Majlisgugurgunung:: Malam ini tanggal 27 Agustus 2016 merupakan malam rutin cangkruk budidoyo Majlis Maiyah Gugur Gunung Ungaran. Acara dimulai pada pukul 21.00 dengan dipimpin oleh Mas Agus. Lalu Mas Ari membacakan doa-doa wasilah yang ditujukan untuk Kanjeng Nabi, para Aulia, leluhur serta untuk seluruh jamaah sendiri. Usai wasilah dilanjutkan Mas Jion dengan Munajat Maiyah.
Tema malam ini merupakan Sukun, berawal dari beberapa waktu lalu pada saat melingkar berdiskusi sambil mencicipi sukun kukus di rumah Mas Jion. Lalu terbesit untuk mengupas beberapa hal tentang sukun. Walaupun nantinya dapat dilebarkan lagi sayap-sayap diskusinya dan tidak terpatok pada buah sukun itu sendiri.
Banyak sekali pengetahuan tentang manfaat serta keterangan yang akan kita peroleh di jejaring internet tentang sukun. Baik dari tanamannya, manfaat yang dipandang dari segi kesehatan ataupun empiris dll. Namun bukan sekedar bentuk jasadiahnya yang kita bahas disini, sehingga bukanhanya makanan dalam bentuk jasad saja yang akan kita peroleh melainkan dalam bentuk-bentuk yang lain. Agar kita mampu mempersaudarakan antara rasa dengan jasad. Serta supaya kita mampu untuk sugih pangroso dan sugih panggraito agar memiliki patrap silo yang lebih baik.
Usai dibuka oleh Mas Agus selaku moderator pada malam ini, langsung ditanggapi oleh Pak Zam yang baru pertama kali ini merapat di Maiyah Gugur Gunung. Tentang mempersaudarai rasa dengan jasad. Lalu bagaimana jika digunakan istilah mempersaudarai sebuah masalah? Karena yang telah berjalan hingga saat ini, apabila ada masalah selalu ngedumel dan hanya menambah beban di kepala.Direspon oleh Mas Agus bahwa kita diletakkan sebagai pihak yang mengkonsumsi sesuatu (kebudayaan mayor) dan hal ini sebenarnya menyimpang dari sejatinya manusia sebagai pihak yang seharusnya melakukan pengabdian kepada Allah. Yang lebih sering terjadi ialah ketika seorang manusia sedang merasa tidak ada masalah akan merasa dirinya bagaikan seorang ratu. Ibaratkan kita saat mengingat asin selalu garam.Padahal yang asin tidak hanya garam. Dan jika memakan sayur terasa asin, selalu yang disalahkan adalah garam yang terlalu asin, padahal sudah tahu bahwa garam itu asin.
Ada yang dinamakan yakni titik ketemu mengalah. Kita manusia memiliki standarisasi yang berbedaporsi yang dijadikan sebagai patokan. Karena ketika bertemu pada Lombok hanya pedas jika ada campur tangan manusia di dalamnya.
Sedikit cerita dari Pak Zam yang memiliki sedikit masalah dengan anak-anak jalanan dengan vespanya yang dirasa mengganggu jalan, padahal mereka sendiri tidak mempermasalahkan keberadaan Pak Zam. Dan bahkan anak dari kawan Pak Zam yang kedua orang tuanya adalah guru, terlibat didalam pergaulan anak jalanan tersebut. Sebuah analisis dari Mas Agus yang mendapatkan dua permasalahan dari cerita tersebut. Pertama ialah besarnya resiko yang dibawa oleh anak-anak jalanan tersebut sehingga mengganggu orang lain, serta adanya kemungkinan bahwa ada tuntutan dari kedua orang tuanya yakni guru untuk menjadikannya murid yang berprestasi, sehingga pergaulan seperti itu merupakan ekspresi jiwa yang di kompromikan sendiri bukan dengan orang lain.
Terdapat dua jenis produk yakni kholaqo dan ja’ala. Kholaqo merupakan sebuah produk yang diciptakan langsung oleh Allah, misalnya sukun, bawang, brambang, dll. Sedangkan ja’ala merupakan produk yang diciptakan dengan campur tangan manusia missalkan garam, gula dll, namun prinsipnya didekatkan dengan kholaqo (produkja’alatapi rasa kholaqo).
Semua ciptaan Allah, setidak enak apapun yang dirasakan manusia (mis. petai, jengkoldll) namun tetap mampu dinikmati. Berbeda dengan ja’ala yang memiliki campur tangan manusia di dalamnya ketika memiliki rasa yang tidak enak (mis. sayurlodeh yang keasinan) maka akan sulit dinikmati. Kholaqo di ekspresikan oleh masyarakat menjadi kolak, karena kolak memiliki sifat general yang semua orang bisa menerima melalui skala estetika yang mendekati kholaqo itu sendiri.
Sebuah respon tentang mempersaudarai masalah dari Mas Leo.Bahwa dapat diubah istilah dari masalah menjadi katalis. Dimana katalis tersebut akan menjadi stimulus untuk menjadi sebuah bentuk yang baru. Tidak bisa untuk menghindari katalis, karena akan mengikuti terus sebelum selesai tugasnya mengubah menjadi bentuk yang baru. Serta terdapat dua metode untuk menyikapi stimulus itu, yakni bersikap netral dan menyikapi dengan respon-respon. Misalkan dengan “Terima, Maafkan, Cintai“ seperti yang biasa dilakukan oleh Mas Leo.
Hukum Karma
Apakah salah jika mempercayai tentang adanya hukum karma, sehingga yang dilakukan sekarang ialah hasil dari perbuatan yang dilakukan di masa lampau. Demikian sebuah pertanyaan dari Mas Munawir yang menjadi pancingan untuk bahan diskusi selanjutnya. Ditanggapi oleh Mas Agus bahwa hal ini sebenarnya merupakan peristiwa fatal, karena siapapun apapun dan kapanpun alangkah lebih baik untuk menyikapi dengan bersifat netral atau lepas dan tidak terlibat untuk mendesain hukum karma ini. Karena ketika ikut mendesain maka itu merupakan hasilmu, sedangkan ketika dikonsep untuk semeleh maka itu akan menjadi sebuah pembelajaran. Ibarat makan kita tidak perlu mendesain exceessnya,
Dalam islam dikenalkan romah, karim yang masih satu akar kata dengan keramat dan juga karma. Jika diterjemahkan apa yang diterima secara abstrak, karma bukan penghukuman, namun dikembalikan dalam posisi yang fitroh karena karomah sendiri memiliki arti kemuliaan. Atau bisa diartikan sebagai hokum kemuliaan. Akan eman-eman dan salah jika percaya hukum karma dan menjalankannya namun tidak percaya menuju pada kebaikan.
Tepat pukul 02.15 cangkrukan ini diakhiri walaupun beberapa jamaah masih tinggal untuk menghabiskan sisa kopi dan diskusi ringan.