Sinau Bareng Majlis Gugurgunung edisi Mei 2021

Pada Sabtu pekan terakhir di bulan Mei tepatnya 29 Mei 2021. Merupakan Sinau Bareng yang ketiga kalinya diadakan kembali pada malam hari di tahun 2021 oleh Majlis gugurgunung. Meskipun isu pandemi masih ada pasca lebaran 2021, namun proses adaptasi terhadap situasi saat ini telah jauh lebih kondusif. Apalagi memang euforia terhadap sinau bareng begitu membahagiakan karena bertepatan setelah diadakan panen hasil dari kebun Mbodro pakaryan yang berupa semangka dan melon, dan merupakan menu utama dalam suguhan malam itu.

 

 

Bismillahirrohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan sukacita dan memantapkan diri untuk bertempat di komplek makam Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari, Kab. Semarang untuk melaksanakan rutinan Sinau Bareng. Tema workshop malam ini merupakan sebuah topik yang muncul dikala euforia setelah dilaksakannya panen semangka dan melon yang diadakan beberapa hari yang lalu dan setelah mengombyongi berkunjung kerumah mas Sabrang yang berada di Timoho Jogja pada hari rabu kemarin. Saking banyaknya fenomena yang berlangsung selama bulan Mei ini, tak satupun yang tak penting. Maka justru bulan Mei ini tidak mengangkat tema spesifik, kami hanya berangkat dari puisi Mbah Nun yang berjudul “berdekatankah kita” yang diharapkan bisa bersambung kepada seluruh peristiwa tema yang ingin kita bahas.

 

Berdekatankah kita

Sedang rasa begini dekat

Tapi berdekatankah kita

Sedang rasa teramat jauh

Seperti langit dan warna biru

Seperti sepi menyeru

O, kekasih, kau kandung aku

Kukandung engkau

Seperti memendam mimpi

Terendam di kepala

Namun sayup tak terkira

Hanya sunyi mengajari kita

Untuk tak mendua

Alhamdulillah pada malam hari ini dihadiri juga oleh mas Imam sahili, begitu juga dihadiri Mas Ihda beserta Mas Rizal yang datang dari Semarang yang membuat suasana makin hangat dan meriah yang pada satu hari sebelumnya telah tiba dulu di Semarang. Kemudian dilanjutkan dengan Tawasul oleh Pak Tri juga Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan oleh mas Agus.

 

Sebagai pantikan untuk mengawali sinau bareng pada malam itu, mas Kasno sebagai moderator membukanya dengan sebuah prakata, bahwa sesungguhnya moment ini adalah bebarengan dengan letupan-letupan kebahagian yang panjang, sesungguhnya sowan ke Jogja tempo hari bukan dalam rangka pamer tentang panen yang diperoleh namun sebagai ungkapan kebahagiaan telah melaksanakan PR yang telah diberikan oleh Mbah Nun. Pada awal pertama merintis pertanian, kalau dapat di dramatisir Mbodro pakaryan telah mengalami fase berdarah-darah, dan melalui mimpi ternyata digambarkan ada serombongan mobil dari Jogja dengan Plat kota nya yaitu AB, waktu itu beberapa penggiat mbodro pakaryan sedang beristirahat di gubug kecilnya, tanpa disadari ternyatata rombongan itu adalah rombongan dari Mbah Nun dan Mas Sabrang, kehadiran beliau disambut hangat oleh para penggiat, siang itu sebenarnya rombongan itu ingin mampir ke rumah mas Agus namun dalam mimpi itu mas Agus belum pulang dari kerja, akhirnya rombongan Mbah Nun beristirahat dahulu di gubug, sambil ngopi dan berbincang-bincang, dalam perbincangan tersebut Mbah Nun memberikan pesan untuk mencari seseorang yang bernama “Prayitno”, begitulah penggambaran mimpi tersebut. Sehingga memunculkan keingin tahuan dari kami untuk mencari tahu siapa sebenarnya “Prayitno” yang berada dalam mimpi, bahkan hingga bertanya pada warga sekitar namun ternyata semua nihil, dan akhirnya kita mencoba untuk mencari tahu perlambangan arti dari “Prayitno” dalam bahasa jawa, dan ternyata disebutkan bahwa makna kata “Prayitno” dalam bahasa Indonesia adalah “Kewaspadaan”, ternyata kita dituntut untuk mewaspadai segala sesuatu dalam segala situasi yang terjadi selama penggarapan lahan tersebut termasuk hama, cuaca kritikan dlsb. Dan tingkat kewaspadaan tertinggi adalah kewaspadaan terhadap diri sendiri, kelengahan, kegegabahan, kesombongan, terlalu terhanyut dalam kebahagiaan hanya karena bisa membuat sebuah bedengan dan jalan air semata. Dan dari rentetan peristiwa tersebut segala sesuatu kegagalan muncul karena kita terlalu menyepelekan, menganggap semua aman-aman saja, serta saat mengalami kegagalan tersebut kita juga dihantui juga rasa putus asa, Sehingga dapat di tarik garis besarnya kita harus mewaspadai kesombongan dan putus asa. Dan datang lagi informasi dari Mbah Nun, bahwasannya bertani dan sebagainya itu sebenarnya sebagai apa?, bahwa akar kata dari amal adalah kerja, di dalam bekerja itulah kita beramal juga, jadi kalau bertani itu merupakan bekerja dengan Allah , dari situlah semangat bertani kita tumbuh kembali dan alhamdullilah hingga mengantarkan kita pada panen. Setelah tepat malam dimana sebelum keberangkatan ke Jogja kita sempat mengobrol soal kyai Muzammil tentang panean yaitu merujuk pada kata panen, dan ternyata satu hari setelah pulang dari Jogja Kyai Muzammil dipanggil untuk menghadap kembali pada sisi-Nya, lagi-lagi kita harus berlatih kembali untuk gugur dari tema tancep kayon kemarin.

 

 

Lalu berlanjut pada Mas Agus, bahwa semua yang terjadi antara awal bulan Mei kita dihadapkan pada semua serangkaian peristiwa, panen bertepatan dengan, mulai dari bulan purnama, super moon, juga bertepatan dengan ulang tahun Mbah Nun, dan pula bertepatan dengan berpulangnya Kyai Muzammil, dan pula termasuk fenomena turunnya wahyu keprabon, dan pula turunnya wahyu keprabon bukanlah sesuatu lantas serta merta membahagiakan, bahwasannya disitulah dimulai untuk bagaimana untuk menyegerakan diri, akankah mengikuti Nabi Muhammad SAW. Ataukan menjadi seseorang yang ingkar, mau kufur atau sukur, mau tumbuh atau rubuh, nah disini kita mencoba untuk memahami bagaimana kita mencoba menumbuhkan dan bisa menjadi penyambung jiwa kita walaupun kita telah kembali, seperti menanam kita sudah dipanggil maka buah dari pohon itu masih bisa muncul menggantikan jiwa kita, daun-daun yang menuju langit dan buahnya itulah surga, surga dalam bahasa Arab bisa Furdaus, Jannah, tetapi kita menitik beratkan pada Jannah, kosakata yang tersemat bagi masyarakat Maiyah sebagai Jannatul Maiyah, kebun kebun Maiyah, itu semua karena kita hanya baru bisa melaksakan dari segi materialnya, yaitu bertani, berkebun, maka ketika sudah memulainya maka disitulah kita mengenal Jannah Dunia, Apa-apa yang kita temui di surga semua berkaitan dengan yang kita lakukan atau tanam di dunia ini. Bahwa semua yang kita tanam akan bekerja untuk kita, kelak itu akan mendapat imbalan, ketika amal dalam bentuk uang, itu menurut Mbah Nun merupakan cara transaksional, kita akan mengharap imbalan juga dalam bentuk material. Atas kepergian Kyai Muzammil maka kita maknailah itu perwujudan dari panen Maiyah, meskipun sebenarnya dalam konteks kemanusiaan kita tidak dalam seperti itu, namun ketika kita meyakini bahwa suatu kepergian itu adalah perwujudan kesempatan yang dikasih oleh Allah, maka kita benar kalau apa yang sudah di amalkan oleh Kyai muzammil itu di dunia sudah waktunya disitulah Maiyah memanennya, maka berbuahlah itu, masyarakat maiyah sedang mengalami panen yang besar karena sehubungan berpulangnya mulai dari bunda Chammana, Syech Kamba, Mbah Umbu dan disusul Kyai Muzammil.

