Srawung Eling

Manusia diperkenankan untuk membangun peradaban yang segemilang mungkin. Sehingga munculah berbagai peradaban manusia yang sangat unggul di atas bumi ini. Peradaban ini lantas musnah dan hanya meninggalkan puing-puing sebagai artefak hasil pencapaian peradabannya. Di antara peradaban yang hebat itu ada yang bahkan masih misteri dan tidak dapat dirumuskan oleh manusia sesudahnya. Kisah-kisah itu menjadi contoh bahwa kecanggihan yang dicapai suatu peradaban manusia akan menjadi hanya sekadar bangunan kertas yang diimajinasikan memiliki kecanggihan teknologi. Bangunan ini sangat rapuh dan mudah sekali musnah.

 

Kekuatan bangunan itu apabila disokong oleh rasa kemanusiaan yang tangguh, bening, dan beradab. Ketika kualitas itu pudar, maka pudar pula kualitas produk yang mereka hasilkan. Mereka tidak bisa mengandalkan ilmu yang ilmu itu justru terpakai untuk melupakan yang memiliki dan memberikan ilmu tersebut. Kehebatan ilmu yang dikaruniakan kepada kaum-kaum terdahulu seolah sudah sangat kuat dan tidak terbatas, sehingga sisa ketangguhan dan estetikanya masih bisa bertahan lama dan beberapa dapat disaksikan oleh manusia berabad-abad setelahnya.

 

Bisa jadi manusia selanjutnya iri dengan pencapaian yang dapat diraih pendahulu mereka, namun bisa jadi para pendahulu yang telah dimurkai oleh Allah itu justru mengidamkan atau merindukan kehidupan yang tidak perlu terlalu pandai namun masih memiliki ingatan serta tunduk kepada Tuhan. Ada satu kondisi dimana tidak terlalu pandai menjadi kesadaran motivasi dan ingat akan kelemahan diri, motivasi untuk terus berbenah dan sadar untuk tidak patut bersikap melampaui batas dan bahkan bersikap ingkar.

 

Tahun ini hampir usai dan bulan depan kembali Majlis Gugurgunung melaksanakan Tancep Kayon. Mari kita mengevaluasi diri bersama-sama dengan sinau bareng. Yang masih lemah dan kurang tidak untuk membuat kita ringkih, yang telah tumbuh dan kuat tidak untuk membuat kita angkuh.

DJD Keluarga Majlis gugurgunung

“Bahwa apa yang akan kita mulai malam ini merupakan upaya penetapan diri untuk menjadi pihak yang senatiasa berlindung dan menjaga amanat dari Allah swt. Mungkin sejak mulai besok ada banyak hal yang terus menerus berusaha memojokkan dan mencoreng-moreng muka martabat amanat kita dengan berbagai macam metode dan dukungan-dukungan kekuatan. Kekuatan jaringan, dana, media, bahkan kekuatan militer. Seolah jika ingin aman justru apabila kita menjadi pihak yang oportunis,menjadi pihak yang hura-hura, generasi eiya-eiya, cengengesan, demen pamer, gemar bersolek dan jika perlu menjadi peserta penyimpangan kodrat. Pilihan itu mungkin bukan hanya akan aman namun juga akan dibela atas nama kemanusiaan. Lain halnya yang sedang berusaha menjaga amanat Tuhan yang berusaha menjalin perilaku yang terus bersambung dalam gelombang kenabian, yang memilih amanat, tabligh, sidiq, fathonah, justru bisa saja akan banyak dicerca dengan berbagai ungkapan yang menghasut, penuh fitnah, dan manipulatif”, demikian prakata malam tadi yang menjadi sedikit ungkapan pembuka sebelum dimulainya pelaksnaaan dhawuh Mbah Nun yang termaktub dalam Tajuk DJD.

Tentunya ini menakutkan apabila dibayangkan. Namun, tampaknya kondisi ini tak ubahnya sebagaimana Firman Allah swt yang akan menguji kepada yang mengaku beriman dengan hantu-hantu yang seolah siap mencengkram dalam suasana ketakutan dan tiada pertolongan. Diberikan ketakutan dari sisi lahir, dari sisi pikir, dan juga dari sisi bathin. Oleh sebab demikian perlu kiranya ketakutan ini segera disambungkan dengan suasana bathin yang dialami oleh Nabi Ismail AS. Apabila hantu-hantu dalam pikiran itu lebih dominan dan sehingga gentar dan lari maka tidak akan ada momentum aqrob, quroba, yakni kedekatan hamba dengan Tuhan secara karib. Nabi Ismail menjadi teladan yang mampu menghadapi fitnah karena keyakinannya yang besar kepada kepada Allah dan rasul-Nya, maka martabat Nabi Ismail AS sama sekali bukan binatang ternak atau domba yang digembalakan, melainkan penggembala dan berkedudukan sebagai manusia yang beriman karena sanggup menghadapi ujian yang seolah siap merenggut jiwanya.

Jamaah Maiyah Ungaran, Majlis gugurgunung sudah sejak 10 Muharram melakukan upaya pemindaian diri dan penetapan langkah mengingat telah memasuki tahun hijriah yang baru. Yang hijrah atau tahun perpindahan yang baru. Pada 22 Muharram 1441 H, ada semacam ‘paksaan’ untuk segera melaksanakan peristiwa berlatih menghadapi ketakutan itu dengan cara yang bisa dibilang cukup aneh dan tidak populer di kalangan umum, yakni memberanikan diri memasuki hutan yang sepi dan sendirian dengan hanya bermodal kepasrahan diri atas segala pengamatan dan perlindungan Allah swt.

Hawa takut masih menyelimuti namun untuk lari rasanya malu hati. Hawa was-was sesekali menghinggapi namun untuk takut rasanya tidak lagi memberi kemanfaatan diri. Suasana tentram dalam sunyi dan gelap, menjadi perumpaan pikiran buruk diri yang selama ini keliru memburuk-sangkai bahwa dalam gelap dan sepi itu adalah ngeri yang patut dijauhi bahkan dihindari. Padahal suasana tentram dan khidmat didapat apabila yang nyata bukan produksi pikiran yang menghasut untuk ngeri dan kalau perlu lari menjauh kembali mendekat bersama keramaian yang disangka lebih memberikan jaminan kemananan danmanfaat. Suasana tentram dan khidmat didapat apabila yang nyata adalah ketidak-berdayaan diri namun juga sekaligus keperwiraan untuk berusaha berjuang mendekatkan diri lahir dan bathin, maka yang nyata kemudian adalah perlindungan, pengawasan, dan segala aspek pertolongan yang dicurahkan Allah dengan besar melalui lahir, pikir, dan bathin pula.

Wirid Akhir Zaman pun pada akhirnya dibacakan pertama kali dengan memilih di tengah hutan. Kali ini bersama-sama, saling menjaga dan mengawasi. Rasa takut itu mungkin berasal dari naluri Dholuman Jahula, yang merasa mampu dan berani menyangga firman Tuhan dengan gagah berani. Padahal semakin merasa gagah justru akan semakin gelisah, semakin merasa berani justru semakin ringkih hati. Tampaknya kepasrahan dan keperwiraan tetap harus bertahan bersamaan. Agar tidak merasa hebat namun juga tidak lantas melarikan diri karena takut secara ironis di tengah suasana menjalani ujian untuk semakin dekat. Wirid Akhir Zaman mengandung do’a berisi kepasrahan dan keperwiraan, Pasrah atas segala kehendak dan karunia kekuatan dari Allah, bahwa hanya Allah saja yang pantas untuk disebut sebagai Tuhan, permohonan Maghfrah dan Kasih Sayang Allah sebagai sebaik-baik Pemberi Rahmat, tentang ketidak-berdayaan apapun dan siapapun tatkala berhadapan dengan firman Allah, hingga pertolongan Allah yang akan mengkaruniakan Kebun yang lebih baik dari kebun-kebun lain yang dipupuk dengan mempersekutukan Allah swt.

