Pertemuan rutin Majlis Gugurgunung bulan ini diadakan pada 29 Juli 2017. Bertempat di Balongsari, Pringapus, Ungaran, kab. Semarang. Kegiatan dimulai pukul 21.00 wib, setelah dibuka oleh mas Dian sebagai moderator dilanjutkan Wasilah dari mas Amri dan Munajat Maiyah oleh mas Jion. Turut hadir pula mas Kafi dan dulur-dulur dari Jepara.
Dimulai dengan pembahasan Hizib Pangabekti oleh mas Agus yang berawal dari diskusinya dengan mas Yud mengenai berita di media sosial dan gejala di sosial akhir-akhir ini yang menghadirkan “krenteg” ingin membaca sesuatu yang muatannya adalah do’a. Wirid Wabal adalah opsi pertama, namun karena itu perintah Wirid Wabal dahulu adalah dari Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib, maka mas Agus beranggapan bahwa yang layak untuk memberikan perintah adalah beliau Bapak Maiyah sendiri. Sebagai gantinya kemudian mas Agus berinisiatif menyarankan untuk meng-alfatikhahi beliau Bapak Muhammad Ainun Nadjib sekeluarga dan mas Sabrang sekeluarga. Lalu seterusnya meng-alfatikhahi keluarga dulur-dulur Gugurgunung masing-masing, Keluarga Maiyah, Muslimin-Muslimat, dan Shohibul wilayah masing-masing. Berikutnya mas Agus menyarankan pada sedulur-sedulur untuk membuka Al Qur’an dengan diawali membaca Al Fatikhah demi menjaga kebeningan hati dan fikiran, kemudian membuka halaman secara spontan, dan memilih surah atau apa saja dalam kondisi pikiran yang bening/jernih tersebut sehingga tersusunlah Hizib Pangabekti Gugurgunung. Hingga kemudian susunan yang sudah berbentuk pdf diinisiatifi oleh Mas Kasno, Mas Norman, dan Mas Arif untuk dicetak dan dijadikan buku saku. Susunan dicetak langsung oleh mas Kasno di Brebes yang memang sengaja dikirimkan di hari itu untuk dibacakan secara jamaah oleh dulur-dulur Gugurgunung.
Pada pembacaan perdana secara jemaah, adalah Mas Kafi yang didaulat dimintai tolong untuk memimpin pembacaan Hizib Pangabekti Gugurgunung. Setelah Hizib selesai dibacakan, ada pertanyaan menarik dari mas Kafi tentang pengertian Wirid dalam Maiyah dan pelaksanaan serta sejarahnya. Direspon oleh mas Agus bahwa Wirid Tahlukah diberikan pada 2-3 tahun sebelum Wirid Wabal, sedangkan Wirid Wabal diberikan pada awal tahun 2016. Hal ini untuk menselaraskan ucapan dengan resiko yang ada. Do’a merupakan bagian dari penselarasan hidup. Sebab do’a adalah pernyataan langit. Wirid ini muncul karena ada Khalifah yang ingin membangun kerajaan di Bumi (bukan Ardla, melainkan buminya masing-masing dalam pikirannya) tanpa melibatkan langit.
Semua yang kita lakukan haruslah ada persentuhan dari langit, Wirid Wabal dan Tahlukah merupakan salah satu usaha untuk menyenggol langit. Sunah dari Maiyah ialah membuat lingkaran-lingkaran untuk mencintai Rasulullah. Hal ini untuk membentengi hal-hal yang bersifat jagad atau kosmis dan dalam posisi mas Agus bukan orang yang tepat untuk membuat sunah ini menjadi wajib. Hizib ini adalah produk yang disengkuyung bersama-sama oleh Gugurgunung. Semua isi dari Hizib ini tidak mungkin keliru karena ini adalah Al-Quran, adalah kekeliruan kita yang menaknainya jika menemukan kesalahan padanya. Maksud Hizib Pangabekti adalah mencoba untuk berbakti kepada Bapak Maiyah kita dan kepada Rasulullah SAW. Mungkin ini hanyalah seekor semut yang berusaha memadamkan kobaran api namun ini adalah salah satu cara mempersaudarai bumi dan langit. Tindakan ini adalah karena persatuan cinta bukan hanya sekedar anjuran dari Bapak Maiyah.