Lalu berlanjut lah duskusi, bahwasannya pada malam itu tidak ada tema, maka dibuka pada teman-teman untuk mengungkapkan impresinya pada malam itu, dan dimulai dari Mas Imam Sahili, beliau mengungkapkan suka duka dalam menanam dahulu ketika sudah mulai berbuah kecil dan membuat hati bahagia, ternyata selang beberapa hari sudah dipetik oleh putrinya dan begitupun saat

 

 

tetangga menanam sudah berbuah juga sudah dipetik lagi, dan itu cukup membuat gemes di dalam hati walaupun pada awal sudah berdecak suka atas berbuahnya pohon yang di tanam tersebut namun disitulah kewaspadaan terhadap kesabaran diri untuk di pahami, tetapi walaupun begitu buah yang lain tetap bisa matang sampai besar. Dan yang selanjutnya dalam keluarga beliau, ternyata dalam hal menanam sudah ada perhitungan yang matang kapan waktu menanam, seberapa lama perawatan itu dilakukan dan kapan waktu yang tepat untuk memanennya dan semua sudah tepetakan melalui jenis- jenis pohon yang akan ditanam. Dari situ dapat diambil garis besar bahwasannya jika kita mewaspadai kesabaran maka akan berbuah juga, padahal sebenarnya dalam sebuah pola tanam bila salah satu dipetik buahnya otomatis suplai makanan pada buah yang belum terpetik akan juga mengalami peningkatan karena salah satu dari lainnya sudah dipetik dan akan mengalami pemusatan suplai makanan pada satu titik buah yang masih utuh.

 

 

Lalu berlanjut pada Mas Nardi selaku imam tandur di kebun Mbodro Pakaryan, dan ternyata pemilihan beliau sebagai imam tandur terkonfirmasi oleh statement mas Sabrang, bahwasannya jika kita berada di lingkaran kecil perkumpulan maka pilihlah seseorang yang bermanfaat untuk kebersamaan yang mampu mennggiring perkumpulan kecil itu pada kemajuan yang lebih baik, dan pula ternyata dedikasi Mas Nardi terhadap kebun Mbodro pakaryan amat tinggi karena beliau mau meluangkan bukan hanya waktu dan tenaganya namun semuanya dengan penuh di bidang sung dan sih demi kemajuan kebun mbodro pakaryan hingga menuju panen walau dengan rintangan yang bertubi-tubi. Dalam impresinya beliau mengungkapkan bahwasannya keberadaan beliau di sini belum pantas kalau di dapuk sebagai imam tandur, karena dari awal beliau bahagia  bisa hadir dan membersamai dan merasa terdorong untuk melaksanakan PR atas kebun maiyah dari situ maka membutuhkan referensi tanam dan itu bersumber dari medsos, sebenarnya semua metode dari medsos terkadang membuat bingung karena dari sumber satu dan lain terkadang terdapat perbedaaan, yang satu harus dari sisi yang lain dan harus miring dan yang lain bisa berbeda pula dalam praktik menyemprotnya tapi tujuannya sama, sehingga jika kita ingin menganut sebaiknya pilih salah satu saja karena tujuan dari arah penyemprotannya sama, tentukan pilihan satu saja namun harus tekunilah dan dipahami, dan sambil sedikit humor belia mengungkapkan jika diangkat sebagai imam tandur ya di syukur-in “syukurin” saja sambil tersenyum dan dari situ mengundang gelak tawa teman-teman  pada malam hari itu. Pesan mas Nardi, kita Semua initinya sama-sama belajar disini dan pula mendapatkan jawaban dari Mbah Nun bahwasannya kita semua kan seperti pohon, dalam pohon terdapat akar, batang, daun hingga buah, jika ingin menjadi tumbuhan yang berkualitas maka dimulailah dari akarnya dahulu mau merujuk kemanakah akar itu terhadap tanahnya, sehingga akar harus menuju pada tanah yang nutrisinya seimbang, kalau sudah menemukan nutrisi yang tepat barulah menuju ke daun, tempat dimana nutrisi diolah dan dihasilkannyalah buah yang berkualitas, sama hal nya juga kehidupan ini jika kita mengambil nilai kehidupan yang berkualitas maka dalam otak kita akan kita olah dan kita jalani maka hasilnya hasilnya akan berbuah kepada surga, meskipun kita belum tahu bagaimana surga itu seperti apa, tapi tetaplah kita meyakininya dan terus berpegang teguh terhadap keyakinan tersebut.

 

 

Lalu berlanjut pada Mas Ihda, beliau merespon terhadap pemilihan imam, dan baru mengetahui kalau imam yang baik itu mampu benar-benar  memberi contoh yang baik bukan hanya deri segi perkataan namun juga perbuatan yang benar-benar direalisasikan sehingga membuat makmumnya juga terdorong untuk melakukan hal tersebut, ya pemimpin yang sebenarnya mampu melayani makmumnya, konsep imam besar bukan hanya dari segi cowoknya yang banget namun juga benar-benar menjiwai dengan apa yang dilakukannya demi kemajuan pada kebaikan. Terus Mas Ihda juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap pengalaman bertaninya sudah susah menanam namun tanpa sepengetahuannya ternyata buah yang diharapkan sudah kedahuluan oleh tetangga sambil tersenyum geli mengungkapkannya. Lalu Mas Ihda mengungkapkan dalam pengalaman berkebunnya, bahwa kata orang jaman dahulu kalau bisa menanam dari bibit hingga tumbuh besar maka dikatakan termasuk pemilik “tangan adem“ kalau istilah Jawanya. Sebuah tanda bahwa pekarangan diberkahi adalah yang tadinya gersang menjadi hijau subur, kemudian naik lagi ke peringkat selanjutnya dikatakan berhasil jika dihadiri kumpulan kupu-kupu yang beterbangan di lahan tersebut dan hingga level selanjutnya yaitu munculnya ekosistem capung, dan fenomena tersebut dialami Mas Ihda ketika mencoba menanami tumbuhan disekitar perumahan yang baru ditinggali dan perumahan tersebut amat panas dan jarang ditumbuhi pohon maka berinisiatiflah untuk menanam dan diketemukan dengan fenomena tersebut, dan melalui rujukan perumpamaan surga itu hijau, maka menamlah maka disitulah surgamu. Berlanjut dari situ mas Ihda baru-baru ini menemui konsep bersedekah oksigen, oksigen akan bertambah jika keberadaan tumbuhan banyak, maka mulailah menanam untuk memulai bersedekah oksigen pada sesama.