Sehingga segala proses hingga dhawuh Sahan melalui Tajuk DJD seolah menjadi penegasan dan penetapan agar semua pihak yang akan merawat kebun baru ini tidak perlu memperpanjang ilusi dengan hantu-hantu peristiwa yang seolah menjadi alasan untuk mundur. Tidak untuk merasa kuat, tidak untuk merasa hebat, tak pula untuk merasa sangar. Semua tidak ada gunanya di hadapan Allah yang memiliki ketentuan. Jika ada penolong maka itu memang benar-benar dari Tuhan bukan dari hantu yang karena ditakuti lantas dianggap sebagai tuhan. Lebur dan pecah dulu diri gunung-gunung diri agar tak menghantui kepasrahan kita kepada Tuhan yang sudah memberikan amanat kebun-kebun Maiyah yang tumbuh dengan keberserahan diri, yang tak mempersekutukan-Nya, yang saling bertalian kasih sayang karena Allah swt. Yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Dimana amanat Tuhan ini disanggupi oleh manusia yang bodoh dan jahul, yang berpotensi berkhianat atas amanat tersebut. Oleh sebab demikian maka amanat Tuhan tak akan mampu disandang oleh seorang manusia pun, kecuali manusia telah mentransformasi dirinya lebur menjadi ayat Allah sendiri, menjadi Firman Allah sendiri. Yakni manusia yang sadar akan potensi dholim dan jahul-nya sehingga sanggup menjadi nol untuk manunggal dalam kehendak Tuhan Yang Maha Suci dan Tiada Ingkar Janji. Dholuman Jahula ‘Dhedhel’, apabila dholuman jahula itu dianggap tidak konstruktif maka harus dhedhel (lepas) agar menjadi konstruktif. Atau jika justru dengan dholuman jahula itu manusia menjadi konstruktif maka tentunya sudah ada formula konversi (converter) agar potensi bahaya yang bisa merubah amanat menjadi produk khianat kelak terhindarkan. Amanatnya adalah menata dan mempercantik, bukan merusak dan mencederai. Wirid Akhir Zaman perlu dihayati dan dirasuk dalam diri, siapa tahu bahwa itulah converter-nya.

DJD, bisa apa saja kepanjangannta dengan pendekatan othak-athik gathuk. Bisa ‘Do’a Jaman Dajjal’ bisa ‘Do’a Jamaah Dunia’, menurut kami sebagai anak-putu Miayah sejak beberapa bulan terakhir sudah diberikan hadiah-hadiah susul menyusul yang sangat indah dan begitu berguna, baik dari Mbah Nun, Marja’ Maiyah, Pak Toto, dan suplemen-suplemen berkelas yang tak cuma lahir namun juga bathin. Betapa teramat sangat kami syukuri. Tadinya tulisan ini berniat merespon tawaran hadiah dengan mengungkapkan atau menterjemahkan kepanjangan DJD. Namun betapa itu menjadi batal dan cukup menjadi tulisan bekti sebagai respon semata. Sebab DJD akan tidak punya kepanjangan apa-apa tanpa dilanjutkan dalam perilaku, sebaliknya maka akan terus ada kepanjangannya yang tiada bertepi jika Jamaah Maiyah senantiasa mempertautkan diri dengan Welas Asih Tuhan dengan saling menopang menjaga amanat dari-Nya.

 

Keluarga Majlis gugurgunung, 21 Oktober 2019

Padhang Pranatan

PADHANG PRANATAN

Tema kali ini diangkat dalam rangka merespon banyak hal. Merespon tentang dhawuh Mbah Nun yang setiap simpul diharapkan membuat workshop dalam rentang Agustus – Oktober. Merespon tentang persambungan dan perkembangan tema Majlis gugurgunung yang semenjak mengangkat tema “Masyarakat Lebah Me-madu” pada bulan-bulan berikutnya seolah tidak terputus dan berkesinambungan sebagai seolah bahasan berseri. Setelah pada bulan kemarin MGG mengupas tema “Laras” yang di dalam bahasannya mencoba mengingat kembali amanat utama kita di dalam hidup dan gol utama dalam hidup dengan merunut jauh zaman per zaman, peradaban demi peradaban sejak sebelum era risalah kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga terus di ujung mula peradaban Nabi Adam AS.

 

Tidak hanya itu, runutan itu juga mempertautkannya dengan sejarah sejak sebelum Nabi Adam belum diturunkan ke muka bumi bahkan racikan-racikan peristiwa yang melatarinya. Pada bulan kemarin masyarakat maiyah Ungaran yang tergandeng dalam keluarga Majlis gugurgunung mencoba membuat penegasan bahwa hidup di dunia ini sangat kompleks dan serius, dan kehadiran para utusan itu untuk membuat yang kompleks itu tertata dan membenderangi keadaan. Maka, betapa perlunya menyambungkan diri secara laras posisi diri kita sekarang dengan sejarah panjang dan serius alasan kita diciptakan.

 

Berikutnya, yakni pada bulan ini. Majlis gugurgunung mencoba mengupas makna Negeri. Apakah negeri itu adalah teritori kecil? suatu bangsa yang didiami oleh sedikit keragaman? atau sebuah kawasan nilai yang dipenduduki manusia-manusia yang menjaga nilai? Sebab, apabila sebelumnya paham tentang sejarah penciptaan kita maka selanjutnya perlu memahami tugas dan peran yang perlu dirintis dijalankan dan dibangun dengan semangat menggapai suatu penataan yang berpendar cahaya Rahmat Allah swt. Dengan demikian bulan Sepetember 2019 ini ditemukanlah tema tentang penataan, yakni: PADHANG PRANATAN.

 

Secara Bahasa, Padhang mengandung arti : Terbentang Cerah, Terang, Bersih. Sedangkan Pranatan mengandung arti : sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat; institusi. Pranatan juga mempunyai arti lain, yaitu: Pemikiran, Jiwa, Ideologi. Inti struktur pranatan adalah, menjelitakan alam semesta yang telah cantik, memayu hayuning bawana.

