Mempuisikan Puasa Kehidupan

Back Story:

 

Gagasan tema Mempuisikan Puisi Kehidupan digulirkan di pawon gugur gunung pada 20 April. Persiapan gelaran dicicil sejak 21 April. Tema ini sebagai bentuk kecintaan kami kepada Mbah Umbu, yang laku kehidupannya adalah “Puasa”, yang kami anak cucunya pada lingkaran simpul Majlis Gugur Gunung juga mengenalnya sebagai “Puisi”.

 

Masing masing penggiat menunjuk diri atas potensi perannya. Mukadimah, poster, dan persiapan teknis lain segera diolah. Sehingga sebelum hari H kelar dan siap disajikan.

 

Pun kegiatan berkebun, yang sejak pandemi menjadi satu kesatuan rangkaian kegiatan dengan rutinan sinau bareng, juga kelar dirapel. Sehingga hari H, diharapkan bisa focus pada persiapan acara. Oh iya, sebagai informasi, kebun kami sedang kita tanami Semangka dan Melon, sebagai kelanjutan dari sinau Lombok, Kangkung, Bayam, Tomat, Pare, Terong, dan Kacang Panjang. Demikian ilustrasi progress terkini kegiatannya :

 

 

Magical Moment

 

Kegembiraan menyertai kami pada saat waktu berbuka puasa. Lewat group kami saling berkabar tentang persiapan acara, juga kabar lainnya, diantaranya berupa kabar gembira atas termuatnya 2 tulisan keluwarga gugur gunung pada “Wisdom Of Maiyah”. Yang juga kami sepakati sebagai wadah interaksi kami dengan Mbah Nun. 2 tulisan dengan nomor 117 (Pray, Bless, and Sanctuary), dan nomor 118 (Buah Pencarian). Sungguh hadiah yang indah. Kahanan kian meruang puitik.

 

 

Kami datang di lokasi acara hampir bersamaan. Paras Rembulan yang hampir bulat, taburan bintang gemintang pada bentangan langit Ramadhan, suara suara binatang malam, serta kesiur angin dari puncak Gunung Munggut yang beraroma hutan khas musim kemarau, seolah mengkonfirmasi kehadiran. Kelasa digelar, jajanan ditata, kopi diseduh, alam alaman sebentar, lalu acara dimulai. Acara dibuka oleh mas Kasno, Tawasulan oleh Mas Agus, Wirid Munajat Sholawat oleh Pak Tri, dilantunkan bersama segenap yang hadir. Pak Tri mandeg tak berkata kata saat mahalul qiyam, memberi kode dengan gerakan tangan dan kerdipan mripat. Ya sudah langsung disawut oleh mas Kasno, terjadi salah nada di sana-sini. Gayeng dan mengharukan. Berlanjut khusuk, khidmat, dan hangat, hingga akhir.

 

Mukadimah dibacakan dan disimak bareng bareng. Lalu direspon oleh semua yang hadir. Diskusi khas gugur-gunungan, seluruh yang hadir dipersilahkan memberikan pandangan terhadap tema. Masing masing secara bergantian berkisah tentang perjalanan hidup. Mengalir, asik, dinamis, dan sangat menarik. Dari perjalanan hidup tersebut banyak ditemukan momentum puasa, baik pada polaritas susah-senang, baik buruk, suka duka, dan seterusnya. Masing masing menemukan keindahan kisah yang jangkep, yang kemudian kami sepakati sebagai Puisi.

 

Oh iya, rutinan kali ini juga dihadiri oleh seorang pemuda dari Jakarta. Mas Ezra namanya. Mahasiswa semester akhir yang sengaja ke Semarang untuk merampungkan skripsi. Salah satu tempat yang disinggahinya untuk beberapa waktu adalah rumah Mas Agus, Ungaran. Langsung gandrung sama suasana pegunungan dan perkebunan yang sedang digarap dulur dulur gugur gunung. Seperti menemukan angin yang mungkin tidak seperti ” angin di Jakarta”. Padanya, dalam sinau bareng tersebut, pemandu diskusi mencoba menanyakan tentang Puasa pada ajaran Nasrani, yaitu ajaran yang dianutnya. Dan responnya :  “Mana ada kehidupan yang tidak ada puasa di dalamnya”. Sungguh jawaban yang sangat santika, sangat universal, dan clear. (Semoga Mas Ezra adalah Nasrani yang Nasrullah, doaku).

 

Jadi ingat tulisan Mbah Nun, ” Bahkan Tuhan pun berpuasa”.

 

Jam 00:30. Batas yang juga harus kami pahami untuk memungkasi acara, meskipun gairah masih terus ingin. Dan kesemuanya pun sepakat. Acara dipungkasi dengan Doa, atau tepatnya dengan Puisi Mbah Umbu yang berjudul “Doa”, yang dibacakan oleh Mbah Umbu sendiri, dengan teknik membuka rekaman Audio Puisi tersebut dengan disalurkan ke pengeras suara. Kami menyimak dengan hening, lalu mengamininya. Kemudian kami bersama sama berdo’a secara khusus untuk Mbah Umbu. Al Faatihah…

 

 

Reportase Lengkap

 

Pada Sabtu terakhir di bulan April tepatnya 25 April 2021. Merupakan Sinau Bareng yang dilakukan kedua kalinya di tahun 2021 ini oleh Majlis Gugurgunung. Walaupun isu pandemi semakin di naikkan lagi karena mendekati lebaran pada tahun ini, namun itu semua tidak mengurangi keteguhan kami untuk mengadakan acara pada malam hari itu yang bertepatan pada bulan puasa tahun ini yang sudah menginjak hampir setengah bulan pelaksanaan ibadah puasa. Tidak lupa kami selalu mengutamakan dan selalu mematuhi protokol kesehatan yang ada.

 

Bismillahirohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan suka cita dan mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan Sinau Bareng untuk kedua kalinya dan puji syukur bahwasannya kami masih diberi kesempatan untuk mengadakan perhelatan ini lagi di tempat yang sama seperti Sinau Bareng bulan lalu tepatnya bertempat di komplek makan Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari. Tema workshop malam hari ini adalah “Mempuisikan Puasa Kehidupan”. Alhamdullilah pada malam hari ini dihadiri oleh mas Padma yang sebelumnya tidak dapat hadir dan dihadiri pula oleh Mas Ezra yang datang jauh dari Jakarta. Kemudian acara dimulai dengan Tawasul oleh Pak Tri juga Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan dari Mas Agus.

 

 

Mas Kasno sebagai moderator memulai acara pada pukul 21.00 dengan bacaan Basmallah kemudian pembacaan Mukadimah tepat acara kami dibersamai oleh rintik hujan yang semakin menambah hawa kesejukan pada malam hari itu serta rahmat dan syukur. Sebelum memulai sesi tanggapan Mas Agus memberikan kesempatan pada sedulur untuk memberikan waktu pada tembakau untuk berkata-kata terlebih dahulu maka disulutlah api pada sebatang lintingan yang begitu semerbak nikmatnya sambil menunggu para sedulur untuk menggali soal tanggapan terhadap topik Sinau Bareng pada malam hari itu.

 

 

SESI 1-

Sebagai pemantik Mas Agus membuka diskusi itu dengan meng-kloso-ni bahwasanya kita itu menjajaki tahapan-tahapan bait, dimana bait itu utuhnya diawali dari sejak kita lahir hingga kita pulang di sisi-Nya itulah kumpulan bait dalam sebuah puisi. Jadi tidak berhenti hanya menjadi satu fase, tetapi semua kehidupan yang telah kita jalani dari sejak lahir hingga mati adalah satu bait puisi. Puisi itu tak harus panjang tetapi makna dari puisi tersebut dapat menjelma sebagai buku tebal apabila diurai secara meluas dan mendalam, sebagaimana hidup yang pendek. Tak harus panjang, namun apakah pada yang pendek itu puisi kita penuh arti atau hanya deretan bait kata tanpa makna. Hidup di dunia sebenarnya singkat tetapi semua terasa lama karena adanya ilusi waktu. Kita bebas torehkan pada yang singkat itu sebagai puisi, atau sebagai tulisan lain, karena kita adalah pena penulis kehidupan. Setiap pilihan masing masing orang berbeda mau menulis novel, prosa, puisi, cerpen atau bahkan hanya sekedar status medsos itu terserah pada pribadinya sendiri. Tetapi kita harus menyadari seberapa jangkauan kita, kalau kita mampu untuk berpuisi namun hanya gemar menulis celotehan konyol maka disitulah letak degradasi. Sebab kita hidup berkeluarga dengan syair, terkepung puisi dan sastra. Alam, tumbuhan, tanah dsb mereka juga berpuisi. Salah satu nilai plus pada suatu karya puisi itu, bilamana di dalamnya terdapat banyak lipatan-lipatan atau polemic. Sama halnya seperti pada Keris yang berkeluk, ada seninya. Halnya dengan hidup kita, bila hanya cuma lajur lurus saja maka hidup kita akan terasa membosankan atau datar. Hidup berada dalam satu garis, pada garis itu ada kala diatas kadang juga dibawah. Tetapi titik hubung dari awal dan titik akhir tak berubah koordinatnya. Tetap fokus sehingga gelombang naik turun itu keluk lekuk kehidupan yang nyeni. Hidup akan runyam jika titik akhir berubah-ubah. Bentuk garis hidup menjadi tidak jelas. Batal menjadi keris sebab malah melingkar-lingkar seperti per tapi bukan per. Maka kita harus memiliki tujuan fokus itu kepada siapakah kelas kita akan persembahkan puisi itu, hanyalah kepada-Nya.

