sedangkan minimnya rasa kamanungsan akan meletakkan bumi sebagai budak rendah yang bebas dieksploitasi dan dikuras potensinya sampai sakit-sakitan. Akibat makin tipisnya aset kemanusiaan berupa rasa kamanungsan, niscaya akan meningkatkan kualitas keserakahan, kerakusan, keterlenaan, kebuasan, keliaran dan lain sebagainya.

Dalam peristiwa apapun di bumi, jika rasa kamanungsan terus terjaga, terolah dan terasah secara makin cemerlang pada kehidupan manusia, maka orang-orang akan berhati-hati dan teliti dalam menjaga keadilan, tenggang rasa, kesadaran nalar, kejujuran dan keteguhan pengabdian. Tiap-tiap individu akan berhenti melakukan hal-hal yang tak perlu berlaku pada dirinya dan memberlakukan hal-hal yang utama sebagai metode menata perilaku ter-utama dalam kehidupannya.

Semoga dalam berdiskusi malam ini mampu memunculkan titik-titik untuk menuju pada tahap-tahap berikutnya dengan setiap bulan senantiasa ada progres yang dapat diceritakan, ataupun kendala yang akan dibagikan. Sekian reportase kali ini, semoga bermanfaat.

 

Andhika H

Desa Purwa

Mukaddimah Maiyah Kalijagan edisi 6 April 2018 dengan tema “Desa Purwa”

Mukaddimah Maiyah Kalijagan edisi 6 April 2018

Wacana mengenai manusia tidak akan selesai sampai manusia diselesaikan oleh Allah. Namun yang perlu dipelajari manusia yakni asal-usulnya, sebagai penanda, pemetaan, penataan, perenungan dan sangu untuk berjalan di kesekarangan dan menuju masa depan. Dari asal-usulnya, manusia akan menemukan kesejatian hidupnya pula, yakni Allah sebagai desa wiwitan, Al Awwalu. Ya, dari desa, peradaban manusia mulai terbentuk oleh tatanan sistem yang telah Allah sabdakan dalam satu kata “Kun” di surat Yaasin.

Dari “Kun”nya Allah, bependarlah cahaya kehidupan, terciptanya makhluk-makhluk, tatanan jagad semesta dan segala ubo rampenya, termasuk desa. Khususnya desa, ada yang menarik untuk kita pelajari. Salah satunya mengenai pilar utamanya, yang pertama adalah spiritual. Kedua: pemikiran, jiwa, ideologi dan pranatan. Ketiganya yakni sandang, pangan, juga papan. Mengenai jalinan dan ikatannya, desa tidak bisa dilepaskan dari tiga subyek: Tuhan, Manusia dan Alam. Dari tiga pilar utama dan subyek jalinan tersebut ada tujuh hal yang tidak bisa kita pisahkan juga. Yakni i am, i feel, i think, i love, i speak, i see, dan i understand dalam konsep cahaya yang utuh dan manunggal. Dan desa yang utuh dan manunggal adalah desa di atas desa, desa yang tidak sekedar gemah ripah loh jinawi (baldatun thoyyibatun), lebih dari itu masyarakatnya mendapat pangapura dari Allah (Rabbun ghofur).

Desa sebagaimana konsep baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur dalam buku “Desa Purwa” disebutnya sebagai Paradesa. Secara linguistik, kata “paradesa” kemudian diadopsi menjadi kata “paradise”(di negara Inggris dan sekitarnya) dan “firdaus”(di negara Arab dan sekitarnya). Jika memang begitu, maka tak mengherankan kalau nuansa yang kita imajinasikan mengenai surga (paradise/firdaus) tidak jauh berbeda dengan nuansa paradesa. Banyak tanaman hidup didukung tanah yang subur, kondisi sandang, pangan dan papan yang makmur, serta masyarakat yang taat pada Sang Ada, Hyang Widi, Arrohman, Allah, Tuhan semesta raya.

Namun apakah hal itu masih bisa kita temukan di tengah penjajahan elit global, konspirasi global atas kapitalisme kerakusan fir’aun raja naga, namrud paman sam? Penggusuran desa demi kemaslahatan perut konglomerat unta, naga dan koboi? Sehingga penduduk paradesa agaknya kelimpungan dan lupa bahwa muasalnya adalah desa, paradesa, firdaus, paradise dan mereka harusnya nanti kembali ke sana. Ada pula masyarakat desa yang rela menyesatkan diri di belantara jalanan kota. Maka selebihnya mengenai desa mari kita diskusikan lebih mendalam, tenang dan mesra sebagaimana nuansa surga yang mengalir sungainya dan tumbuhnya banyak pepohonan dan hidup tentram bersama binatang. Mari pulang kepada keabadian desa sebagaimana tema Kalijagan April 2018, “Desa Purwa” adalah sebuah judul buku yang ditulis mas Agus Wibowo dan diterbitkan Maiyah Gugur Gunung Ungaran.

[Redaksi Kalijagan]

*Sumber: https://www.kalijagan.com/2018/04/02/desa-purwa/

MALIKINNAS ILAHINNAS

Mukadimah – MGG Feb 2018 – MALIKINNAS ILAHINNAS

Mulai dari orang yang satu kemudian berkumpul menjadi orang yang banyak atau bisa disebut kawulowarga, keluarga. Berawal dari diri (wargo) menuju kulowargo (luar diri terdekat), dan menggandeng kulowargo-kulowargo yang lebih luas. Terus bertambah hingga menjadi kumpulan kawulowarga. Secara lebih luas dapat digambarkan sebagai sebuah kerajaan dimana masing-masing saling mengerti ikatannya karena mempunyai galih yang sama. Kerajaan disini mungkin bisa jadi ejawantah dari bebrayan agung dengan prinsipnya yakni memayu hayuning diri, memayu hayuning sasomo, memayu hayuning bawono.

Di dalam sebuah lingkup wilayah kerajaan ada wilayah yang dibebaskan/dimerdekakan dari segala macam pajak, karena di daerah tersebut ada salah satu warga/tokoh yang dianggap mampu untuk ngemong _kulowargo_ wilayah tersebut. Biasanya adalah para satrio pilih tanding atau resi dan wilayahnya bernama daerah Perdikan. Didalam bermaiyah kerap kali dianjurkan supaya kita terus menerus berupaya menjadi Manusia. “Menjadi…., pasangan kata yang paling tepat adalah manusia”.Continue reading