 

Menghubungkan masa silam dengan masa sekarang untuk masa yang akan datang adalah metodologi penyusuran silah yang kami yakini. Amsalnya demikian, bijih suatu tumbuhan menampung dan merekam segala rentetan peristiwa tumbuh kembang yg dialami induknya. Menyimpan seluruh karakter dan identitas dominan dari tumbuhan induknya. Sehingga untuk siklus atau proses kehidupan selanjutnya, bijih yang dijadikan sebagai benih tersebut ketika ditanam akan tumbuh sebagaimana induknya tumbuh. Akar, batang, daun, bunga, buah, wanginya bunga, manisnya buah, dan seterusnya dan seterusnya sampai ke bijih lagi akan mempunyai karakter yang relatif sama. Kecuali ada unsur lain dari luar yang sengaja memutus rantai siklus, misalnya dengan cara mencemari nutrisi asupannya, mencemari media tanamnya, dan lain-lain yang kemudian benih menjadi rusak, sehingga tidak dapat meneruskan karakter Induknya pada siklus kehidupan selanjutnya. Manusia  merupakan komponen penting atas terbentuknya sebuah pranatan. Mari mengembarai diri melalui salah satu pintu ini,

 

“Jangan melakukan apapun diluar jalur kenabian,”. Sebuah dhawuh dari Mbah Nun yang disampaikan pada gelaran sinau bareng di Kudus pada awal bulan September 2019 ini. Sefrekwensi dengan Diagram Pemetaan Dasar Peradaban, yang telah diangkat menjadi materi Workshop sinau bareng gugurgunungan bulan Agustus lalu. Yang didalamnya menggambarkan runtutan peradaban Manusia yang padanya mempunyai dua fenomena jalur pengembaraan yaitu Jalur Ahsani Takwim dan Jalur Asfala Safilin. Jalur-jalur peradaban sejak peradaban Nabi Adam AS sampai dengan Nabi Muhammad SAW, atau sejak Peradaban At Tin – Peradaban Zaitun – Peradaban Sinai – Sampai ke Peradaban Al Balad Al Amiin.

 

Selanjutnya membangun kesadaran untuk kian memahami pranatan yang sejak awal dibangun untuk diterapkan hingga akhir zaman. Perubahan pranatan secara fisik memang pasti terjadi, namun konsep utamanya harus terus dipertahankan, sebagai bagian dari memperjuangkan Sunatullah. Pengetahuan leluhur yang adilihung memberangkatkan peradaban dengan keindahan, kabaikan, dan kebenaran, sebagai konsep Dasar ciptaan Tuhan. Konsep Dasar sebagai unsur spiritual. Sandang, pangan, papan senantiasa diupayakan dan dibangun dengan mengacu pada tatanan paugeran spiritual.

 

Pintu selanjutnya adalah,

Beberapa pertanyaan Mbah Nun yang tertulis dalam seri tulisan RAHMATAN LIL-BILAD. Demikian,

  1. Apakah Rahmatan Lil’alamin dengan sendirinya sama dan sebangun dengan perjuangan nasional keIndonesiaan? Apakah skala dan hak serta kewajiban Nasionalisme Indonesia otomatis adalah skala dan hak dan kewajiban Rahmatan Lil’alamin?
  2. Eksistensi dan perjuangan hidup sebagai warganegara Indonesia apakah merupakan perwujudan langsung dari tugas penciptaan Rahmatan Lil’alamin?
  3. Kalau prinsip dan praktek NKRI sendiri tidak berangkat dari prinsip Rahmatan Lil’alamin, maka bagaimana memaknai posisi Jamaah Maiyah antara Khalifah Allah dengan warganegara Indonesia?
  4. Jamaah Maiyah Sinau Bareng terus apakah Rahmatan Lil’alamin identik dengan Rahmatan Lil Bilad, Lil Balad, Lil Buldan atau Lil Baldah?

 

Kemudian, Pertanyaan ini mengantarkan kami pada tadabur tentang :

 

Ummul Qura, dimana terdapat sosok terpuji yang bergelar Ummi. Pada sebuah padang mulia, saking mulianya pada padang tersebut rumputpun dilarang untuk dicabut, dilarang membunuh, dilarang menganiaya, siapa saja yang berada pada padang mulia tersebut harus dijamin Aman. Juga padang yang menjadi saksi atas perjuangan Kanjeng Nabi yang begitu Terjal. Tentang nila-nilai kemanusiaan yang menganjurkan untuk mengasihi anak yatim dan orang-orang lapar serta fakir-miskin, memerdekaan/membebaskan budak, perjuangan manusia yang susah-payah, saling nasihat menasihati dalam hal kesabaran dan kasih sayang.

 

Allah SAW berfirman, QS. Al Balad ayat 1

 

 

 

Aku bersumpah dengan Negeri ini

 

Selanjutnya, mari melingkar, bareng bareng mentadaburi QS. Al Balad. Untuk menemukan jawaban-jawaban atau bahkan rumusan-rumusan untuk menuju kembali pada Al Balad Al Aamiin, selaras dengan perkenan Allah SWT. Aamiin

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– HUKUM KERUMUNAN, HUKUM TUHAN –

Mas Kasno kemudian mengajukan pertanyaan kepada Mas Sabrang. Jika sedang melingkar dapat diartikan sebagai kerumunan lebah, lalu bagaimana maksud melingkar ke dalam dan melingkar keluar seperti yang pernah diucapkan Mas Sabrang ketika workshop di Semarang yang kala itu dipanitiai oleh Mas Yunan dkk yang kebetulan juga hadir malam ini. Kemudian akan dijawab oleh Mas Sabrang namun tidak langsung kesana. Sebab menurut beliau ada sesuatu yang krusial untuk direspon, sebab tadabbur Mas Sabrang tak dikira sampai ke pembahasan ini namun karena “pintu”nya masuk kesana jadi alangkah lebih baik untuk direspon dahulu. Secara analogi paralel, apa yang diajarkan oleh sistem lebah justru lebih mendekat ke arah “komunisme”. Tetapi ada juga perbedaannya.

Komunisme juga merupakan salah satu hasil tadabburnya manusia. Kemudian Mas Sabrang mengajak untuk menganalisa terlebih dahulu. Untuk menjadi bermanfaat maka syarat pertama ialah surplus komoditi dan akan menghasilkan manfaat. Bagaimanakah untuk menjadi surplus? ialah kerja sama yang tertata rapi. Untuk mencapai kerja sama yang tertata maka paling mudah ialah dengan dipaksa dan kedua ialah sukarela.

Antara manusia dan hewan menurut Mas Sabrang bahwa hewan mereaksi sebuah kejadian sedangkan manusia mestinya merespon kejadian bukan bereaksi. Kemudian Mas Sabrang memaparkan perbedaan antara reaksi dan respon. Reaksi dilakukan secara langsung tanpa berpikir, sedangkan respon dilakukan dengan cara diserap dan dipelajari terlebih dahulu.

Di awal dikatakan oleh Mas Sabrang bahwa lebah menerima wahyu. Sebab tidak mungkin menata lebah sedemikian rupa dengan menggunakan konsep ketakutan. Lebah pekerja berangkat pagi dan pulang sore, jika tak dilakukannya maka tidak ada pula yang menghukumnya. Lalu sebenarnya apakah yang membuat mereka berbuat demikian. Sebab lebah mereaksi, maka harus ditanamkan pada dirinya tentang apa yang mesti dilakukan.

Mas Sabrang memang tidak mempelajari lebah, yang dipelajarinya adalah semut. Tapi ada satu persamaannya yakni kerumunan, sebab dengan adanya kerumunan maka akan menghasilkan surplus. Semut juga hampir sama. Tidak ada menteri tenaga kerja disana, namun semua mengerjakan sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

Mereka hanya menjalankan peraturan sederhana yang kemudian menghasilkan kepandaian yang lebih tinggi. Menurut pengalaman Mas Sabrang, di semut ada beberapa peraturan sederhana. Pertama yakni mau bersilaturahmi terbukti setiap semut bertemu pasti bersalaman dan yang kedua ialah berani untuk menjadi. Setiap bersalaman maka semut akan mendapat data. Misalkan sudah bersalaman sejumlah berapa kali kok tidak bertemu semut tentara maka ia akan menjadi semut tentara. Atau sudah bersalaman berkali-kali kok tidak bertemu semut pekerja maka ia akan menjadi semut pekerja.