 

 

Tak lama kemudian Mas Nardi merespon pantikan tersebut, dia mencoba untuk menerjemahkan judl tema Sinau Bareng edisi April 2021 ini. Ada tiga kata: “mempuisikan” ,”puisi, “kehidupan”, semua itu saling terikat dan menjadi satu makna, untuk “mempuisikan” sendiri adalah kata kerja, “puisi” tersebut adalah kata makna yang dirangkum menjadi indah, membuat makna lebih tajam, puasa sendiri itu sebenarnya kita bisa atau mampu untuk makan dan minum, tapi kita harus menundanya hingga batas waktu itu selesai atau menggantinya dengan hal yang telah ditetapkan, memperindah keindahan yang ada di kehidupan dunia, seperti contoh kita itu puasa saja sudah indah apalagi kita meluangkan waktu dengan sedikit kebaikan maka itu akan semakin memperindah puasa itu. Segala sesuatu yang bersifat duniawi kita pending dahulu lantas menggantinya dengan hal lain yang dapat semakin memperindah bersifat ukhrowi. Meskipun yang bersifat duniawi ataupun ukhrowi ini sama-sama dilakukan dengan perbuatan dunia, namun orientasi, tujuan, kegairahan, serta sikap bathin yang disiapkan sangat berbeda. Mas Kasno merespon pengamatan dan pendapat mas Nardi sebagai suguhan bait yang memperkaya makna Mempuisikan Puasa Kehidupan. Mas Kasno sangat mengapresiasi pandangan mas Nardi ini, salah satu yang digaris-bawahi adalah tentang kemampuan menunggu ‘buka’ pada saat yang tepat, meskipun kalau mau buru-buru makan juga bisa sejak pagi atau siang, hanya saja bobot kenikmatan duniawi tak bisa benar-benar menggapai kenikmatan ukhrowi. Sebab yang satu (duniawi) dengan menurutkan keinginan dengan mengabaikan kesabaran, rasa syukur, dan keteguhan hati, sedangkan yang satu (ukhrowi) dengan menguntai sabar, syukur, dan keteguhan.

 

 

Berlanjut kepada mas Fidhoh tentang respon pada topik malam hari ini, di dalam responnya  bahwasannya dahulu ketika masih kecil mendapatkan nasihat oleh mendiang ayahnya “ jangan pernah engkau torehkan tinta merah di lembaran kehidupanmu”, lalu timbulah pertanyaan lalu kalau toh kita sebagai pena penoreh tinta tersebut, apakah kita harus meniadakan keberadaan tinta merah tersebut, memilih untuk tidak menyentuhnya bahkan melupakannya, lantas dalam lukisan saja kita memerlukan warna tersebut, disini Fidhoh mengibaratkan bahwa tinta merah tersebut adalah sebuah keburukan.

 

 

Berlanjut pada tanggapan berikutnya Pak Tri, belia mencoba untuk menceritakan dan mengutarakan yang pernah beliau alami dalam kehidupan dahulu. Perjalanan hidup Pak Tri begitu puitis sekali. Sepanjang dari SD sampai SMA rapor tidak begitu dipedulikan oleh orang tua bila bahkan terdapat tinta merah. Juga ketika mendapat nilai agama yang jelek gara-gara tak mau mengarang kegiatan yang tidak ada di kampungnya. Seperti halnya kultum yang tidak selalu ada, teman-temannya kompak membuat karangan agar kolom tugas terisi. Awalnya dia melakukan hal yang sama, namun pada tahun berikutnya ia berpendapat bahwa kegiatan ramadhan itu seharusnya membuat manusia lebih jujur dan berani bertanggung-jawab. Sehingga ia tak lagi mau mengarang, meskipun dianggap pemalas dan mendapat nilai yang rendah. Lain halnya saya kuliah, pada suatu semester beliau mendapat IP 3.6 dan merasa sangat bangga. Ibunya yang sejak SD nggak pernah menanyakan nilai, kebetulan menanyakan nilai pada hari itu. Tentu saja dengan sumringah dan penuh kebanggaan, Pak Tri menjawab nilai 3.6. Yang terjadi sungguh tak seindah harapan, karena sang ibu merasa tanpak sedih, terpukul dan menangis. Bukan hanya itu, dalam beberapa hari Pak Tri didiamkan, tidak diajak bicara oleh ibunya. Untunglah ada Bapak yang bisa dituju unyuk menjelaskan kronologi kejadian dan sistem penilaian di kampus. Bapak beliau bisa mengerti dan memberi nasehat “bapak tidak bisa memberikan kamu apa-apa, yang bisa bapak upayakan adalah memberikan kamu kesempatan. Jadi selama masih ada kesempatan, gunakanlah sebaik mungkin agar kamu tidak menyesal”. Pak Tri merasa disitulah seninya kehidupan dimana setiap peristiwa mengandung syair-syair puitik. Begitupun saat beliau melaksanakan perhelatan pernikahan, beliau merasa tidak ambil pusing pada persiapan akad nikah itu, beliau pasrahkan segala sesuatunya pada kehendak Tuhan, pada akhirnya semua berlangsung begitu lancar dan indah bilamana kita selalu mempasrahkan semua pada kehendak-Nya, lebih baik kita coba untuk mengukir puisi kehidupan itu dan kita pasrahkan semua pada kehadhirat-Nya agar berkesesuaian dan menimbulkan keindahan, berkah itu juga berasal saat kita tidak mengetahui sesuatu, saat kita tahu banyak kadang disitulah muncul kekhawatiran. Mas Kasno menceritakan bahwasannya kita sering mendengar cerita berulang tentang pernikahan Pak Tri, namun kita tak pernah bosan dan merasa cerita itu amat menarik maka disitulah dapat diambil kesimpulan bahwasannnya puisi adalah kata-kata yang dapat mengalir.

 

 

Berlanjut berikutnya pada tanggapan Mas Ezra, bahwasannya memaknai “mempuisikan puisi kehidupan”, sebenarnya belum pernah mengetahui secara pasti apa makna puisi dalam ranah edukasi, namun di kepala ia berpendapat bahwa puisi ialah ekspresi jiwa yang kuat, ketika jiwa itu berekspresi maka akan mengalami kedinamisan sosial sebagai pengalaman pribadi terhadap obyek yang ada ataupun tidak. Pengalaman tersebut membentuk jiwanya, ketika jiwanya terbentuk dia semakin pandai membawakan diri secara ekspresif sehingga berbentuk puisi. Sebab ia begitu menjiwainya maka timbulah ekspresi yang tidak terbendung dan mengakui betapa indahnya puisi kehidupan ini. Kalau untuk puasa sebenarnya adalah penahanan terhadap segala sesuatu yang tidak pakem, seperti menahan untuk tidak berfikir negatif pada orang lain, menahan untuk melakukan hal yang dianggap menimbulkan kemudharotan dsb. Bagaimana hati itu menahan sementara waktu dan ajaibnya ketika puasa ternyata dalam pengalaman pribadi kita secara dinamis ternyata ada hal yang harus kita tahan serta itu saling bersangkut-paut, dalam pengalaman pribadi tidak ada yang tidak puasa. Mas Kasno langsung merespon tanggapan mas Ezra, bahwasannya mendapat satu list lagi tentang topik malam itu, bahwa puisi adalah ekspresi jiwa dari sebuah perjalanan kehidupan dan saat disampaikan dengan penuh penjiwaan otomatis menjadi bahasa universal, karena yang merespons adalah jiwa sehingga juga tersampaikan kepada jiwa. Selain itu hal menarik lagi adalah puasa dapat ditarik sebuah ke universalan yang menarik yaitu “tidak ada kehidupan yang tidak berpuasa”.

 

 

Berlanjut kepada Mas Koko, sebenarnya apa yang sudah disampaikan termasuk seperti yang ingin mas Koko sampaikan. Puisi kehidupan adalah lebih ke bahasa yang sering digunakan oleh banyak orang, baik untuk status medsos ataupun caption yaitu “Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan”, dan sepaham dengan tanggapan Mas Ezra “tidak ada kehidupan yang tidak berpuasa” kalau dilihat dari tema ramadhan ini, puasa pasti didefinisikan sebagai menahan lapar dan haus dan juga menahan emosi, tetapi dalam kehidupan itu puasa maknanya lebih luas lagi. Pada saat umur muda bahwa seringkali orang pandai merangkai kata entah merayu lawan jenis atau apalah itu tetapi ketika menginjak usia diatas 25an, lebih suka mengekspresikannya ke dalam sebuah bentuk menata diri pada bukan lagi hanya perkataan saja, melainkan perbuatan. Sehingga dorongannya adalah juga melakukan keindahan sebagaimana kata indah yang dulu gemar ia tulis. Melakukan dengan seindah dan sepuitis jangkauannya menoreh puisi. Mas Kasno merespon bahwasannya puisi itu dinamis seperti perjalanan hidup masing masing manusia yang pernah dialami, seindah apapun kata-kata yang dirangkai kalau kita belum melakukan yang kita sampaikan, mungkin yang menerima juga tidak merasa match atau klop atau cocok.