 

Jadi kita mencoba menghadirkan sebuah ekosistem yang sudah diberikan oleh Allah yang pernah hilang karena sikap yang tak beradab, terus memunculkan ekosistem itu lagi dengan cara menanam, walaupun dengan hanya ukuran polybag, terus apa jadinya kalau keberadaan ekosistem lebah hilang, maka bahaya sekali terhadap dunia ini, karena dengan hilangnya ekosistem lebah maka akan memperburuk keadaan tanam dan berefek pada kegagalan panen tentu saja akan timbul masalah pangan, karena menurut pengamatan lebah menjadi duta utama penyerbukan dari 70% tumbuhan pangan dan sandang. Hilangnya ekosistem lebah bisa terjadi salah satunya oleh penggunaan pestisida, organ sensor pada lebah akan terganggu oleh pestisida tersebut sehingga ia kehilangan arah untuk kembali ke sarangnya. Punahnya lebah akan berdampak sangat serius sebab niscaya timbulah wabah kelaparan, terjadinya peningkatan kriminalitas dari yang sekedar ngutil sampai peperangan antar negara. Saling membunuh karena kelaparan yang terjadi dan itu bisa menjadi triger terjadinya kehancuran total, maka selain menanam akan alangkah baiknya selalu belajar tentang keseimbangan ekosistem, salah satunya mengatur juga pemakaian dosis pestisida.

 

Lalu berlanjut pada mas Rizal, beliau mengungkapkan belum pernah melakukan apa yang berhubungan dengan menanam, namun dulu suatu ketika saat PKL di suatu desa tepatnya di desa Sukolilo menemui suatu kesan pada petani disana, pertama ladang petani habis dimakan oleh tikus, hampir semua ladang rusak karena serangan tikus, namun para petani masih bersyukur walaupun tinggal sedikit yang bisa dipanen, karena perumpamaan sudah lumrah kalau tikus memakan, toh juga tikus tidak bisa menanam dan masih menyisakan juga untuk kita nikmati panennya, kita sebagai manusia masih bisa diberi kesempatan lagi untuk menanam kembali, lalu yang kedua saat mengalami gagal panen karena banjir, ladang dan sawah dipenuhi air sehingga membuat kondisi gagal panen, namun banjir itu meluas hingga di jalan raya, dan mengakibatkan sopir truk berhenti di tengah jalan raya tersebut karena mesin dari truk dan mobil hingga terendam air, para petani walau mengalami gagal panen karena banjir, mereka malah berinisiatif memasak bersama dan membagikan nasi bungkus pada sopir truk yang terjebak banjir tersebut, para petani begitu masih bersyukur, masih bejo hanya ladang yang terendam banjir, masih kasihan para sopir truk itu sudah truknya mogok tidak bisa kemana-mana dan juga lapar. Maka dari situlah sebenarnya kegigihan seorang petani dapat kita petik dan pahami sebagai pembelajaran untuk selalu “Lilo” dan ikhlas. Dan yang ketiga, bahkan petani disana enggan menggunakan urea, karena itu dapat mengganggu keadaan tanah, ya walau pemakaian urea dapat mengantisipasi tumbuhnya rumput, tapi sebenarnya dapat mempengaruhi tanaman juga, dan bahkan para petani lebih memilih mencabuti rumput tersebut ketimbang penggunaan urea.

 

 

Lalu berlanjut pada Fidhoh, tentang tananam yang didominasi dan diperlambangkan warna hijau, sebenarnya di dalam dunia medis pemakaian warna tersebut selalu ditemui pada jas operasi yang dikenakan oleh tim medis kenapa tidak menggunakana warna yang lain padahal ada banyak warna lain yang lebih cerah, itu dikarenakan warna hijau dapat memberi ketenangan pada sang pasien, panjang gelombang dari warna hijau lah yang dapat menembusnya kedalam reseptor ketenangan yang berada di saraf. Maka apa jadinya bilamana di dunia ini jika budaya menanam semakin punah maka tumbuhan yang sebagai agen pemilik warna hijau akan punah dan berefek kemana-kemaa termasuk kesehatan mental setiap manusia, dan niscayalah terjadi perselisihan antara manusia. Ternyata hijau dan biru mampu menangkal zat-zat yang tidak baik bagi tubuh manusia.

 

 

Tak ketinggalan Mas Koko membeberkan pula pengalamannya, saat dulu sewaktu di jalan tol, bahwa rumput yang berada di tepi jalan tol harus memiliki tinggi kurang lebih 3 cm dan tidak boleh dimatikan dengan roundup, karena itu termasuk keindahan bagi pengguna jalan tol nya tersebut, dan juga melalui perawatan yang intensif secara teratur, dan memang kelihatan apik dipandang terutama pada tol Daerah Jawa Tengah, sangat menenangkan bila dipandang dan tidak membuat capek mata dengan adanya warna hijau. Dan bila untuk kedepannya lahan mbodro berencana untuk melakukan hal tersebut dengan cara mengagendakan pencabutan rumput tanpa menggunakan roundup sehingga disitulah kita akan menerima tiket ke kholifahan sebagai manusia, namun bila tidak memungkinkan maka kita akan mencoba menentukan aspek lainnya agar tetap berkesesuaian dengan aspek ke kholifahan tersebut.

 

 

Dan yang terakhir pada Pak Tri, sewaktu bertemu nya beliau dengan sanak saudara terjadi perbincangan mengenai perihal pekerjaan dan keputusan beliau untuk hengkang dari pekerjaannya yang dahulu, dan menekuni usaha dagang serta bertani ini, beliau mendapat pesan bila dalam bidang bertani harus secara penuh mengupayakan tawakal terhadap hal tersebut, serta beliau mengaku bahwa dilakukannya kegitan tandur ini secara bersama-sama, mendengar hal tersebut maka hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana harus memanjemen kebersamaan agar tidak terjadi kesimpang-siuran dikemudian hari yang dapat menimbulkan perpecahan dalam kebersamaan tersebut maka harus tawakal secara penuh. Karena pernah dicontohkan mencari orang untuk memanen dan paginya telah di habiskan oleh serangan hama, jadi dinamika yang kita alami selama di mbodro kadang naik turun ada suka duka nya, kadang saat kita meremehkan semangka ternyata malah berbuah banyak, jadi semua tidak pasti dengan kita rencanakan walaupun secara matang sekalipun, kita harus selalu mewaspadai terhadap segala sesuatunya agar meminimalisir kemungkinan terburuk, walaupun memang semua keputusan berada di tangan Allah.

