The World Constructed Through Pain (Dunia dibangun melalui rasa sakit)

majlisgugurgunung.com:: 30 Januari 2016-Bertempat di Gedung taman bermain Qomaru Fuady – Balongsari. Cangkruk budi doyo di majelis gugur gunung ini diawali dengan tartil surat surat Al Kahfi oleh Mas Patmo, dilanjutkan dengan pembacaan Tahlukah dan Wabal yang dipimpin oleh Mas Tyo. Suasana begitu kusyu saat pembacaan Tahlukah dan Wabal, jama’ah juga terlihat begitu menikmati kekhusyukan malam itu. Setelah Tahlukah Wabal selesai dibacakan, dimulailah dengan tema dunia dibangun melalui rasa sakit.

Diskusi dibagi menjadi 2 sesi, sesi pertama diskusi dimulai dengan pemaparan dasar tentang dunia dibangun melalui rasa sakit oleh Mas Dian dan direspon bersama-sama oleh jama’ah, dan sesi kedua diisi dengan pemaparan lebih mendalam oleh Mas Agus Wibowo, sekaligus menanggapi diskusi yang telah diurai jama’ah di sesi pertama yang kemudian ditutup dengan kesimpulan dan do’a.

Mas Dian membuka diskusi dengan pengertian dimana rasa sakit sebenarnya kita butuhkan untuk mampu berkembang, layaknya Indonesia merdeka itu bukan karena proklamasi Bung Karno, melainkan tumpukan rasa sakit yang diterima masyarakat Indonesia yang akhirnya sepakat untuk bersatu dan memerdekakan diri. Contoh lain, mengutip kalimat CN “Kita tidak akan pernah tahu nikmatnya pulang kalau kita tidak pernah beranjak pergi”, tuturnya. Pergi ini kan termasuk rasa sakit, dimana yang tadinya kita nyaman berada dirumah, pada suatu waktu kita harus pergi melakukan perjalanan entah kerja atau apa yang menuntut kita keluar dari rumah dan keadaan rumah amat sangat kita rindukan saat itu, beda kalau kita hanya terus-menerus berada di dalam rumah.

Mas Patmo menambahi dengan pengertian dua bagian rasa sakit, yakni sakit jasad dan sakit jiwa. Dimana sakit jasad adalah sakit yang sifatnya jasad, seperti perih, pusing, linu, pegel, dan lain sebagainya. Sedangkan sakit jiwa adalah sakit yang sifatnya lebih mengena ke perasaan, seperti iri, dengki, trenyuh, kehilangan, dan lain sebagainya. Mas Arif menambahi dengan statemen bahwa kita tidak akan bisa menghindar dari rasa sakit, karena itu memang ujian agar kita bisa berkembang, seringkali kita seolah-olah mampu menghindari rasa sakit, padahal tanpa disadari kita akan berhadaan dengan rasa sakit yang lebih sakit, kenapa? Karena kita tidak memiliki kesiapan untuk mengolah dan menerima rasa sakit tersebut. Yang bisa kita lakukan hanya bermesraan dengan rasa sakit tersebut.

Mas Dian menambahi dengan perlakuan kita terhadap rasa sakit. Ada tiga perlakuan yang biasanya kita lakukan, yakni : melawan rasa sakit, menerima rasa sakit, dan berkompromi dengan rasa sakit. Tepat pukul 23:46 Diskusi sesi pertama ditutup dengan kidung Kangen Pasuryane Paduko (Pangkur kerinduan) dan Bang-Bang Wetan yang dibawakan oleh Mas Tyo. Saat kidung dilantunkan suasana menjadi lebih intim dan lebih kusyu. Jama’ah begitu menikmati suasana malam itu, dimana seolah tak hanya jama’ah, alam sekitarpun ikut tertunduk ndlosor dengan tenang malam itu.