 

 

Berikutnya tiba giliran mas Padma, untuk memaknai topik malam itu, beliau mencoba bercerita tentang segala sesuatu yang dirasa tidak dapat dilaksanakan selama ini, dengan adanya tema ini sampai tidak ada yang bisa diungkapkan lagi, bahwasannya begitu indahnya bisa membersamai lagi dalam ikatan lingkaran segitiga cinta keluarga Majlis Gugurgunung ini. Mas Kasno merespon apa yang disampaikan Mas Padma bahwasannya kita tidak pernah menolak kedatangan siapapun dan juga tidak pernah menahan kepergian sedulur yang sedang menjalankan titah kegiatanntya yang lain. Sebab otomatis wirid gugurgunung yang selalu dibacakan akan selalu menjadi do’a yang menyertai kepergian sedulur yang sedang dalam proses pengembaraan di tempat lain sehingga kembali kesini membawa oleh-oleh kebaikan dari pengembaraan tersebut.

 

 

SESI 2-

Mas Kas sebagai selaku moderator, memberikan mic kepada Mas Agus untuk menanggapi apa yang sudah disampaikan para sedulur sebelumnya. Bahwasannya apa yang disampaikan para sedulur sudah mencicil apa yang akan disampaikan Mas Agus  dan  ternyata ungkapan dari perespon terakhir adalah Gong dari renteng puisi-puisi indah yang telah disampaikan. Bahwasannya ada sebuah ketulusan dan estetika, pemilihan bahasa Jawa krama halus adalah indikatornya. Meskipun ada salah satu audience kurang mengerti itu, tetapi dia tetap menghadirkan bahasa tersebut dengan alasan keindahan yang mungkin hanya bisa terwakili melalui susunan krama inggil, itu adalah sebuah puisi paling indah, bahasa yang penuh kedinamikaan, penuh kesantunan, penuh dengan pungtuasi dlsb. Itu pula yang disampaikan alam sekitar, ia bersyair dengan bahas yang tak mampu langsung kita pahami. Kita perlu watah pujangga untuk memaknai segala jenis syair, sehingga kita menjadi pihak yang kian terdewasakan melalui perkataan kehidupan yang tulus dan estetis.

 

 

Misal tadi Mas Nardi memberikan sorotan terhadap topik malam hari ini kemudian diuraikan sedemikian rupa, jadi ada satu kesimpulan yang ditarik, yakni mengindahkan pengendalian hidup di dunia, ini adalah tarikan sederhana tetapi jitu sebab dunia itu pasti ada dua kubu, sehingga ada polaritas. Ada tinggi dan rendah, ada kanan dan kiri dlsb, kalau kita memaknai indah hanya pada satu sisi berarti dapat dikatakan belum mencapai keindahan, keindahannya baru separuh. Kita memaknai kenyang saja sebagai rahmat dan melupakan lapar sama saja keindahan masih separuh, yang padahal lapar juga Rahmat Tuhan. Tanpa rasa lapar maka kita tidak akan bisa menikmati makanan itu, sama halnya seperti proses, proses itu sudah merupakan kenikmatan luar biasa, hasil dari proses itu juga kenikmatan yang berlapis ganda. Kita sering mengasumsikan kesempitan adalah hal yang tidak mengenakkan dan keluasan itu adalah kelapangan. Tiap-tiap kita pasti pernah mengalami suasana sempit, sesak, namun kita didera kesempitan itu untuk untuk mendaya gunakan keluasan cinta yang intim dan mesra, jika tak bisa mendayagunakan cinta dalam kesempitan, akankah ada peluang lebih baik jika kita dihadapkan pada keluasan, luapan kegembiraan? malah kita akan cenderung lalai, abai, dan kehilangan kewaspadaan diri.

 

 

Kita itu diberi ungkapan-ungkapan yang memang disembunyikan, persis seperti puisi bahwasannya tidak harafiah, seperti separuh jiwa, separuh hatiku, padahal kalau digambarkan itu tidak akan kelihatan indah malah menjadi menakutkan, itu semua menjadi indah karena kita semua memilik kemampuan berpuisi punya watak pujangga, begitupun Allah melimpahkan bahasa-bahasa pada kita yang seolah mengandung cacat, kadang kurang kadang lebih. Dikurangkan dan dilebihkan pada titik tertentu agar kita bisa berimbang.

 

Tak jarang Tuhan memberi pancingan berupa ujian pada kita untuk memantau apakah serpihan  Asma dan Sifat-Nya masih terjaga pada fitrahnya. Masihkah titipan-Nya berfungsi pada diri seseorang. Diuji dengan kebencian apakah benih Rahman Rahim masih terkandung. Diuji dengan kemarahan apakah masih berfungsi benih Sabar yang dititipkan-Nya. Jika benih-benih masih berfungsi berarti akan ditumbuhkan lagi agar makin intens, agar kita semakin tetap berada dalam ketetapan-Nya. Kalau semua itu masih ada berarti kita masih terkoneksi dengan apa-apa yang berada di luar dari diri kita, semua yang berada di luar itu tetap, seperti tanah tidak akan berjoget seperti api, begitupun api tidak akan meliuk mengalir ke bawah seperti air, mereka berpuisi secara tetap. Karena kita makhluk dinamis, kita membuat ketetapan itu dengan cara dinamis bukan dengan cara statis, yakni tumbuh dan beraktifitas sesuai fitrahnya, sesuai benihnya. Kalau diberi benih lombok maka tumbuhlah lombok jangan tumbuh sebagai pare dlsb, itulah cara kita untuk mengkhidmadi kehidupan. Kalau dikasih benih tomat ya sudah cukup jadi tomat yang bener, nggak perlu tumbuh sebagai tongseng.

 

 

Berlanjut pada pertanyaan Fidhoh soal nasehat mendiang ayahnya sewaktu kecil, soal jangan menorehkan tinta merah pada kehidupan, itu merupakan nasehat yang baik sekali,  soal tinta merah itu buruk atau tidak, di sekolah tinta merah itu melambangkan nilai yang dibawah standart, sehingga maksud nasihat ini agar engkau tidak jemblok di kehidupanmu. Tapi kita memiliki pemahaman yang berkembang untuk memahami makna warna merah, yaitu jalur merah atau Shirothut Talbis (jalur pengelabuan & muslihat) yang jangan kita tempuh. Tetapi jalur merah itu memang harus ada, karena itu unsur yang membantu proses pertumbuhan jiwa manusia menjadi yang lebih dewasa. Kita sendiri dianjurkan oleh para Nabi dan Rasul untuk meniti perjalanan pada jalur biru atau Shirothun Nubuwwah. Kepada jalur merah kita boleh mengenali dan memahami untuk menjadi alat kewaspadaan diri. Sedangkan kepada jalur biru harus dipahami dan ditempuh untuk menjadi jalan mustaqim.

 

 

Berlanjut kepada Pak Tri, dari semua pengalaman hidup dan kelucuan-kelucuan yang pernah dialami, itulah tanda bahwa adegan itu bisa akan terjadi dengan sempurna tanpa kita membikin skenarionya, kita tinggal melakukannya, sudah ada yang membuat skenarionya itu semua, dan kadang kita akan terperangah sendiri karena tak menyangka bahwa semua adegan berlangsung seindah itu. Yang dapat kita tarik, puisi itu akan menjadi indah ketika kita mau mengikuti alurnya Tuhan, kalau kita masih merasa pandai dan merada mampu memikirkan alur hanya sesuai pikiran kita sendiri, maka puisi itu akan menjadi kurang indah, karena ada unsur yang kita paksakan untuk ada, ada unsur yang kita hilangkan yang justru seharusnya ada. Puisi hidup kita berkata dengan masygul, menjadi kurang indah, karena kita masih belum ridho untuk pasrah sehingga merasa patur mengintervensi puisinya Allah atas hidup kita. Maka dari itu sebelum memaknai cara untuk memurnikan kembali rohani jiwa dlsb, memang diperlukan kemampuan memilih dan memilah, memang diperlukan kemampuan untuk mengenali porsi, memang kita harus mampu memahami pola-pola itu dari pengalaman-pengalaman kita alami sendiri.

 

 

Kemudian bersambung ke Mas Koko dimana rangkaian dari yang telah apa yang disampaikan itu adalah hadiah-hadiah, hidangan-hidangan, keindahan-keindahan, ada irama, tekanan, pekikan dslb, itu semua menjadi hadiah yang begitu indah, karena kedewasaanlah yang akan mengatakan bahwa semua itu adalah kenikmatan, kita tak serta merta memahami semua itu sebagai keindahan karena kita harus melalui tahap atau tingkatan-tingkatan dahulu, semua itu karena adanya ekspresi jiwa, ekspresinya jiwa itu tidak tunduk pada ekspresinya jasad, ekspresi jasad itu berupa panca indera, tetapi dengan adanya ekspresi jiwa maka akan menlengkapi panca indera itu untuk menjadi kembang-kembang yang lebih matang di dalam kehidupan, sehingga dari kembang berkembang menjadi buah, soalnya kalau hanya berhenti sampai kembang maka puncaknya hanya layu. Melalui buah-lah yang lebih memungkinkan terjadinya keberlangsungan kehidupan lagi melalui biji di dalam buah. Kenikmatan bertingkat dan berlapis seperti ini hanya akan  bisa kita kenali jika jiwa kita selalu membuka diri untuk senantiasa berekspresi, ini juga berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Ezra bahwa tidak ada satupun di kehidupan ini yang tidak berpuasa, semua berpuasa, karena kalau tanpa berpuasa, sesungguhnya manusialah yang tidak kebagian tempat. Manusia akan lantak dan rantas berhadapan dengan air, angin, tanah, dan api, yang mereka pernah menampilkan kedasyatannya untuk menggulung kepongahan manusia.