Hanya dua hal yang dijalankan namun menjadi kerumunan dengan sistem yang sangat rapi, sebab mereka hanya bereaksi. Mesin reaksi ditanamkan dalam sistem biologi. Demikian halnya dengan lebah, meskipun pada lebah terjadi sistem yang lebih kompleks lagi. Mereka bisa menemukan lokasi bunga berjarak 100 meter tanpa berbicara, tanpa internet apalagi sosmed. Cara tersebut sudah mereka miliki sejak lahir, meskipun dalam sebuah penelitian disebut dengan sebuah tarian untuk menunjukkan jalan menuju sebuah lokasi. Jika hanya berhenti pada sistem tersebut maka akan menjadi sistem komunis. Agar tidak berhenti pada komunis, maka sistem penataan tersebut bukan berdasar pada paksaan namun pada kerumunan yang menyadari perannya.

Membicarakan tentang peran merupakan hal yang abadi pada setiap kumpulan. Peran akan mengikuti zaman. Dalam kumpulan yang kecil maka pecahan perannya pun akan lebih sederhana demikian sebaliknya. Dalam dunia internet saat ini muncul lebih banyak lagi jenis-jenis peran atau pekerjaan baru yang belum ada sebelumnya seperti programmer. Tidak mungkin akan muncul pekerjaan tersebut pada tahun 1945. Peran akan terus berkembang meskipun core atau intinya sama klasifikasinya dengan yang diungkapkan Mas Agus.

Pada sebuah contoh fenomena misalkan kita sangat tertarik pada sesuatu hal lalu seketika kita ubah menjadi sesuatu yang lain. Pasti akan sangat sulit. Ada sebuah pertanyaan dalam fenomena tersebut, sebenarnya siapakah yang mengontrol ketertarikan tersebut? Sebuah tadabbur Mas Sabrang terkait hal tersebut. Pada intinya setiap manusia memiliki akal dan kompleksitas yang melebihi orang lain. Setiap manusia sebenarnya ingin menjadi diri sendiri sebagaimana sejatinya yang telah diciptakan oleh Tuhan. Tetapi setiap manusia tidak paham sebab belum memiliki ilmu. Maka kita diberi ketertarikan, dengan demikian kita akan mempelajari ketertarikan tersebut hingga kita memiliki kesempatan menggali ilmu. Sebuah ilmu diperlukan untuk mempelajari dan membuka diri kita yang sejati. Demikianlah cara mengajari diri sendiri tanpa disadari untuk menemukan peran.

Namun sebuah ketertarikan masih terikat dengan nafsu dan amarah. Maka kita diajarkan untuk berpuasa. Dari puasa ada yang dipelajari oleh Mas Sabrang yakni ketika belum waktunya berbuka maka menginginkan untuk memakan banyak hal. Tetapi apa yang terjadi ketika sudah waktunya berbuka? Apakah dimakan semua atau hanya sekian persen saja dari keinginan tersebut? Berarti mimpi yang datangnya dari nafsu ternyata menipu. Keinginan datang dari ketidakmampuan atau ketidakbolehan tadi. Ketika nafsu ditahan maka menjadi nesu-nesu atau amarah yang keluar. Ketika nafsu dan amarah ditahan maka menjadi malas untuk berbuat sesuatu hingga ingin tidur saja ketika berpuasa. Ternyata mesin bergerak kita selama ini hanyalah nafsu dan amarah. Namun melihat gojek yang tetep rajin narik, ada yang bekerja lain tetep rajin pula. Berarti ternyata ada mesin yang lain juga yakni mesin tanggung jawab. Sebuah mesin yang bertanggung jawab untuk memenuhi perannya. Dan menggali ilmu dari kesalahan sebuah tanggung jawab akan menjadi tahap kedewasaan berikutnya.

Sebuah kumpulan akan berjalan baik ketika menjalankan peran tersebut berdasar pada kerelaan dirinya dan kesadaran tanggung jawab bukan atas dasar paksaan. Hal ini yang ingin didorong oleh Allah meskipun harus dicontohkan melalui sebuah reaksi pada lebah dengan outputnya adalah madu dan ketertataan yang sangat baik. Dengan sistem kerajaan atau seperti China, dlsb maka segala keputusan akan diambil dengan cepat. Berbeda dengan sistem demokrasi. Namun bukan pula sistem tersebut buruk, sebab merupakan sebuah proses pendewasaan. Memang segala keputusan diambil lebih lambat namun kita semakin belajar untuk melibatkan kerumunan banyak orang dalam pengambilan sebuah keputusan. Jika raja yang mengambil keputusan, maka pada peta yang lebih besar akan menjadi tanggung jawab yang lebih berat pula. Demokrasi juga merupakan satu-satunya cara menata kerumunan dimana memungkinkan untuk melakukan pemindahan kekuasaan tanpa adanya pertumpahan darah. Ini adalah proses menuju menjadi society seperti lebah namun dengan kesadaran masing-masing bukan dengan paksaan.

Setahu Mas Sabrang pula tidak ada satupun nabi yang meninggalkan sistem kepemimpinan. Semua nabi adalah bagaimana membangunkan pribadi masing-masing. Jika kepribadian sudah terbangun maka kepatuhan akan terbangun pula bukan atas paksaan. Contoh kepatuhan yang bisa dilihat ialah malaikat. Malaikat patuh bukan karena sekedar diciptakan menjadi patuh, justru karena pengetahuan dan kesadaran yang tinggi. Hingga akhirnya mereka menjadi patuh dan “menyerah” atau pasrah pada keadaan. Bahkan ada pula yang mendefinisikan bahwa Islam adalah bagaimana seseorang “menyerah” pada hukum Tuhan.

Sebuah kerumunan jika bekerja sama maka akan menjadi makhluk yang baru lagi. Contoh sederhana ialah sel dalam tubuh memiliki pengetahuan dan independensinya. Setiap sel bekerja tanpa kita perintah, tetapi di dalam sistem yang lebih besar yakni sistem manusia maka mereka patuh terhadap akal. Ada yang disebut swarm inteligence atau kecerdasan dari sebuah kerumunan. Apa yang dilakukan oleh kecerdasan masing-masing maka akan terlihat apa yang menjadi kecerdasan suatu kerumunan. Ke depan akan menjadi apa, tergantung pada sebab akibat didalamnya.

Hukum kerumunan.

Kita semua berlaku pada hukum. Lalu sebenarnya apakah hukum itu? Hukum ialah rel dari sebab akibat. Ada rentang hukum yang paling dasar yakni hukum alam. Tanpa kita sadari kita pun sebenarnya mempercayai hukum alam berdasarkan sebab akibat. Karena kita percaya hukum alam maka dalam buang hajat misalkan, kita percaya bahwa kotoran tersebut akan jatuh ke bawah bukan malah naik mengenai badan. Itulah hukum alam yang kita percayai secara bawah sadar yakni gravitasi. Semua makhluk di bumi ini akan mempercayai hukum alam tanpa sadar. Mau tidak mau tak akan lepas dari sunatullah itu tadi.