 

 

Diskusi masih terus berlanjut hingga tengah malam, untaian pertanyaan tersimpan dan tersampaikan terus dirangkai terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yamg tentunya bermanfaat untuk sedulur yang hadir pada malam itu. Pada intinya kita untuk kedepannya dalam menyikapi dan direncanakan dalam penggarapan kebun mbodro harus lebih intens dan selalu menambah kewaspadaan terhadap segala sesuatu yang mungkin akan berbeda dengan apa yang diharapkan, serta menambah tawakal  dalam menjalaninya. Untuk pasca panen ini kita dituntut untuk puasa dahulu sesuai dengan himbauan Imam tandur kita Mas Nardi, serta itu disambut dengan hangat dan senyum kebahagiaan. Keluarga gugurgunung memungkasi acara dan dilanjutkan dengan makan bersama. Sebelum masing-masing pulang. Acara ditutup dengan Doa penutup yang dibantu memimpin Doa oleh penggiat makam Mbah Eyang Benowo, tak lupa sebelum pulang kita membersihkan dahulu tempat yang digunakan, dan akhirnya kita bersalaman untuk pulang ke rumah masing-masing. Alhamdulillah.

 

 

 

Juru Panyarik gugurgunung
Fidhoh Rahmat Akmal

 

 

Nisfu Sya’ban dan Jimat Tolak Balak

Pada Sabtu pekan terakhir di bulan Maret tepatnya 27 Maret 2021. Merupakan Sinau Bareng yang  pertama kali diadakan kembali pada malam hari di Tahun 2021 oleh Majlis gugurgunung. Persoalan pandemi yang belum kunjung usai membuat kegiatan Sinau Bareng sebelumnya diadakan pada pagi hingga siang hari, lantas dilanjutkan dengan menggarap lahan. Meskipun isu pandemi masih ada, namun proses adaptasi terhadap situasi saat ini telah jauh lebih kondusif dan tidak segenting pada awal-awal berita ini mencuat. Apalagi memang sudah terlalu lama kerinduan pada helatan Sinau Bareng malam hari sudah sangat tinggi. Hal baik lainnya adalah untuk kawasan regional Kabupaten, pada bulan Maret sudah diperbolehkan mengadakan acara dan terpenting selalu mematuhi protokol kesehatan.

Bismillahirrohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan sukacita dan memantapkan diri untuk bertempat di komplek makam Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari, Kab. Semarang untuk melaksanakan rutinan Sinau Bareng. Tema workshop malam ini adalah “Nisfu Syaban dan Jimat Tolak Balak”. Alhamdulillah  pada malam hari ini dihadiri juga oleh  Pak  Zam beserta putrinya Dek May, begitu juga dihadiri Mas Dany yang pada satu hari sebelumnya telah tiba dulu di Semarang dan satu lagi Mbak Kety teman dari Mbak Cahya yang pada malam itu mendapat kesempatan melingkar, maka diperkenankan untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan Tawasul oleh Pak Tri juga  Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan dari Mas Agus.

Mas Kasno sebagai moderator memulai acara pada pukul 20.30 dengan bacaan basmallah, kemudian mukadimah dibacakan. Tak lama kemudian turunlah hujan yang semakin deras yang menambah rahmat dan syukur di malam itu. Mas Agus membuka sesi tanggapan oleh setiap jamaah tentang persepsi kesombongan menurut pribadi sendiri-sendiri walaupun keadaan pada malam itu dipenuhi oleh gemercik hujan yang deras maka bersamailah itu dengan rasa penuh bahagia dan syukur dalam ikatan penuh kehangatan dimalam itu.

 

SESI I –
Ngudhari kesombongan diri

 

Maka diawali mas Koko, mempersepsikan bahwasannya kesombongan itu adalah “rumongso biso” padahal seharusnya “biso rumongso”. Berlanjut pada mbak Cahya, mempersepsikan bahwasannya “kesombongan itu ketika kita melihat yang lain lebih rendah daripada diri kita dan kita menyadari itu dan menghentikan kebaikan”. Disusul mas Fidhoh yang mempersepsikan bahwa “kesombongan itu tidak berarti pada orang-orang yang berpakaian bagus karena pada dasarnya itu adalah upaya untuk mengindahkan, tetapi kesombongan itu terletak pada ke-Akuan, tidak mau menerima pandangan orang lain merasa dirinya paling benar sendiri.” Berlanjut pada dek May, mempersepsikan kesombongan adalah “apapun yang dia lakukan atau bersikap merasa benar, dan lebih baik, entah dihadapan sesama manusia ataupun bahkan dihadapan Tuhan.”

Berlanjut lagi pada mas Dhani, mempersepsikan kesombongan adalah “segala yang manusia perbuat tak dia sadari bahwa itu semua berasal dari Tuhan”. Berlanjut mas Dhidit mengajukan sudut pandang bahwa kesombongan itu adalah “merasa lebih tinggi dari siapapun dan singkatnya tidak memanusiakan manusia” mas Dhidit memberikan contoh tentang seseorang yang mendaki gunung dia menganggap dirinya sendiri hebat karena sudah menakklukkan gunung yang tinggi padahal yang dia takklukan seharusnya adalah dirinya sendiri. Disusul oleh Mas Tri, yang mengajukan pula pandangan dan persepsinya bahwasannya kesombongan itu dirasakan dari rasa dan visual, seseorang yang berpenampilan biasa saja namun cara berbicaranya sedikit meninggi dan dalam hal berperilaku tulus atau tidak bisa dinilai itulah letak kesombongan, namun beliau mengungkapkan lagi bahwa kesombongan bisa dilihat juga walaupun belum bertemu bagaimana orang itu sebenarnya meremehkan atau tidak entah disengaja atau tidak mendatangkan kemudlaratan.

 

Mas Nardi menambahkan pula persepsinya bahwasannya kesombongan itu adalah “disaat kebanyakan orang tidak menyadari dan hanya tergantung oleh yang menilai, dari sifat sombong itu sendiri entah itu dari sifat pembawaan atau pun diluar sifat itu”. Berlanjut lagi pada mas Kasno, mempersepsikan kesombongan itu sering muncul dan berdampingan dengan perilaku baik, indah, luhur, keunggulan dlsb. Dan kebalikannya atau lawan dari itu adalah putus-asa karena sering berdampingan dengan perbuatan buruk atau keadaan dimana manusia merasa hidupnya tidak berjalan dengan indah. Setelah mas Kasno, pak Zam menyampaikan pula pandangannya bahwa kesombongan adalah “sesuatu yang hanya menyertakan salah satu sisi saja, entah itu, teknologi, budaya ekonomi dll, dan dapat dianalogikan seperti menomor satukan tangan kanan saja dan tidak menyadari keberadaan tangan kiri, dan kesombongan itu dekat sekali dengan kebodohan dan mengingkari peradaban”. Terakhir pada mbak Kety, peserta baru yang hadir bersama mbak Cahya, tak cuma mau diam, dia juga menyumbangkan pandangannya tentang kesombongan. Persepsinya: “kesombongan itu adalah disaat manusia merasa selalu benar dan tidak mau menerima nasihat dari yang lainnya”.

Mas Agus merasa sangat senang atas pendapat-pendapat yang disampaikan. Diibaratkan sebagai mutiara-mutiara yang satu dengan yang lainnya akan bisa saling belajar dan melengkapi pandangannya tentang kesombongan. Apa yang dipersepsikan tentang kesombongan dari keluarga gugurgunung yang sangat menarik dan otentik. Ini membuktikan bahwa point-point tentang kesombongan telah dipahami dalam diri setiap orang. Semua orang telah memahami sebagai pandangan Ilmu bawah sadar untuk menganalisis kesombongan. Di dalam al-Quran, Allah berfirman untuk tidak memusuhi malaikat Jibril, sebab malaikat Jibril sudah diutus Allah untuk menanamkan Al-kitab dalam dada setiap manusia. Demikian maka pemahaman tentang kesombongan pun sudah diperoleh oleh setiap manusia. Dengan bekal ilmu itu kita memerlukan media yang dinamakan dunia untuk menguraikan ayat demi ayat dari al-Quran yang berada di dalam dada kita tersebut.