 

 

Berlanjut akhirnya pada Mas Kas sebagai moderator juga menanggapi topik malam hari ini, bahwa puasa itu pasangan nya adalah idul fitri yang berasal dari kata fitrah (fathoro), kalau kita sudah berhasil menjalani puasa satu bulan penuh maka kita kembali ke fitrah, wah hanya sebulan saja kita bisa kembali lagi, enak sekali. Tapi Wallahua’lam, sebab diamati ada hal yang menarik sebelum menuju ke perhelatan tema ini. Beberapa hari sebelumnya, mas Kasno mendapat mimpi dan diberi nasehat tentang makna berpuasa. Dimana dalam mimpinya dikatakan bahwa guna puasa itu untuk agar mempertajam kembali sensitivitas panca indera. Nyatanya memang demikia, yang kemarin es teh biasa saja kopi yg hanya begitu saja sekarang menjadi begitu enak, bahkan aromanya saja hadir lebih wangi dari biasanya bahwasannya ternyata puasa bisa mereset kita kembali ke keadaan semula, bukan hanya jasmani tetapi rohani juga.

 

 

Akhirnya tepat jam 00.03 batas yang juga kami pahami untuk memungkasi acara meskipun, gairah masih terus ingin berlanjut dan kesemuanya pun sepakat, acara dipungkasi dengan Doa , atau tepatnya dengan puisi Mbah Umbu yang berjudul Doa yang dibacakan oleh Mbah Umbu sendiri dengan teknik membuka rekaman audio puisi tersebut disalurkan ke pengeras suara, kami menyimak dengan hening lalu mengamininya. Kemudian kami berdoa secara khusus untuk Mbah Umbu. Alfatihah….

 

 

 

Reported by Kasno, Fidhoh Akmal

 

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Pada bulan Maret ini kulawarga Gugurgunung mencoba merekonstruksi lagi beberapa komponen penting bangunan “rumah”nya. Dari beberapa personil yang masih aktif, menopang kembali peran-peran penting atau mengaktifkan kembali peran-peran yang sempat kurang optimal. Salah satu referensi pola yang teranyam adalah Sya’ban atau Ruwah. Yakni bulan penting yang sejak 2018 disepakati sebagai momentum “Tunas”.

 

Pawon kini kembali menyala, memasak bahan-bahan oleh tangan-tangan terampil berdasar potensi masing-masing, dengan dasar ilmu Candra (panyandra). Ringkasnya yaitu, setiap personal kulawarga Gugurgunung menjalankan perannya masing-masing sebagai upaya memberikan konstribusi “cahaya rembulannya”. untuk terkumpul sebagai himpunan cahaya yang “Purnama”.

 

Dasar pijakan lainnya adalah sikap utama kulawarga gugurgunung yakni, “menggugurkan diri”. Sebisa mungkin menghindari umuk dan sombong. Tak minat pada pameran kesaktian, kepandaian, kekayaan, kepopuleran, dslb. Terus teguh tak peduli dan kagum pada hal-hal tersebut, yang seringkali hanya untuk meningkatkan mutu kesombongan seseorang secara laten. Memilih sikap lebih tegas kepada potensi-potensi meremehkan, baik ke dalam maupun ke luar.

 

 

قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

 

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim).

 

Mengutip hadist di atas, tentulah kita sudah tidak asing dengan salah satu bentuk ungkapan nafsu, yakni sifat sombong. Tak seorang pun yang membaca ini termasuk yang sedang menulis ingin menjadi pihak yang masuk dalam golongan orang-orang sombong. Namun dalam kenyataan hidup, apa yang tidak kita maui terkadang bebas hinggap dalam diri seperti ketombe atau jamur kulit.

 

Sadar atau tidak sadar kita semua pasti pernah atau bahkan sedang melakukan perilaku sombong tersebut. Apakah kesombongan hanya sebatas bangga atas apa yang dia punya dengan meremehkan hal lain di luar dirinya dengan jumawa? atau barangkali ada varian lainnya? Bagaimana pula setitik kesombongan mampu menghambat seorang hamba memasuki surga? Mengapa setitik ini menjadi begitu serius? Bagaimana pula cara mengelola sifat sombong tersebut? atau bahkan barangkali ada jimat  tolak balak (menolak efek destruksi) yang timbul akibat kesombongan.

 

Monggo silakan melingkar bertikar bersama kami jika berkenan bergabung dalam kebersahajaan silaturahmi. Kami menyambut baik setiap kebaikan dan tak punya cukup kecakapan untuk menyambut kebaikan secara sempurna, baik dari sisi tempat, suguhan hiburan, dan hal lain. Namun, kami tetap berusaha menyambut secara patut. Katuran pinarak, melingkar, meluruhkan diri dalam rindu, saling membahagiakan satu dengan yang lain untuk sinau bareng di malam menjelang Nisfu Sya’ban yang penuh makna.

 

Bismillah, terpinta dengan tengadah. Gusti Allah dan Kanjeng Nabi membersamai kita Aamiin.

 

 

 

-Tim Pawon Sinau Bareng MGG-

Qolam Gusti

Dalam tema mencari guru: (tema sinau bareng bulan Agustus 2020). Maka akan menjadi manusia yang educated (terdidik, terpelajar, terlatih, teruji). Kini lebih diurai bagaimanakah seseorang menjadi teridik?

Dalam pembelajaran ada kurikulum. Salah satu metode penyampaiannya melalui umur. Umur merupakan “teman belajar”. Umur akan menjumpakan pada 4 “ter-” diatas (terdidik, terpelajar, terlatih, teruji), dengan dipertemukannya pada permasalahan-permasalahan.

 

Dalam Tema LARAS pada bulan Agustus 2019 yang lalu., Ada dua jalur dalam kehidupan. Jalur Ahsani Taqwim (biru) dan Jalur Asfala Safilin (merah). Jalur Gelombang kenabian (amanah) adalah Biru, sedangkan gelombang pembangkangan (khianah) adalah jalur merah. Dua jalur ini juga terjadi dalam setiap diri manusia. Untuk kemudian manusia sendiri yang menetapkan pilihannya akan berjalan pada jalur Biru ataukah jalur Merah.

 

Dalam diri manusia terdapat bara, ngangah, panas (fire) dan juga terdapat tenang, sejuk, damai, tentram (light). Seolah-olah perumpamaan atau penggambaran tentang biru dan merah itu berlaku pada banyak hal. Pada teknologi komunikasi misalnya, dalam smartphone ada dua macam sistem share informasi nirkabil yang disebut infraRED dan BLUEtooth. Kemudian ada yang lantas lebih canggih lagi dari sisi kecepatan transfer dan penerimaan yaitu wi-fi. Demikian yang terjadi pada smartphone. Adakah kemungkinan teknis yang serupa juga terjadi pada smartcreature? Dimana ada model transfer data dan informasi untuk manusia tanpa jalur jasadiah. Merujuk pada Surat AL Alaq bahwa Allah adalah Robb yang mengajarkan manusia melalui perantara Qolam, maka boleh jadi diasumsikan bahwa qolam adalah semacam wifi yang difasilitaskan kepada manusia yang semakin hari semakin canggih dan cepat akselerasi akalnya.

Kita adalah ‘nas’ dan jika tereducated menjadi ‘insan’. Surah al-Insan lebih mendeskripsikan kehidupan surga. Sedangkan an-Nas, lebih menekankan pada petuah dan anjuran akan adanya hasutan di dalam dadanya selama masa pencarian. Dimana yang menghasut atau membisikkan itu berangkat dari dua sisi baik merah dan biru, yakni “minal jinnati wan nas”. Agar seseorang tersebut menjauhkan dari tradisi kehidupan surga, dan menggemari kemolekan semu Neraka. Neraka dan surga ada padanan di dunia.

 

Penerjemahan FIRE and LIGHT.

FIRE-> FRAMED (terbingkai). Alam dzohir. Lahir ada badan, dan badan membingkai menjadikan kita ada, tampak, teridentifikasi, menjadi substansi. Yang mana substansi ini menyatakan bahwa keberadannya adalah abdi. Dalam frame, kita akan menemukan hal lain dari F->FIGHT, bahwa kita siap bertarung, handal, penuh keperwiraan dalam mengawal pengabdian. Semangat tersebut harus ditambah juga dengan I->IDEA, INITIATIVE. Tidak hanya modal berani tapi juga inisiatif. R->RISK, REASONABLE adalah pemahaman Resiko. Inisiatif harus ditambah pengetahuan, apakah hal ini memiliki alasan cukup baik dan sadar bahwa setiap hal pasti ada resikonya, sehingga sudah menyiapkan mental untuk memanajemen risiko tersebut. Orang yang bisa menemukan alasan atas suatu upaya lebih memiliki kalkulasi dan seseorang yang mampu memanajemeni risiko akan menjadi pribadi yang bukan sekadar kalkulatif melainkan tangguh dan teruji . Setelah semua terkumpul, maka harus menjelma menjadi upaya (E->Effort). Tidak hanya konseptual tetapi juga harus menjadi perilaku.

 

Api yang besar menjadi amarah, api mobat-mabit lauwamah. Sebisa mungkin jadikan api dalam diri kita menjadi api muthmainah (anteng). Nafs kita harus menjadi tenang. (Coba cek di surah al Fajr). Didalam ketenangan maka api harus diterbitkan. Seperti matahari yang sangat panas namun panasnya tidak membasmi malah menumbuhkan. Sesuatu yang mengangah harusnya mencahaya. Fenomena panas yang membasmi masih dalam kondisi FIRE sedangkan menumbuhkan sudah di dalam kondisi LIGHT.