Diskusi sesi kedua dimulai Mas Agus Wibowo dengan pertama memancing audience untuk membuat list-list rasa sakit. Masing-masing melemparkan pengalamannya tentang macam-macam sakit. Dabag, Koreng, Kemeng, Linu, Mumet, Pegel, dlsb. Setelah itu audience diminta untuk menyebutkan lawan kata dari jenis-jenis sakit itu. Jika ada Malam, maka ada siang. Jika ada sakit maka ada sehat. Ternyata ketika dicari lawan kata dari macam-macam rasa sakit itu, menjadi susah bahkan buntu. Karena ragam rasa sakit yang masing-masing memiliki nama tersebut hany memiliki satu lawan kata yakni “tidak demikian”. Misal: “Mumet” (pusing) berarti lawan katanya “tidak mumet”. Atau bahkan pada kenyataannya ketika “tidak mumet” pun jarang untuk diungkap namun dibiarkan saja untuk lebih sibuk pada aktifitas. Maka ini semacam bukti, bahwa rasa sakit itu memberikan kesempatan manusia untuk tumbuh, makin paham pada sesuatu karena terdorong untuk belajar dan menemukan solusi. Sedangkan kondisi sehat lebih memungkinkan untuk terlena hanyut pada aktifitas yang nikmat.

Rasa sakit tidak perlu terburu-buru diterjemahkan dengan konotasi yang ketika dia datang maka seperti datang sebuah siksaan. Rasa sakit itu terjadi dengan satu racikan dari dua unsur yang porsi masing-masing menetukan kadar rasa sakitnya. Unsur itu ialah : “Sukarela” dan “Terpaksa”. Jika pada sebuah momentum unsur sukarela untuk menerimanya lebih besar maka yang terjadi adalah bahagia. Jika unsur terpaksa lebih besar maka akan menjadi lara. Kita tertawa pada hal yang kocak itu membahagiakan. Tapi kita tertawa karena digelitik sambil diikat tangannya itu menjadi hal yang sangat berbeda rasanya. Ada beberapa level rasa sakit dari yang terendah hingga yang paling tinggi. Rasa sakit yang paling rendah adalah “cinta” dimana kita terpenjara pada sebuah fenonema untuk berhasrat, berambisi, berkorban, terluka, terhempas, berontak, memaksa. Kemudian di atas cinta ada “gemes”, “risi/geli”, “gatal” “perih”, “nyeri”, dan peningkatan level berikutnya dimana kita terpenjara pada perasaan unik yang susah ditolak. Dan yang paling tinggi dari rasa sakit adalah “Cinta”, dimana kita terpenjara pada sebuah keadaan untuk menegaskan pilihan untuk Sukarela atau Terpaksa. Jika, ketika menghadapi tiap-tiap level rasa sakit itu menggunakan racikan sukarela yang seimbang atau bahkan lebih besar tinimbang terpaksa, maka peristiwa itu hanya menjadi peristiwa “jerih payah” atau “susah payah” atau bahkan kenikmatan. bukan menjadi siksa apalagi kutukan. Leluhur kita sudah sangat paham bahwa cara belajar yang efisien adalah mengakrabi rasa perih maka banyak anjuran-anjuran untuk melakukan laku prihatin (perih ing bathin). Sebab prilaku prihatin memberi pengalaman konkret kepada manusia untuk menyentuh ilmu dengan jari-jemarinya sendiri. Seseorang akan memahami arti berserah, bergantung, dan baik sangka secara total kepada Tuhan. Maka sakit itu semacam sapaanNya yang hadir secara konkret yang melatih kesalehan. Kita harus paham bahwa rasa sakit itu dari Tuhan dan Tuhan pula yang akan memberi kesembuhan. Kita tentu semuanya mengerti bahwa kurang sakit macam apa lagi sebuah proses bersalin yang dialami seorang ibu, namun ibu bertindak dalam sikap sukarela meskipun keadaan benar-benar “menyiksa”nya. Karunia yang besar berupa lahirnya di jabang bayi dengan keadaan selamat menyingkirkan rasa sakit meski sesungguhnya luka masih menganga, bahkan sang ibu masih sanggup memberikan air susu kepada si buah hati. Memberikan asupan terbaik meski dirinya sedang dalam keadaan susah payah luar biasa.