Di ujung atau sisi yang lain ada hukum manusia. Itu adalah hukum sebab akibat. Mencuri, membunuh, merampok dll ya hukumnya dipenjara namun ini bukan hukum alam. Hukum manusia hanya menjadi pagar bukan menjadi pengatur dalam sebuah kerumunan. Karena hanya akan berlaku jika dilanggar. Karena hanya berfungsi sebagai pagar maka resolusinya rendah. Sehingga hanya berakhir pada sebatas mencuri maka dipenjara, tidak bisa dikejar sampai mengapa seseorang tersebut mencuri. Bagaimana jika mencuri karena lapar? Sementara di sekitarnya ialah orang-orang yang mampu, maka siapa yang turut salah juga sebenarnya?

Hukum manusia tidak pula salah, namun kita hidup hampir selalu berada di tengah-tengah hukum manusia dan hukum alam. Tersebutlah hukum istiadat, hukum sopan-santun dst. Seperti yang diceritakan oleh Mas Agus tadi misalkan ada orang yang membawa motornya ke cucian motor. Selesai dicucikan langsung dikencingi motor tersebut oleh yang punya dan minta untuk dicucikan lagi. Apakah orang tersebut melanggar hukum?

Menurut Mas Sabrang orang yang paling fitri ialah orang yang paling dekat berada di garis hukum alam. Sebab ia dekat dengan hukum Tuhan.

Lebah hanya bisa patuh pada hukum alam dan tidak bisa membuat hukumnya sendiri. Segala yang dilakukannya tidak bisa lepas dari hukum Tuhan. Baik hukum alam pada dirinya sampai pada hukum alam pada DNA-nya. Sementara manusia memiliki rentang dari hukum manusia sampai hukum alam. Sehingga lebih banyak pula peluang untuk mendapat kesalahan. Memang ada sisi negatif namun juga ada sisi positifnya. Yaitu hanya yang memiliki rentang demikian yang bisa untuk menjadi seorang khalifah. Yaitu hanya pihak yang bisa merespon sesuatu dan bukan sekedar reaktif yang berpotensi untuk menjadi khalifah.

Lagi-lagi Mas Sabrang mentadabburi bahwa tidak semua orang terlahir otomatis menjadi khalifah. Ia harus membuktikannya sebagai abdi terlebih dahulu. Yaitu abdi kepada hukum alam pada dirinya, jujur pada dirinya sendiri. Sebab itulah yang akan menjadi kompas untuk menuju hukum lain yang lebih “tinggi”.

Memang betul kita dapat belajar kepada penataan yang sudah jadi yakni yang disebut lebah, ia menghasilkan surplus, manfaat dll tetapi pada kepenataan itu kita harus mengintegrasi komponen yang kita miliki dan tidak dimiliki oleh lebah. Adalah Freewill, kebebasan dalam berpikir, bereaksi, melakukan sesuatu.

Hal tersebut harus kita integrasi seperti lebah bukan untuk menjadi lebah. Karena Tuhan ciptakan manusia tertata seperti lebah, tetapi menjadi lebah karena kesadaran manusia dengan ini akan menjadi khalifah yang sebenarnya. Dalam level kenegaraan mungkin tidak akan bisa pada umur kita, namun dalam sisa umur kita saat ini alangkah baiknya jika kita terus move forward lebih menjadi lebah yang sadar responsif bukan sekedar reaktif.

Sesi Tanya Jawab

Pertama ada Mas Wibisono dari Purworejo yang menanyakan wedharan dari kata bhineka tunggal ika. Kedua ada Mas Zidni dari Brebes yang menanyakan hal-hal apa sajakah yang dapat membantu untuk menemukan jati diri. Ketiga Mas Joko Sriyono dari Ungaran yang menpertanyakan tentang pencarian nafkah, bagaimanakah tentang bekerja yang tawakal namun pada akhirnya menyerah karena berkali-kali gagal.

Respon pertama dari Mas Agus yang telah di-remind oleh Mas Kasno tentang bahasan tema beberapa edisi lalu tentang Manajemen Kebhinekaan. Disini Mas Agus mencoba merespon sesuai dengan apa yang telah didiskusikan pada beberapa bulan lalu tersebut, meskipun hal ini juga kurang matching dengan apa yang kita pahami di sekolahan. Tetapi karena kalimat Bhineka Tunggal Ika sudah ada semenjak belum ada sekolahan maka Mas Agus mencoba mengulik makna lain dibalik kalimat tersebut. Bhineka berarti beraneka, Tunggal adalah satu dan Ika bisa berarti satu namun bisa juga diartikan sebagai kalimat untuk menunjuk. Dalam Jawa bisa dibaca dengan iko. Sehingga menjadi berarti “beraneka tapi yo siji kae”.

Tan Hana Dharma Mangrwa. Sebab tidak ada perilaku atau attitude yang mendua. Semuanya ingin mengemukakan hal yang sama yakni kebaikan, kebenaran dan keindahan dengan caranya masing-masing. Tidak harus manis berarti baik, pahit pun bisa jadi baik seperti halnya pare. Atau pedas pun baik seperti cabai, dan asin pun baik seperti halnya garam. Semuanya memiliki fungsinya sendiri-sendiri asalkan masing-masing pihak mengerti bahwa satu dengan yang lain mampu mengelaborasikan dharmanya menjadi satu yang tunggal. Makanya kita memerlukan satu pancer tunggal yang menjadi alat kontrol kesadaran kita untuk berperilaku di dalam kehidupan.

Pak As’ad di depan telah memberikan pola berpikir yang bisa mendorong kita untuk berperilaku secara lebih proporsional dalam hidup yang tertata dan beragama. Memang dicontohkan China, juga oleh Mas Sabrang dengan penjelasan sistem “komunisme”nya. Namun ini baru sistem Malik, dan belum menyentuh pada Robb dan Illah. Namun bagaimana jika penerapan bhineka tunggal ika dari lebah ternyata menggunakan sistem malik, robb dan illah sekaligus?

Penyikapan malik terkadang bisa dipergunakan. Misalkan dalam khitan, maka harus menggunakan pola radikal dengan sekali potong dan selesai. Pola illah ialah bagaimana kita menggelembungkan vibrasi dalam diri kita secara positif untuk mengkaitkan bahwa ada kita, orang lain dan juga Tuhan yang senantiasa harus berputar siklikal di dalam hidup.

Mas Aniq turut merespon tentang pertanyaan seputar jatidiri. Manusia merupakan Makhluk ciptaan Allah. Jika Allah pasti menciptakan manusia dengan dasar logika kerahmatan, maka mengapa manusia tidak menggunakan “logika Tuhan” dimana sebenarnya manusia tercipta untuk menghamba. Hal ini berkaitan dengan sisi nubuah, risalah dan walayah.

Sisi nubuah, ibarat manusia hadir dengan hamba kerahmatan. Bagaimana manusia bisa hadir menghamba dan bisa menampilkan diri sebagai hamba. Yang mana tampilan kehambaan merupakan sesuatu yang penting. Proses penghambaan ini harus didasari cinta atau kerahmatan. Proses manusia untuk menjadi manusia yang menghamba secara individu ialah untuk menjadi pencinta harus mencintai. Minimal diawali dengan mencintai diri sendiri. Bersyukur bahwa diciptakan sebagai seorang manusia.