 

Syarat mencahaya, LIGHT  mengenali hati dan kemaluan kita. L->LOVE & LOFTY. Hati kita kawal untuk memendarkan cinta, kemaluan kita jaga untuk meluhurkan budi.

I->INSPIRATION. Orang sabar tidak pernah mengungkapkan bahwa dia sabar. Cari orang yang sesuai untuk menjadi teladan (Rasulullah Uswatun Hasanah)

G->GREATNESS, keagungan, memberi dengan tangan kanan seperti makan dll. GEORGEOUSLY (menawan). Lihat tangan kiri, baik bukan yg memakai cincin dll. Tapi yang mau memegang hal-hal yang dianggap jelek. Pandai merukuk.

H->HIGHNESS ( ketinggian keluhuran) yang mulia. A’la dan Karim. Pandai bersujud. Semua bersujud pada Allah, selanjutnya apakah kita mau merukuk dan bersujud. Jika iya maka pada proses tersebut kita berikan Totality  (pasrah, salam, total). Bukan  hanya madhep ngarep tapi juga lihat kanan dan kiri.

Antara Merah dan Biru, semua ada dalam diri manusia. Ada api dan ada potensi cahaya. Ada potensi pembangkangan dan juga ada kepasrahan. Semuanya ada sehingga harus sebisa mungkin terkenali dan terkelola. Fire and Light telah bekerjasama dengan cukup baik dalam diri kita sebagaimana tergambar dalam jaringan arteri dan vena. Ada fungsi membuka jalan dan ada fungsi mengembalikan kepada fitrah. Antara Api dan Cahaya jangan keliru memandangnya. Api adalah penghantar agar seseorang mampu menampilkan tarian cintanya dalam kehidupan. Keduanya (merah-biru, api-cahaya, ahsani taqwim-asfala safilin, naar-nur, neraka-surga, nafsu-akal) selalu ada, harus ada, dan bekerja secara balance sebagaimana perannya. Dengan kesemuanya ini semoga kita menjadi manusia yang makin teredukasi. Tidak hanya mengenal hal indah, tetapi juga menemukan keindahan pada hal yang tidak nampak indah. Semoga persambungan kita menjadi lebih erat terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

“Tancep Kayon” Majlis Gugurgunung 2019
Laku Kasantikan

Setelah bulan lalu majlis gugurgunung libur sinau bareng dikarenakan membersamai kegiatan “jegur sawah” di Jepara. Sekarang bertepatan dengan bulan Desember bulan penutup dalam satu tahun yang bertepatan juga dengan “Tancep Kayon” yang digelar oleh majlis gugurgunung. “Tancep Kayon” menjadi momentum mengevaluasi langkah serta memutuskan apakah pada tahun depan perlu di mulai lagi (bedhol kayon) atau berhenti. Salah satu indikator dalam pengambilan keputusan adalah apakah majlis gugurgunung memberi manfaat pada yang lain atau tidak. Pada tanggal 28 Desember 2018 “Tancep Kayon” diselenggarakan di “Bina Lingkungan Congol”. Sebelum acara sinau bareng dimulai pada siang hari sedulur-sedulur majlis gugurgunung mempersiapkan tempat terselenggaranya acara tersebut. Sekitar pada pukul 16.00 WIB Mas Agus mengajak sedulur sedulur untuk berziarah ke makam Mbah Benowo dan Mbah Basyaruddin yang berada dalam satu kompleks pemakaman. Ziarah ini sudah menjadi satu tradisi paket Tancep Kayon sejak diadakan pertama kali.

 

“Tancep Kayon” kali ini dirawuhi oleh Gus Anik dan Pak Budi Maryono yang menjadi narasumbernya. Malam yang khidmat dengan menunjukan pukul 21.30 acara dimulai oleh Mas Kasno yang memberikann sedikit penjelasan tentang tema yang diangkat yaitu Laku Kasantikan. Konsep “Tancep Kayon” sebenarnya sederhana tapi tiba-tiba menjadi mewah karena kerawuhan sedulur sedulur yang ikut melingkar bersama.”Tancep Kayon” dimulai dengan bacaan basmalah yang dipimpin oleh Mas Kasno sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan tawasul dan sholawat oleh team bala swarna. ”Tancep Kayon” kali ini selain mas Kasno, juga dimoderatori oleh Mas Dian yang sedikit memberi arti bahwa laku kasantikan diawali dengan rekasa (susah) dulu, sebagai contoh orang tua yang mencari rejeki untuk keluarganya itu termasuk laku kasantikan. Mas Dian juga membagi para sedulur menjadi 4 kelompok supaya mudah ketika memberikan respon/pertanyaan. Sebelum ke pertanyaan/respon para sedulur Mas Azam terlebih dulu memberikan opini tentang laku kasantikan yaitu orang yang melakukan/menjalani sesuatu yang sudah dilakukan dengan indah melalui proses. Semua laku tidak mudah pasti ada proses dan pengorbanan. Jadilah diri sendiri, cari sejati diri. Mas Kasno juga memberikan opininya laku kasantikan secara universal yang bisa diterima oleh siapapun misal (rindu, riang gembira dst).

Pukul 10.45 Mas Fidoh perform yang dilanjutkan Mas Azam nyanyi Lir ilir. Mas Agus juga ikut andil dalam beropini tentang laku kasantikan yang mana laku kasantikan dilanjutkan karna belum matang mempelajari kasantikan. Menurut Mas Sabrang dan Mbah Nun maiyah itu “prasasat koyo unta” yang pandai cari mata air, menyimpan air dan bisa bermanfaat untuk yang lain. Dahulu ketika jaman Nabi Muhammad hijrah banyak umat Islam yang menawarkan kediaman untuk singgah Rasulullah, tetapi Nabi Muhammad memilih ikut berhentinya unta karena unta yang mempunyai kepekaan dalam hal menemukan sumber air dengan nalurinya. Dalam bahasa Arab, unta disebut Jamal (cantik). Laku kasantikan = laku unta; karena bukan figur unta yang dinilai cantik tapi fungsi unta tersebut yang bisa mencari, menyimpan air dan bermanfaat untuk yang lain. Tak ubahnya kita, ketika kita tidak dapat mencari, menyimpan kebeningan, kesejukan yang bermanfaat bagi yang lain maka bisa dikatakan kita disfungsi. Terminologi kecantikan tidak disematkan pada fisik cantik tapi pada fungsi cantik. ”Tancep Kayon” evaluasi selama setahun menjadikan kita cantik/buruk. Bentuk laku kasantikan 2019 merupakan lanjutan dari laku kasantikan 2018 yang mengandung penegasan banyak hal. Cantik = bentuk syukur yang dikonversi dalam kemanfaatan yang dilapangkan. Cantik juga memiliki kandungan yang sama dengan sakti dan bisa juga untuk merugikan orang lain karena Cantik bisa menembus ruang paling dalam seseorang. Kita bisa membuat bahagia dengan kebermanfaatan kita, minimal bisa melihat orang lain bahagia dan kita juga ikut bahagia. Seperti tenis meja; permainan ini merupakan simbol sufistik yang mengajarkan pada kita jika mendapat sesuatu secara lincah segera diberikan kepada orang lain. Laku kasantikan dalam menang atau kalah bisa seperti memimpin diri sendiri agar makin cepat menemukan fitrah. Semakin baik fitrahnya terpelihara akan mengembalikan keberadaan dirinya sebagai insan yang menggembirakan. Semisal seperti bayi yang mana ia masih dalam keadaan fitrah. Keberadaannya tidak mengancam orang lain tapi justru memberi ketenangan bahkan kesenangan pada orang lain, itulah tampilan menang yang cantik. Setelah Mas Agus cukup memberikan beberapa opininya tentang laku kasantikan dilanjutkan dengan respon para sedulur yang melingkar. Respon pertama berupa pertanyaan yang ditanyakan oleh Mas Rahmat yaitu laku kasantikan yang menurut kita itu sudah benar menurut kita tapi menurut orang lain belum benar dan bagaimana laku kasantikan di jalan yang lurus?

Pertanyaan tersebut dijawab oleh Gus Anik, ada beberapa segmen kehidupan yang mempunyai 2 modal (hikmah dan kalimah). Hikmah adalah rumusan konsep kehidupan dan kalimah adalah membawa rumusan konsep kehidupan. Memaknai laku para nabi contohnya nabi Sulaiman, hikmah rohmaniah (surat sakti bismilahirahmanirohhim). Ada tiga aktor intelektual dalam kejadian tersebut yaitu nabi Sulaiman, ratu Bilqis, dan burung Hud-hud. Hud-hud di mata Nabi Sulaiman adalah binatang malas karena terus-terusan pacaran dengan markalah. Sedangkan menurut Markalah, Hud-hud tidak pernah ada waktu untuk dirinya. Untuk membuktikan loyalitas Hud-hud kepada Nabi Sulaiman dan Markalah, dia pergi dan menemukan kerajaan Ratu Bilqis kemudian dia mengintipnya. Hud-hud heran kenapa Ratu Bilqis kok menyembah matahari. Hud-hud yang sedang mengintai dari atas pohon tiba-tiba di dekati oleh Haida dan terjadi komunikasi antara kaduanya. Kemudian hud-hud kembali ke kerajaan Nabi Sulaiman bercerita tentang Bilqis tersebut, dan kemudian Nabi Sulaiman mengirim surat kepada Bilqis tersebut yang berisi bismilahirahmanirahim dan sudah diterima dan dibaca oleh Ratu Bilqis.