Tentang spontanitas, menurut mas Agus pada malam hari ini sudah sangat banyak spontanitas bahkan termasuk tempat berkumpul hari ini dibelakang Art Café, Balongsari. Siapa yang secara spontan harus dilakukan ialah mempersatukan diri dengan nilai-nilai Maiyah yang telah banyak ditanamkan Sahan kepada kita. Jika ingin melihat tanaman itu tumbuh atau tidak, terawat atau tidak, sesungguhnya terlihat pada kondisi seperti ini. Jika kita yakin bahwa bermaiyah itu karena nilai dan menjunjung kemuliaan dengan cara mencintai dengan sungguh-sungguh Allah dan RasulNya, maka tidak akan mudah bagi kita ikut kasak-kusuk dan melontarkan komentar berkaitan dengan apa-apa yang disampaikan Sahan. Kita ini sudah tidak bisa ketemu sama Rasulullah dan Nabi Muhammad. Padahal kita merindukan untuk bisa bertemu dan meluapkan rindu. Bagi mas Agus, Bapak Maiyah Muhammad ‘Ainun Nadjib adalah utusan Allah untuk ‘menggantikan’ atau mewakili kehadiran Nabi Muhammad. Apalagi yang khatam atau pungkasan adalah Nabi (khataman Nabiyyin) bukan Rasul (Khataman Rasulin). Sebab Allah masih mengutus daun, air hujan, malaikat, dan lan sebagainya untuk menjadi fasilitas bagi manusia membangun kesaksiannya kepada Tuhan.
Pada grup Whatsapp, mas Yud sempat mengirimkan audio yang cukup nggiris untuk didengarkan bahkan mas Agus belum siap untuk mendengarkannya lagi. Audio ini bisa sebagai wasiat untuk kita, karena cara Allah memberikam hidayah membutuhkan akal dan hati yang jernih. Mas Agus juga mempersilahkan pada sedulur-sedulur untuk memberikan tema diskusi selain dari tema karena itupun juga sebuah spontanitas.
Kemudian mas Tyo membawa oleh-oleh dari Jogja, yakni hasil pertemuannya dengan Mas Sabrang menanggapi isu yang beredar di sosmed bahwa kita sebaiknya tidak menanggapi dengan emosi atau nafsu amarah. Bahwasanya sosmed adalah ruang publik hanyalah tempat untuk “kentut” saja. Lalu menanggapi tema spontanitas, spontanitas menurut mas Tyo adalah hidayah yang diberikan sepersekian detik sebelum kita mulai untuk berpikir. Beruntunglah orang yang tidak punya sosmed karena lebih aman dan tentrem.
Kemudian ada mas Ulum dari Jepara yang bercerita tentang pekerjaannya di bidang terbangan. Mas Ulum sering mengikuti pengajian disana-sini namun belum pernah setakjub saat melihat penampilan Kiai Kanjeng tentang beberapa lagu yang menurutnya agak nyeleneh, unik namun menarik. Beberapa kata yang dianggap saru dan menurut mas Ulum kurang pantas untuk diucapkan namun ketika ditelaah maknanya lebih dalam sebenarnya memiliki ilmu yang dalam. Ilmu dalam Maiyah tidak pernah ditemukan dalam pertemuan yang lain-lain sehingga hal ini membuat mas Ulum tertarik untuk mempelajari dan memahami Maiyah melalui Gugurgunung meskipun direspon oleh mas Agus bahwa tidak perlu memahami Gugurgunung, karena sedulur yang sudah lama melingkar di Gugurgunung pun “belum” memahami tentang Gugurgunung.
Pada intinya, terserah dalam memahami Gugurgunung yang penting disini kita bergembira terhadap suasana yang membangun cahaya. Cara membangun cahaya ialah dengan menyadari kegelapan masing-masing, karena jika tidak mampu menyadari kegelapan masing-masing maka tidak akan memiliki kans untuk merindukan cahaya karena diri sudah merasa bercahaya. Ketika memahami kegelapan masing-masing maka kita bisa diperkenankan untuk membangun cahaya yang berkaitan dengan karunia Allah yang ingin menerangi kegelapan. Oleh karena itu ada Rasulullah Muhammad karena ada jaman Jahiliyah, jadi ketika kita ingin dihinggapi cahaya nur Muhammad yang agung maka salah satu cara yang kita tempuh ialah menyadari kejahiliyahan kita. Kegelapan-kegelapan yang sedang menyelimuti, sehingga fitrah kita kadang tidak tampak karena yang tampak hanyalah kepentingan. Fitrah itulah yang ingin dikuakkan agar bukan hanya menjadi individu-individu namun menjadi satu kesatuan.