Nubuah, seakan diri ini menjadi wayangnya Allah. Tetapi bukan pula sampai bermaksud menganggap diri adalah Allah. Jika sudah sampai pada menghamba maka tidak cukup untuk berhenti pada nubuah namun juga berpotensi untuk risalah. Risalah merupakan duta kerahmatan. Hal ini tentang kehidupan sosial, bebrayan, gugur gunungan. Manusia yang mampu menyampaikan cinta. Potensi berikutnya yakni walayah, merupakan manusia yang mampu terus melestarikan cinta dan kerahmatan. Rasulullah selain menghamba, merisalah namun juga mewalayahi. Mewalayahi suatu keadaan, peradaban.

Tentang pertanyaan ketiga direspon langsung oleh Mas Sabrang. Menurut Mas Sabrang, tidak wajib bekerja namun karena kita berada di rel sebab-akibat maka ya ada akibatnya. Apa yang wajib dan tidak berada di pilihan kita. Demikian ialah efek samping dari sebuah tanggung jawab. Bekerja tidak wajib, namun efek samping yang harus diambil karena bertanggung jawab terhadap istri dan anak. Jika tadi dalam pertanyaan diceritakan bahwa berusaha terus dan gagal terus maka sebaliknya bagi Mas Sabrang yang merasa tidak pernah gagal. Terkesan kalimat sombong memang namun karena kegagalan dan keberhasilan juga kita sendiri yang berhak menggariskan. Jika gagal terhadap sebuah keuntungan maka berhasil urusan ilmu. Ada yang disebut profit ada pula yang disebut benefit.

Kita mengetahui istilah personality, berasal dari bahasa yunani yakni persona. Persona merupakan istilah yang digunakan dalam teater di yunani. Persona adalah topeng yang dipakai dalam sebuah keadaan tertentu. Namun permasalahannya terkadang kita lupa bahwa kita memakai topeng. Misalkan topeng kejujuran kita anggap sebagai topeng yang baik. Namun misalkan ada orang yang sedang membawa bom, lalu menanyakan di masjid sedang ramai atau tidak, maka apakah kita masih memakai topeng kejujuran ataukah harus kita langgar topeng kita tersebut. Karena kita memiliki pandangan yang lebih besar dibanding persona tersebut. Pemain bola tidak mungkin membawa personanya dalam kehidupan. Tidak mungkin ketika tidak sedang berada di lapangan melakukan sliding-sliding sembarangan.

Dalam bisnis memiliki persona jual beli yang harus untung. Berbeda dengan persona terhadap anak yang tidak bisa kita ambil keuntungannya. Setiap dunia memiliki personanya, jangan lupa untuk melepas dan menggunakan persona yang tepat. Persona bisnis seperti yang diungkap oleh Pak As’ad di depan. Semua bekisar tentang manajemen resiko. Pelajari resiko terlebih dahulu untuk dapat me manage nya. Dalam belanja online misalkan. Selalu yang kita lihat adalah penjual yang memiliki rating bintang lima. Disitu kita hanya mencari pendapat yang menguatkan. Baiknya dilihat dulu yang rating bintang satu untuk melihat resiko pada pengalaman buruk disana.

Pernah suatu ketika Mas Sabrang belajar inti bisnis pada salah seorang kaya di dunia. Dia mengajarkan bahwa setiap bisnis pasti memiliki pesaing. Yang paling menang adalah yang bekerja keras. Sesama pekerja keras yang paling menang adalah yang juga kerja efisien. Sesama pekerja keras dan efisien yang paling menang adalah yang juga bekerja secara inovatif.

Jika sama-sama melakukan tiga hal siapa yang paling menang ialah yang mampu memprediksi apa yang terjadi. Hanya sedikit pengetahuan ke depan tentang bisnis mampu mempengaruhi profit.

Bisnis sama dengan permainan. Yang paling penting ialah belajar peraturannya. Maka ada yang menganalisis secara SWOT: Strength, weakness, opportunity, dan threat. Namun jika sampai permainan itu menghalangi Tuhan maka belum lengkap permainan tersebut. Banyak pebisnis yang tidak bisa memprediksi sebab banyak min haitsu la yahtasib di dalamnya. Tapi kita harus meminimalisir ketidakpastian dengan mengetahui permainan. Untuk mencari Tuhan bukanlah pada tempat yang kita anggap ada Tuhan. Namun bagaimana kita menggunakan mata, telinga dll untuk merasakan Tuhan dalam permainan apapun. Dalam memasuki bisnis, harus total. Namun bukan sekedar gambling. Bahwa nanti ada kegagalan dulu itu pasti.

Seperti halnya ketika senang terhadap wanita. Pelajari dulu bukan asal gambling. Ketahui peraturan permainan yang dia miliki. Dan juga jangan berharap dia berubah ketika nanti sudah menikah. Itulah bhineka tunggal ika. Menjadi satu bukan untuk sama. Namun ada satu entitas tujuan yang kita tuju bersama disitu. Tentang pertanyaan seputar jatidiri turut ditambahi pula oleh Mas Sabrang. Jangan terkecoh dengan persona. Jika kita melihat nabi Ibrahim, jika kita mencari sesuatu yang kita ketahui maka akan mudah mencarinya. Lebih mudah mencari jarum dalam tumpukan jerami, pakai magnet saja kata Mas Sabrang. Namun bagaimana jika kita tidak mengetahui apa yang kita cari? Pasti akan lebih sulit. Dari Nabi Ibrahim kita belajar tentang proses pengeliminasian. Sepertinya ini namun ternyata bukan. Dan seterusnya dan seterusnya. Sampai nanti akhirnya semua tidak kecuali dia. Lailaha ilallah. Maka perjalanan ini memang tidak mudah, karena banyak faktor yang kita harus “tidak-tidak kan” dulu sampai habis. Yang kamu kumpulkan adalah milikmu, namun bukan kamu. Aku bukan lah badanku, aku bukanlah akalku. Lalu yang manakah aku? Inilah pe-er masing-masing untuk mencari kesejatian. Jalani perjalananmu dengan kegembiraan dan jujur terhadap diri sendiri.

Tentang bhineka tunggal ika juga ditambahkan oleh Mas Sabrang. Kesatuan bukanlah pada fisiknya tapi dengan menjadi sebuah kesatuan entitas.

Pak As’ad tak ketinggalan untuk merespon pertanyaan ketiga. Penanya merupakan seorang guru yang menyambi berbisnis. Hematnya dibreakdown ulang terlebih dahulu sebelum melakukan penyambian tersebut. Yang dicari apakah kualitas hidup ataukah kuantitas hidup. Yang diartikan oleh Pak As’ad seperti berikut. Banyak dari kita yang tidak tercukupi kebutuhannya bukan karena pendapatannya kurang tetapi karena cara mengalokasikan dananya terkadang kurang tepat. Amtsal sederhana dari Pak As’ad, jika kita punya uang hanya satu juta lalu hilang 100ribu maka akan menjadi beban. Namun jika ternyata misal lima bulan lagi ketemu yang tersebut maka apakah menjadi bonus atau tidak. Sebenarnya seberapa banyak pengeluaran kita untuk sesuatu yang tidak urgent. Ini berhubungan dengan puasa yang diungkapkan tadi di depan. Bahwa puasa tidak memakan sesuatu yang sebenarnya halal namun tidak prioritas. Kemampuan kita untuk menganalisa kembali pada kesadaran apakah bisa berpikir sampai sana ataukah tidak. Jika tidak bisa maka, atur kembali cara pandang terhadap Tuhanmu seperti dalam QS Ar Ruum.