 

Dalam peristiwa tersebut ada 3 aktor yang mempunyai kecerdasan organik yaitu Nabi Sulaiman yang memiliki pola menyampaikan, burung Hud-hud intelejen dan Ratu Bilqis memiliki pola menerima. Kode laku kasantikan bagaimana gunung ditegakkan langit ditinggikan dan bumi dihamparkan itu cara bagaimana kita memperlakukan langit dan bumi. Alasan kenapa binatang dijadikan hikmah karena manusia punya mitra dengan hewan dan mencintai hewan bisa mendapatkan hikmah. Laku manusia tidak berpotensi mencederai sesama mahluk karena ada potensi cinta dan rohman. Perbarui kecantikan kita ketika orang lain belum menganggap cantik (terus berbuat baik).

 

Pak Budi juga membagikan sedikit pengalamanya ketika berencana ke Semak taddaburan di Kudus, “saya tidak ada kendaraan kemudian saya putuskan untuk menunda acara semak tadaburan bulan depan, tetapi sekitar jam 17.00 saya dikabari sudah mendapat jemputan grab ke Kudus. Ketika apa yang ditetapkan dan kita menerima merupakan laku kasantikan.”

Acara diselingi oleh perform dari Mas yoga pada pukul 12.45. Setelah perform tersebut moderator meminta kepada sedulur sedulur untuk memberi respon atau bertanya, dan mas Shohib bertanya tentang lebih dulu mana mencari Tuhan atau mencari jati diri dan tanda ditemukanya jati diri dan Tuhannya bagaimana? Pertanyaan tersebut di tanggapi oleh Pak Budi bahwa ukuran baik adalah menurut norma yang berlaku, kita mengikuti norma dan ukuran norma. Norma agama yang akhlaknya baik itu sudah termasuk cantik. Ada kesepakatan secara umum itu baik contohnya senyum dan kita juga punya kecenderungan baik. Kemudian Gus Anik juga merespon bahwa makrifat diawali sikap mempertanyakan. Contohnya Nabi Ibrahim yang melihat bintang, melihat langit dan ia heran siapa yang menciptakan dan ia juga berfikir setelah yakin siapa Tuhannya dia mengalahkan orang-orang yang tidak menyembah Tuhannya dengan cara merusak patung sesembahan. Kemudian setelah tahu siapa yang merusak Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup tapi tidak mati. Allah mempunyai sifat rahman dan kita hanya dititipi sifat rahman. Gus Anik juga menyampaikan bahwa kitab Taurat sudah mengenal angka-angka makanya orang Yahudi dianggap modern/canggih karena angka-angkanya. Kemudian pertanyaan terahir dari Mas Rian ilmu kasepuhan ada korelasi dengan laku kasantikan dan bagaimana cara menularkan ke generasi kanoman?

Direspon oleh Mas Agus bahwa tujuan utama memiliki kesaktian untuk bisa bermanfaat untuk orang lain. Jika perhiasan mayornya hanya untuk pamer malah tidak punya guna tapi jika untuk menghamba dan tidak mengancam orang lain itu bagus sebab masih terletak pada tempatnya. Ilmu tersebut untuk “berdiri”(menegaskan peran diri) tapi apakah peran tersebut untuk menggapai sampai salam atau sekadar untuk jumawa dalam kehidupan? Telah dianjurkan kepada manusia untuk mengemban pilar-pilar waktu untuk menyempaikan salam supaya tidak menjadi orang yang mengancam. Ilmu cantik yang perlu dipertahankan adalah ilmu salam.

 

Setelah terjadi pasinaon bareng, sudah waktunya untuk memuncaki acara. Pak Budi Maryono berpuisi dan pemberian kenang-kenangan berupa buku dan kalender kepada para narasumber dan beberapa penanya. Acara pada malam tersebut ditutup dengan talaman atau makan bersama sebagai bentuk rasa syukur.

 

Demikian reportase yang dapat saya buat semoga kita bisa tetap menjadi keluarga yang saling berguna dan semoga reportase ini bermanfaat.

 

CAHYA_MGG

WUNGU

Pertemuan rutin majlis gugurgunung pada 26 Oktober 2019. Sekaligus menjadi workshop ketiga (terakhir) dari tiga edisi setelah sebelumnya yakni “Laras” dan “Padhang Pranatan”. Bertempat di Mushola Darussalam, Lemahabang, Kab. Semarang. Tema workshop edisi ketiga ini ialah Wungu. Mas Kasno sebagai moderator pada malam hari ini di kisaran pukul 21.25 kegiatan membuka sianu bareng dengan bacaan basmalah.

 

Bismillahirrohmanirrohim…

Workshop ketiga masih dalam rangka merespon dhawuh Mbah Nun. Alhamdulillah malam ini dihadiri juga oleh Mas Aji dari Jogja, serta Pak As’ad dari Solo dan juga Mas Dian dulur gugurgunung yang lama tidak ikut melingkar sebab bekerja di luar pulau selama beberapa bulan. Semoga malam ini mendapat pertalian silaturahmi yang bisa kita pelajari bersama. Kemudian dilanjutkan dengan doa wasilah oleh Mas Sokhib juga Wirid akhir zaman serta Pangkur Kerinduan dari Mas Ari.

 

Sehubungan dengan tema yang hampir diubah menjadi lir-ilir, meskipun memiliki makna yang hampir sama dengan wungu maka Mas Kasno mengajak dulur-dulur untuk mentawasuli Kanjeng Sunan Kalijaga dilanjut nembang Lir-ilir karya Kanjeng Sunan dengan dipimpin oleh Mas Agus. Kompak serempak, lelaki perempuan berpadu merdu, asik bahagia namun tak lepas dari makna. Demikian suasana ketika tembang lir-ilir mengalun. Kemudian Mas Kasno membaca mukadimmah untuk membantu memantik diskusi malam ini. Mas Agus memberi preambule bahwa tema ini memang sempat dianjurkan untuk diganti judulnya. Sebab dirasa terlalu berat dimana diukur dari kapasitas diri Mas Agus pribadi dan dulur-dulur semua. Maka diganti lir-ilir dimana memang sudah harus nglilir untuk menghadapi jaman. Namun sehari setelah itu Mbah Nun mengeluarkan edaran wirid akhir jaman yang juga di dalamnya mengandung kata Wungu. Maka disepakati tema dikembalikan menjadi Wungu.

 

Memang berdialog langsung dengan Mbah Nun sulit untuk kami lakukan, semoga dengan ketersambungan tema seperti ini menjadi kegembiraan tersendiri bagi kami anak cucu beliau. Mas Agus mencoba mengakurasi ayat Allah dalam QS Al Ikhlas. Merupakan salah satu dari dua surah yang tidak menyebutkan kata dari judul surahnya selain Al Fatihah. Ditadabburi bahwa yang tahu makna sesungguhnya hanya Allah. Salah satu cara untuk memahami maknanya yakni dengan ngambrukke roso wegah (merubuhkan rasa enggan), melawan rasa takut. Salah satu simulasi yang paling sederhana dengan memasuki alas/ hutan dalam kondisi sendiri dan gelap dengan niat tiada modal lain selain Al Ikhlas. Begitu hendak memasuki hutan maka seketika qul huwallohu ahad. Ketika dalam kondisi yang gelap maka mulai terombang-ambing maka alat apa lagi yang akan digunakan selain pertolongan Allah. Yakni memasuki ayat kedua Allohushshomad. Suasana menjadi enak namun pikiran muncul reridu berupa ketakutan. Jika kita tunduk pada reridu maka menuhankan ketakutan. Lalu dilanjutkanlah dengan ayat ke-3 yakni lam yalid wa lam yuulad. Maka berhembuslah angin besar. Memang tiada yang lebih diatas Allah. Wa lam yakul lahuu kufuwan ahad. Hal ini merupakan metodologi atau pengalaman pribadi yang bisa diterapkan pada laku hidup. Temuan ini didapati mas Agus pada saat benar-benar memasuki hutan pada suatu waktu. Tentunya bukan arti dari Al Ikhlas itu sendiri, ini hanya merupakan salah satu alat untuk mencoba memahaminya. Mudah-mudahan dengan metode menabrak hantu-hantu ketakutan yang muncul dari pikiran sendiri, ataupun seolah sunyi tanpa kehidupan, juga seolah terpencil namun justru banyak kejujuran di dalamnya. Pohon satu dengan pohon lain tak saling mencederai, andaikanpun ada ternyata masih tetap dalam rangka menjunjung keseimbangan. Binatang senantiasa beristiqomah sesuai dengan aturan yang Allah tetapkan. Jangkrik beristiqomah dengan keriknya, belalang juga beristiqomah sesuai fitrahnya, juga binatang-binatang lain. Hal yang dijauhi oleh sebagian orang justru menyimpan kandungan keselamatan dan keamanan. Sangat berbeda dengan kondisi yang kita kira aman. Dengan terang benderangnya, dengan ramainya, juga dengan gemerlapnya namun tidak menjamin kondisi bahwa akan terbangun keamanan, keselamatan satu dengan yang lain. Dengan kondisi demikian maka kita harus melek kahanan, mesti kita buka selimut agar tidak senantiasa tertidur.