 

Kesombongan itu sudah ada sejak Zaman Nabi Adam kalau memang Allah tidak menyukai kesombongan, maka tidak akan pernah menciptakan kesombongan itu, dan jika kesombongan bisa dihentikan oleh Nabi-nabi dan Rasul maka tidak ada lagi orang yang sombong, tapi nyatanya masih saja ada orang yang bersikap sombong. Jadi kesombongan tidak bisa dihentikan sekalipun oleh Malaikat, melainkan oleh dirinya sendiri. Argumen apapun akan tetap bisa dibantah dan dilemahkan apabila manusia selalu eman-eman, nguri-nguri, nglelithing sifat sombong, dan maka timbullah sikap melebih-lebihkan, kalau orang jawa memberi ungkapan “kumo”, kumo ayu jadi “kumayu”, kumo pinter jadi “keminter”, kumo laki jadi “Kumaki”, dlsb.

 

Sebagai contoh, bahwa pandangan yang sudah benar dan baik akan mengalami proses reduksi dengan bantahan yang melemahkan pandangan tentang kesombongan. Mengeruhkan pandangan yang jernih. Orang dibuat lemah dan rendah hati bahkan putus asa jika merasa salah pandangannya. Atau justru orang menjadi semakin bersikeras dan keras hati dengan pandangannya sehingga tak ingin mempedulikan pandangan oranglain. Kedua efek ini sama-sama merugikan. Misal merespon perspektif dari Mas Koko, bahwa kesombongan itu “merasa bisa” padahal seharusnya “bisa merasa”, lantas dibantah kalau “memang bisa” mengapa mengatakan “tidak bisa”? bukankah “merasa bisa” ini juga baik jika yang bersangkutan memang benar-benar bisa? Justru akan lebih buruk jika mengatakan “masih belum bisa” dengan alasan mengakui bahwa kemampuannya masih rendah sementara dan banyak yang jauh lebih baik di dunia ini. Pengakuan yang “masih belum bisa” ini bisa menjadi lebih sombong karena mengabaikan kemampuannya sendiri yang tengah dibutuhkan oranglain.

 

Maka disitulah dikatakan kesombongan itu amatlah lembut hingga kita tidak bisa memahami apa itu kesombongan secara detail. Kemudian sebagai contoh lain respon terhadap perspektif Pak Zam sudah sangat baik dalam pandangannya tentang kesombongan. Tiba-tiba pandangan ini ditentang oleh sebuah pendapat tentang contoh penggunaan tangan kanan tadi dibenturkan dengan adab makan. Seolah ada dialektika baru yang memposisikan seolah pendapat awal tadi memerlukan koreksi. Kita masih banyak punya counter jawaban sehingga kesombongan itu tidak akan pernah hilang.

 

Mekanika pandangan tentang kesombongan itu tidak akan selesai kita akan terus bergulir di posisi salah atau benar. Tidak ada orang lain yang bisa menyadarkan diri kita karena kita selalu punya cara untuk membantahnya. Hanya ada dua pihak yang bisa menyadarkan yang pertama adalah diri sendiri yang mau dan yang kedua anjuran dari yang kita anut. Setiap orang punya anutan, ada yang menjadi panutan. Ciri-cirinya adalah pikiran, perkataan, dan perbuatan berusaha selaras mungkin terhadap apa yang dianutnya.

bahwasannya mereka yang kita anut hanyalah seberkas percikan keindahan yang berasal dari Tuhan, maka hanya pada Tuhan lah sebaiknya meminta petunjuk itu. Membaik sangkai perilakunya maka akan paham tujuannya. kita memiliki kesempatan untuk menggunakan fasilitas yang Allah berikan dan fasilitas itu bisa bermanfaat untuk orang banyak. Cara bersyukur bisa dengan mengaplikasikan apa yang kita bisa untuk memberi manfaat pada orang banyak.

 

Cinta tidak membuktikan pengorbanan, tapi cinta itu membuktikan cinta dengan rela berkorban. Disetiap pribadi, sombong itu pasti ada dan tergantung bagaimana mengontrol dan menyadarinya. Jika tidak menyadari atau mengingat maka ‘biji sawi’ kesombongan itu akan tumbuh secara cepat dan masif. Perbanyaklah perbuatan mulia dan tepat ukuran sebagai perimbangan ‘biji sawi’ yang baik sebagaimana yang tertulis dalam Al Qur’an  Surat Al Anbiyaa ayat 7 dan Surat Luqman ayat 16

 

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا ۗ وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفٰى بِنَا حَاسِبِيْنَ ﴿الأنبياء : ۴۷

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan. (QS. Al-Anbiya’: 47)

يٰبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ ﴿لقمان : ۱۶

(Lukman berkata), ”Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti. (QS. Luqman: 16)

SESI II –
Tanya-jawab

 

Setelah dibahas tentang kesombongan, kini tiba waktunya untuk mengutarakan unek-unek dan hal apapun saja yang bisa digelar bareng sebagai bahan pasinaon. Malam Nisfu Sya’ban ini bagi keluarga gugunung dianggap sebagai malam yang sakral dan istimewa karena dipercaya sebagai karunia tertaburnya cahaya langit yang menerpa bagi siapapun yang masih terjaga.

Pak Zam kemudian mengajukan pertanyaan, beliau merasa sedikit gelisah atas permintaan putrinya. “Bagaimana saya bersikap saat saya merasa takut pada anak saya yang ingin masuk pondok, padahal disana anak saya pasti mengalami tekanan-tekanan oleh kebijakan pondok, bagaimana saya bisa menghilangkan kebimbangan dan noktah-noktah itu?”. Mas Agus merespon pertanyaan Pak Zam, untuk meminta kemantaban pada Allah, dengan sholat Istikharah. Jika memang mantab maka bersamailah dengan doa dan pasrah. Bahwasannya sebagai orang tua pasti tidak bisa selalu 24 jam hadir untuk menjamin atas apapun yang hendak menimpa anak. Sedangkan Allah akan memiliki penjagaan yang tak sedikitpun lepas. Apalagi mungkin, si anak justru ingin menguji mental dan kehandalannya dengan jauh dari orangtua meskipun akan merasakan penderitaan dan tekanan. Dia tidak akan bersikap lembut kepada yang hatinya lembut dan akan bersikap keras kepada yang perangainya keras. Proses ini menjadi mental yang juga akan meruntuhkan kesombongan orang lain. Sehingga kita sebagai orangtua yang mungkin merasa cemas dan khawatir benar-benar perlu berkeyakinan atas peran Al Hafidz, Allah Yang Maha Menjaga. Posisi cemas, khawatir dikonversi menjadi ketulusan doa maka semakin hal-hal yang mencemaskan dan mengkhawatirkan itu hadir semakin pula pengharapan dan penyerahan diri kepada Allah ini tersampaikan secara sungguh-sungguh dan tulus.