Menekuni sesuatu pasti akan berhasil meskipun membutuhkan waktu. Namun kesabaran kita tidak dibina dengan baik karena segala macam perhitungan kita yang menginginkan proses instan sehingga terkadang hal itu melemahkan kita untuk mencapai sesuatu. Kembali pada ukuran kesuksesan harus dibreakdown ulang. Keberhasilan nampaknya bukan harus menjadi nomor satu, tetapi kesungguhan.

Pernah ada sebuah pabrik yang melakukan PHK besar-besaran. Ada salah seorang yang terkena efeknya hingga sangat kesusahan dengan pesangon yang tidak seberapa. Hingga ia mencoba untuk bermain kayu dibentuk seperti harley davidson. Suatu ketika ada sebuah pameran yang ia ikuti di sebuah hotel. Kebetulan owner harley davidson menginap di hotel yang sama. Hingga masa berjalan, dan seorang yang terkena PHK tadi sekarang sukses dan merambah ke lainnya. Jika coba diamati, kejadian waktu terkena PHK apakah kejadian yang susah atau senang? Lalu ketika orang tersebut sukses apakah PHK tersebut menjadi kisah yang susah atau senang? Ini bagian dimana susah dan senang adalah sebatas sudut pandang.

Waktu sudah menunjukkan lingsir wengi atau kisaran jam 1 pagi. Sebelum malam ini diakhiri, Mas Sabrang menambahkan kegembiraan dengan menyumbangkan dua buah lagu yakni Ruang Rindu dan Sebelum Cahaya yang masing-masing diiringi oleh Mas Yoga dan Mas Prisa. Meskipun permintaan adalah tiga buah lagu, namun Mas Kasno berharap satu lagu disimpan sebagai sebuah kerinduan untuk pertemuan yang akan datang. Semoga…

Sedikit cuplikan doa dan harapan Mas Sabrang semoga kita semua disini menjadi seperti yang Tuhan contohkan dengan lebah-lebah dan menjadi kumpulan yang memberi madu bukan sekedar mengisap madu. Amin.. amin.. ya robbal alamin.

 

Andhika Hendryawan

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– KOMUNITAS TADABBUR –

Malam yang semakin mesra dan hangat dilanjutkan oleh Pak As’ad. Berbicara tentang kerumunan, ekonomi masyarakat, potluck sudah dialami langsung oleh beliau. Seorang pengusaha yang juga memandegani Suluk Surakartan hingga tiap hari berkawan dengan kerumunan.Pak As’ad mengawali dengan ketertarikan beliau terhadap gagasan Pak Kiai Mahrun tentang pembikinan pondok tahfidz namun berbeda dengan umumnya. Dimana pondok tersebut terdapat sebuah kegiatan yang berujung ekonomi. Dalam pada itu bertepatan pula dengan lokasi ini yang dipilih dengan tema “Masyarakat Lebah me-Madu”.

Jika kita sedikit tarik mundur ke belakang. Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW, ketika sedang memerangi pasar yahudi sudah jarang kita melakoninya. Biasanya umat Islam ketika melakoni sesuatu pasti akan mencari pembenaran dari ayat Al Qur’an dan hadist. Tetapi ada satu hal yang terlupakan yakni mengevaluasi secara terus menerus langkah apa yang keliru.Nabi Muhammad memerangi pasar yahudi dengan sistem ekonomi serta teknologi yang lebih baik bukan sekedar mengangkat sentimen suku, ras dan agama. Sehingga dalam waktu singkat, pasar yahudi kukutan (gulung tikar). Perlu diketahui bahwa Kanjeng Nabi melakukan hal demikian sudah sangat terencana. Dimulai dari julukan yang disandang oleh beliau yakni Al Amin jauh sebelum beliau menerima wahyu. Nampaknya satu hal yang penting diajarkan ialah untuk menjadi manusia sepenuhnya bukan karena menerima wahyunya tetapi proses pertumbuhannya tidak terlalu jauh dari realitas sehari-hari. Berdagang misalnya, maka bukan hanya sekedar berdagang namun juga harus mengerti intinya berdagang yakni manajemen resiko.

Seseorang yang bisa mengelola sesuatu dengan perhitungan meminimalkan resiko sebenarnya sesuatu yang lumrah. Tetapi sering luput oleh kita dikarenakan pola pengenalan Al Qur’an kepada kita nampaknya tidak pernah masuk pada wilayah tadabbur.Menurut Pak As’ad yang diperintahkan kepada kita ialah afala tadabbarunal qur’an. Sedangkan tentang tafsir yang perlu kita pahami bahwa sebaik-baik penafsir ialah Allah itu sendiri.Pernah ketika berdikusi dengan Syekh Nursamad Kamba, bahwa ketika bertadabbur maka sudah tidak terikat tata bahasa asalkan outputnya kemanfaatan dan tidak pula dipaksakan kepada orang lain.Sederhana saja, ketika membicarakan khamr dan maysir. Pandangan kita khamr tidak jauh dari minuman keras, sedangkan maysir tidak jauh dari kartu. Jika pengertian judi ialah tentang mengundi nasib, maka bukankah kita dalam hidup hanya berkutat soal mengundi nasib saja? Papar Pak As’ad melempar wacana.Khamr, diartikan sesuatu yang membingungkan dan dalam Al Qur’an diperintahkan pada kita untuk menjauhinya.

Seperti dalam QS Al Ma’idah ayat 90 yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah :90)

Dan dipertegas lagi pada ayat berikutnya yang berbunyi, “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). ” (QS. Al-Ma’idah :91)

Sebuah permisalan, ketika kita berada di sebuah kota yang baru pertama kita datangi pasti kita akan kebingungan. Maka harus kita “jauhi” dengan mengambil jarak, mempelajari informasinya sehingga ketika kita memasuki kota tersebut sudah terdapat gambaran.Mengapa khamr dipasangkan dengan maysir?Sesuatu yang kita lakukan tanpa perhitungan, tanpa analogi maka sesungguhnya itu judi. Berarti itu berlaku kepada apapun. Dalam mencari ilmu, bekerja atau apapun harus ada perhitungannya dahulu meskipun tidak terlalu banyak perhitungan juga. Tetapi minimal harus ada gambaran dasar. Seakan sudah “setor” pada Allah bahwa kita sudah berpikir sehingga kita terhindarkan status dari khamr dan maysir.

Suluk Surakartan kemarin mengambil tema satu banding sebelas berawal dari uraian Mbah Nun ketika halal bihalal di sebuah perguruan tinggi. Maksudnya ialah di dalam 12 bulan terdapat 1 bulan training yakni bulan puasa, dan seharusnya 11 bulan yang lain menjadi bentuk realitas dari puasa kita selama satu bulan. Kita tahu pada bulan puasa tidak memakan dan meminum sesuatu yang sebenarnya halal. Tetapi mengapa hal itu tidak diperbolehkan?Sesungguhnya dalam seseorang bekerja juga isinya hanya demikian. Yakni tidak mengeluarkan untuk sesuatu yang sebenarnya halal-halal saja namun tidak dilakukan sebab lebih menghitung prioritas.

Sedikit bercerita Pak As’ad ketika berada di dalam ruangan ketika Mocopat Syafa’at. Ada seseorang yang mengajukan pertanyaan tentang kunci sukses. Dengan canda beliau mengatakan bahwa tidak bisa menjawabnya.Namun tentang sukses itu sendiri kita pun rancu. Tergambar secara sederhana orang sukses adalah orang dengan mobil baru, uang banyak, tidak punya hutang, tagihan lancar, bahkan ingin membeli apapun bisa meskipun kredit.Padahal itu hanyalah daun, bunga dan buah tetapi sesungguhnya kita tidak pernah mencermati bahwa itu adalah hasil dari sebuah pertumbuhan. Jika kita membicarakan pertumbuhan maka kita semua adalah tanaman-tanaman tetapi tidak sama maka berbeda pula cara pengukuran kesuksesannya tinggal dikembalikan saja pada kesadaran dirimu.