Malam ini akan coba kita urai selimut-selimut apa saja yang melekat pada diri. Selimut yang bukan memberi kenikmatan namun justru memasung dan memenjarakan. Selimut yang memberi impian bukan dengan kenyataan. Selimut-selimut ini jika tidak disibak maka akan memerosotkan derajat kemanusiaan kita sendiri. Padahal dari tema kita lalu yakni “Laras” didapat bahwa manusia harus menjadi kaum yang sebaik-baiknya kaum, yakni ahsani takwim. Di dalamnya berisi manusia-manusia yang ahsan. Manusia yang memegang teguh amanat dan tanggung jawab, jikalau hal tersebut tak disadari maka akan menjadi kaum asfala safilin. Dari pihak yang memiliki derajat yang tinggi akan direndahkan. Pola yang kita jalankan dari workshop 1,2 dan 3 tidak pernah kita rencanakan. Dari tema gelinding saja bermodalkan niat. Asal tidak merasa kuat, hebat, sangar, namun bermodal jelas yakni ringkih, dhuafa, fakir karena yang kita hadapi adalah Allah sendiri. Maka dengan seperti itu maka kita akan memiliki wadah yang kosong, sehingga Allah akan mengisi dengan hal yang murni dan kita butuhkan dalam kehidupan kita. Semoga dengan ini kita mampu membuka selimut-selimut yang membuat kita “nyaman” selama ini. Nantinya jika kita menyadari bahwa selimut tersebut sesungguhnya ialah penjara barulah kita akan bangkit. Karena pada hakikatnya manusia menginginkan kemerdekaan bukan dipenjarakan. Kalaupun menjadi hamba, hanyalah kepada Allah kita menghamba. Jika Allah tuan rumah dan Nabi penjaga pintu dan kita batur (hamba sahaya) bukan berarti akan tersiksa dengan perbudakan malahan justru diberi kenikmatan. Makanan dan minuman serta hawa dan kahanan yang dirasakan Kanjeng Nabi pun kita juga akan merasakan hal yang sama.

 

PENGENALAN DIRI

Mas Aji memahami bahwa salah satu pintu menuju wungu terletak pada pengenalan diri. Kalau boleh dibilang sedari lahir sampai saat ini, pikiran kita menyerap apa yang kita dengar, lihat dan rasakan, hingga kita mengidentifikasi bahwa serapan tersebut sebagai diri kita. Terkadang kita melihat diri kita ada hal yang kita rasa baik dan sukai, namun tak sedikit pula terdapat hal yang kita rasa buruk dan tidak kita sukai. Dengan menyadari hal ini sedikit demi sedikit akan membuka penjara itu tadi. Semua yang kita pelajari tadi hanya sebagai penghantar saja untuk melihat diri sendiri. Identifikasi terhadap diri yang telah melekat dari lahir sampai mengenal diri kita lalu mesti dikembalikan lagi pada peran dalam kehidupan sehari-hari namun tetap dengan kesadaran untuk menempatkan diri. Masih menurut Mas Aji dengan demikian maka akan dapat membuka selimut yang paling tebal dari diri yakni ‘diri’ itu sendiri. Segala hal yang dipelajari menjadi penghantar menuju pengenalan diri namun juga di sisi lain juga menjadi selimut untuk mengenali diri. Beberapa pintu pantikan dari Mas Aji yang menarik sekali untuk lebih memperdalam diskusi malam ini.

PETANI DAN KESEIMBANGAN

Malam makin larut, diskusi terus berlanjut. Untuk memperdalam bahasan, Pak As’ad pun diminta untuk turut. Sebelum memasuki tema, tak lupa salam dari keluarga dan juga dulur-dulur Suluk Surakartan disampaikannya. Wungu menjadi terbuka ketika berbincang dengan Mas Agus. Wungu merupakan sintesa dari warna biru dan merah. Merah merupakan angkoro, biru menep. Wungu adalah sebuah proses puncak dari dualitas yang harus ditarik mundur. Pak As’ad mencoba menarik ke masa lampau. Beliau menceritakan tentang Nabi yang sedang menggembala. Lalu diuji oleh malaikat untuk mengambil susunya, sebab majikannya tidak akan tahu. Namun dijawab oleh Nabi bahwa Allah pasti akan mengetahuinya. Menurut Pak As’ad ini merupakan salah satu prinsip manajemen aset. Masih seputar tiga tipe manusia (manusia pasar, nilai, dan istana) memiliki lambaran dasar yakni harus memiliki manajemen resiko. Ali dikatakan sebagai seorang pewaris Nabi. Seorang pemimpin di China dulu pernah menyampaikan bahwa, umat Islam tidak perlu kemana-mana hanya cukup mempelajari Ali.

China memiliki situs jual beli yang cukup besar pun menggunakan nama alibaba.com. Pada situs berbasis marketplace ini tersedia harga yang sangat murah, bebas biaya pengiriman, pelayanan yang baik dan cepat serta barang yang diterima juga sangat mirip dengan yang dipesan. Pikiran Pak As’ad tersambung kepada; mengapa sebagian besar nabi menggeluti dunia perdagangan. Sebab disanalah seorang diuji apakah yang diperdagangkan atau dikatakan sesuai dengan yang diterima oleh orang lain atau tidak. Jika di China tidak mungkin menggunakan Muhammad.com maka digunakanlah Alibaba.com, maka di maiyah tidak bisa muncul “maiyah.com” sebab maiyah adalah nilai tapi alangkah baiknya jika muncul misalkan “Kasno.com”, atau “aji com” dll. Maksudnya ialah setiap khasanah yang dimiliki oleh masyarakat maiyah bisa diterapkan dalam perilaku keseharian. Maka kita harus bisa memanajemen resiko. Segala yang kita peroleh dari bermaiyah ataupun dari Mbah Nun harus terus diinternalisasi pada kehidupan sehari-hari. Bertahun-tahun bermaiyah mestinya mampu mengakumulasi ketegangan bagi dirinya untuk berbuat sesuatu.

 

Wungu dalam keseharian bagai baterai atau powerbank, yang mendampingkan positif dan negatif. Baterai dengan ketegangan dari positif dan negatif yang cukup maka bermanfaat untuk melakukan sesuatu. Demikian juga seharusnya kita dengan memiliki ketegangan positif dan negatif yang cukup untuk bermanfaat dalam ranah harian. Menyeimbangkan tegangan positif dan negatif dilakukan dengan cara mengenali diri. Bahwa setiap manusia mampu melakukan distruksi yang luar biasa sesuai bidangnya. Begitupun manusia mampu melakukan konstruksi yang luar biasa sesuai bidangnya. Walaa tansa nashiibaka minad dun-yaa. Setiap orang memiliki nasib yang tidak bisa diubah. Meskipun nasibnya adalah seorang karyawan, jadilah karyawan yang baik, maka pasti akan memiliki kelebihan dibanding karyawan yang lainnya. Manusia yang tidak mempergunakan keseimbangan tegangan positif dan negatif dalam dirinya sama halnya dengan powerbank yang tidak pernah digunakan maka akan lebih cepat rusak dibandingkan dengan yang sering digunakan dengan baik.

 

Mbah Nun ibarat seorang yang tebar bibit atau matahari. Maka bukan tugas Mbah Nun untuk menatanya. Ibarat dalam kebun, matahari tidak pilih kasih. Bukan hanya tanaman yang tumbuh tetapi juga akan ada gulma yang turut tumbuh. Tanaman yang belum diketahui manfaatnya turut tumbuh.

Maka disana dibutuhkan petani. Yang menata tanaman satu dengan yang lain, yang memilah dengan menanamnya di tanah, di pot, atau polybag.

Satu pertanyaan yang belum terjawab. “DIMANAKAH PETANINYA??”

Semua tanaman sudah tumbuh namun bisa menjadi berbahaya bila tak ada yang mendistribusikan dengan baik. Satu dengan yang lain bisa saling merusak karena kurang adanya “petani” yang bisa menatanya. Demikian menjadi pe-er bagi kita semua.

 

‘AIN DAN KIFAYAH

Mas Kasno meminta Mas Yoga Lemahabang untuk mem”bangun”kan dulur-dulur dengan pembacaan puisinya. Sebuah puisi berjudul “Pertemuan yang dinanti” karya Mas Sokhib. Penampilan Mas Yoga yang jujur berbuah keindahan dalam puisi  sarat makna. Tak hanya menuliskan puisi. Mas Sokhib juga menyampaikan sebuah pertanyaan. Beberapa waktu lalu Mas Sokhib sempat bertanya pada Mas Agus tentang wungu.

Di dalam wungu terdapat 4 hal yakni :

  1. Cinta
  2. Irodah
  3. Ikhtiar
  4. Tawakal

Di depan tadi diungkapkan selimut yang harus disibak agar menjadi kondisi wungu. Lalu selimut apa sajakah yang dimaksud? Mas Agus langsung merespon pertanyaan yang sangat baik dari Mas Sokhib tersebut.