Sehubungan ada beberapa wajah baru yang ikut melingkar malam ini juga diminta untuk melakukan perkenalan termasuk mas Riyadi dan mas Santoso. Kedua sedulur mengaku belum pernah mengikuti kegiatan mbah Nun secara langsung. Hanya beberapa kali saja mengikuti dari Youtube dan mengetahui informasi dari Gugurgunung dari internet.
Malam ini semakin meriah sebab Wangkerbayu juga turut memberikan sumbangsih dalam pengisian acara. Malam ini menampilkan spesial Perform teater singkat yang dipadupadankan dengan pakeliran wayang. Mas Dian memainkan wayang, mas Arif mengiringi dengan musik menggunakan guitar akustik, mas Chafid sebagai Soundman, dan mas Fidoh menjadi lakon utama dalam pementasan sebagai jabang warna. Puisi berjudul “Percakapan Jabang Bayi kepada Diri”, puisi ini merupakan tulisan dari mas Agus yang pernah ditampilkan di Fuadussab’ah Padhangmbulan Jombang, Jawa Timur. Namun pementasan kali ini dikemas dengan sedikit perbedaan yakni adanya kolaborasi dengan pakeliran. Meski dengan kesederhanaan dan keminimalan peralatan yang menjadi ciri dari Wangkerbayu, namun tetap berusaha tersuguhkan dengan indah dan mampu dinikmati oleh sedulur-sedulur yang menyaksikan pementasan.
Mas Ari juga menceritakan tentang laken, laki, dan lakon. Laki adalah kesadaran jasadiah, seorang laki-laki pasti paham kalau dia punya alat kelamin laki-laki. Kesadaran puncak sebagai laki-laki, kinerja dan pengamalannya bermuara dari kelaki-lakiannya, sehingga harus mendapat peristiwa pengalaman penggunaan alat kelamin laki-lakinya tersebut. Tujuannya ialah menggapai peristiwa ilmu dengan pengalaman tidak terlupakan berupa pemuasan dan pelampiasan kesenangan-kesenangan jasadiah, inilah Laken. Tetapi martabat manusia ada yang masih memiliki tingkatan-tingkatan.
Sehingga pada tingkatan yang lebih indah ada : ‘laki’. Laki merupakan seseorang lelaki yang sadar dia tetap lelaki tetapi tahu dimana posisi penggunaan kelamin laki-lakinya jadi dipersyarati dengan niat dan tekad yang kukuh dan tangguh, hal ini membuatnya memiliki batas dan tata aturan yang lebih terpelajar dalam penggunaan kelaki-lakiannya. Ia sudah memiliki tanggung jawab terhadap pasangan aqadnya, dan menghindari pertemuan kelaki-lakiannya kepada pihak lawan kelamin di luar aqad. Paugeran yang jelas membuatnya meningkatkan peristiwa kandungan ruhani. Menambah kesadaran akal dan pikirannya. laki memiliki pemahaman tentang pemanfaatan kelakiannya adalah untuk ke karakter perkasa dalam tanggung-jawab dan tegap berdiri mengayomi keluarga.
Tingkat yang lebih jarang adalah ‘Lakon’. Lakon sudah memiliki tujuan memanfaatkan tanggung-jawab dan pengayomannya lebih dari sekedar untuk keluarganya sendiri, juga pada keluarga-keluarga lain yang ‘bergantung’ kepadanya. Misalkan seorang bos yang memiliki anak buah, maka sepantasnya dia menjadi lakon yang juga memikirkan keluarga-keluarga dari anak buahnya tersebut.
Kisaran jam 01.00 wib, mas Dian dan mas Jion memberikan kalimat-kalimat penutup yang dilengkapi dengan do’a penutup dari mas Tyo. Kabar bahagia juga disampaikan oleh mas Jion bahwa salah seorang sedulur yakni mas Arif memberikan sebuah undangan untuk pengajian dalam rangka persiapan nglampahi samudraning bebrayan atau menjalankan akad pernikahan pada bulan depan. Meskipun acara sudah usai namun beberapa sedulur masih melanjutkan obrolan ringan di teras Art Cafe. Hingga pada akhirnya masing-masing kembali ke rumahnya dengan berharap terus mendapatkan hidayah serta ilmu yang barokah. Aamiin.
Andhika Hendryawan