 

Lalu mas Kasno sebagai moderator menyampaikan pada topik selanjutnya, bagaimanakah upaya pada diri untuk menemukan jimat tolak balak terhadap kesombongan itu sendiri. Dimulai dari Mas Tri, mengutarakan bahwa belum ada upaya dan memilih diam jika ada sesuatu yang mengganggu dan bahkan memilih lari dari masalah atau memilih untuk mencoba tidak untuk bersinggungan, agar tidak terjadi perdebatan yang akan berlarut larut.

Berlanjut pada mas Nardi mengutarakan bahwa upayanya adalah pasrah pada Allah karena semua kesombongan terkadang tidak dapat disadari dan tidak ada petunjuk. Mas Agus sepakat dengan pasrah kepada Allah. Sebab itu tindakan paling dianjurkan sebagai seorang muslim. Sedangkan tentang petunjuk, mas Agus merespon bahwa tak jarang ketidak-hadiran petunjuk itu karena semua ukuran datangnya petunjuk tersebut telah dibuat sendiri patokannya. Misalnya kita minta petunjuk melalui shalat istikharah, justru petunjuk itu hadir dalam bentuk antitesis nya. Sebagai contoh seorang pemuda meminta petunjuk pada Tuhan dengan istikharah untuk mendapat kemantapan hati apakah benar si gadis yang ditaksirnya adalah jodohnya sementara gadis tersebut sudah bertunangan. Si pemuda ini kemudian bermimpi bahwa dalam mimpi di berjodoh dengan wanita itu, saat itu pasti senang dengan mimpi itu dan amat yakin kalau wanita itu jodohnya, namun apakah kesenangan itu lantas membuat hatinya mantab? Ternyata tidak, sebab ia berfikir apakah pantas demi kebahagiaan sendiri harus menyakiti hati orang lain. Ia mungkin mendapat jawaban yang gamblang tapi yang memantapkan hatinya justru menjauh dari gadis tersebut. Maka disitulah kemantaban jawabannya, sesungguhnya saat-saat Tuhan memberi petunjuk, bersama itu juga diberi rangsangan nurani pada hati dan akal.

 

Mas Dhidit mengaku bahwa belum ada upaya dalam hal tolak balak ini, sementara yang bisa dilakukan hanya mencoba untuk terus memanusiakan manusia dan tidak untuk merendahkan untuk memgoptimalkannya, sebenarnya manusia lebih mudah daripada hewan. Mas Agus menyepakati upaya yang tampaknya sederhana ini. Padahal itu adalah sikap yang tidak mudah. Sebab dalam kenyataannya manusia yang kita jumpai tak selalu bersikap sama. Oleh sebab demikian, perlu kiranya untuk memiliki ukuran dan kategori tentang manusia, jangan hanya sekadar yang berwujud manusia namun yang masih memiliki sikap dan perilaku yang mengindikasikan adanya rasa kemanusiaan pada dirinya. Jaman sekarang telah melahirkan kembali raksasa, buta, denawa, yang sekarang dalam rupa manusia. Bentuknya, bahasanya, sama persis hanya keserakahan, kekejian, ketidak-pedulian, grusah-grusuh, kesewenang-wenangannya, masih bertahan dan ingin diluap-luapkan pada dirinya. Muliakan yang layak dimuliakan, dan jangan muliakan orang yang hanya paham kehinaan, sebab jika engkau memaksakan diri untuk memuliakan pada pihak yang tak mampu menghargainya maka upayamu hanya akan dihinakan dan menjadi percuma. Dan jangan pula menjadi grusa-grusu mengambil sikap sebelum mendapat kesimpulan yang valid secara nurani.

 

Fidhoh mengutarakan bahwa upayanya adalah mencoba jangan terlena untuk terus membangun benteng untuk orang lain yang berusaha untuk mengajaknya berdebat. Mas Agus merespon, upaya itu perlu dimutakhirkan sebab jenis perdebatan itu tak selalu hadir secara konfrontatif dari luar namun bisa juga hadir secara konfrontatif dari dalam diri sendiri. Dihimbau agar selalu mencoba memahami debat, supaya bisa mengetahui baik itu secara implisit atau eksplisit, baik secara eksternal maupun internal. Hal utama pada fenomena perdebatan adalah bukan menang dan kalah namun tentang tesis dan antitesis untuk menemukan sintesa. Jika perdebatan hanya untuk mencari menang kalah maka benar buatlah benteng yang tinggi. Namun apabila perdebatan itu terjadi di dalam dirimu sendiri, kamu tak bisa menang separo dan mengalahkan separo dirimu yang lain. Dengan demikian sintesanya adalah membuat keduanya sepakat pada ukuran kemenangan yang dijunjung bersama. Apapun yang dilakukan mengandung resiko tapi jangan mengambil resiko yang merendahkan yang lainnya. Ada perdebatan yang tampak, ada pula pedebatan yang tak tampak. Perdebatan yang tidak tampak ini hadir melalui kondisi yang sama sekali tidak berupa perdebatan namun kondisi tersebut menjadikan polemik dan perdebatan dalam dirimu sendiri. Maka benteng diri untuk mengatasi perdebatan itu adalah sikap tenang dan nalar yang berpegang teguh pada al-biiru (kebaikan).

 

Dek May mengemukakan pendapat bahwa upayanya adalah mencoba sadar jika itu kesombongan dan mencoba untuk tidak mengulanginya lagi. Mas Agus menaruh apresiasi untuk dek May untuk seusia itu sudah mampu mengemukakan pandangannya secara berwawasan, dan berpesan agar tetap terikat cinta pada Nabi dan Allah.

 

Mas Koko mengutarakan upayanya dalam hal tolak balak kesombongan ini adalah mencoba untuk terus bersyukur tidak membandingkan dengan yang lain, dan selalu menyikapi sombong di era milenial. Mas Agus membenarkan pendapat ini dan memberikan sedikit tanggapan bahwa terkadang kita tidak memiliki kecakapan untuk memindai kesombongan di era milenial ini. Motivasinya akan terbaca ketika ada pola berulang yang tampak, apakah pamer? mencoba menginspirasi? atau lalai? atau memang niat untuk memperlihatkan citra kebaikan. Sombong sudah ada sejak Zaman Nabi Adam hingga Rasulullah Muhammad SAW. Semua Nabi akan berhadapan dengan orang-orang yang sombong. Lantas apakah setelah wafatnya Rasullah maka kita tak lagi menemui orang sombong? Ternyata masih. Dengan demikian apakah berarti nabi dan rasul tidak berhasil menjalankan tugasnya? Sama sekali tidak demikian.

 

Para Nabi dan Rasul telah berhasil dengan gemilang mencontohkan hidupnya yang penuh perjuangan tanpa terpengaruh kesombongan, karena memang tugasnya para nabi dan rasul bukanlah menghapus kesombongan oranglain, melainkan menyempurnakan akhlak dengan contoh perilaku yang tidak mengakomodir kesombongan dalam hidupnya. Sedangkan apakah nubawwah atau risalah ini diterima atau ditentang adalah pilihan masing-masing pihak yang menelaahnya. Oleh sebab itulah maka perlu disadari bahwa tiap-tiap kita ini memilki tugas untuk memperbaiki akhlak kita masing-masing dengan berbagai fasilitas yang Allah telah berikan. Inilah upaya syukur demi terhindar dari sikap kufur. Katakanlah bahwa salah satu fasilitasnya adalah benih kesombongan, akan kita bisa gunakan sebagai apa benih kesombingan itu? Apakah bisa sebagai sikap pengabdian yang menghindarkan kekufuran?  Apabila memang benih itu tak dapat kita hapus maka baik-sangkailah bahwa adanya benih itu bukan untuk digunakan sebagai alat menyombongkan diri melainkan sebagai alat untuk mampu mengindentifikasi secara akurat getaran-getaran kesombongan. Syukur merupakan sikap memimpin diri yang bisa mengeliminasi potensi kekufuran. Pengaturan porsi dan kewaspadaan diri sangat diperlukan. Kufur bisa terjadi lantaran merasa kuasa, dan juga bisa terjadi lantaran merasa tak berarti.