 

Masih tersambung pada tema dalam workshop sebelumnya yakni Laras atau penyelarasan diri.  Sebaik-baik manusia ialah yang selaras dengan Allah. Jika belum bisa maka selaraslah dengan Malaikat Allah. Jika masih belum bisa maka selaraslah dengan para Nabi dan Rasul. Jika masih belum bisa juga, selaraslah dengan kitab-kitabnya. Jika masih belum bisa juga maka selaraslah dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa akan ada hari akhir. Sebab dengan kepercayaan tentang hari akhir akan membuat seseorang untuk berpikir bahwa jika ada hari akhir maka ada hari awal, dimana jika kondisi hari hari akhir tidak bisa dipastikan hasilnya, paling tidak sejak awal sudah bisa ia pilih secara memastikan niat awalnya. Jika itu juga masih belum bisa selaras, maka selaraslah dengan qodo dan qodar. Bahwa segala keinginan kita tidak selalu tercapai. Setiap manusia hanya ada kandungan probabilitas bukan absoluditas. Sebab kita hanya sebatas bersifat rancangan, yang absolut hanya Allah SWT. Agar kita tetap terjaga keselarasan, maka jangan tergoda rencana. Sebab manusia hanya akan optimal pada area rancangan bukan pada rencana. Manusia bisa merancang namun Rencana hanya milik Allah SWT. Apakah perilaku selaras hanya dimiliki oleh ulama, auliya dll atau pihak yang dianggap suci. Ya. Tapi harus ingat bahwa kita semua diperkenankan terlahir di dunia karena masing-masing kita ini memiliki eksklusifnya. Hanya saja ada yang memoles keekslusifan dirinya sehingga muncul, dan ada yang mendiamkannya sehingga hanya tertimbun. Bagaikan intan yang terpoles maka akan menampilkan keindahan, sedangkan yang terpendam sering merasa bahwa dia bukanlah intan. Ciri intan ialah bening, dalam diri kita apa yang harus bening? ialah akal. Intan bersifat padat, ialah tekad. Maka kita perlu memperluas wawasan, ilmu agar tanah yang menimbun kita semakin terkikis, terkuak. Tanah yang dimaksud ialah kepentingan-kepentingan. Sering tanpa kita sadari justru memberi “makan” kepentingan tersebut tanpa memberi kesempatan intan untuk keluar, mencuat.

 

Mengidentifikasi diri dapat diketahui dari apa yang dilihat oleh orang lain, dan kita dapat mengambil kesimpulan oranglain atas diri kita sebagai identitas baku yang ada di luar diri kita. Apabila demikian menjadi pola, maka tidak akan menghantarkan pada keprigelan mengenali diri kita sendiri. Jika orang lain lebih mengenali diri kita maka kita akan malas mencari diri sendiri. Pandangan orang lain baiknya hanya menjadi tambahan koordinat. Pada wilayah apakah letak kita berdiri? Dimana maqom kita? Kalau kita tak mengerti maqom kita sendiri, bagaimana mau qum (bangun), qiyam (bangkit) hingga bersama-sama qiyamah (menjunjung kebangkitan). Qiyamah disini diartikan sebagai bangkit, tumbuh; bukan rubuh.

 

Koordinat satu dengan yang lain harus saling melengkapi. Koordinat-koordinat ini jika dikaitkan dengan bahasa Pak Toto yang menggunakan QS Al Qasas. Mas Agus memilih koordinat ‘ain dan kifayah. ‘Ain ialah fardhu yang setiap muslim wajib menjalankan.

 

Kifayah juga fardhu namun akan menjadi tidak wajib jikalau sudah dilaksanakan oleh orang lain. Contohnya ialah sholat jenazah. Dalam sholat jenazah juga terdapat salam namun tidak ada rukuk dan sujudnya. Artinya jika ada seorang yang sudah meletakkan maqom-nya, terbaring, maka yang lain harus tetap qiyam (berdiri) untuk menjaga maqom yang baru saja kehilangan salah satu petugasnya tersebut.‘Ain dalam kehidupan ialah mengabdi pada Allah. Bahwasanya tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT.

 

Ada yang disebut pekerjaan profesi dan peran. Dalam mengerjakan profesi belum tentu sesuai dengan pos ‘ain kita. Kita harus mengenali pos ‘ain diri terlebih dahulu agar kita tahu bahwa ada sektor yang lebih harus kita prioritaskan sebab mengerti pilahan primer dan sekundernya.

 

SELIMUT DIRI

Sebagai gambarannya adalah orang yang duduk bersila. Simbol ini dipilih sebab men-diri-kan pengabdian tak selalu dilambangkan dengan tegak dan bertumpuan dua kaki. Janin di alam rohim pun berbentuk seperti hijaiyah ‘wau’, bukan posisi ber-diri, namun janin jelas tengah mendirikan pengabdiannya. Ternyata dalam alam rohim kita pernah mengalami fase sen-diri-an dan kita mampu menunaikannya dengan roso bungah. Dalam pada itu kita dilahirkan untuk menjalani kehidupan di dunia seperti halnya dalam alam kasih sayang. Namun justru setelah manusia benar-benar mampu bertumpu pada dua kaki, menjadi jarang yang mau bersusila, bersila (shilah, seakar kata dengan sholat). Shilah ini berarti terhubung pada Allah SWT. Dalam Islam ada syariatnya yakni dalam gerakan-gerakan sholat. Dimana kita berpijak, dan kemana kita menuju harus mustaqim. Namun untuk menuju kesana akan ada hambatan-hambatan, maka kita selalu meminta selalu petunjuk Tuhan yang tersampaikan pada ihdinasshirathal mustaqim. Hambatan tersebut berupa selimut yang membuat diri semakin kabur dalam melihat keadaan. Seolah jalan tidak tampak, maka patutlah kita memohon petunjuk pada Allah SWT. Jika kita tidak menyadari hambatan yang menyelimuti tersebut, kita tidak tahu bahwa jalan sudah berbelok. Kita punya mata dan telinga namun hanya kita gunakan untuk melihat dan mendengar apa yang kita mau saja. Perlu kita ketahui perjalanan pen-diri-an kita apakah berada di jalur yang biru (baik) atau merah (buruk). Kita perlu memindai, bahwa setiap manusia memiliki perannya. Setiap peran dalam manusia memiliki martabat, dimana semakin martabat itu diakomodir oleh manusia-manusia yang lain maka manusia tersebut akan menjadi semakin bermanfaat. Maka haq bahwa untuk memperjelas peran-peran kita tersebut harus bermuara pengabdian kepada Allah SWT.

 

Selimut terbagi menjadi 3 :

  • Raga
  • Jiwa
  • Sukma (ruh)

 

SELIMUT RAGA

Raga sendiri sebenarnya sudah merupakan selimut. Selimut raga ialah menggemari zona nyaman. Jika ini dijadikan ageman (pegangan), maka laksana sampah yang dibiarkan di dalam diri dan membusuk. Zona nyaman seperti kondisi yang tidak terlalu dingin atau terlalu panas. Maka yang diolah sebagai ‘ain ialah rosonya, agar tak selalu berkutat pada hal-hal jasmaniah. Manusia yang terlarut zona nyaman biasanya selalu hiperbola, tidak memiliki produk dan kurang bersyukur. Musuh untuk merubuhkan kemanusiaannya ialah ketakutan. Dengan demikian maka kita masih meletakkan Allah SWT sebagai angan belaka. Serta tidak meyakini janji cintanya. Kita perlu nggaya sebagai manusia ahsani takwim bukan untuk menegakkan diri akan tetapi menghormati bahwa kita diciptakan sebagai makhluk yang mulia.

 

SELIMUT JIWA

Takut salah, takut dianggap aneh, lebih senang berbicara di belakang, malas menambah wawasan, apatis dlsb merupakan bentuk selimut jiwa. Manusia yang berselimut ini minor quality namun secara quantity sangat mayor. Jumlahnya banyak namun belum tergerak untuk menumbuhkan kualitas.

Mbah Nun sebenarnya pernah menyampaikan bahwa benih-benih yang tersebar sebenarnya sudah mulai tumbuh dan menampakkan kuncup bunga nya. Maka perlu disingkirkan gulma-gulmanya dan justru jangan sampai hanya menjadi peradaban gulma. Peradaban sekarang sudah tidak ada yang dominan. Jika dahulu ada negara adi kuasa, namun sekarang nampaknya sudah mulai jarang didengungkan. Justru yang sering didengungkan adalah islam teroris. Padahal sebenarnya tidak ada islam teroris. Yang ada yaitu islam dan teroris. Islam merupakan kedamaian dan teroris sebaliknya yakni benci kedamaian. Untuk menjadi wungu maka harus bisa meramut keduanya. Bukan mempertandingkan keduanya. Bahwasanya ada garis merah dan biru yang harus kita sandingkan untuk menjadi wungu. Seperti di dalam surat At Taubah ayat 111. Kemudian Mas Sokhib diminta untuk melantunkannya.

Pengabdian yang sungguh-sungguh menjadi modal bagi diri kita untuk “berjualan” dan Allah SWT sendiri yang menjadi “pembeli”nya. Segala jiwa dan pemikiran kita jihadkan, untuk kita pertahankan syahadat menjadi alat pengabdian bagi Allah SWT.

 

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

 

Diskusi masih terus berlanjut, hingga lewat tengah malam. Untaian-untaian pertanyaan yang tersimpan atau tersampaikan terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yang tentunya diharap bermanfaat bagi masing-masing sedulur yang hadir; untuk dibawa pulang; untuk dijadikan bekal menyibak sedikit-demi sedikit selimut bagi raga, jiwa dan ruh. Saling berusaha mengenali diri hingga kelak, semoga kita semua menjadi manusia-manusia yang tak lelah mempertahankan konsep Allah atas diri bahwa pribadi dan pendirian kita benar-benar dalam bingkai ahsani takwim. Sebagai sabaik-baik bentuk, menjadi ciptaanNya yang mulia, menjadi manusia yang wungu. Tumbuh; bukan rubuh. Sekian reportase kali ini semoga bermanfaat.

 

___

Andhika Hendryawan

Link video terkait, klik disini