Kembali pada manajemen resiko satu banding sebelas. Ketika itu pula ada fenomena MK, Solo-Jogja, juga anjloknya harga ayam hingga dibagikan secara gratis. Hampir berlaku di semua wilayah Islam Jawa bahwa sesuatu berjalan dengan gebyar lalu setelah itu anyep. Seperti berpuasa maka gebyarnya hanya di awal-awal ramadhan saja dengan munculnya banyak quote, kata mutiara, kajian hikmah, kultum dlsb dan di akhir ramadhan menangis dimana konon dahulu kanjeng nabi menangis ketika ditinggalkan bulan ramadhan.Sesungguhnya yang kita perlu renungkan ialah bahwa banyak dari sekian peristiwa tidak kita pelajari.

Fenomena harga ayam potong anjlok sudah pernah terjadi ketika era 70an. Bapak dari Pak As’ad ketika itu sudah memiliki peternakan dengan ribuan ayam sehingga sudah sangat familiar dengan perusahaan pokphan. Perbedaannya dengan kita saat ini mengapa menjadi sangat terasa ialah kita selalu kalah dalam beberapa medan karena kita tidak pernah melakukan beberapa evaluasi tadi. Sedangkan orang yahudi pun mereka belajar dan melakukan strategi jangka pendek, menengah dan panjang jauh sebelum Nabi berhijrah tentang apa yang ditanamkan oleh nabi di Yastrib.Segala sesuatu yang kita lakukan harus ada perhitungan. Ada rencana pendek, menengah dan panjang. Ini semua yang tidak pernah kita lakukan.

Coba kita tengok di Bali. Mengapa sedemikian terjaga juga dengan angka kriminalitas cenderung minim. Sebab mereka dikenalkan tentang dosa secara lebih nyata yang disebut dengan karma. Tetapi dalam pandangan cendekia agama hanya dikatakan bahwa ngapusi dosa, korupsi dosa, zina dosa. Sebenarnya apa ukuran dosa? Meter? Kubik? Bulan? Atau tahun?Sehingga dosa seakan seperti ilusi, maka orang melanggar pun dengan begitu mudahnya sebab tidak ada perhitungan yang jelas. Sementara tidak mungkin bahwa suatu ajaran yang datang dari Tuhan yang menguasai semua keilmuan tidak memberikan deskripsi yang jelas.

Seperti orang berhaji. Orang musyrik dilarang pergi haji, sementara tidak boleh menuding orang lain musyrik. Lalu bagaimana untuk melakukan pelarangan? Sementara berhaji merupakan sesuatu yang bersifat material, jelas visa nya, pintu masuknya, naik pesawatnya dll. Lalu bentuk pelarangannya berstandar sesuatu yang tidak boleh menyalahkan orang lain. Maka apakah sebenarnya musyrik itu?

Di dalam QS Ar Ruum terdapat sesuatu penggambaran yang bisa kita cermati. Musyrik atau menyekutukan Tuhan menurut Pak As’ad ialah seseorang yang meninggalkan partnership dan merasa mampu melakukan segala sesuatunya sendiri. Padahal apa yang diciptakan Tuhan pasti dualitas dan berpasangan. Begitu juga kita di Maiyah. Jika mengatakan di dalam Maiyah itu cair maka juga harus percaya bahwa di dalam Maiyah ada sesuatu yang padat. Berarti ada yang musyawarah dan ada yang tidak musyawarah, ada yang hirarkis ada pula yang tidak.

Mencermati surat An Nahl, jelas bahwa satu-satunya hewan yang diberi wahyu ialah lebah. Dan jelas dikatakan bahwa lebah membuat sarang di bukit-bukit dan di pohon-pohon. Di rumah Pak As’ad terdapat tawon jenis lanceng. Tawon lanceng memiliki manajemen yang luar biasa yakni memisahkan kotoran, lilin dan madu.

Kembali pada pondok tahfidz yang akan dibentuk maka menjadi tambahan “tanggung jawab” bagi Mas Agus untuk menginisiasi. Sebab di Maiyah sudah sepakat untuk bertadabbur. Padahal kunci berkembang dalam hal perekonomian atau apapun maka tidak ada jalan lain selain tadabbur. Lepaskan segala standarisasi yang telah ditanamkan pada kita dan bikin standarisasi sendiri. Kita mengenal orang Jawa dulu, kita mengenal Nabi Muhammad. Hampir setiap benda diberi nama untuk apa? Yakni standarisasi. Hampir di setiap negara industri pasti memiliki standarisasi sendiri. Ada standarisasi teknologi dll untuk berdaulat pada sesuatu yang diyakini.Pahami Al Qur’an dengan tadabbur realitas kehidupan sehari-hari. Ketika kita yakin pada dualitas yang diciptakan Tuhan maka tidak mungkin Tuhan hanya membicarakan langit di sana.Kembali pada An Nahl, jika kita perhatikan lebah seperti profil orang-orang yang melakukan industrialisasi sendiri secara personal. Mereka mengolah putik bunga di dalam dirinya sendiri dan keluar menjadi madu. Hubungannya dengan kerumunan ialah, kerumunan yang paling baik ialah kerumunan lebah. Masyarakat lebah tidak pernah ngomong saja tetapi terus berproduksi.

Masyarakat lebah juga merupakan masyarakat yang sangat hirarkis, menjalankan langsung perintah yang bersifat top down. Jika kita mencoba melihat China sebagai raksasa yang luar biasa, maka dapat pula kita lihat penanaman kepatuhan yang luar biasa dari pemimpinnya untuk rakyatnya. Pemimpinnya mengatur semua lini kehidupan sampai hal terkecil sekalipun. Contoh kecil ketika membeli barang yang sangat murah pun bisa diantar sampai depan rumah tanpa ongkos kirim. Disana tidak ada kekayaan pribadi tanpa adanya acuan kemanfaatan bersama.Demikan halnya dengan Iran. Negara yang sudah diembargo bertahun-tahun lamanya namun masih bisa tetap eksis. Setiap jajaran masyarakat tahu diri. Jika dia adalah karyawan maka hanya menjalankan perintah tanpa banyak bertanya. Entah disuruh menanam apa, membersihkan apa namun jelas kemanfaatannya. Hal ini yang dilakoni Kiai-Kiai sepuh jaman dulu.Metode demikian sangat cocok untuk dikembangkan di pondok, asalkan visi Kiai nya jelas. Bagai negara “China kecil” atau “Iran kecil” menurut Pak As’ad.

Uraian Pak As’ad ini kemudian disambung dengan tanggapan oleh Mas Sabrang. Menurut Mas Sabrang, meskipun negara China bisa menjadi salah satu protipe berkomunitas, namun ada hal yang boleh jadi menjadi PR bersama yakni tidak seperti China maupun seperti Iran melainkan seperti lebah yang seolah meletakkan kepemimpan dalam standar hirarki abdi dan Tuhan. Selengkapnya nantikan bagian berikutnya.

 

 

Andhika Hendryawan