 

Gambaran kesombongan yang disampaikan Pak Zam di awal tadi mengandung maksud yang telah benar, bahwa jika sebuah tindakan atau perbuatan hanya menggunakan satu sisi saja. Menyertakan satu tangan bukan berarti sombong, tapi selalu menggunakan tangan kanan saja tanpa peduli pada fungsi tangan kiri adalah kesombongan. Dalam hidup ada akhlak dan adab. Ada yang memang dianjurkan menggunakan tangan kanan pada satu pekerjaan khusus ada pula yang dianjurkan melakukan dengan tangan kiri pada suatu pekerjaan tertentu, keduanya punya fungsi yang ditata secara apik pada letak yang baik, tak ubahnya manner dalam penggunaan sendok dan garpu.

 

Dalam kehidupan, tema benar dan salah akan terus berputar. Hari ini benar tapi besok salah, dan lusa ternyata benar lagi. Kebenaran absolut sebagai makhluk adalah mengedepankan akhlak. Sebab pada akhlak itu ada niat, tanggung-jawab, kesadaran tindakan, perhitungan dampak, dan keberserahan diri pada Sang Khalik yang Maha Benar. Karena mengawal diri berjalan pada kebenaran adalah tindakan utama pempimpin, pemimpin yang baik bukan hanya mengajak pada jalan yang indah, halus, dan menyenangkan, namun juga perjalanan yang mendaki dan terjal. Sebab perjalanan yang lurus bukan pada bentuk jalannya, namun pada kondisi hati dan mental para pejalan yang tetap teguh tidak mau berbelok dari kebenaran Allah SWT untuk kehidupannya.

 

Tidak boleh melebihi porsinya sebagai pemimpin, mantra pemimpin adalah syahadat. Gamelan menemukan tone-nya secara stabil setelah usianya duapuluhlima tahun dan selama itu pun terus di-laras atau dimainkan, jika gamelan itu berasal dari bahan yang kurang bagus dan tak pernah di-laras (dimainkan) maka notasinya akan lebih rendah dari yang seharusnya. Pada diri manusia bisa jadi terekspresikan sebagai sikap inferior, rendah diri hingga putus asa. Sedangkan apabila gamelan terbuat dari bahan yang bagus yang tak di-laras maka notasi akan terlalu tinggi dari yang seharusnya. Pada diri manusia terekspresikan sebagai sikap superior yang menghantarkan kesombongan. Sedangkan laras pada diri manusia adalah ketukan demi ketukan terus-menerus dalam hidupnya baik berupa kesulitan, sedikit rasa sakit, sedikit kekurangan makanan, dan lain sebagainya demi menemukan kestabilan tone kepribadian dan mentalnya.

Diskusi masih terus berlanjut hingga tengah malam, untaian pertanyaan tersimpan dan tersampaikan terus dirangkai terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yamg tentunya bermanfaat untuk sedulur yang hadir pada malam itu. Pada intinya kita dituntut untuk selalu jujur pada diri kita sendiri, waspada pada perbaikan ataupun ketimpangan akhkak. Disitulah kita akan bisa memindai setiap perilaku kita dalam keseharian yang dapat digunakan dalam rangka mengupayakan jimat tolak balak yang bermanfaat untuk orang banyak. Keluarga gugurgunung memungkasi acara dan dilanjutkan dengan makan bersama. Sebelum masing-masing pulang, kami masih sempatkan untuk berkunjung ke Makam Eyang Benowo sambil bermaksud melihat bulan. Namun kabut masih cukup tebal sehingga bulan Nisfu yang kami nantikan tidak terlihat. Dalam perjalanan pulang, kami sempatkan singgah lagi sebentar untuk menikmati sebatang rokok dan kemudian saling bersalaman untuk pamit ke rumah masing-masing. Alhamdulillah, saat menghampiri motor, langit di atas sangat cerah dan bulan menampakkan bulat purnamanya dengan jernih dan terang. Alhamdulillah.

 

Fidhoh Akmal & Cahya
Juru Panyarik Majlis gugurgunung
.

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Pada bulan Maret ini kulawarga Gugurgunung mencoba merekonstruksi lagi beberapa komponen penting bangunan “rumah”nya. Dari beberapa personil yang masih aktif, menopang kembali peran-peran penting atau mengaktifkan kembali peran-peran yang sempat kurang optimal. Salah satu referensi pola yang teranyam adalah Sya’ban atau Ruwah. Yakni bulan penting yang sejak 2018 disepakati sebagai momentum “Tunas”.

 

Pawon kini kembali menyala, memasak bahan-bahan oleh tangan-tangan terampil berdasar potensi masing-masing, dengan dasar ilmu Candra (panyandra). Ringkasnya yaitu, setiap personal kulawarga Gugurgunung menjalankan perannya masing-masing sebagai upaya memberikan konstribusi “cahaya rembulannya”. untuk terkumpul sebagai himpunan cahaya yang “Purnama”.

 

Dasar pijakan lainnya adalah sikap utama kulawarga gugurgunung yakni, “menggugurkan diri”. Sebisa mungkin menghindari umuk dan sombong. Tak minat pada pameran kesaktian, kepandaian, kekayaan, kepopuleran, dslb. Terus teguh tak peduli dan kagum pada hal-hal tersebut, yang seringkali hanya untuk meningkatkan mutu kesombongan seseorang secara laten. Memilih sikap lebih tegas kepada potensi-potensi meremehkan, baik ke dalam maupun ke luar.

 

 

قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

 

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim).

 

Mengutip hadist di atas, tentulah kita sudah tidak asing dengan salah satu bentuk ungkapan nafsu, yakni sifat sombong. Tak seorang pun yang membaca ini termasuk yang sedang menulis ingin menjadi pihak yang masuk dalam golongan orang-orang sombong. Namun dalam kenyataan hidup, apa yang tidak kita maui terkadang bebas hinggap dalam diri seperti ketombe atau jamur kulit.

 

Sadar atau tidak sadar kita semua pasti pernah atau bahkan sedang melakukan perilaku sombong tersebut. Apakah kesombongan hanya sebatas bangga atas apa yang dia punya dengan meremehkan hal lain di luar dirinya dengan jumawa? atau barangkali ada varian lainnya? Bagaimana pula setitik kesombongan mampu menghambat seorang hamba memasuki surga? Mengapa setitik ini menjadi begitu serius? Bagaimana pula cara mengelola sifat sombong tersebut? atau bahkan barangkali ada jimat  tolak balak (menolak efek destruksi) yang timbul akibat kesombongan.