Sesungguhnya bab rasa sakit ini sudah disinggung dalam Al Qur’an sebagai berikut:

  • “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” QS Al-Ankabut:2
  • “Dan diantara manusia ada yang berkata: “kami beriman keada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “sesungguhnya kami adalah besertamu”. Bukankah Allah lebih mengeahui apa yang ada dalam dada manusia?” QS Al-Ankabut:10
  • “Dan kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; diantaranya ada orang-orang yang saleh dan diantaranya ada yang tidak demikian. Dan kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” QS Al A’raf:168
  • “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” QS Al-Balad:4

Dari ayat diatas jelas sekali bahwa rasa sakit memang disertakan kepada kita untuk menaikkan kadar ketauhidan kita kepada Allah SWT. Karena jalan tauhid tak kan terjangkau tanpa diuji. Karena rasa sakit dekat sekali dengan kepemilikan maka dari itu dijadikan sebagai ujian. Sebab seringkali kita merasa memiliki sesuatu padahal sejatinya semua itu hanya titipan, bahkan ruh dan jasad ini bukan milik kita, melainkan milik Allah SWT. Ada mizan ada furqon, dan ada dua golongan dalam diri. Golongan yang bermula dari kebenaran yang kemudian dipecah oleh Allah menjadi prilaku kesalehan dan prilaku yang tidak demikian.  Golongan yang saleh itu seperti : tekun, sabar, telaten, teliti. Sedangkan yang tidak demikian itu seperti : malas,grusah-grusuh, ceroboh, teledor.

Masing-masing prilaku ini akan mendapati dengan ujian berupa hal-hal yang baik-baik dan yang buruk-buruk. Tidak melalui salah satu, melainkan keduanya. Itu semua untuk menguji kadar ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Tak akan pernah kita benar-benar beriman tanpa diuji, dan tak akan pernah benar-benar kita menyatu tanpa kita mau melebur. Kesalehan ialah representasi fitrah Janma, sedangkan yang tidak demikian merupakan bentuk refleksi naluri Diyu atau raksasa. Indikator Janma adalah keakraban dalam kecenderungan “tempa” melalui tekun, sabar, telaten, teliti, tahu batas dan lain sebagainya, Sedangkan indikator kecenderungan naluri Diyu adalah “lampias”, seperti malas, grusah-grusuh, ceroboh, teledor, instant, hura-hura, dan lain sebagainya. Dan kita diberi kebebasan untuk memilih indikator yang mana yang akan kita pergunakan sebagai main of life. Apakah menjadi Janma yang begitu akrab dengan penempaan untuk terus berkembang sebagai kerelaan dengan kecerdasan = keadilan. Atau memilih menggunakan corak Diyu atau raksasa sebagai prilaku utama kehidupan yang lebih dekat ke pelampiasan yang menjadikan bertumbuh sebagai penguasa dengan kebodohan = keserakahan.

Dalam tradisi leluhur Jawa, Diyu adalah pihak yang harus diruwat karena tidak proaktif membangun mutu ruhani. Sedangkan kini, Diyu telah mengejawantah dalam wadag jalma sehingga yang harus kita perhatikan adalah potensi Diyu dalam diri masing-masing dan ketika sudah teridentifikasi segera melakukan ruwat / penghancuran / tahlukah. Jangan sampai kita terburu-buru menyimpulkan bahwa kita jenis manusia hanya karena wadag. Bisa-bisa kita adalah jenis Diyu yang jiwa kita penuh keserakahan dalam wujud manusia. Untuk menerima kadar ruhani yang lebih bersih dan bermartabat sebagai makhluk diperlukan konsekuensi penyesuaian wadah (tahlukah), wadah yang sedang dibentuk indikatornya adalah rasa sakit karena ada semacam proses peleburan dan rekonstruksi. Semakin keras bentuk, semakin keras pula rasa sakit yang ditanggung (wabal). Semakin berharga karunia yang hendak diterima, semakin besar pula rasa sakit yang harus di lewati. Maka jika pun kita hidup di tengah-tengah Masyarakat Diyu, jangan sampai kita kehilangan pengamatan diri untuk tetap bertahan sebagai Janma. Janma ini akan menjalani rasa sakit dengan keterasingan, fitnah, kekurangan akses dan fasilitas. Namun jika rasa sakit itu memang berguna untuk menjadikan Janma berangkat menjadi Resi-resi yang digdaya untuk bertugas meruwat para Diyu. Maka keterasingan itu menjadi bea yang diperlukan untuk mendapatkan kehidupan bersama yang lebih bermartabat dan maslahat.

Pada pukul 03.00 WIB Cangkruk budi doyo masyarakat maiyah Ungaran di majelis gugur gunung ditutup dengan kesimpulan dan do’a bersama dengan membaca Ummul Kitab bersama-sama.

 

Arif Wibowo

Penggiat Maiyah Ungaran

Facebooktwittertumblr
Posted in reportase.