 

Monggo silakan melingkar bertikar bersama kami jika berkenan bergabung dalam kebersahajaan silaturahmi. Kami menyambut baik setiap kebaikan dan tak punya cukup kecakapan untuk menyambut kebaikan secara sempurna, baik dari sisi tempat, suguhan hiburan, dan hal lain. Namun, kami tetap berusaha menyambut secara patut. Katuran pinarak, melingkar, meluruhkan diri dalam rindu, saling membahagiakan satu dengan yang lain untuk sinau bareng di malam menjelang Nisfu Sya’ban yang penuh makna.

 

Bismillah, terpinta dengan tengadah. Gusti Allah dan Kanjeng Nabi membersamai kita Aamiin.

 

 

 

-Tim Pawon Sinau Bareng MGG-

Tancep Kayon Majlis Gugur Gunung 2020
“Sinau Gugur”

2020 merupakan lanjutan dari tahun tandhang. Juga dimulainya rintisan pilihan daur kulawarga gugurgunung yaitu “Revolusi Kultural”. Dengan memilih jalur culture atau pertanian sebagai salah satu upaya yang ditempuh.

Lantas dunia diterpa pandemi. Untuk menghormati berbagai aspek, maka rutinan secara formal sempat jeda. Sehingga tak banyak tema yang bisa diangkat dalam sinau bareng tiap bulannya. Namun justru sangat banyak sekali tema tema “non formal” yang dapat kami jalani, melalui kegiatan bertani maupun berkebun tersebut. Lingkaran sinau bareng yang tadinya rutin sebulan sekali, justru menjadi lebih repetitif dalam hitungan hari atau maksimal minggu. Berupa lingkaran lingkaran kecil yang justru nandangi tema-tema besar.

2020 juga merupakan fenomena yang dahsyat. Keluwarga Gugurgunung dipertemukan dengan orang orang yang pintar namun juga berperangai minteri atau ngakali. Hadir orang orang dengan bergaya penolong namun ternyata culas yang justru tega mengambil keuntungan dari keadaan susah oranglain. Juga orang-orang yang tega mencelakai dengan kedok ahli mengobati. Berpenampilan alim ternyata lalim. Ahli tani ternyata hama nyata yang menggerogoti kebon maiyah kami dari dalam.

Betapa tahun ini keluarga kecil ini dikepung oleh caci maki, hujatan, fitnah-fitnah keji, upaya-upaya perpecahan. Sinau dan Sholawatan di rumah diawasi. Sinau dan Sholawatan di kebun dicurigai sesat. Tanaman kebun kami dicemooh. Saat kemarau di wanti wanti, katanya air ini untuk petani sini. Saat kami bikin sumur untuk mengupayakan air sendiri, dicemooh dan ditertawakan. Saat hujan, air dilimpaskan dan digelontorkan ke kebon kami. Saat sawah kami tergenang air dan bacek sehingga tanaman kebun kami jamuran, ditertawakan lagi. Disepatani terus menerus. ‘Cikal’ dan ‘Bakal’, sepasang anak kambing yang kami angon di kebun, dan sempat menjadi mata pelajaran bagi anak-anak dari kulawarga, gugur juga tega dicuri. Ada pada saat panen raya kebon kami dihantam kebijakan rendah serendah-rendahnya harga pasar. Saat harga pasar tinggi, kami dihinggapi berbagai masalah hama.

Reridu sebagaimana hujan yang deras menghujam. Namun kami mencoba terus berupaya menderas hudan hudan. Kakawin Adalah pasangan Reridu. Kami belajar bagaimana tanaman beradaptasi dengan lahan, dengan cuaca, dengan musim, dengan waktu, dengan hama, dan seterusnya sangat banyak sekali. Kami menemukan variabel-variabel. Kami mencoba menganyam pola-pola. Kami berupaya tekun niteni gejala gejala.

Bahkan dengan itu semua kami diperkenankan merintis berbagai bidang keahlian. Diantaranya : Sistem pengairan sawah, dimensi bedengan, pola tanaman, identifikasi tanaman, nyemai benih, fermentasi pupuk, meramu obat-obatan untuk tanaman, dan sebagainya sangat banyak sekali. Kami sungguh panen “Cara”. Memang banyak persoalan yang teridentifikasi sebagai kesulitan yang seolah hendak mendorong untuk mundur namun pada segala gelaran ini pula senantiasa dibarengi dengan kenikmatan yang datang bertubi-tubi sehingga mengencangkan niat dan menyorong langkah untuk kembali melipatkan rasa syukur.

Kakawin ternyata juga turun sebagaimana hujan yang deras menghujam. Kami kian tekun menderas hudan hudan. ‘kakaWin reriDu’ atau WinDu adalah sebuah putaran waktu dengan segala fenomenanya. Sangat berat karena kurikulum yang idealnya ditempuh dalam kurun waktu 8 (delapan) tahun ini, harus mengalami percepatan waktu tempuh hanya dalam 1 (satu) tahun. Benar benar berat, sangat menguras energi, memeras pikiran, mengaduk-aduk perasaan, jiwa, raga, dan lain sebagainya. Namun inilah cara yang kami pahami bahwa Allah hendak mendewasakan kami dan menarik langkah-langkah kami dalam kereta Iradah-Nya yang anggun dan penuh kejutan. Dan inilah revolusi kultural sehingga ada medan laga yang tentu harus dimasuki dan mengadapi dalam mripat rahmat kepada gelap maupun terang.

Hasil panen dari kerja keras keluwarga gugurgunung tersebut awalnya ingin kami tengarai sebagai “Gemah Ripah” pada pagelaran Tancep Kayon. Namun urung. Kemudian kami lebih memilih “Gugur” sebagai tengara kurikulum tahun ini. Tahun yang mungkin akan menjadi momentum yang paling diingat-ingat sepanjang perjalanan gugurgunung selama ini. Tahun yang juga sangat pedih oleh banyaknya peristiwa tanggal. Oleh anggota keluarga gugurgunung yang kini hanya menyisakan separo. Juga tahun dimana orang-orang yang kami cintai dan sangat mencintai kami sedang menjalani puncak proses dicintai Allah. Ialah Beliau Syeikh Kamba, Ki Seno, Pak Iman, dan tokoh-tokoh lainnya, laksana barisan besar yang diperbondong-bondongkan kondur dengan iringan rebana dan lantunan sholawat Mamak Camana.

Gugur bukan kematian, bukan kemusnahan, bukan kebinasaan. Gugur adalah kesadaran menunaikan fase paran. Tancep Kayon Majlis Gugur Gunung dengan tema besar “Sinau Gugur” ini kami rancang dengan sangat sederhana. Bahkan untuk menghormati dan saling menjaga keadaan, kami tidak mengundang nara sumber sebagaimana tradisi gelaran tancep kayon tahun-tahun sebelumnya. Namun, tentunya kami juga tak mungkin sanggup menolak kehadiran kehadiran para dulur-dulur yang ingin membersamai gelaran acara ini. Maka bagi yang belum bisa hadir, ijinkan kami menghadirkan panjenengan semua dalam gelembung cinta dan kasih-sayang.

Mari Sinau Gugur, bersama Majlis Gugur Gunung, di lembah kaki Gunung Ungaran. Pada plataran situs Air Suci Komplek Candi Gedhong Songo. Semoga Allah mengijinkan.

 

Nyuwun tambahing pangestu. 🙏🙏🙏